tinkernid


“Julian biasa pulang jam berapa?”

“Jam 7 udah di apart kalo gak lembur.”

Febi mengangguk dan pandangannya kembali ke laptop yang tengah menayangkan video klip Kenny Alvaro.

Sudah hampir satu jam perempuan dengan tubuh kurus ini berada di atap yang sama dengan Najla. Ia langsung mendatangi kediaman temannya itu sepulang dari tempat kerjanya.

Keduanya kini fokus menonton penampilan Kenny Alvaro di atas panggung dari layar laptop. Saat Kenny menyanyikan lagu ceria atau semangat mereka akan heboh, begitupun saat terputar video lagu ballad Najla dan Febi langsung terlihat sedih.

“Sedih banget abis ini gak bisa liat Kenny manggung lagi, Naj.”

Najla berniat menghibur Febi yang murung, “Gapapa, kita harus hargain keputusan Kenny. Yang penting kan kita masih bisa nikmatin karyanya. Iya gak?”

Yang dihiburnya mengangguk dan tersenyum. Teman yang baru ia kenal beberapa bulan ini sangat cantik saat bibirnya menyunggingkan senyuman yang manis.

Ia bahkan pernah bertanya kenapa Febi tidak ingin menjalin hubungan dengan laki-laki dan Febi menjawab, “Gak mau pacaran kalo bukan sama Kenny.”

Sama seperti Febi, Najla pun pernah punya pemikiran seperti itu. Namun ia tidak ingin berlarut-larut dalam kehaluan karena menurutnya tidak mungkin seorang Najla Khavisa dan Kenny Alvaro bisa bersatu.

Beberapa saat kemudian pintu apartemen dibuka oleh seorang laki-laki yang kemejanya berantakan entah karena apa.

Julian, laki-laki yang berstatus sebagai suami Najla menghampiri mereka, “Hai, Feb!” sapanya lalu ikut duduk di sofa.

“Hai! Apa kabar?”

“Baik baik, lo gimana?”

“Nggak baik-baik amat tapi oke lah.”

Najla berinisiatif menaruh tas dan jas yang dipakai Julian ke kamarnya, membiarkan suaminya bercengkrama dengan temannya.

Sebelum kembali Najla ingin membuatkan minum dulu untuk Julian, oleh sebab itu alih-alih kembali ke ruang tamu, Najla justru berjalan ke dapur.

Ia membuatkan teh hangat karena kebetulan malam itu sedang turun hujan.

Setelah bermenit-menit di dapur, Najla kembali ke ruang tamu dengan segelas teh hangat di tangannya.

Ia dapat melihat Julian yang asyik berbincang dengan Febi. Wajahnya terlihat begitu senang dengan matanya yang ikut tersenyum saat dua sudut labium tebalnya tertarik ke atas.

Biasanya Julian tidak menunjukkan senyumannya yang itu pada Najla, ini kali kedua baginya melihat ekspresi tersebut. Yang pertama saat mereka makan malam dua bulan lalu.

“Eh, kayaknya gue mau langsung pulang deh. Takut kemaleman.” ucap Febi saat Najla meletakkan gelas yang ia bawa ke meja.

“Tapi masih ujan, Feb.”

“Iya sih, tapi gue gak bisa lama-lama. Besok kan gue kerja.”

Najla melihat jam di dinding, pukul setengah tujuh malam. Tadi sore Febi naik ojek online, jadi sepertinya tidak mungkin perempuan ini bisa pulang sekarang saat hujan diluar malah turun semakin lebat.

Lalu tanpa diminta Julian menawarkan diri untuk mengantar Febi, “Sama gue aja.”

“Ya udah sama lo aja, deh, Jul!”

Najla sedikit terkejut dengan dua orang itu karena ia kira Julian bukan tipe yang mau direpotkan oleh orang lain, terlebih ia baru pulang kerja.

Jangankan mengantarkan seseorang pulang, diajak menemaninya nonton tv saja biasanya Julian langsung menolak dengan alasan capek.

“Boleh kan, Naj, gue dianter sama Julian?”

Hujan yang tak kunjung berhenti seperti menyuruh Najla untuk mengizinkan suaminya itu keluar mengantar perempuan lain.

“Iya boleh kok, dari pada kamu makin malem pulangnya.”

“Ya udah, ayo Feb mumpung belum malem banget.” ajak Julian.

Akhirnya Febi berpamitan dan pulang diantar oleh Julian.

Merasa seperti ada yang aneh, Najla berusaha menyingkirkan pikiran negatif dari otaknya.

Cemburu? Tidak.

Najla tidak cemburu karena ia sendiri tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki angkuh itu.

Setelah Julian dan Febi keluar dari unit apartemennya, Najla lantas membereskan meja yang berantakan.

Ah, Kak Julian bahkan enggak minum teh buatan aku.” batinnya ketika melihat mug keramik yang air teh hangat di dalamnya tidak berkurang sedikitpun.


Julian melirik jam di tangan kirinya untuk kesekian kali, terhitung sudah 25 menit ia menunggu Najla yang masih belum keluar dari kamarnya.

“Woy! Lo gak pingsan di dalem kan?”

Laki-laki jangkung itu menggedor pintu ruangan yang tergantung tulisan “KAMAR NAJLA” di sana.

“Sebentar, scrunchie aku ilang.” sahut Najla dari dalam.

Julian mendecak, “Gak usah dikuncir, udah jam 7 ini!”

Baru selangkah Julian hendak kembali ke ruang tamu, pintu kamar tiba-tiba dibuka menampakan seorang gadis dengan midi dress putih dan rambutnya yang digerai tengah cemberut padanya.

“Ya udah, ayo!”

Najla berjalan mendahului Julian tanpa niat ingin jalan berdampingan.

Arya, papanya Najla sengaja meminta Julian untuk menjemput putrinya. Najla yang tidak tau menahu soal itu akhirnya terus memasang ekspresi tidak suka pada Julian sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya 25 menit lalu.

Mendapat perlakuan yang kurang mengenakan dari Najla membuat Julian menghela napas kasar.

Kalau tidak diiming-imingi jabatan oleh papanya mungkin Julian sudah meninggalkan Najla detik itu juga.

Najla yang sampai lebih dulu ke mobil Julian langsung masuk tanpa disuruh atau menunggu dibukakan pintunya. Lagi-lagi membuat Julian menggeleng pasrah.

“Umur lo berapa sih?”

“Kenapa tanya?”

“Songong banget!”

Najla tidak ingin terlibat percakapan dengan laki-laki yang tengah mengemudi itu hanya mendelik tidak suka tanpa merespon ucapan Julian.

Baik Najla maupun Julian telah sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada yang memulai obrolan selama perjalanan.

Setelah sampai di tempat tujuan, keduanya masuk menemui orang tua mereka yang telah reservasi meja sebelumnya.

“Halo, om!”

Julian menyapa Arya dengan senyum lebar yang membuat matanya menyipit. Seketika Najla melirik heran padanya, “Bisa senyum juga nih orang?” batinnya karena sejak awal wajah Julian tidak menunjukkan ekspresi apapun.

“Udah sampe nih, calon mantu!”

Mendengar panggilan itu Najla hanya senyum tipis, terlihat sekali kalau ia terpaksa.

Najla lantas mengambil duduk di sebelah Arya, berhadapan dengan Julian yang diapit papa mama nya.

Menurut Najla, wanita di sisi kiri Julian nampak terlalu muda saat disandingkan dengan suaminya. Justru awalnya ia mengira itu adalah kakak perempuannya kalau beliau tidak mengenalkan dirinya sebagai mama Julian.

Ia lantas menyantap hidangan yang telah tersaji setelah Tiara–mama Julian mempersilahkannya.

Sesi makan bersama malam itu berlangsung lancar, untungnya Najla tidak jadi menjalankan rencananya yang ingin pura-pura kesurupan.

Setidak ingin itu Najla dijodohkan.

“Kalian umurnya cuma beda 2 tahun, lho! Cocok.” celetuk Arya membuat Najla berdehem mengkodenya agar tidak bicara yang tidak-tidak.

Berbeda dengan tanggapan Najla, laki-laki yang berpakaian formal di depannya justru terkekeh, “Om Arya bisa aja!”

Pria ini topengnya tebal sekali, pikir Najla.

“Berarti Najla manggilnya kakak dong.”

Najla tersedak makanannya sendiri saat Tiara berpendapat seperti itu, “Emm iya, tante, hehe.” ucapnya terpaksa seraya melirik Julian, ia dapat melihat calon suaminya itu menarik sudut bibirnya, tersenyum meledek.

Tidak tau apa yang dipikirkan laki-laki itu, yang jelas ekspresi Julian barusan berhasil membuatnya kesal.

Acara pertemuan dua keluarga itu dilanjutkan dengan dua pria paruh baya yang terus-terusan membicarakan tentang proyek, investor, kerja sama, dan pembahasan mengenai bisnis yang sungguh tidak menarik bagi Najla.

