tinkernid


“Papa biasanya di rumah jam berapa, Naj?”

“Sekitar jam 6 sih, jam segini udah di jalan pulang.”

Setelah mendapat jawaban atas pertanyaannya, laki-laki berkacamata itu kembali menyantap dessert miliknya.

Siang tadi ia habis mengantar juga menemani Najla ke Pengadilan Negeri untuk mendaftarkan gugatan cerainya dengan Julian.

Kenny senang bisa membantu, ia juga senang bisa selangkah lebih dekat dengan gadis pujaannya itu karena di perjalanan tadi Najla memintanya untuk bertemu sang papa.

Keduanya kini tengah menikmati damainya sore di sebuah kafe yang cukup sepi pengunjung.

Sengaja Najla mengajak Kenny ke tempat ini karena ia takut idolanya itu tidak nyaman kalau ke tempat yang terlalu ramai.

Kepalanya sedikit pening memikirkan Febi yang bermasalah dengan Julian. Bohong kalau Najla tidak perduli, bagaimanapun Febi adalah temannya dan pernah beberapa kali membantu dirinya.

Inti semua masalah saat ini memang ada di Julian. Pria dewasa yang menurut Najla tidak ada apa-apanya itu telah bertindak seenaknya. Ia sangat marah kalau mengingat fakta bahwa Julian berhasil mengelabuhi dirinya dan sang papa.

“Najla? You okay?

Yang ditanya tersadar dari lamunannya saat Kenny melambaikan tangan ke depan wajahnya.

“Lagi mikirin apa, sih? Sampe gak sadar tuh di luar udah hujan?”

Benar saja, saat Najla menengok ke sebelah kiri ternyata jalanan sore itu telah diguyur hujan rintik-rintik.

Ia melirik jam di dinding kafe, pukul 5.

“Pulang sekarang aja apa ya?”

“Ayo, takut hujannya makin gede kalo kita stay disini.”

Akhirnya Kenny dan Najla memutuskan untuk meninggalkan kafe tersebut. Keduanya berjalan terburu-buru ke parkiran yang jaraknya tidak seberapa jauh dari pintu kafe.

Untungnya hujan yang turun tidak terlalu lebat dan masih bisa dilewati dengan berjalan tanpa payung.

“Blus lo basah, Naj. Mau pake kemeja gue gak? Gue selalu bawa baju ganti di belakang.” tawar Kenny setelah mereka di dalam mobil.

Najla yang menyadari hal itu langsung panik karena blus putih yang ia kenakan sekarang nampak sedikit transparan akibat terkena air hujan.

Pantas saja Kenny tidak menatap ke arahnya sejak tadi.

“Mau gak?” tanya Kenny sekali lagi.

Najla lantas mengiyakan tawaran itu dan pindah ke kursi belakang untuk mengganti pakaian atasnya.

“Bajunya di paper bag cheetah, ya”

Iya betul, paper bag yang Kenny terima dari Najla, ia menyimpan semua tas kertas yang diberikan Najla.

Namun sepertinya Najla sendiri tidak menyadari hal itu karena terlalu terburu-buru.

I'm not looking, santai aja, Naj!”

“Oke, jangan hadap belakang kalo aku belum ngomong apa-apa!”

Kenny terkekeh kecil, “Alright, ma'am!

Setelah beberapa menit lamanya, Najla kembali ke kursi depan dengan pakaian yang sudah lebih baik dari sebelumnya.

Kemeja Kenny nampak kebesaran di tubuhnya yang mungil. Kedua lengannya sengaja ia gulung sampai siku.

Namun dimata Kenny, perempuan yang tengah mengikat rambutnya itu justru terlihat semakin cantik dan menggemaskan sampai ia tidak mengalihkan pandangannya sejak tadi.

“Kenapa sih, Ken? Gak pantes ya pake kemeja ini?”

“Hah? Enggak kok, cocok sama lo, jadi lucu.”

Sebenernya kalimat barusan sangat jelas didengar, namun Najla ingin memastikan lagi kalau pendengarannya tidak salah, “Eh?”

Keduanya salah tingkah, Kenny langsung tancap gas sedangkan Najla merapikan rambut yang sebenarnya tidak perlu.

Kalau dipikir-pikir sejauh ini Najla sudah sangat beruntung. Bisa berteman dengan idolanya sendiri tidak pernah terlintas di pikirannya.

Melihat Kenny dari jarak sedekat ini membuat detak jantungnya tidak beraturan. Biasanya ia hanya melihat Kenny menyetir lewat layar kaca namun sekarang pemandangan tersebut dapat dilihat tanpa pembatas apapun.

“Gue tau gue ganteng, tapi jangan lupa ngedip.”

Seperti habis kepergok mencuri ayam, Najla yang tersentak lantas mengedarkan pandangannya asal ke jalanan, mengundang tawa kecil dari Kenny.

Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di kediaman Najla.

Arya, papanya Najla telah menunggu kedatangan mereka di depan rumah, “Siapa, nih, kak?” tanyanya saat mereka bertemu.

“Ini Kenny, pa. Ken, ini papa aku.”

Najla saling mengenalkan keduanya dan membiarkan dua laki-laki dewasa itu berjabat tangan.

“Saya Kenny, om.”

“Oh ini pemilik suara yang didengerin anak papa setiap malem?” ledek Arya.

“Papa, ih!”

Arya semakin tertawa melihat putri semata wayangnya malu.

Begitu juga dengan Kenny, ia tertawa canggung mendengarnya.

“Aku tinggal sebentar ya, mau bikin teh. Papa sama Kenny ngobrol dulu aja!”

Najla lantas masuk ke dalam meninggalkan Kenny yang langsung diajak main catur oleh papanya. Tidak tau apa yang akan mereka bicarakan.

Cukup lama Najla di dapur, ia sekalian menyiapkan makanan yang Kenny beli di kafe sore tadi. Semuanya ia lakukan sendiri karena papanya tidak mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah ini.

Di waktu yang sama, di ruang tamu, Kenny tengah bermain catur melawan Arya yang sudah mahir memainkan permainan ini.

Sembari berbincang keduanya makin terlihat akrab, Kenny yang cepat tanggap dapat dengan mudah memahami maksud Arya setiap kali lelaki paruh baya itu berbicara.

Najla kembali dengan nampan di tangan, mengganti papan catur di meja dengan piring makanan dan gelas teh hangat yang ia bawa.

Ketiganya lantas menghabiskan satu jam untuk mengobrol dan saling mengenal.

Najla bahkan sedikit heran dengan keakraban Kenny dan papanya yang seperti sudah berteman lama.

Gadis itu senang sekarang bisa mengenal Kenny Alvaro sebagai teman. Tanpa berharap lebih karena bisa dikenal olehnya saja sudah lebih dari cukup.

Mungkin kalau saat itu Julian mengizinkannya ke KENPHORIA ia tidak akan menjadi sedekat ini dengan Kenny.

So, thanks to him.


Siang itu nampak seorang perempuan yang tengah menunggu dijemput di depan rumahnya.

Najla tidak suka saat seseorang harus menunggunya, oleh karena itu dirinya telah siap berangkat sejak 10 menit lalu saat Kenny mengabarinya sudah dalam perjalanan.