Entah perasaannya saja atau memang Julian sedang tidak dalam hubungan yang baik dengan ibunya, mereka tidak saling bicara sedikitpun sejak tadi. Malah terkesan tidak saling mempedulikan.

“Julian mau ngobrol sama Najla berdua, boleh gak om?” izinnya pada Arya.

Dalam hati Najla berharap papanya tidak mengizinkan, namun jawaban yang tak diharapkan justru keluar dari mulut Arya.

“Boleh boleh, sekalian anter pulang aja, ya, Jul?”

Najla berusaha mencari cara agar Julian tidak mengantarnya, “Papa masih lama pulangnya?”

“Masih, mau ngobrol dulu sama om Jerry.”

Akhirnya dengan pasrah Najla berpamitan pada 3 orang tua yang sepertinya telah berencana agar ia bisa berduaan dengan Julian.

“Kamu mau ngomongin apa sih, Jul?”

“Kak Jul, gak denger tadi om Arya bilang apa?” Julian meralat pertanyaan Najla dengan menekankan kata 'kak'.

Malas ribut, Najla pun setuju untuk memanggil Julian dengan sebutan kakak. Karena ia pun diajarkan untuk selalu hormat pada siapapun yang lebih tua darinya.

“Ya, mau ngomong apa tadi?”

Julian tidak menjawab sebelum benar-benar keluar dari area parkir, “Liat kan tadi papa lo sehappy apa? Awas aja nanti kalo lo kabur pas hari h!” ancamnya.

Najla termenung beberapa detik. Julian benar, papanya memang sesenang itu selama makan malam tadi. Mungkinkah ini keputusan yang tepat untuk menerima perjodohannya?

“Lagian harusnya lo tuh bangga.”

“Bangga kenapa?”

“Belum pernah pacaran kan lo? Sekalinya kenal cowok, kenalnya sama gue.”

Najla mencibir, “Jangan kepedean, di atas kamu masih ada Kenny Alvaro!” sarkasnya.

Mendengar itu, Julian yang tadi membanggakan dirinya langsung terdiam. Tidak membalas ledekan perempuan di sebelahnya.

Najla meraih benda pipih dari tas nya, hendak melihat jam.

21.46

“Aku tidur ya, kak? Nanti bangunin kalo udah di rumah.”

Tanpa menunggu respon Julian, gadis berambut lurus itu lantas mengistirahatkan matanya. Berharap Kenny Alvaro datang ke mimpinya.

Diam-diam Julian melirik, wajahnya nampak kusut dan dingin. Tidak seperti beberapa saat lalu ketika berkumpul dengan keluarganya, “Fans Kenny ternyata.


gently reminder ini hanya fiksi dan bergenre fantasi

19.45

Gadis yang mengenakan pakaian pasien itu mengerjap beberapa kali sampai netranya dapat melihat dengan jelas ruangan serba putih di sekelilingnya

“Rin?” panggil seseorang yang ia kenal sebagai Ajay Kharizma, “Erin akhirnya bangun juga kamu!” pekik seseorang itu sebelum memanggil dokter.

Erin yang masih setengah sadar kembali memejamkan matanya karena merasa masih pusing, tidak lama kemudian dokter masuk untuk memeriksa keadaannya.

Ajay di samping ranjang Erin terus tersenyum seperti orang bodoh yang senyum-senyum sendiri. Erin meliriknya dengan heran karena satu bulan kebelakang Ajay tidak pernah menunjukkan senyumannya yang seperti ini.

“Lain kali di cek dulu makanannya ya Bu, mengandung udang atau tidak. Kalau beli makanan kemasan juga jangan lupa diliat komposisinya dulu.”

Erin mengangguk paham, “Saya udah bisa pulang kan dok? Gak perlu dirawat kan ya?”

“Iya, silahkan diurus terlebih dahulu administrasinya ya.” kata dokter kemudian pamit keluar.

Setelah tersisa mereka berdua di ruangan ini, Ajay langsung meraih tangan Erin yang sedang berusaha untuk duduk.

“Kamu kenapa sih aneh banget?”

“Rin, ini aku.”

“Iya aku tau kamu itu kamu. Jangan berlebihan deh, aku cuma pingsan bukan amnesia kayak kamu.”

“Dengerin aku,” Ajay menahan bahu Erin saat ia ingin beranjak dari tempatnya, “Yang satu bulan ini sama kamu, itu bukan aku. Dia jiwa orang lain yang masuk ke tubuh aku, dan saat itu aku ada di raga orang itu. Kita tukeran tubuh sebulan lalu, waktu aku koma. Sampe sini paham?”

Erin mengangguk.

“Bagus. Nah kenapa kita tukeran tubuh itu karena pas aku koma, jiwa aku ngga ada di tubuh aku sendiri. Begitupun jiwa dia. Kita bertemu sebagai jiwa yang berkeliaran karena belum waktunya untuk bangun dari koma. Saat itu kita akhirnya temenan, saling cerita, dan akhirnya memutuskan untuk meminjam raga satu sama lain. Awalnya dia bilang, dia belum pernah ngerasain dicintai sama perempuan karena fisiknya yang lemah dan sering sakit-sakitan, jadi aku yang terharu denger cerita dia pengen bantu dengan minjemin tubuh aku. Sedangkan aku masuk ke raga dia dan merasakan gimana rasanya jadi seorang anak dengan keluarga yang lengkap dan harmonis. Perjanjian kita waktu itu cuma satu bulan karena sebenarnya dia udah gak punya banyak waktu untuk hidup. Tapi seiring berjalannya waktu, dia malah terlalu nyaman menjadi aku. Dia gak mau kembali ke raga nya dan dia mau selamanya sama kamu. Aku ya gak bisa biarin itu karena kalau itu terjadi sama aja nantinya malah aku yang menggantikan dia untuk mati. Aku udah bujuk dia berkali-kali biar mau balikin tubuh aku, tapi dia tetep nolak. Sampe akhirnya, hari ini, dia ngajak aku ketemu dan mau kembali ke tubuh aslinya.”

“Udah?”

“Hah?”

“Udah selesai belum halu nya? Kamu tuh ngaco banget dari tadi. Mana bisa tukeran jiwa kayak gitu sih? Aneh.” tukas Erin, ia langsung bangun dan berjalan keluar.

Pergerakan Erin terhenti tatkala Ajay meneriakkan kalimat yang berhasil membuat gadis itu berpikir kembali tentang cerita yang Ajay jelaskan semenit lalu.

“Aku gak akan kasih nasi goreng udang kalo dia itu aku!”

Erin membalikan badannya, menatap lurus ke arah Ajay yang masih duduk di tepi ranjang.

Lalu Ajay dengan langkah panjang menghampiri Erin, “Aku punya satu bukti yang bisa bikin kamu percaya,” katanya kemudian mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.

Sebuah surat.

“Dari dia

Erin dituntun kembali ke ranjang pasien, ia duduk membaca surat itu disana.

Dear, Erin..

Hai cantik! Kaget ya? Pertama aku mau minta maaf karena bikin kamu sakit gara-gara nasi goreng buatan aku.

Erin, aku sangat berterimakasih untuk pengalaman yang menyenangkan selama satu bulan ini. Terimakasih sudah mengizinkan aku untuk mengenal kamu sebelum aku pergi selamanya.

Erin, kamu itu cantik walaupun lagi nangis. Kamu selalu cantik, Erin. Nanti jangan ngumpet lagi kalau nangis, kamu butuh dipeluk.

Erin, maaf aku udah bohongin kamu.

Erin, namamu bagus.

Erin, aku pamit ya? Jangan kangen, Ajay mu sudah kembali.

From,

Toni

Erin meneteskan air matanya setelah membaca kalimat terakhir di surat itu.

“Sekarang dia dimana, Jay?”

Ajay tidak bisa menjawab karena saat itu, Toni—baik jiwa maupun raganya telah tiada.


gently reminder ini hanya fiksi dan bergenre fantasi

19.45

Gadis yang mengenakan pakaian pasien itu mengerjap beberapa kali sampai netranya dapat melihat dengan jelas ruangan serba putih di sekelilingnya

“Rin?” panggil seseorang yang ia kenal sebagai Ajay Kharizma, “Erin akhirnya bangun juga kamu!” pekik seseorang itu sebelum memanggil dokter.

Erin yang masih setengah sadar kembali memejamkan matanya karena merasa masih pusing, tidak lama kemudian dokter masuk untuk memeriksa keadaannya.

Ajay di samping ranjang Erin terus tersenyum seperti orang bodoh yang senyum-senyum sendiri. Erin meliriknya dengan heran karena satu bulan kebelakang Ajay tidak pernah menunjukkan senyumannya yang seperti ini.

“Lain kali di cek dulu makanannya ya Bu, mengandung udang atau tidak. Kalau beli makanan kemasan juga jangan lupa diliat komposisinya dulu.”

Erin mengangguk paham, “Saya udah bisa pulang kan dok? Gak perlu dirawat kan ya?”

“Iya, silahkan diurus terlebih dahulu administrasinya ya.” kata dokter kemudian pamit keluar.

Setelah tersisa mereka berdua di ruangan ini, Ajay langsung meraih tangan Erin yang sedang berusaha untuk duduk.

“Kamu kenapa sih aneh banget?”

“Rin, ini aku.”

“Iya aku tau kamu itu kamu. Jangan berlebihan deh, aku cuma pingsan bukan amnesia kayak kamu.”

“Dengerin aku,” Ajay menahan bahu Erin saat ia ingin beranjak dari tempatnya, “Yang satu bulan ini sama kamu, itu bukan aku. Dia jiwa orang lain yang masuk ke tubuh aku, dan saat itu aku ada di raga orang itu. Kita tukeran tubuh sebulan lalu, waktu aku koma. Sampe sini paham?”

Erin mengangguk.

“Bagus. Nah kenapa kita tukeran tubuh itu karena pas aku koma, jiwa aku ngga ada di tubuh aku sendiri. Begitupun jiwa dia. Kita bertemu sebagai jiwa yang berkeliaran karena belum waktunya untuk bangun dari koma. Saat itu kita akhirnya temenan, saling cerita, dan akhirnya memutuskan untuk meminjam raga satu sama lain. Awalnya dia bilang, dia belum pernah ngerasain dicintai sama perempuan karena fisiknya yang lemah dan sering sakit-sakitan, jadi aku yang terharu denger cerita dia pengen bantu dengan minjemin tubuh aku. Sedangkan aku masuk ke raga dia dan merasakan gimana rasanya jadi seorang anak dengan keluarga yang lengkap dan harmonis. Perjanjian kita waktu itu cuma satu bulan karena sebenarnya dia udah gak punya banyak waktu untuk hidup. Tapi seiring berjalannya waktu, dia malah terlalu nyaman menjadi aku. Dia gak mau kembali ke raga nya dan dia mau selamanya sama kamu. Aku ya gak bisa biarin itu karena kalau itu terjadi sama aja nantinya malah aku yang menggantikan dia untuk mati. Aku udah bujuk dia berkali-kali biar mau balikin tubuh aku, tapi dia tetep nolak. Sampe akhirnya, hari ini, dia ngajak aku ketemu dan mau kembali ke tubuh aslinya.”

“Udah?”

“Hah?”

“Udah selesai belum halu nya? Kamu tuh ngaco banget dari tadi. Mana bisa tukeran jiwa kayak gitu sih? Aneh.” tukas Erin, ia langsung bangun dan berjalan keluar.

Pergerakan Erin terhenti tatkala Ajay meneriakkan kalimat yang berhasil membuat gadis itu berpikir kembali tentang cerita yang Ajay jelaskan semenit lalu.

“Aku gak akan kasih nasi goreng udang kalo dia itu aku!”

Erin membalikan badannya, menatap lurus ke arah Ajay yang masih duduk di tepi ranjang.

Lalu Ajay dengan langkah panjang menghampiri Erin, “Aku punya satu bukti yang bisa bikin kamu percaya,” katanya kemudian mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.

Sebuah surat.

“Dari dia

Erin dituntun kembali ke ranjang pasien, ia duduk membaca surat itu disana.

Dear, Erin..

Hai cantik! Kaget ya? Pertama aku mau minta maaf karena bikin kamu sakit gara-gara nasi goreng buatan aku.

Erin, aku sangat berterimakasih untuk pengalaman yang menyenangkan selama satu bulan ini. Terimakasih sudah mengizinkan aku untuk mengenal kamu sebelum aku pergi selamanya.

Erin, kamu itu cantik walaupun lagi nangis. Kamu selalu cantik, Erin. Nanti jangan ngumpet lagi kalau nangis, kamu butuh dipeluk.

Erin, maaf aku udah bohongin kamu.

Erin, namamu bagus.

Erin, aku pamit ya? Jangan kangen, Ajay mu sudah kembali.

From,

Toni

Erin meneteskan air matanya setelah membaca kalimat terakhir di surat itu.

“Sekarang dia dimana, Jay?”

Ajay tidak bisa menjawab karena saat itu, Toni—baik jiwa maupun raganya telah tiada.


Vallen turun dari taksi dengan menenteng plastik bubur ayam dan obat yang ia beli sebelum pergi ke kos-kosan mantan kekasihnya ini.

“Gue udah di depan.” send

Tidak lama setelah mengirim pesan singkat itu, Evan menghampiri Vallen yang berdiri di depan gerbang kos-kosannya.

“Len? Masuk dulu.”

“Gue mau langsung pulang, ini bubur sama obatnya udah gue beli.”

“Mampir dulu lah, kamu kan baru sampe,” Evan menahan tangan Vallen yang sudah ingin memesan taksi online, “Nanti pulangnya aku anter.”

Mendengar sebutan 'aku-kamu' dari Evan rasanya agak canggung, namun tidak bohong juga kalau Vallen sedikit merindukan berbincang begini dengan laki-laki berkaus abu ini.

“Gue cuma nemenin lo makan sama minum obat, abis itu gue pulang.” tukas Vallen yang dibalas anggukan.

Keduanya berjalan di lorong kos ditemani tatapan heran penghuni kos lainnya. Tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Mungkin bertanya-tanya gadis mana lagi yang kali ini dibawa Evan, entahlah.

“Duduk dulu.” titah Evan setelah memasuki ruangan yang disebut kamar kos itu.

Vallen menduduki kursi kayu di samping ranjang sembari menyiapkan bubur dan obat untuk laki-laki yang kini sedang mengambil air minum, “Sekarang sering balik ke kos ya?” tanyanya setelah menyadari betapa berantakannya tempat ini.

Biasanya Evan memang jarang menempati kos-nya, ia hanya akan mampir kalau benar-benar sedang ingin saja. Misalnya saat banyak tugas yang mengharuskan ia mengerjakan dengan fokus atau saat sedang menyiapkan projek kampus dan ia harus bolak-balik ke kampusnya.

“Iya, biasa, mahasiswa akhir.” kata Evan dibarengi tawanya yang jujur sudah lama tidak Vallen dengar.

Evan mengambil posisi di atas tempat tidurnya, duduk bersila. Lalu tanpa disuruh Vallen refleks memajukan tangannya, hendak memberikan suapan pertama untuk Evan.

Menangkap ekspresi kaget Evan, ia memundurkan sendoknya kembali, “Sorry, mau makan sendiri?”

Alih-alih mengangguk atau bilang 'iya', laki-laki yang rambutnya acak itu malah membuka mulutnya sambil bersuara, “Aaa!”

Kekehan kecil Vallen terdengar, “Bayi banget!” katanya gemas.

Di suapan ketiga Evan terlihat mengunyah dengan ogah-ogahan, tidak nafsu mungkin.

“Gak enak ya?”

“Gak ada rasanya.”

“Tetep harus habis loh! Abis ini mau minum obat.”

“Siap komandan!”

Tawa renyah kembali menggema di ruangan yang luasnya tidak seberapa ini.

Kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya mereka berinteraksi—lagi setelah bertengkar dan memutuskan hubungan via chat.

Keduanya saling melempar pandangan rindu, rindu bertemu dan rindu berbincang.

Evan bahkan berhenti mengunyah padahal gumpalan nasi lembek itu masih tinggal di rongga mulutnya.

Seperti tidak ada hari esok, mereka sama-sama menelisik wajah satu sama lain seolah tidak ingin berhenti.

Sedetik kemudian mual yang tidak diundang tiba-tiba mengganggu momen itu.

“Mau muntah.”

Vallen langsung mengambil plastik bekas bubur yang ia bawa, menadahkan plastik itu di depan mulut Evan agar ia memuntahkan isi perutnya di sana.

Evan menjatuhkan tubuhnya lemas, ia merengek, “Udah ah makannya, mau langsung minum obat.”

“Iya sebentar ya,”

Melihat situasinya sepertinya Vallen harus lebih lama disini, ia tidak ingin nanti Evan sendirian.

Vallen mentransfer uang ke Nahar sebagai pengganti McD yang ia janjikan pada teman-temannya. Ia juga langsung menelepon Nahar, mengabari kalau dirinya tidak bisa bergabung dengan pertemuan mereka.

Selesai dengan itu, Vallen kembali 'mengurusi' bayi besar yang sekarang sudah mengganti kausnya karena terkena muntahan.

Ia dengan cekatan memberikan 2 tablet obat yang harus diminum Evan.

“Kamu mau pulang?”

“Kamu mau aku pulang?

Evan menggeleng.

“Ya udah aku stay.”


kinda mature but it's okay hshshs

Jam dinding sudah mengarah ke angka 7 dengan jarum pendek menunjuk angka 15.

Vallen masih setia menemani Evan yang sudah pulas sejak 30 menit lalu.

Ia bangun dari duduknya setelah merapikan kamar Evan yang berantakan, mendekat ke arah Evan ingin membetulkan selimutnya yang tersingkap.