Tidak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah tepat dimana Najla berdiri.

Kenny keluar dari mobilnya, menyapa Najla yang hari ini rambutnya sengaja digerai, “Hai!”

“Hai, Ken!”

“Papa ada?”

“Papa udah pergi kerja.”

Laki-laki itu mengangguk kecil sebelum mengajak Najla untuk bergegas. Ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu, lantas Najla si pemilik love language act of service sedikit tersipu dibuatnya.

“Pake seat belt dulu, Naj!” titah Kenny yang langsung dituruti.

Setelahnya Kenny langsung melajukan kendaraan roda 4 itu menuju apartemen Julian, suami Najla sekaligus musuhnya sejak Sekolah Menengah Atas.

“Ken,” panggilan lirih itu membuat Kenny berdehem tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, “Itu kemarin, kamu mau ngomongin apa?”

Pertanyaan Najla berhasil membuat yang ditanya melirik sekilas, “Nanti aja, gak enak ngomong disini.”

Najla tau itu, sejujurnya ia juga tidak berniat untuk menyinggung hal ini. Namun suasana mobil yang senyap terpaksa membuat Najla bertanya.

“Ya udah, nanti aja.”

Kecanggungan kembali menyelimuti keduanya, Kenny fokus menyetir sedangkan Najla sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki itu.

Dari luar Kenny memang nampak tenang dan santai, namun kalian harus tau kalau saat ini jantungnya tidak berdetak dengan normal.

Mantan penyanyi itu ingin memberitahu Najla bahwa ia telah mengaguminya sejak 5 tahun lalu dan berencana akan mengajaknya menjalin hubungan lebih dari sekadar teman.

Se-yakin itulah perasaannya pada perempuan yang kini tengah bersenandung kecil.

Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya keduanya sampai di basemen apartemen.

Kenny yang wajahnya tegang terlihat berusaha mengontrol diri agar tidak melampiaskan emosinya saat bertemu Julian nanti.

“Kenapa, Ken? Kayak mules gitu.”

Yang ditanya terperanjat, “Hah? Enggak, kok!”

Najla hanya mengangguk karena ingin cepat-cepat menemui Julian di unit apartemennya.

Kini keduanya sudah berada di lift.

“Naj, nanti kita pura-pura pacaran di depan Julian gak?”

Najla bingung harus menjawab apa.

“Atau gak usah?” kembali Kenny melontarkan pertanyaan.

“Iya, pura-pura pacaran.” tukas Najla sedetik sebelum lift terbuka.

Mereka lantas berjalan beriringan menuju unit apartemen tujuan. Najla menekan bel beberapa kali sampai pintu dibuka oleh si penghuni apartemen tersebut.

Kenny menangkap ekspresi kaget dari wajah Julian yang seperti baru bangun tidur, “Hai? Long time no see!

Laki-laki berkaus abu itu tidak mengindahkan sapaan Kenny, ia langsung beralih memandang Najla, “Ngapain sih ngajak-ngajak orang lain?”

“Kenny bukan orang lain, he's my boyfriend.” sahur Najla dengan nada dingin.

Diam-diam sudut bibir Kenny terangkat dibarengi tatapan meledek yang ia lemparkan pada Julian.

Seolah tidak ingin berdebat lebih lama, Julian langsung mempersilahkan dua orang di depannya untuk masuk.

“Masuk,”

Kenny yang awalnya membuntuti Najla tiba-tiba ditahan oleh Julian, “Lo diem disini.” katanya.

Ucapan Julian membuat Najla mengisyaratkan kepada pacar pura-pura nya untuk mengiyakan yang disuruh Julian.

Akhirnya Najla dan Julian masuk ke kamar, meninggalkan Kenny di ruang tamu.

“Gue tanya sekali lagi, lo ngapain bawa Kenny?”

“Kenapa sih? Emangnya salah kalau aku minta ditemenin pacar aku?”

“Lo itu masih istri gue, menurut lo apa etis kalau lo bawa laki-laki lain kesini?”

“Giliran begini aja, kamu baru nganggep aku istri. Kemarin-kemarin kemana aja??”

Di dalam kamar, Najla terlibat cekcok dengan Julian. Tangannya memang sibuk mengemasi barang-barang miliknya ke dalam koper, namun mulutnya masih sanggup untuk terus mengoceh—memutarbalikkan ucapan Julian.

Julian yang duduk di tepi ranjang hanya memandangi gerak-gerik Najla tanpa sedikitpun niat ingin membantu.

Sebenarnya tidak apa-apa, toh Najla juga tidak perlu bantuan.

Namun ia merasa risih dan tidak nyaman ketika seseorang memperhatikannya saat sedang berkutat dengan suatu pekerjaan, “Kamu bisa keluar aja gak sih? Keberadaan kamu disini itu ganggu banget, bikin risih.” jujurnya.

Julian mendecak, “Gue lagi jaga-jaga takut lo butuh bantuan.”

“Gak butuh, aku bisa handle sendiri.” sarkas Najla yang membuat Julian langsung keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun.

Baguslah, dengan begitu Najla bisa menyelesaikan urusannya dengan leluasa.


cw // harsh words, violence

Sementara itu di luar kamar, Kenny berdiri tegap di depan lemari etalase yang menyimpan banyak piala dan piagam penghargaan.

Matanya memanas tatkala pandangannya jatuh pada piala berbentuk microphone yang terukir tulisan juara 1 di sana.

Piala itu, piala yang seharusnya menjadi milik Kenny.

Tangannya terulur, mendarat di permukaan kaca seolah ingin memegang piala tersebut.

Keep your hands off!

Baru beberapa detik tangannya menempel, teriakkan Julian yang tidak ramah menyapa telinganya.

“Lo dateng kesini, bukan berarti lo bisa pegang-pegang barang gue seenaknya!”

Mendengar itu Kenny sama sekali tidak merasa terancam, justru ia tertantang untuk mendekati Julian dan memberi senyum meremehkan pada laki-laki yang sedang mengepalkan tangannya itu.

“Barang lo, ya?”

“Itu ada di tempat gue, berarti punya gue!”

Kenny tertawa, “Muka lo tebel juga, ya!”

Terpancing emosinya, Julian maju selangkah ke depan Kenny, “You better get out before i punch you!

“Uuu, takut!” sahut Kenny lagi-lagi dengan nada meledek.

Baru ingin menarik kerah kemeja musuhnya, Najla tiba-tiba keluar dan menghentikan pergerakan Julian yang hampir melayangkan tinjunya.

Diluar rencana, Kenny langsung menghampiri Najla dan merangkulnya, “Udah selesai, sayang?”

Najla yang membutuhkan waktu untuk memproses apa yang barusan terjadi sempat bergeming beberapa saat sampai Kenny mengambil alih koper yang sebelumnya ia seret.

“Iya, udah nih! Ayo sayang, pulang sekarang.”

Pemandangan itu tentunya membuat emosi Julian semakin menjadi.

“Najis! Gue kira lo cewek bener, Naj. Taunya gak beda jauh sama lonte-lonte di luaran.”

Kenny yang mendengar kalimat buruk itu hampir ingin menonjok wajah tampan Julian kalau tidak ditahan oleh Najla.

Najla menggenggam tangan Kenny, “Maling teriak maling! Level mu itu bahkan di atas bajingan alias kamu adalah contoh seburuk-buruknya lelaki.”

Setelah mengucapkan kalimat yang keluar dengan lancar dari mulutnya, Najla langsung menarik tangan Kenny tanpa menghiraukan teriakan Julian.

“Dasar cewek gak tau diri!” “Sok suci!” “Pelacur!”

Teriakan yang ketiga berhasil menghentikan langkah Kenny, ia melepas tautan tangannya dari tangan Najla, memutar badannya dan lantas menghampiri Julian.

“Anjing!”

Bugh!

Julian tersungkur saat Kenny menghadiahinya bogem mentah di wajahnya.

“Lo laki, tapi mulut lo kayak cewe! Kalo mau ngejelekin orang lain minimal ngaca dulu, jangan merasa paling bener, brengsek!”

Setelah itu Kenny segera kembali menghampiri Najla, ia rangkul gadis itu membawanya keluar dari unit apartemen Julian.


“Omongan Julian yang gak bermutu itu jangan dimasukin ke hati.”

Tidak ada respon dari sang puan.

“Naj?”

“Maaf Ken, aku mau tidur. Bangunin kalo udah sampe, ya?”

Keduanya telah berada di mobil yang sedang melaju untuk pulang. Sejak keluar dari apartemen, Najla jadi terlihat lebih murung.

Hal itu membuat Kenny tidak berani menegurnya, “Oke, tidur yang nyenyak ya!” katanya kemudian.

Najla sungguh tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Bahkan saat matanya terpejam pun sangat jelas kalau ia ingin menangis, terlihat dari sudut bibir yang turun.

Kenny mengurungkan niatnya untuk jujur pada Najla, ia sungguh tidak tega kalau harus menambah beban pikiran gadis itu.

Calm, Ken, masih ada hari lain.


Siang itu nampak seorang perempuan yang tengah menunggu dijemput di depan rumahnya.

Najla tidak suka saat seseorang harus menunggunya, oleh karena itu dirinya telah siap berangkat sejak 10 menit lalu saat Kenny mengabarinya sudah dalam perjalanan.

Tidak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah tepat dimana Najla berdiri.

Kenny keluar dari mobilnya, menyapa Najla yang hari ini rambutnya sengaja digerai, “Hai!”

“Hai, Ken!”

“Papa ada?”

“Papa udah pergi kerja.”

Laki-laki itu mengangguk kecil sebelum mengajak Najla untuk bergegas. Ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu, lantas Najla si pemilik love language act of service sedikit tersipu dibuatnya.

“Pake seat belt dulu, Naj!” titah Kenny yang langsung dituruti.

Setelahnya Kenny langsung melajukan kendaraan roda 4 itu menuju apartemen Julian, suami Najla sekaligus musuhnya sejak Sekolah Menengah Atas.

“Ken,” panggilan lirih itu membuat Kenny berdehem tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, “Itu kemarin, kamu mau ngomongin apa?”

Pertanyaan Najla berhasil membuat yang ditanya melirik sekilas, “Nanti aja, gak enak ngomong disini.”

Najla tau itu, sejujurnya ia juga tidak berniat untuk menyinggung hal ini. Namun suasana mobil yang senyap terpaksa membuat Najla bertanya.

“Ya udah, nanti aja.”

Kecanggungan kembali menyelimuti keduanya, Kenny fokus menyetir sedangkan Najla sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki itu.

Dari luar Kenny memang nampak tenang dan santai, namun kalian harus tau kalau saat ini jantungnya tidak berdetak dengan normal.

Mantan penyanyi itu ingin memberitahu Najla bahwa ia telah mengaguminya sejak 5 tahun lalu dan berencana akan mengajaknya menjalin hubungan lebih dari sekadar teman.

Se-yakin itulah perasaannya pada perempuan yang kini tengah bersenandung kecil.

Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya keduanya sampai di basemen apartemen.

Kenny yang wajahnya tegang terlihat berusaha mengontrol diri agar tidak melampiaskan emosinya saat bertemu Julian nanti.

“Kenapa, Ken? Kayak mules gitu.”

Yang ditanya terperanjat, “Hah? Enggak, kok!”

Najla hanya mengangguk karena ingin cepat-cepat menemui Julian di unit apartemennya.

Kini keduanya sudah berada di lift.

“Naj, nanti kita pura-pura pacaran di depan Julian gak?”

Najla bingung harus menjawab apa.

“Atau gak usah?” kembali Kenny melontarkan pertanyaan.

“Iya, pura-pura pacaran.” tukas Najla sedetik sebelum lift terbuka.

Mereka lantas berjalan beriringan menuju unit apartemen tujuan. Najla menekan bel beberapa kali sampai pintu dibuka oleh si penghuni apartemen tersebut.

Kenny menangkap ekspresi kaget dari wajah Julian yang seperti baru bangun tidur, “Hai? Long time no see!

Laki-laki berkaus abu itu tidak mengindahkan sapaan Kenny, ia langsung beralih memandang Najla, “Ngapain sih ngajak-ngajak orang lain?”

“Kenny bukan orang lain, he's my boyfriend.” sahur Najla dengan nada dingin.

Diam-diam sudut bibir Kenny terangkat dibarengi tatapan meledek yang ia lemparkan pada Julian.

Seolah tidak ingin berdebat lebih lama, Julian langsung mempersilahkan dua orang di depannya untuk masuk.

“Masuk,”

Kenny yang awalnya membuntuti Najla tiba-tiba ditahan oleh Julian, “Lo diem disini.” katanya.

Ucapan Julian membuat Najla mengisyaratkan kepada pacar pura-pura nya untuk mengiyakannya yang disuruh Julian.

Akhirnya Najla dan Julian masuk ke kamar, meninggalkan Kenny di ruang tamu.

“Gue tanya sekali lagi, lo ngapain bawa Kenny?”

“Kenapa sih? Emangnya salah kalau aku minta ditemenin pacar aku?”

“Lo itu masih istri gue, menurut lo apa etis kalau lo bawa laki-laki lain kesini?”

“Giliran begini aja, kamu baru nganggep aku istri. Kemarin-kemarin kemana aja??”

Di dalam kamar, Najla terlibat cekcok dengan Julian. Tangannya memang sibuk mengemasi barang-barang miliknya ke dalam koper, namun mulutnya masih sanggup untuk terus mengoceh—memutarbalikkan ucapan Julian.

Julian yang duduk di tepi ranjang hanya memandangi gerak-gerik Najla tanpa sedikitpun niat ingin membantu.

Sebenarnya tidak apa-apa, toh Najla juga tidak perlu bantuan.

Namun ia merasa risih dan tidak nyaman ketika seseorang memperhatikannya saat sedang berkutat dengan suatu pekerjaan, “Kamu bisa keluar aja gak sih? Keberadaan kamu disini itu ganggu banget, bikin risih.” jujurnya.

Julian mendecak, “Gue lagi jaga-jaga takut lo butuh bantuan.”