Dipandanginya wajah teduh Evan yang terlihat capek. Bibir pucat dan kantung matanya yang jelas seperti mengatakan kalau lelaki ini sedang di titik terlelahnya.

Lelah dengan kuliahnya, lelah dengan keluarganya, lelah dengan dunianya.

Melihat Evan seperti ini rasanya Vallen tidak percaya kalau laki-laki yang telah menyakiti hatinya adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang kini secara tiba-tiba membuka matanya.

Evan menangkap basah Vallen yang tangannya hampir terulur ingin merapikan rambut mantan pacarnya, “Sini,” katanya dengan suara serak karena tenggorokannya sedang radang.

Entah dapat keberanian dari mana, Vallen menuruti yang diminta Evan. Dengan percaya diri gadis itu masuk ke dalam selimut tebal yang sesaat kemudian telah membungkus tubuh keduanya.

Evan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Vallen, mendekatkan wajahnya ke ceruk leher gadis itu, “Wangi, i miss your sweet smell.

Vallen senyum tertahan walaupun Evan tidak melihat ekspresi itu karena posisinya yang membelakangi.

“Tidur, Evan.”

Untuk beberapa menit ke depan keduanya sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing. Tidak tau apa yang sedang mereka pikirkan.

Evan terpejam namun tidak benar-benar tidur. Sedangkan Vallen? Boro-boro tidur, mengatur detak jantungnya saja kesulitan.

“Vallen,”

Yang dipanggil hanya berdeham.

“Aku minta maaf.” “I'm sorry for being mean to you.

Tidak ada respon dari lawan bicaranya, Evan mendadak memutar tubuh Vallen agar berhadapan dengannya.

“Vallen,” “I miss calling your name,“ “I miss our hugs,” “I miss you, Vallen.

Vallen menunduk, mengindari tatapan Evan yang mengintimidasi, “Jangan gini.”

“Kenapa?”

Vallen hendak bangkit dari posisinya namun kesulitan karena Evan menahan, “Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang berbeda. Terdengar lebih tegas.

Merasa ada yang tidak beres, Vallen semakin berontak ingin bangun, “Aku mau pulang, lepastin.” pintanya dengan suara bergetar sambil berusaha menyingkirkan cengkraman Evan di bahunya.

You can't.

“Evan, kenapa sih?!”

“Kamu yang kenapa!”

Vallen tersentak karena belum sempat mengatur nafasnya, tahu-tahu Evan sudah berada di atasnya.

Belum sempat mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba pintu kosan didobrak sampai menimbulkan suara yang cukup keras.

Lalu tanpa berpikir dua kali Vallen langsung berteriak, membuat suara dobrakan pintu semakin cepat dan brutal.

Brakk!

Jagat hampir sempoyongan setelah mengerahkan tenaganya untuk membuka paksa pintu itu, “Anjing!”

Shit!” Evan melepaskan Vallen yang langsung lari ke arah Kesya. Ia dengan wajah sok jagoannya itu menghampiri Darrel yang berdiri paling depan.

“Lo sem–”

Bugh!

Satu bogem mentah melayang ke wajah tampan Evan.

Nahar pelakunya.

Semua yang ada di sana terkejut karena mereka tidak merencanakan ini sebelumnya.

Evan tersungkur ke lantai.

“Evan!”

Reihan menahan Vallen yang sudah ingin menghampiri laki-laki yang sudut bibirnya berdarah itu, “Bawa keluar dulu, Kes.” katanya pada Kesya.


Karena tidak sanggup menceritakan secara langsung, Kesya memberikan buku harian Raya setelah Vallen sudah cukup tenang.

Ia membiarkan Vallen membacanya dalam diam.

Diam-diam kaget, diam-diam menangis.

Setelah sampai pada halaman terakhir, menunduk menutupi wajah dengan kedua tangannya.

Tangis dan penyesalannya Vallen tumpahkan semua saat itu juga.

Kesya yang tidak tega melihatnya langsung memeluknya, ikut menangis.

Tangisan Vallen semakin menjadi setelah sadar kalau Kesya bahkan tidak pernah membencinya. Karena perempuan itu kini tengah mengelus-elus punggungnya memenangkan.

Vallen mengucapkan maaf berkali-kali karena merasa se-bersalah itu terhadap apa yang ia lakukan di masa lalu.

Dirinya merasa se-bodoh itu karena tidak memahami sahabatnya—Raya di masa lalu.

Lalu tiba-tiba Vallen berdiri dengan mata berapi-api, kembali memasuki kamar kos Evan dengan langkah panjang.

Penghuni kos yang lain mulai mengerubungi kamar itu, menyebabkan Vallen tidak sengaja menabrak beberapa orang yang ia lewati.

Di dalam sana, Evan tengah dipojokkan oleh keempat laki-laki yang ia sebut 'sahabat'. Wajahnya masih tampan, menandakan mereka tidak main hakim sendiri terhadap Evan.

“Brengsek!”

Plak!

“Bajingan gila!”

Plak!

“LO PIKIR LO SECAKEP APA, HAH?!”


Kalinda's POV

Tiga hari lalu Tegar baru mengabari kalau aku diundang ke acara makan malam yang diadakan oleh petinggi di agensinya. Walaupun sudah tau lebih dulu dari Dito, aku tidak mengatakannya agar ia tidak merasa 'dilangkahi'.

“Oke, gue otw” “Tunggu di halte depan apart, gue males turun dari mobil

Setelah mendapat balasan voice note dari Tegar, aku menyambar blazer berwarna senada dengan inner yang kukenakan.

Aku tau laki-laki itu memang musisi yang sedang naik daun saat ini, tapi bukankah tidak etis menyuruh seorang wanita menunggu di halte saat dirinya masih mampu berjalan ke gedung apartemenku?

Kurang lebih dua bulan kami telah menjalin hubungan yang didasari atas 'pengalihan isu' dari skandal salah satu selebriti senior di agensinya. Itu berarti tersisa dua bulan lagi aku dan Tegar menjalani ke pura-pura an tersebut.

Kami berdua punya waktu satu bulan untuk memamerkan kepalsuan kami dan satu bulan lagi untuk menunjukkan kerenggangan hubungan yang tidak pernah benar-benar terjadi ini. Itu tertulis pada kontrak yang telah ditandatangani olehku dan Tegar.

tiiin tiin!

Suara klakson yang cukup nyaring menyadarkanku , wajah laki-laki yang tadi menjadi tokoh utama lamunanku kini terlihat dari kaca mobil yang hanya diturunkan setengah, “Masuk, Lin.” titahnya tanpa keluar dari mobil.

Huh! Benar-benar tidak etis. Untung saja dia hanya pacar bohongan.

Jarak antara apartemenku dengan lokasi dinner hari ini katanya cukup jauh, oleh karena itu aku membawa paperbag berisi beberapa makanan ringan untuk mengganjal perut.

“Kalo mau ambil aja.” tawarku yang hanya dibalas deham kecil oleh pria berkemeja hitam ini.

Rasanya aku ingin menegur Tegar atas sikapnya yang tidak sopan menurutku. Karena normalnya respon orang saat ditawari sesuatu itu adalah berterimakasih lalu kalaupun ingin menolak, maka tolak dengan baik-baik.

Sekali lagi, untung saja dia hanya pacar bohongan.

Aku berjanji tidak ingin berurusan lagi dengan laki-laki ini setelah kontrak berakhir.

Daripada meluapkan emosiku, aku memilih untuk berselancar di instagram. Melihat snapgram beberapa teman dan sedikit menggulir laman explore.

Merasa cukup, aku berpindah ke profil akun milikku. Menampilkanfeeds instagram yang beberapa bulan ini dipenuhi postingan kedekatan aku dan Tegar.

Sebentar lagi foto-foto itu akan ku hapus, atau ku arsip saja mungkin? Entahlah. Rasanya agak berat untuk menghilangkan foto bersamanya.

Astaga Alin! Apa yang barusan aku rencanakan?

Beberapa menit lalu aku sudah kesal dan berjanji untuk tidak mau berurusan dengan Tegar lagi, kenapa sekarang malah merasa tidak ingin kehilangan momen dengannya?

Aku mendecak menyesali pembicaraan monolog barusan.

“Kenapa sih? Ditagih rentenir?”

“Sembarangan!”

Akhirnya kami bersuara setelah hampir 10 menit saling diam.

“Mau permen dong, Lin. Tolong bukain,”

Melihat aku yang sedang mengulum permen, mungkin dia juga ingin merasakan manisnya gumpalan gula ini. Aku mengambil satu permen gagang dari dalam paperbag dan membuka bungkusnya.

Tegar menoleh dengan mulut menganga namun matanya masih mengarah ke jalan, aku pun refleks menyuapkan permen cokelat ini padanya.

Thank you!

Aku hanya mengangguk walaupun tau dia tidak melihat anggukanku.

“Masih lama gak sih?”

“Lima menit lagi kalo gak macet.”

Aku bersorak, “Yes dikit lagi!”

Sialnya saat mobil Tegar berbelok ke pertigaan jalan, kemacetan sudah menyambut kami.

“Dih, macet!”

Kami bertatapan kemudian saling melempar tawa karena sebelumnya sangat optimis akan sampai di lokasi sebentar lagi.

Tegar mengambil ponselnya, mencari satu kontak untuk dihubungi.

“Halo? Gue sama Alin telat dikit nih kayaknya, di jalan macet,” “Iya ini udah deket tapi macet, bang,” “Emang udah rame?” “Ohh iya yaudah kalo ada yang nanyain gue bilang aja udah di jalan,” “Iya siap.”

Tegar menyudahi panggilannya dengan seseorang yang ia panggil 'bang' itu.

“Kata manager gue disana udah rame.”

“Gapapa kita telat?”

“Santai.”

Kami kembali saling diam karena tidak ada pembahasan apa-apa lagi.

Mengingat kami tidak pernah memiliki interaksi apapun sebelum berita kencan itu dipublish, aku dan dia biasanya memang jarang mengobrol sekalipun sedang berduaan—di dalam mobil.

Setelah bermenit-menit berlalu akhirnya kami berdua tiba di restauran tujuan. Pasalnya tempat ini telah disewa agar acara malam ini tidak diketahui publik dan hanya pihak yang diundang saja yang hadir.

Tidak seperti sebelumnya, Tegar menghentikan pergerakanku saat hendak membuka pintu. Ia keluar lebih dulu lalu membukakan akses keluar ini untukku.

Pencitraan.

“Harus keliatan kayak pasangan beneran,” bisiknya.

Aku merasa miris setelah kembali menyadari kepalsuan hubungan kami. Beberapa orang mungkin akan bahagia tak terkira saat berkencan dengan seorang pria yang ketampanannya di atas rata-rata ini.

Aku pun awalnya begitu, namun setelah beberapa kali ngedate dengannya, aku sadar kalau tidak seharusnya aku bahagia dengan laki-laki yang suka berbuat seenaknya seperti Tegar.

Sebetulnya tidak banyak yang patut disesali selama berkencan dengannya. Namun kadang sifat aslinya muncul saat aku mulai sedikit tertarik padanya.

Munafik kalau aku bilang tidak menaruh hati pada seorang Tegar. Parasnya tampan, suaranya indah, jalannya tegap, dan jujur dia kadang menunjukan perhatiannya melalui nasehat singkat mengenai aku yang over worked.

Setelah berbalas pesan entah dengan siapa, Tegar merapikan kemejanya, “Meja kita di lantai dua, Lin.” katanya kemudian tanpa persetujuanku meraih telapak tanganku dan menautkan jarinya di antara jari-jariku.

Akting, seperti biasa.

Langkah Tegar membawaku ke kumpulan orang-orang yang wajahnya familiar karena sering kulihat di televisi dan sosial media.

Setelah menyapa, kami mengambil tempat duduk yang tersisa lalu fakta bahwa aku dan Tegar adalah tamu yang datang paling akhir membuat kami harus minta maaf karena terlambat.

Aku memperhatikan sekeliling, ternyata banyak selebriti yang bukan bagian dari agensi yang sama dengan Tegar ikut hadir.

Tidak tau kenapa mereka bisa diundang, mungkin nasibnya sama sepertiku? Menjadi pacar pura-pura atau ada diantaranya yang memang berkencan sungguhan.

Makan malam berlangsung dengan diselingi gosip-gosip yang sama sekali tidak menarik atensiku. Selain karena tidak suka bergosip, statusku sebagai model pendatang baru membuatku segan untuk sekedar ikut tertawa bersama selebriti-selebriti senior ini.

Saat tidak ada yang mengajakku bicara maka aku hanya akan diam.

Tegar sepertinya tidak menyadari aku yang diselimuti kecanggungan ini, ia terlalu asik berbincang dengan salah satu penyanyi wanita yang kalau tidak salah wanita ini mendapat gelar solois terbaik tahun lalu.

Aku sengaja makan perlahan karena kalau piringku sudah kosong aku tidak tau harus melakukan kesibukan apa lagi.

Kemudian aku melihat beberapa orang mulai memisahkan diri tanpa pamit, sepertinya aku harus melakukan hal yang sama.

“Sayang, aku mau ke toilet sebentar ya.”

Agak geli saat harus memanggil Tegar dengan sebutan 'sayang', namun itulah yang sudah kami sepakati di perjalanan tadi.

“Oh iya, aku juga mau gabung sama temenku disana. Nanti kamu nyusul aja ya?”

Aku mengangguk kemudian kami berpisah.

Bukan tanpa alasan aku pergi ke toilet, warna merah di bibirku agak pudar setelah melahap santapan tadi dan aku berniat touch up disana.

Letak toilet yang agak di pojok membuatku jalan cepat karena tidak ingin berpapasan dengan seseorang yang mengharuskanku mengobrol dengan seseorang tersebut.

Aku langsung mengeluarkan lipstik dan mengoleskannya di bibir setelah sampai di toilet. Agar tidak merusak citra, aku juga menyapa beberapa aktris, penyanyi, ataupun model yang kutemui.

“Hai?”

Aku melempar pandangan ke sekeliling, hanya aku dan wanita berambut ikal ini yang tersisa disini.

“Aku nyapa kamu, lho!” ucap wanita yang kuketahui sebagai aktris yang sering muncul di film layar lebar, Shafira Putri.

“Oh, halo kak!” kataku, refleks menyodorkan tangan mengajaknya bersalaman.

Dengan ramah Shafira meraih jabatan tanganku, “Kamu Kalinda yang pacaran sama Tegar ya?”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Kalo boleh tau, beneran pacaran atau....”

Ucapannya menggantung seperti enggan menyebutkan opsi yang lain—settingan.

Aku agak ragu menjawabnya, haruskan aku jujur?

“Eh sorry gak usah gugup gitu,” sepertinya Shafira menangkap ekspresi ragu ku, “Kamu kenal Jessy Amartha gak?” tanyanya.

Jelas aku tau, nama Jessy Amartha banyak muncul di majalah fashion, sering menghadiri event yang diselenggarakan desainer ternama, dan tidak jarang pula aku menjadikan foto-fotonya sebagai referensi untuk pemotretanku.

“Aku tau tapi kita belum pernah kenalan secara langsung.”

Shafira tersenyum, “Dia itu temenku. Tegar sama Jessy kan, sempet backstreet. Mereka pacaran diem-diem hampir setahun. Terus putus nggak lama dari berita pacaran kalian,”

Terkejut tentu saja, aku kira Tegar tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita karena dia sangat kaku padaku.

“Makanya aku tanya, kalian beneran pacaran atau settingan doang?” tanyanya, to the point.

Belum sempat aku menjawab, Shafira kembali bersuara, “Soalnya setauku Tegar pernah bilang ke Dito kalo dia gak mau lagi pacaran sama model. Katanya sih, trauma gara-gara diselingkuhin sama Jessy.”

Sungguh, aku tidak penasaran sedikitpun tentang itu.

“Kalian settingan doang kan ya?”

Dia yang bertanya dia juga yang menjawab. Aku bahkan belum mengucap sepatah katapun, Shafira sudah melenggang pergi setelah tersenyum seperti meremehkan.

Sial. Apa maksud senyumnya barusan? Dan kenapa dia harus membeberkan hal yang tidak aku tanya?

Ah! Apa ini adalah privasi Tegar yang pernah disinggung Dito dulu? Entahlah, aku tidak mau ambil pusing.

Dengan tergesa-gesa aku menyudahi kegiatanku. Suasana hatiku sudah tidak enak dan ingin cepat pulang saja.

Aku segera menuju ke meja yang tadi ingin didatangi Tegar, meja bar dengan 6 kursi yang berjejer membuat Tegar tidak melihat kedatanganku karena posisinya yang membelakagiku.

Ada Dito yang belum sempat kusapa sejak tadi dan tak kusangka Shafira juga ada di tengah pembicaraan mereka. Iya, Shafira satu-satunya perempuan disini—sebelum ada aku tentunya.

“Tapi ada gak sih moment yang bikin lo terpesona sama dia? Alin kan cantik nih, masa gak pengen lo pacarin beneran sih!” celetuk Shafira, membuat langkahku terhenti tepat 5 langkah di belakang Tegar.

“Pertanyaan yang gak harus dijawab nih, jelas nggak ada! Cantik sih cantik, tapi dia jauh banget dari tipe gue. Alin juga kayak cewek ganjen lah. Sana sini mau. Langsung keliatan dari awal dia setuju tanpa penolakan waktu agensinya nunjuk dia buat disetting pacaran sama gue.”

Deg!

Aku tertegun mendengar pengakuan panjang yang terlontar dari mulut Tegar, laki-laki yang menjadi tempatku mencurahkan cerita setelah lelah bekerja, laki-laki yang dengan senang hati menerima panggilanku di tengah malam saat aku terbangun karena mimpi buruk, laki-laki yang memberikan perhatiannya dengan bertanya kabar lalu tiba-tiba mengirim makanan yang bahkan tidak aku minta.