“Gak butuh, aku bisa handle sendiri.” sarkas Najla yang membuat Julian langsung keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun.

Baguslah, dengan begitu Najla bisa menyelesaikan urusannya dengan leluasa.


cw // harsh words, violence

Sementara itu di luar kamar, Kenny berdiri tegap di depan lemari etalase yang menyimpan banyak piala dan piagam penghargaan.

Matanya memanas tatkala pandangannya jatuh pada piala berbentuk microphone yang terukir tulisan juara 1 di sana.

Piala itu, piala yang seharusnya menjadi milik Kenny.

Tangannya terulur, mendarat di permukaan kaca seolah ingin memegang piala tersebut.

Keep your hands off!

Baru beberapa detik tangannya menempel, teriakkan Julian yang tidak ramah menyapa telinganya.

“*Lo dateng kesini, bukan berarti lo bisa pegang-pegang barang gue seenaknya!”

Mendengar itu Kenny sama sekali tidak merasa terancam, justru ia tertantang untuk mendekati Julian dan memberi senyum meremehkan pada laki-laki yang sedang mengepalkan tangannya itu.

“Barang lo, ya?”

“Itu ada di tempat gue, berarti punya gue!”

Kenny tertawa, “Muka lo tebel juga, ya!”

Terpancing emosinya, Julian maju selangkah ke depan Kenny, “You better get out before i punch you!

“Uuu, takut!” sahut Kenny lagi-lagi dengan nada meledek.

Baru ingin menarik kerah kemeja musuhnya, Najla tiba-tiba keluar dan menghentikan pergerakan Julian yang hampir melayangkan tinjunya.

Diluar rencana, Kenny langsung menghampiri Najla dan merangkulnya, “Udah selesai, sayang?”

Najla yang membutuhkan waktu untuk memproses apa yang barusan terjadi sempat bergeming beberapa saat sampai Kenny mengambil alih koper yang sebelumnya ia seret.

“Iya, udah nih! Ayo sayang, pulang sekarang.”

Pemandangan itu tentunya membuat emosi Julian semakin menjadi.

“Najis! Gue kira lo cewek bener, Naj. Taunya gak beda jauh sama lonte-lonte di luaran.”

Kenny yang mendengar kalimat buruk itu hampir ingin menonjok wajah tampan Julian kalau tidak ditahan oleh Najla.

Najla menggenggam tangan Kenny, “Maling teriak maling! Level mu itu bahkan di atas bajingan alias kamu adalah contoh seburuk-buruknya lelaki.”

Setelah mengucapkan kalimat yang keluar dengan lancar dari mulutnya, Najla langsung menarik tangan Kenny tanpa menghiraukan teriakan Julian.

“Dasar cewek gak tau diri!” “Sok suci!” “Pelacur!”

Teriakan yang ketiga berhasil menghentikan langkah Kenny, ia melepas tautan tangannya dari tangan Najla, memutar badannya dan lantas menghampiri Julian.

“Anjing!”

Bugh!

Julian tersungkur saat Kenny menghadiahinya bogem mentah di wajahnya.

“Lo laki, tapi mulut lo kayak cewe! Kalo mau ngejelekin orang lain minimal ngaca dulu, jangan merasa paling bener, brengsek!”

Setelah itu Kenny segera kembali menghampiri Najla, ia rangkul gadis itu membawanya keluar dari unit apartemen Julian.


“Omongan Julian yang gak bermutu itu jangan dimasukin ke hati.”

Tidak ada respon dari sang puan.

“Naj?”

“Maaf Ken, aku mau tidur. Bangunin kalo udah sampe, ya?”

Keduanya telah berada di mobil yang sedang melaju untuk pulang. Sejak keluar dari apartemen, Najla jadi terlihat lebih murung.

Hal itu membuat Kenny tidak berani menegurnya, “Oke, tidur yang nyenyak ya!” katanya kemudian.

Najla sungguh tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Bahkan saat matanya terpejam pun sangat jelas kalau ia ingin menangis, terlihat dari sudut bibir yang turun.

Kenny mengurungkan niatnya untuk jujur pada Najla, ia sungguh tidak tega kalau harus menambah beban pikiran gadis itu.

Calm, Ken, masih ada hari lain.


Siang itu nampak seorang perempuan yang tengah menunggu dijemput di depan rumahnya.

Najla tidak suka saat seseorang harus menunggunya, oleh karena itu dirinya telah siap berangkat sejak 10 menit lalu saat Kenny mengabarinya sudah dalam perjalanan.

Tidak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah tepat dimana Najla berdiri.

Kenny keluar dari mobilnya, menyapa Najla yang hari ini rambutnya sengaja digerai, “Hai!”

“Hai, Ken!”

“Papa ada?”

“Papa udah pergi kerja.”

Laki-laki itu mengangguk kecil sebelum mengajak Najla untuk bergegas. Ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu, lantas Najla si pemilik love language act of service sedikit tersipu dibuatnya.

“Pake seat belt dulu, Naj!” titah Kenny yang langsung dituruti.

Setelahnya Kenny langsung melajukan kendaraan roda 4 itu menuju apartemen Julian, suami Najla sekaligus musuhnya sejak Sekolah Menengah Atas.

“Ken,” panggilan lirih itu membuat Kenny berdehem tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, “Itu kemarin, kamu mau ngomongin apa?”

Pertanyaan Najla berhasil membuat yang ditanya melirik sekilas, “Nanti aja, gak enak ngomong disini.”

Najla tau itu, sejujurnya ia juga tidak berniat untuk menyinggung hal ini. Namun suasana mobil yang senyap terpaksa membuat Najla bertanya.

“Ya udah, nanti aja.”

Kecanggungan kembali menyelimuti keduanya, Kenny fokus menyetir sedangkan Najla sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki itu.

Dari luar Kenny memang nampak tenang dan santai, namun kalian harus tau kalau saat ini jantungnya tidak berdetak dengan normal.

Mantan penyanyi itu ingin memberitahu Najla bahwa ia telah mengaguminya sejak 5 tahun lalu dan berencana akan mengajaknya menjalin hubungan lebih dari sekadar teman.

Se-yakin itulah perasaannya pada perempuan yang kini tengah bersenandung kecil.

Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya keduanya sampai di basemen apartemen.

Kenny yang wajahnya tegang terlihat berusaha mengontrol diri agar tidak melampiaskan emosinya saat bertemu Julian nanti.

“Kenapa, Ken? Kayak mules gitu.”

Yang ditanya terperanjat, “Hah? Enggak, kok!”

Najla hanya mengangguk karena ingin cepat-cepat menemui Julian di unit apartemennya.

Kini keduanya sudah berada di lift.

“Naj, nanti kita pura-pura pacaran di depan Julian gak?”

Najla bingung harus menjawab apa.

“Atau gak usah?” kembali Kenny melontarkan pertanyaan.

“Iya, pura-pura pacaran.” tukas Najla sedetik sebelum lift terbuka.

Mereka lantas berjalan beriringan menuju unit apartemen tujuan. Najla menekan bel beberapa kali sampai pintu dibuka oleh si penghuni apartemen tersebut.