“Eh, hai, Alin!” Shafira menoleh, menyapa diriku untuk kedua kalinya. Membuat empat pria disana—termasuk Tegar dan Dito ikut menoleh bersamaan.

Aku memberanikan diri menatap mata Tegar, mimik wajahnya terlihat seperti maling yang tertangkap basah.

Tanpa niat bergabung atau sekedar menyapa balik, aku dengan ekspresi datarku langsung balik badan hendak meninggalkan tempat ini.

Aku marah, kecewa, juga sedih mendengar jawaban Tegar atas pertanyaan Shafira.

Bukan karena pengakuan tidak langsung darinya yang mengatakan bahwa ia tidak benar-benar ingin menjalin hubungan denganku, melainkan karena ucapannya yang terdengar sangat merendahkan.

Pandangan Tegar terhadapku selama ini ternyata seburuk itu. Aku seburuk itu di matanya.

Bolehkan, aku sakit hati?


Tegar dengan 2 plastik kresek di tangannya langsung masuk setelah perempuan di dalam sana memberi pin smart lock apartemen padanya.

Sedikit khawatir karena pada dasarnya Tegar memang mudah simpatik dengan keadaan orang disekitarnya.

Ngomong-ngomong, ia cukup tersentuh saat Kalinda tidak menganggapnya orang asing.

Sebagai dua orang yang tidak saling mengenal sebelumnya, sudah seharusnya Kalinda berhati-hati dengan Tegar bukan? Tapi gadis ini malah dengan senang hati berbagi pin apartemennya.

“Gue disiniii!” teriak Alin dari dalam kamarnya.

Tegar menyahuti dengan nada serupa, “Keluaaar!”

“Masuk ajaa, Tegar!”

“Keluaaar, Alin!”

“Gue lemes.”

Kalau Tegar orang jahat, bisa saja ia betulan masuk dan berbuat macam-macam. Tapi ia masih cukup waras untuk tidak melakukan itu.

“5 detik lo ngga keluar, bubur sama obatnya gue bawa pulang nih!”

Alin tidak menimpali.

“Satu... Dua... Tiga...”

Masih belum ada tanda-tanda Alin akan keluar.

“Empat...”

Kali ini Tegar memperlambat hitungannya.

“Lin?? Beneran gak mau keluar?”

“Oke, li...”

I'M HERE!!!” Alin keluar sebelum Tegar selesai menghitung dengan penampilan yang sangat bentrok dengan imagenya, “Gue nyariin iket rambut gak ketemu, anjir!”

Tegar agak kaget namun tetap berusaha agar terlihat biasa saja dengan pemandangan yang ia lihat saat ini.

Bagaimana tidak kaget?? Biasanya Tegar bertemu Alin dengan penampilan yang 'layak', tidak seperti hari ini.

Daster batik dengan warna yang sudah pudar dan belel, rambutnya yang dibiarkan terurai acak, juga wajahnya yang polos tanpa riasan membuat sosok model dari Alin tidak terpancar.

“Lo kerja sampingan jadi pembantu ya?” sarkas Tegar.

“Mulut lo kayak bukan mulut manusia beradab!” Alin duduk bersila di lantai, sedangkan Tegar duduk di sofa.

Tidak perlu, disuruh Alin langsung menyambar bubur ayam pesanannya, ditaruh di lantai lalu ia makan dengan kepala yang menghampiri sendok.

Tegar menggeleng tidak percaya, Kalinda yang ia kenal biasanya akan duduk anggun dan tegak.

Risih melihat rambut Alin yang berantakan dan menghalangi akses makan gadis itu, Tegar mengambil karet gelang bekas kerupuk bubur kemudian mengikat rambut Alin tanpa meminta izin lebih dulu pada si pemilik rambut.

Bukannya berterimakasih, Alin malah mengomel, “Aduhhh, Tegar! Nanti rambut gue rusak kalo diiket pake karet, gue gak level sama karet gelang tau!”

Tatapan julid Tegar sangat mengintimidasi tatkala bola mata pria jangkung itu seolah menscan penampilan Alin dari atas sampai bawah, “Gak usah sok deh, daster lo tuh warnanya luntur!”

Seperti baru sadar dari sesi hipnotis, Alin yang sempat terintimidasi langsung memperhatikan dasternya dan ia tidak bisa menyanggah omongan Tegar barusan.

Selanjutnya mereka berdua saling diam, Alin dengan buburnya dan Tegar memilih menyibukkan diri di dapur.

Setelah beberapa menit, Tegar kembali sambil membawakan segelas air untuk Alin, “Jangan dilama-lamain makan buburnya, gue sibuk nih!”

“Lho yang bilang mau ditemenin siapa? Kalo sibuk, ya sana pulang!”

Mata Tegar menyipit, “Gini nih, udah dibaikin malah ngelunjak. Tau gitu gue gak usah dateng aja tadi.” katanya sinis.

“Ih jangan gitu dong,” nyali Alin ciut, bahkan nada suaranya ikut menciut, “Gue kan lagi sakit, lo jangan galak-galak bisa gak sih?”

Helaan napas panjang keluar dari mulut Tegar, “Iya iya, maaf.”

Thanks airnya!”

“Bisa minum obat tablet kan?” tanya Tegar, kali ini dengan intonasi yang bersahabat.

Alin yang sedang mengunyah suapan terakhir hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya.

Namun segera setelah itu Alin langsung merutuki dirinya karena mencoba untuk terlihat keren dengan menenggak satu obat tablet berbentuk lingkaran.

Alin biasanya jarang sakit, oleh karena itu ia jarang dan agak kesulitan minum obat. Alhasil obat yang belum turun ke tenggorokan itu keluar lagi karena lidahnya merasakan pahit dari obat tersebut.

Tegar mendecak tanpa berkomentar, ia ke dapur lagi dan kembali dengan 2 sendok makan.

Diambilnya obat tablet yang harus Alin minum, lalu ditumbuk menggunakan dua sendok yang ia ambil. Setelah diteteskan sedikit air, Tegar langsung menyuapkan obatnya pada Alin.

“Minum, langsung telen jangan ditahan.”

Berhasil.

Alin hanya memerhatikan Tegar yang sibuk membereskan kekacauan yang dibuatnya. Membereskan bekas makannya, merapikan obatnya, dan terakhir ia membersihkan pinggiran mulut Alin yang tadi terkena muntahan obat (menggunakan tissue tentu saja).

“Makasih.”

“Lo hutang budi sama gue!”

Alin yang tadi memasang wajah malaikat langsung merubah eskpresinya.

“Kenapa? Gak seneng??” ledek Tegar sembari mengenakan jaketnya, bersiap pulang.

“Karena gue lagi baik hati dan gak mau marah-marah, kali ini lo aman dari amukan gue.”

“Terserah, gue mau langsung cabut.”

Alin mendengus, “Pacarnya lagi sakit bukannya ditemenin malah ditinggal.” sindirnya yang langsung dihadiahi sentilan di dahinya.

“Abis ini lo tidur, obatnya bikin ngantuk. Kalo mau mandi dulu, mandi pake air anget. Ganti bajunya, pake baju tebel. Hmm apalagi ya.. Oh iya, kalo laper lagi, tadi di dapur gue udah masak sayuran lo yang di kulkas, tinggal dipanasin aja. Terus kalo sakitnya makin parah lo telfon gue.”

“Udah?”

Tegar mengangguk.

“Peluk dulu dong, pacarku yang perhatian!” rayu Alin sambil memamerkan senyumnya yang terkesan sok imut.

Tegar mendekatkan tubuhnya tapi bukan untuk memeluk, “Know your limit, pacar pura-pura ku!” bisiknya.


Tegar dengan 2 plastik kresek di tangannya langsung masuk setelah perempuan di dalam sana memberi pin smart lock apartemen padanya.

Sedikit khawatir karena pada dasarnya Tegar memang mudah simpatik dengan keadaan orang disekitarnya.

Ngomong-ngomong, ia cukup tersentuh saat Kalinda tidak menganggapnya orang asing.

Sebagai dua orang yang tidak saling mengenal sebelumnya, sudah seharusnya Kalinda berhati-hati dengan Tegar bukan? Tapi gadis itu malah dengan senang hati berbagi pin apartemennya.

“Gue disiniii!” teriak Alin dari dalam kamarnya.

Tegar menyahuti dengan nada serupa, “Keluaaar!”

“Masuk ajaa, Tegar!”

“Keluaaar, Alin!”

“Gue lemes.”

Kalau Tegar orang jahat, bisa saja ia betulan masuk dan berbuat macam-macam. Tapi ia masih cukup waras untuk tidak melakukan itu.

“5 detik lo ngga keluar, bubur sama obatnya gue bawa pulang nih!”

Alin tidak menimpali.

“Satu... Dua... Tiga...”