Kenny menangkap ekspresi kaget dari wajah Julian yang seperti baru bangun tidur, “Hai? Long time no see!

Laki-laki berkaus abu itu tidak mengindahkan sapaan Kenny, ia langsung beralih memandang Najla, “Ngapain sih!ngajak-ngajak orang lain?”

“Kenny bukan orang lain, he's my boyfriend.” sahur Najla dengan nada dingin.

Diam-diam sudut bibir Kenny terangkat dibarengi tatapan meledek yang ia lemparkan pada Julian.

Seolah tidak ingin berdebat lebih lama, Julian langsung mempersilahkan dua orang di depannya untuk masuk.

“Masuk,”

Kenny yang awalnya membuntuti Najla tiba-tiba ditahan oleh Julian, “Lo diem disini.” katanya.

Ucapan Julian membuat Najla mengisyaratkan kepada pacar pura-pura nya untuk mengiyakannya yang disuruh Julian.

Akhirnya Najla dan Julian masuk ke kamar, meninggalkan Kenny di ruang tamu.

“Gue tanya sekali lagi, lo ngapain bawa Kenny?”

“Kenapa sih? Emangnya salah kalau aku minta ditemenin pacar aku?”

“Lo itu masih istri gue, menurut lo apa etis kalau lo bawa laki-laki lain kesini?”

“Giliran begini aja, kamu baru nganggep aku istri. Kemarin-kemarin kemana aja??”

Di dalam kamar, Najla terlibat cekcok dengan Julian. Tangannya memang sibuk mengemasi barang-barang miliknya ke dalam koper, namun mulutnya masih sanggup untuk terus mengoceh—memutarbalikkan ucapan Julian.

Julian yang duduk di tepi ranjang hanya memandangi gerak-gerik Najla tanpa sedikitpun niat ingin membantu.

Sebenarnya tidak apa-apa, toh Najla juga tidak perlu bantuan.

Namun ia merasa risih dan tidak nyaman ketika seseorang memperhatikannya saat sedang berkutat dengan suatu pekerjaan, “Kamu bisa keluar aja gak sih? Keberadaan kamu disini itu ganggu banget, bikin risih.” jujurnya.

Julian mendecak, “Gue lagi jaga-jaga takut lo butuh bantuan.”

“Gak butuh, aku bisa handle sendiri.” sarkas Najla yang membuat Julian langsung keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun.

Baguslah, dengan begitu Najla bisa menyelesaikan urusannya dengan leluasa.


cw // harsh words, violence

Sementara itu di luar kamar, Kenny berdiri tegap di depan lemari etalase yang menyimpan banyak piala dan piagam penghargaan.

Matanya memanas tatkala pandangannya jatuh pada piala berbentuk microphone yang terukir tulisan juara 1 di sana.

Piala itu, piala yang seharusnya menjadi milik Kenny.

Tangannya terulur, mendarat di permukaan kaca seolah ingin memegang piala tersebut.

Keep your hands off!

Baru beberapa detik tangannya menempel, teriakkan Julian yang tidak ramah menyapa telinganya.

“*Lo dateng kesini, bukan berarti lo bisa pegang-pegang barang gue seenaknya!”

Mendengar itu Kenny sama sekali tidak merasa terancam, justru ia tertantang untuk mendekati Julian dan memberi senyum meremehkan pada laki-laki yang sedang mengepalkan tangannya itu.

“Barang lo, ya?”

“Itu ada di tempat gue, berarti punya gue!”

Kenny tertawa, “Muka lo tebel juga, ya!”

Terpancing emosinya, Julian maju selangkah ke depan Kenny, “You better get out before i punch you!

“Uuu, takut!” sahut Kenny lagi-lagi dengan nada meledek.

Baru ingin menarik kerah kemeja musuhnya, Najla tiba-tiba keluar dan menghentikan pergerakan Julian yang hampir melayangkan tinjunya.

Diluar rencana, Kenny langsung menghampiri Najla dan merangkulnya, “Udah selesai, sayang?”

Najla yang membutuhkan waktu untuk memproses apa yang barusan terjadi sempat bergeming beberapa saat sampai Kenny mengambil alih koper yang sebelumnya ia seret.

“Iya, udah nih! Ayo sayang, pulang sekarang.”

Pemandangan itu tentunya membuat emosi Julian semakin menjadi.

“Najis! Gue kira lo cewek bener, Naj. Taunya gak beda jauh sama lonte-lonte di luaran.”

Kenny yang mendengar kalimat buruk itu hampir ingin menonjok wajah tampan Julian kalau tidak ditahan oleh Najla.

Najla menggenggam tangan Kenny, “Maling teriak maling! Level mu itu bahkan di atas bajingan alias kamu adalah contoh seburuk-buruknya lelaki.”

Setelah mengucapkan kalimat yang keluar dengan lancar dari mulutnya, Najla langsung menarik tangan Kenny tanpa menghiraukan teriakan Julian.

“Dasar cewek gak tau diri!” “Sok suci!” “Pelacur!”

Teriakan yang ketiga berhasil menghentikan langkah Kenny, ia melepas tautan tangannya dari tangan Najla, memutar badannya dan lantas menghampiri Julian.

“Anjing!”

Bugh!

Julian tersungkur saat Kenny menghadiahinya bogem mentah di wajahnya.

“Lo laki, tapi mulut lo kayak cewe! Kalo mau ngejelekin orang lain minimal ngaca dulu, jangan merasa paling bener, brengsek!”

Setelah itu Kenny segera kembali menghampiri Najla, ia rangkul gadis itu membawanya keluar dari unit apartemen Julian.


“Omongan Julian yang gak bermutu itu jangan dimasukin ke hati.”

Tidak ada respon dari sang puan.

“Naj?”

“Maaf Ken, aku mau tidur. Bangunin kalo udah sampe, ya?”

Keduanya telah berada di mobil yang sedang melaju untuk pulang. Sejak keluar dari apartemen, Najla jadi terlihat lebih murung.

Hal itu membuat Kenny tidak berani menegurnya, “Oke, tidur yang nyenyak ya!” katanya kemudian.

Najla sungguh tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Bahkan saat matanya terpejam pun sangat jelas kalau ia ingin menangis, terlihat dari sudut bibir yang turun.

Kenny mengurungkan niatnya untuk jujur pada Najla, ia sungguh tidak tega kalau harus menambah beban pikiran gadis itu.

Calm, Ken, masih ada hari lain.


Jantungku tidak berhenti gugup sepanjang perjalanan menuju rumah Hilman. Aku lega akhirnya bisa bertemu dengannya lagi, aku bahkan sudah menyiapkan banyak pertanyaan yang akan aku tanyakan saat bertemu dengannya nanti.

“Rumahnya masih jauh, Ka?”

“Sebentar lagi sampe.”

Aku melihat ke sekeliling, nampak asing dengan pemandangan ini karena aku memang belum pernah berkunjung ke rumah Hilman.

Namun semakin jauh motor Azka melaju, semakin asing pula jalanan yang kami lewati.

Sepi dan sunyi, kami bahkan melewati perkebunan. Entah kemana sebenarnya Azka membawaku.