Masih belum ada tanda-tanda Alin akan keluar.

“Empat...”

Kali ini Tegar memperlambat hitungannya.

“Lin?? Beneran gak mau keluar?”

“Oke, li...”

I'M HERE!!!” Alin keluar sebelum Tegar selesai menghitung dengan penampilan yang sangat bentrok dengan imagenya, “Gue nyariin iket rambut gak ketemu, anjir!”

Tegar agak kaget namun tetap berusaha agar terlihat biasa saja dengan pemandangan yang ia lihat saat ini.

Bagaimana tidak kaget?? Biasanya Tegar bertemu Alin dengan penampilan yang 'layak', tidak seperti hari ini.

Daster batik dengan warna yang sudah pudar dan belel, rambutnya yang dibiarkan terurai acak, juga wajahnya yang polos tanpa riasan membuat sosok model dari Alin tidak terpancar.

“Lo kerja sampingan jadi pembantu ya?” sarkas Tegar.

“Mulut lo kayak bukan mulut manusia beradab!” Alin duduk bersila di lantai, sedangkan Tegar duduk di sofa.

Tidak perlu disuruh, Alin sudah menyambar bubur ayam pesanannya, ditaruh di lantai lalu ia makan dengan kepala yang menghampiri sendok.

Tegar menggeleng tidak percaya, Kalinda yang ia kenal biasanya akan duduk anggun dan tegak.

Risih melihat rambut Alin yang berantakan dan menghalangi akses makan gadis itu, Tegar mengambil karet gelang bekas kerupuk bubur kemudian mengikat rambut Alin tanpa meminta izin lebih dulu pada si pemilik rambut.

Bukannya berterimakasih, Alin malah mengomel, “Aduhhh, Tegar! Nanti rambut gue rusak kalo diiket pake karet, gue gak level sama karet gelang tau!”

Tatapan julid Tegar sangat mengintimidasi tatkala bola mata pria jangkung itu seolah menscan penampilan Alin dari atas sampai bawah, “Gak usah sok deh, daster lo tuh warnanya luntur!”

Seperti baru sadar dari sesi hipnotis, Alin yang sempat terintimidasi langsung memperhatikan dasternya dan ia tidak bisa menyanggah omongan Tegar barusan.

Selanjutnya mereka berdua saling diam, Alin dengan buburnya dan Tegar memilih menyibukkan diri di dapur.

Setelah beberapa menit, Tegar kembali sambil membawakan segelas air untuk Alin, “Jangan dilama-lamain makan buburnya, gue sibuk nih!”

“Lho yang bilang mau ditemenin siapa? Kalo sibuk, ya sana pulang!”

Mata Tegar menyipit, “Gini nih, udah dibaikin malah ngelunjak. Tau gitu gue gak usah dateng aja tadi.” katanya sinis.

“Ih jangan gitu dong,” nyali Alin ciut, bahkan nada suaranya ikut menciut, “Gue kan lagi sakit, lo jangan galak-galak bisa gak sih?”

Helaan napas panjang keluar dari mulut Tegar, “Iya iya, maaf.”

Thanks airnya!”

“Bisa minum obat tablet kan?” tanya Tegar, kali ini dengan intonasi yang bersahabat.

Alin yang sedang mengunyah suapan terakhir hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya.

Namun segera setelah itu Alin langsung merutuki dirinya karena mencoba untuk terlihat keren dengan menenggak satu obat tablet berbentuk lingkaran.

Alin biasanya jarang sakit, oleh karena itu ia jarang dan agak kesulitan minum obat. Alhasil obat yang belum turun ke tenggorokan itu keluar lagi karena lidahnya merasakan pahit dari obat tersebut.

Tegar mendecak tanpa berkomentar, ia ke dapur lagi dan kembali dengan 2 sendok makan.

Diambilnya obat tablet yang harus Alin minum, lalu ditumbuk menggunakan dua sendok yang ia ambil. Setelah diteteskan sedikit air, Tegar langsung menyuapkan obatnya pada Alin.

“Minum, langsung telen jangan ditahan.”

Berhasil.

Selanjutnya Alin hanya memerhatikan Tegar yang sibuk membereskan kekacauan yang dibuatnya. Membereskan bekas makannya, merapikan obatnya, dan terakhir ia membersihkan pinggiran mulut Alin yang tadi terkena muntahan obat (menggunakan tissue tentu saja).

“Makasih.”

“Lo hutang budi sama gue!”

Alin yang tadi memasang wajah malaikat langsung merubah eskpresinya.

“Kenapa? Gak seneng??” ledek Tegar sembari mengenakan jaketnya, bersiap pulang.

“Karena gue lagi baik hati dan gak mau marah-marah, kali ini lo aman dari amukan gue.”

“Terserah, gue mau langsung cabut.”

Alin mendengus, “Pacarnya lagi sakit bukannya ditemenin malah ditinggal.” sindirnya yang langsung dihadiahi sentilan di dahinya.

“Abis ini lo tidur, obatnya bikin ngantuk. Kalo mau mandi dulu, mandi pake air anget. Ganti bajunya, pake baju tebel. Hmm apalagi ya.. Oh iya, kalo laper lagi, tadi di dapur gue udah masak sayuran lo yang di kulkas, tinggal dipanasin aja. Terus kalo sakitnya makin parah lo telfon gue.”

“Udah?”

Tegar mengangguk.

“Peluk dulu dong, pacarku yang perhatian!” rayu Alin sambil memamerkan senyumnya yang terkesan sok imut.

Tegar mendekatkan tubuhnya tapi bukan untuk memeluk, “Know your limit, pacar pura-pura ku!” bisiknya.


Kesya kembali ke kamar tidur Raya setelah mengambil minum, entah kenapa ia tiba-tiba ingin tidur di kamar bernuansa biru ini.

Dulu, beberapa bulan yang lalu dirinya sering tidur disini saat hujan, saat mimpi buruk, saat ingin bercerita banyak, bahkan tanpa harus ada alasan pun Kesya tidak segan untuk mendatangi kamar Raya dan mereka akan terjaga semalaman.

Raya Anjani, remaja berparas jelita itu seharusnya ada disini mendengarkan keluhan Kesya, keluhan yang sudah dipendam lama olehnya. Namun kenyataan bahwa Raya sudah lama meninggalkan dunia yang kejam ini menyadarkan Kesya kalau dirinya memang sedang sendirian.

Raya akan dengan lembut mengatakan “Kamu gak salah kok,” atau “Kalau mereka nakalin kamu lagi, bilang sama aku,” atau “Mami kamu lagi sibuk, sama aku aja yuk jalan-jalannya?”

Bahkan sekarang Kesya samar-samar dapat mendengar suara Raya yang menenangkan itu.

Ia merebahkan dirinya di atas ranjang, menyapa sprei bunga-bunga yang terasa dingin karena lama tidak ditempati pemiliknya.

Matanya menilik satu persatu benda yang ada disana, lemari kayu berisi pakaian yang didominasi rok dan blouse, rak tempat koleksi novelnya dipajang, meja belajar dengan stationary yang lengkap, dan etalase skincare yang mungkin beberapa diantaranya sudah melewati tanggal kadaluarsa, “Raya, harusnya kamu ada disini,” batinnya.

Kesya berjalan ke meja belajar Raya yang rapih, berbeda dengan miliknya yang selalu berantakan, “Raya, aku izin lihat-lihat ya,”

Satu buku dengan sampul warna biru langit menarik perhatiannya, Kesya tau itu adalah diary Raya karena mereka membeli buku yang sama. Bedanya, milik Kesya berwarna pink.

“Raya, aku boleh ya baca diary kamu?”

Kalau Raya ada disini mungkin ia akan meneriaki Kesya dan mengambil paksa buku itu. Pasalnya, diary itu selalu menjadi tempat curhat Raya yang belum pernah dibaca siapapun termasuk Kesya.

Halaman pertama berisi ungkapan bahagia setelah membeli buku ini, tanpa sadar Kesya menarik ujung bibirnya.

Halaman per halaman Kesya baca tanpa terlewat sampai di lembar pertengahan dirinya mengetahui kalau saudara angkatnya itu pernah jatuh cinta. Mengingat kepribadian Raya yang pendiam dan cukup pemalu tentu saja Kesya agak kaget.

Kesya bangkit dari duduknya dan berjalan ke kasur, ingin membaca sambil tiduran.

Kesya juga menyingkap gorden dan menyalakan AC karena sepertinya tidur siang disini akan menenangkan.

Aku seneng banget hari ini Nahar ngajak aku ke panti lagi, kebetulan setelah diadopsi papi nya Kesya aku jadi jarang berkunjung kesana

Lho.. Nahar?