“Lho, kita gak nyasar, kan?” tanyaku keheranan karena motor Azka malah berbelok memasuki area dengan gapura bertuliskan 'Tempat pemakaman umum'.

“Ka?”

Azka tidak menjawab, sampai motornya berhenti di parkiran yang bersebelahan dengan area pemakaman.

“Azka? Kita ngapain kesini?”

“Ini rumah Hilman, rumah baru Hilman.”

Seketika kepalaku pening seperti habis dihantam batu besar, “Kalo mau bercanda nggak sekarang, Ka.”

Azka meraih tanganku yang gemetar, “Ayo, ketemu Hilman.” katanya kemudian menuntunku memasuki tempat dimana banyak gundukkan tanah dengan batu nisan menancap di atasnya.

Aku yang pikirannya sudah kacau hanya bisa mengikuti Azka tanpa bertanya apapun.

Sampai langkahnya berhenti tepat di samping nisan bertuliskan nama seseorang yang seharusnya aku temui hari ini.

Hilman Ferninan.

Nama itu terukir sangat jelas di atas batu nisan dengan tulisan tanggal 07 Juni 2022 di bawahnya yang mana itu adalah kemarin.

“Kita.. Ngapain disini?” tanyaku seperti orang tolol.

“Ketemu Hilman.”

Dua kata itu berhasil membuat aku berlutut, berlutut di samping gundukan tanah dengan taburan bunga di atasnya.

“Kenapa Hilman ada disini, Ka?” “Disini dingin, disini gelap, kenapa Hilman harus ada disini?!”

Aku dapat mendengar Azka menghela napas kasar sebelum ikut berjongkok di sebelahku, “Kanker otak, Man.”

Rasanya aku tidak ingin mendengar kalimat lain keluar dari mulut Azka karena setiap kata yang ku dengar darinya selalu berhasil membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

Aku menangis dengan tanpa tau malu.

Mengusap nisannya seolah sedang mengusap kepala si pemilik nisan.

“Kenapa lo jahat banget, Hil?” “Kalo lo mau pergi kenapa lo harus ketemu gue dulu?” “Kenapa?? Kenapa nggak pamit sama gue?”

Laki-laki di sampingku merangkul tubuhku yang sudah ingin ambruk, “Hilman enggak mau liat perempuan yang dia suka nangis. Udah ya, Man, nangisnya?”

Aku tidak mengindahkan ucapan Azka karena telingaku menolak untuk mendengarkannya.

Azka kemudian mengeluarkan secarik kertas dari saku dompetnya, “Dari Hilman,” katanya sembari menunjukkan lipatan kertas itu di depan wajahku.

Sebuah surat.

“Berhenti dulu nangisnya, nanti gue kasih.”

“Beneran dari Hilman?” tanyaku.

Tidak ada kebohongan yang terpancar dari matanya, aku lantas menyeka air mataku dan langsung mengambil surat itu.

Hai, Amanda!

Pasti lo lagi nangis ya? Ayo berhenti dulu nangisnya kalau mau lanjut baca surat dari gue

Udah?

Oke, lanjut!

Manda, waktu lo baca surat ini, gue ada di samping lo

Gue nggak pergi kemana-mana, Man

Manda, maafin gue ya karena pergi tanpa pamit. Gue gak mau bikin lo sedih soalnya

Man, gue seneng banget bisa kenal lo

Gue seneng akhirnya bisa mewujudkan semua yang gue mau sebelum gue bener-bener pergi dari dunia ini

Piknik, itu salah satunya

Lo mau tau impian gue yang lain gak?

Berteman sama lo, Man

Sebenernya gue udah pengen kenal sama lo sejak lama, tapi gue gak berani

Gue takut

Takut kalau kita terlalu deket, nanti lo berat buat ikhlasin gue nya

That's why gue tiba-tiba baik sama lo

Kayak yang lo bilang sore itu.. Kalau gue gak ada, lo harus bisa jalanin hidup seolah semuanya baik-baik aja

Oke, Man?

Jangan nangis lagi, gue lagi merhatiin lho!

Gue gapapa, Manda

Gue seneng karena akhirnya bisa lepas dari penyakit gue, walaupun gue harus melepas lo juga

Tapi serius, gue gapapa

Manda, bahagia terus ya? Hidup lo sebelum kenal gue udah baik-baik aja, jadi sekarang harus lebih dari baik-baik aja

Maaf surat gue gak bisa panjang-panjang, kasian susternya gue repotin buat nulis ini hahaha!

Manda, i love you, please be happy!

Your friend,

Hilman


Entah sudah semprotan ke berapa minyak wangi yang menyapa kulit putih gadis cantik ini.

Sejak 3 menit yang lalu, setelah mengirim pesan pada Hilman untuk minta dijemput, Amanda tidak berhenti bersenandung sambil berputar di bawah cairan parfum yang sengaja ia semprotkan ke udara.

Pasalnya ia begitu senang karena akan bertemu laki-laki yang beberapa hari kebelakang selalu mampir ke pikirannya.

Hilman, tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya akan menjadi seakrab ini dengan pria yang digadang-gadang sebagai idaman semua siswi di sekolahnya tersebut.

“Sayang, ada yang jemput kamu di bawah, tuh!” panggilan sang mama menghentikan pergerakan Amanda.

Ia lantas mengecek penampilannya sekali lagi sebelum turun ke bawah menemui supir yang dimaksud Hilman.

Setelah pamit dengan mamanya, gadis yang mengenakan gaun putih bunga-bunga itu segera masuk ke dalam mobil dan melaju menemui pria yang sudah menunggunya.

Tidak lupa Amanda mengabari Hilman kalau dirinya sedang menuju kesana.


Membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai di taman yang ternyata tidak ramai pengunjung itu.

Amanda diantar oleh supir yang mengantarnya menemui Hilman.

“Makasih, pak!” ucapnya setelah berhasil sampai di tempat dimana Hilman sudah menunggu.

Hilman terlihat sangat antusias dengan kehadiran gadis itu. Terlihat jelas dari senyumnya yang mengembang bahkan sejak Amanda belum menginjakan kakinya di tikar yang sudah Hilman siapkan.

“Nyengir aja lo!”

Kekehan kecil terdengar dari mulut Hilman, “Lo cantik banget pake baju itu.” pujinya.

Yang dipuji sekuat tenaga menahan malunya, “Diem, deh! Bosen dipuji cantik terus.”

“Ya udah kalo gitu, gue bilang jelek aja, ya?”

Mendengar itu rasanya Amanda ingin memukul tubuh Hilman yang kalau diperhatikan terlihat seperti lebih kurus dari biasanya, namun tangannya lebih dulu ditahan sebelum mendarat di bahu Hilman.

“Tenaga lo itu tenaga kuda, jangan mukul gue lagi!” ledeknya.

Amanda hanya mencibir karena ia juga tidak ingin kejadian sebelumnya terulang lagi.

Entah berapa jam lamanya Hilman menyiapkan acara piknik sore ini, yang jelas sangat terlihat usahanya untuk membuat pikniknya tidak mengecewakan.

Hilman menuangkan jus lalu memberikannya pada Amanda yang langsung diminum habis, “Makasih, tau aja tenggorokan gue lagi kering!”

“Gimana sekolah tanpa gue, Man?”

Yang ditanya terlihat berpikir sejenak, “Biasa aja, sebelumnya juga gue gak ngerasa ada lo di sekolah.” katanya sambil terkekeh.

Mendengar itu entah kenapa justru membuat Hilman bernapas lega, “Bagus, deh!”

Sekarang gantian Amanda yang memberi pertanyaan, “Jadi, lo kemana aja, Hil? Lama banget bolosnya.”

Hilman menggerakkan jarinya, mengisyaratkan agar gadis di depannya mendekat, “Sebenernya gue habis keliling dunia.” bisiknya, mengundang tepukan dari telapak tangan Amanda di pahanya sendiri.

“Gak bisa serius banget!”

Keduanya melanjutkan obrolan dengan membicarakan gosip-gosip sekolah yang belum sampai ke telinga Hilman.

Mulai dari kunci jawaban ulangan yang bocor, menu baru di kantin, bahkan info tidak penting seperti kucing yang melahirkan di ruang kelas juga diceritakan oleh Amanda.

Perempuan itu terlihat sangat atraktif saat bercerita, tangannya tidak bisa diam seperti sudah di setting untuk bergerak mengikuti intonasi suaranya. Ekspresinya juga tidak membosankan, membuat Hilman menyimaknya dengan tanpa menyela sedikitpun.

Diam-diam Hilman mengupas kulit jeruk lalu memberikan isinya pada Amanda, ia juga membukakan bungkus jajanan yang lagi-lagi diberikan untuknya.

Berbeda dengan Amanda yang asik berceloteh, Hilman hanya mendengarkan setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir mungil gadis itu.

“Terus lo tau gak apa yang Windy beli? Dia malah—”

Belum selesai dengan ceritanya, Hilman lebih dulu memotong ucapan Amanda, “Gue mau es krim.”

“Hah?”

“Es krim, Man. Di ujung sana ada yang jual, lo beli ya?” pinta Hilman sambil menunjuk ke arah yang ia maksud.

“Gue sendiri yang beli?”

Hilman mengangguk, “Iya, pake sepeda aja perginya.”

Walaupun agak bingung, Amanda tetap menuruti permintaan Hilman. Laki-laki itu sudah menyiapkan semuanya, jadi ia rasa tidak ada salahnya kalau kali ini membelikan es krim untuknya.

“Oke, tunggu disini ya!”

Amanda bergegas menaiki sepeda yang sudah ada di sana sejak awal kedatangannya dan segera menggowes ke ujung taman dimana tempat es krim dijual.

Ia menoleh ke belakang sebelum melajukan sepedanya lebih cepat. Hilman masih di sana, menatapnya dengan senyuman yang terlampau indah.

Setelah sampai di tukang es krim, Amanda langsung memesan 2 rasa cokelat kemudian segera kembali ke tempat piknik.

Dari kejauhan ia sudah melihat kejanggalan.

Kenapa lokasi yang sebelumnya terdapat tikar dan makanan kini terlihat sangat kosong?

Mencoba menghempaskan pikiran buruk, Amanda menggowes lebih cepat.

Namun fakta yang ia lihat sesampainya di sana justru membuat jantungnya seperti lepas dari tempatnya. Bukan tikar lagi yang ia temukan, melainkan hanya tanah berumput.

Apa ini? Apakah pertemuannya dengan Hilman beberapa menit lalu hanya khayalan?

Amanda menjatuhkan sepedanya ke tanah, tidak peduli akan rusak atau tidak.

Ia berkali-kali mengirimkan pesan ke nomor Hilman, ia juga melakukan panggilan yang tidak kunjung menerima jawaban.

Langit yang mendung seperti mendukung suasana hatinya saat ini. Sedih dan bingung.

Kenapa Hilman tiba-tiba menghilang? Kemana laki-laki itu pergi?

Sedetik kemudian langit mulai menangis, menjatuhkan airnya membasahi tanah yang ia pijak. Bersamaan dengan itu, setetes air ikut turun dari matanya.

Amanda dan kakinya yang lemas terjatuh ke tanah yang sudah basah karena air hujan turun begitu derasnya.

Gadis yang beberapa menit lalu tertawa lepas kini menangis meraung-raung memanggil satu nama, Hilman Ferdinan.

Entah perasaan apa yang kini hinggap di hatinya. Yang Amanda tahu hanya ia yang merasa tidak ingin dipisahkan dari Hilman–lagi.

Tidak mendapat petunjuk sedikitpun, Amanda memukul-mukul kepalanya sendiri karena merasa bodoh sebab tidak tau alasan apa yang membuat Hilman pergi tanpa berpamitan padanya.

Saat berusaha memikirkan satu alasan yang masuk akal, tiba-tiba sebuah tangan menghentikan pergerakannya.

Amanda sangat berharap tangan itu adalah milik laki-laki yang sedang ia pikirkan, namun saat mendapati sosok Azka di sampingnya ia justru menangis lebih kencang.

Azka dengan tangan kiri memegang payung dan tangan kanan menggenggam jemari Amanda ikut duduk berjongkok di sebelahnya.

“Hujan, Man, ayo pulang.”

Alih-alih mengiyakan, Amanda malah menggeleng kuat dibarengi suara tangisan yang seperti tidak ada tanda-tanda ingin berhenti.

Azka menarik tubuh Amanda, membawa raga mungil itu ke pelukannya, membiarkan bajunya ikut basah terkena baju Amanda yang sudah sangat basah.

Di tengah guyuran hujan, keduanya sama-sama menangis.

Bedanya, Azka menangis dalam diam.


Aku yang mengekor di belakang punggung tegap Hilman dapat merasakan beberapa pasang mata menatap ke arah kami.

Entah ini keputusan yang tepat atau tidak, menerima tawaran Hilman ternyata dapat mengundang bisikan yang kini mulai menyapa telingaku.

Aku paham betul kenapa reaksi orang-orang di sekitarku sampai seperti itu. Bagaimana tidak? Seorang siswa most wanted tengah memasangkan helm ke kepala siswi dengan reputasi biasa-biasa saja yang tidak lain dan tidak bukan adalah aku, Amanda Zweta.

Setelah selesai dengan helm, Hilman tidak langsung menyuruhku naik ke atas motornya. Ia malah menduduki jok belakang yang seharusnya aku tempati, “Sebentar ya, jok nya panas.” lirihnya.

Selama kurang lebih satu menit Hilman duduk di jok yang katanya panas itu, sedangkan aku hanya melihat-lihat sekitar guna mengusir kecanggungan ini.

Hilman kemudian turun dari motor untuk menurunkan footstep di sebelah kanan dan kiri menggunakan tangannya.

“Yuk, berangkat!” katanya setelah kembali duduk di depan, mempersilahkan aku untuk naik ke motornya.

“Udah?”

Aku hanya mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya. Bodohnya aku, tentu saja Hilman tidak bisa melihat anggukkan itu.