Nggak itu aja! Ternyata Nahar juga ngenalin temen-temen sekolahnya. Ada Reihan si bawel banget tapi dia sedikit ganteng sih, terus ada Jagat (dia baru rokok, aku gak suka), ada Darrel yang paling seru diajak ngobrol, dan terakhir ada Vallen, syukurnya Nahar mau ngajak Vallen. Jadi aku gak cewek sendiri

Membaca paragraf itu membuat Kesya refleks mengubah posisi tidurannya menjadi duduk bersila. Ia baru mengetahui Raya ternyata mengenal teman-temannya juga. Ah, mantan teman mungkin lebih tepatnya.

Jelas dirinya tidak terlalu terkejut mengingat keluarga Nahar adalah salah satu donatur di panti asuhan itu, sama seperti keluarganya. Jadi fakta bahwa Raya mengenal Nahar bukan hal yang mustahil juga sebenarnya.

Diary Raya semakin seru untuk dibaca setelah ia berteman dengan Vallen. Ternyata mereka banyak menghabiskan waktu bersama, “Raya, kamu kenapa gak ngajak aku main bareng kalian?”


Tuhan, tolongin Raya

Alis Kesya bertaut keheranan, “Raya, kamu kenapa?”

Raya harus gimana, Tuhan? Ka Evan suruh Raya gugurin kandungan Raya

“Gugurin kandungan? Ka Evan??”

Tapi Raya gak mau, Raya gak sanggup bunuh bayi nggak bersalah ini

Raya harus apa?

Kesya menjauhkan Diary itu sejenak. Tadi apa yang ia baca? Raya hamil oleh pria bernama Evan?

Apakah Evan yang disebut Raya sama dengan Evan yang ia kenal?

“Raya, kenapa kamu gak bilang?”

Walau berat Kesya kembali membuka halaman diary Raya, hari-hari gadis itu menjadi lebih sulit dan membingungkan.

Raya ingin memberitahu keluarga barunya, namun ia terlalu takut untuk itu. Raya juga ingin memberitahu Kesya dan teman-temannya, namun ia terlalu malu untuk mengakui bahwa dirinya telah berbuat dosa.

Kesya menangis dan marah bersamaan saat membaca tulisan Raya yang setiap katanya ditulis berantakan.

Ka Evan berubah

Kesya mendongak agar air matanya tidak turun, ia menggigit bibirnya geram.

Ka Evan nggak kayak dulu lagi. Aku benci harus nahan sakit perutku sendirian. Ka Evan, kenapa kamu jahat? Kenapa kamu nggak ada waktu aku butuh bantuan kamu. Ka, ini kesalahan kita berdua. Kenapa cuma aku yang sakit?

Demi apapun Kesya sangat ini mencakar wajah pria bernama Evan ini.

Tunggu, beberapa waktu lalu Kesya menemukan gelang Raya di tempat Evan. Apa benar Evan itu yang tega menyakiti Raya?


Tuhan, Raya se-dosa itu ya? Kenapa harus Vallen?

Vallen??

Kenapa harus Vallen yang jadi alasan Ka Evan berubah? Ternyata, laki-laki yang kamu ceritain itu Ka Evan, ya Len? Laki-laki yang deketin kamu itu punyaku. Ka Evan punyaku, Len

Mata Kesya membulat, jadi Vallen termasuk orang yang juga menyakiti hati Raya?

Dada Kesya makin sesak saat tau kalau malam itu, malam saat Raya kepergok mencuri uang dari ruang kerja papi dan malam terakhir untuk Raya adalah malam dimana Raya berencana kabur karena sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakitnya.

Tuhan, maafin Raya. Raya mau berbuat dosa lagi, Raya mau ambil uang papi untuk pergi ke tempat dimana Raya bisa hidup hanya berdua sama bayi Raya. Raya janji ini dosa terakhir yang akan Raya lakuin

Dan paragraf di atas adalah paragraf terakhir yang Raya tulis.


Vallen turun dari mobil Nahar tanpa mengucapkan sepatah kata. Walaupun sempat beberapa kali beradu tatap dengan pria itu lewat kaca spion, sepanjang perjalanan pun dirinya yang duduk di kursi belakang hanya diam dan segera mengalihkan pandangannya.

“Kebelet apa gimana itu si Vallen?”

Nahar hanya mengangkat bahu sebagai respon. Padahal ia tau kalau Vallen sedang menghindarinya.

“Dar! Har!”

Seseorang memanggil mereka dari belakang, Reihan dengan setelan formalnya menghampiri.

“Si tengil mana?”

“Kejebak macet katanya.”

Sehabis mengkonfirmasi posisi Jagat, ketiganya sepakat untuk menyapa tuan rumah lebih dulu.

“Rame juga yang dateng.”

“Kata gue mah ini orang yang gak Kesya kenal juga diundang.”

Ini adalah pertama kalinya mereka datang dan masuk ke rumah Kesya. Sebelumnya hanya mengantar/menjemput sampai depan gerbang saja.

Nahar, Reihan, dan Darrel disambut ramah oleh orang tua Kesya yang baru pertama kali juga mereka temui.

“Oh ini yang bikin sahabat gue gak betah di rumah.” batin Darrel.

Setelah dipersilahkan masuk, mereka segera bergabung dengan beberapa orang lainnya yang sudah lebih dulu sampai.

Reihan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, “Vallen mana?” tanyanya.

“Tadi turun duluan, gak tau kemana.”

Sejak mengungkapkan perasaannya beberapa hari lalu lewat chat, Reihan belum bertemu dengan Vallen lagi. Sebenarnya agak lega karena sudah jujur, namun disisi lain ia juga takut hubungan pertemanannya akan renggang.

“NGAB!”

Jagat berjalan ke arah mereka bersama Vallen di sampingnya.

“Ketemu di depan.” tukas Vallen sebelum mendapat pertanyaan “Kok kalian bisa bareng?”

Setelahnya Vallen dan yang lain menikmati acara yang berjalan lancar itu. Namun ia dipaksa bergabung dengan kelompok hits di kampusnya oleh Darrel karena sejak tadi terus-terusan mengekor di belakang Jagat, Nahar, dan Reihan.

Akhirnya Vallen memisahkan diri dari mereka dan terpaksa bergabung dengan orang-orang yang hanya ia kenal wajahnya saja.

Sampai pukul 9 malam, acara perayaan ulang tahun Kesya masih berlangsung.

Reihan berjalan mendekati Vallen yang terlihat sudah mengantuk, ia melepas jaketnya lalu menaruhnya di pangkuan Vallen guna menutupi paha gadis itu karena dress yang digunakan sedikit terbuka.

“Biar apa sih pake baju kayak gini? Pengen diliat cantik sama siapa emang?”

Lirikan sinis Vallen lemparkan, “Gak usah banyak omong lah, ngantuk nih gue!”

Lalu tanpa aba-aba dan persetujuan, Reihan menarik tangan Vallen, memaksa agar mengikuti langkahnya.

Beberapa pasang mata sempat tertuju pada dua orang itu karena Vallen heboh minta tangannya dilepaskan.

Keduanya sekarang berada di tepi kolam renang yang tidak terlalu ramai, “Ngapain anjir?” tanya Vallen sewot.

“Gue tau timingnya kurang pas, tapi gue udah gatel banget mau bahas ini.”

Reihan gugup, begitu juga dengan Vallen.

Gadis itu sudah mengira bahwa momen ini akan datang, momen dimana sahabatnya sendiri akan mengungkapkan perasaan dan meminta kejelasan darinya.

Membayangkannya saja sudah merinding.

To the point aja deh, Rei.”

“Oke, pertama, jujur gue mau minta maaf dulu. Karena tiba-tiba confess dan mungkin di lo nya jadi kurang nyaman. Maaf buat itu.”

“Jangan serius-serius dong ngab, takut gue liat lo begini.”

“Lo mau gue dorong ke kolam gak? Gue lagi gak pengen bercanda dulu anjrit.”

Sorry

“Gini Len, gue kan udah jujur tentang perasaan gue. Tapi sumpah demi apapun gue gak berharap lo suka gue balik, jujur banget ini. Gue juga kayaknya ogah pacaran sama lo.”

“Mau lo apa monyet???”

“Weiss santai dong, dengerin dulu anjir! Gue tuh gak mau lo pacaran sama gue, soalnya lo pantes dapet yang lebih baik. Gue mah gak ada apa-apanya kali. Gue tau kok diluar sana pasti ada cowok yang bener-bener sayang sama lo dan bisa kasih lo kebahagiaan. Gue udah beruntung banget punya lo as my bestfriend, kayaknya gak tau malu deh kalo gue mau milikin lo sepenuhnya. Terus gue juga—”

Belum selesai dengan perkataannya, Vallen dengan refleks memeluk Reihan. Ia tidak perlu berjinjit karena tinggi mereka tidak jauh beda, “Makasih banget buset lo bisa ye bikin gue pengen nangis gini Rei!”

“Gak usah peluk-peluk ah lo bau!”

“Jadi kita damai nih?”

“Ya damai lah, gak usah ngehindarin gue lagi, jangan canggung juga sama gue.”

“Aaaa siap!”

Tanpa keduanya sadari, seseorang tengah memerhatikan mereka dengan rasa marah.