Laki-laki yang wangi parfumnya masih kuat walaupun sudah sore ini menolehkan kepalanya ke belakang, membuat mataku bertemu dengan miliknya yang baru kusadari ternyata seindah itu, “Udah siap atau belum, Man?”

“Udah, udah! Ayo berangkat.” jawabku tergesa-gesa karena gugup.

Hilman kembali menatap ke depan lalu terkekeh sampai bahunya bergetar membuat aku merutuki diri sendiri karena malu telah terlihat gugup barusan.

Kami pun meninggalkan area sekolah, bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.

Baik aku maupun Hilman tidak ada yang berbicara. Syukurlah, aku memang tidak suka mengobrol kalau sedang dalam perjalanan.

Ketika motor yang kutumpangi melewati gang menuju rumahku, aku lantas menyuruh Hilman berhenti dan putar arah.

Namun ia tidak menghiraukan ucapanku, dirinya terus melaju membuat aku panik.

“EH GUE MAU DIBAWA KEMANA?! LO MAU MACEM-MACEMIN GUE YA? TURUNIN GUE! TURUNIN GUE SEKARANG, HILMAN!!” aku berteriak sambil memukul-mukul punggungnya, tidak peduli dengan pengendara lain yang menatap heran.

Hilman memekik, “Arghh! Sakit banget!”

Sadar kalau aku memukulnya terlalu kencang, aku lantas menghentikan aksiku berbarengan dengan motor Hilman yang ikut menepi ke pinggir jalan.

“Yah, Hil, sorry. Lagian lo kayak mau bawa gue kabur, sih! Sakit ya? Maaf, Hil!” sesalku sambil menepuk pelan area yang sebelumnya aku hadiahi pukulan.

Sekitar tiga menit kami diam di pinggir jalan dengan Hilman yang terus-terusan mengerang kesakitan, “Sesakit itu kah pukulannya?” batinku.

Hilman menyalakan mesin motornya, “Tadinya gue mau ajak lo jalan dulu, tapi kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat deh. Lain kali aja gapapa, kan? Sekarang gue anter lo pulang.” ujarnya lalu memutarbalikkan motornya ke rumahku.


Aku berlari kecil ke arah motor yang terparkir rapih lalu bercermin di spion, kulihat bibirku pucat sekali karena tidak sempat minum air putih selama jam pembelajaran terakhir. Akupun memoleskan lip tint yang selalu kubawa agar tidak terlihat seperti orang sakit.

Setelah itu aku langsung mengaitkan tali helm sebelum keluar dari area parkiran sekolah.

Jalanan yang sepi menjadi alasanku mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dengan percaya diri aku memfokuskan perhatian ke depan sembari mencengkram kuat stang motor.

Saat bertemu dengan tikungan tajam, akupun lantas memiringkan motorku. Namun pergerakanku yang terlampau percaya diri ini malah membuat motor yang kukendarai berbelok terlalu miring.

Lalu sedetik kemudian aku sudah menempel pada permukaan tanah dibarengi dengan badan motor yang menindih tubuh ringkihku.

Aku tidak bisa langsung bangun karena kakiku terhimpit, pergelangan tanganku yang juga sakit karena terkilir membuat aku tidak bisa memindahkan motor ini dari atasku.

Dapat kulihat dua orang bapak-bapak mendekat ke arahku, aku dibantu berdiri setelah motorku berhasil diawaskan.

Ternyata tidak hanya pergelangan tangan, kakiku juga sepertinya terkilir karena untuk melangkah saja aku kesulitan.

Baru saja bapak-bapak yang menolongku ingin membantu aku berjalan, seseorang entah darimana tiba-tiba datang menghampiriku.

“Ayo gue bantuin.” kata laki-laki yang dikenal sebagai cowok idaman di sekolahku, Hilman Ferdinan.

Ia melingkarkan tanganku ke bahunya, membawaku duduk di pangkalan ojek yang lumayan ramai. Aku langsung duduk sedangkan Hilman berlari ke jalan dan mendorong motorku ke tepi jalan, kemudian kembali setelah membeli air mineral di warung dekat pangkalan ojek ini.

“Makasih.” ucapku seraya menerima botol minum darinya.

Hilman menunggu aku selesai dengan minumanku sebelum membuka suara, “Gue anter aja ya pulangnya? Nanti motor lo biar dibawa sama Azka.”

“Gak ngerepotin emangnya?”

Pria itu tersenyum lalu menggeleng, “Daripada lo nanti jatuh lagi?”

Aku memijit pelan pergelangan tanganku yang terasa nyeri kalau digerakkan, “Iya, sih.” lirihku.

“Ya udah gue chat Azka dulu biar nyusul kesini.”

Untuk beberapa menit kedepan kami mengobrol santai sambil menunggu Azka. Padahal aku dan Hilman tidak sedekat itu, entah kenapa hari ini dia menunjukkan sisi malaikatnya. Tadi pagi membelikan bubur dan sekarang ia juga menolongku.

“Abisin air minumnya!”

“Udah nggak haus, buat lo aja!”

Sesaat kemudian aku menyesali ucapanku karena Hilman yang tiba-tiba merebut botol minum dari tanganku dan langsung menempelkan bibirnya tepat di lubang botol yang terdapat warna pink bekas bibirku. Ia menenggak air tersebut sampai habis.

Saat aku ingin menegurnya, Azka malah datang menghampiri kami berdua. Aku lantas mengurungkan niatku untuk memprotes Hilman.

Setelah bercakap-cakap sebentar akhirnya aku dan Hilman pulang dengan diikuti Azka di belakang motor Hilman.


Seseorang yang rambutnya dikuncir kuda telah berdiri di dekat panggung sejak 1 jam lalu. Karena menggunakan sepatu yang sol nya setinggi 5 cm, Najla bertumpu pada sepatunya dengan percaya diri.

Pasalnya walaupun ia berada di area depan, tubuhnya yang mungil itu tetap saja bisa tertutup oleh punggung orang lain di depannya. Sepatu yang ia kenakan sangat membantu penglihatannya.

Najla juga sengaja memakai masker untuk berjaga-jaga kalau Febi menyadari kedatangannya. Dirinya beberapa kali menoleh dan melirik ke kanan kiri, mencari Febi. Namun keberadaan temannya itu tidak terlihat olehnya.

Area konser malam itu sangat penuh sampai suara orang-orang disana sudah memekakkan telinga padahal acara utamanya saja belum dimulai.

Entah akan sebising dan seheboh apa kalau Kenny Alvaro sudah menampakkan dirinya di atas panggung.

Tak lama kemudian, intro musik milik Kenny menggema di seluruh ruangan, membuat semua penggemarnya bersorak kegirangan.

Lalu beberapa detik setelahnya sang bintang yang telah dinantikan muncul, melantunkan lirik demi lirik yang ia tulis sambil berjalan sampai ke tengah panggung.

Kerumunan penggemar Kenny semakin histeris tatkala idolanya itu telah menginjakan kakinya tepat di tengah panggung yang dapat terlihat oleh semua orang disana.

Najla dengan perasaan berdebar-debar ikut bersorak, tubuhnya bergerak mengikuti irama musik yang memenuhi gendang telinganya. Dirinya bahkan sampai meloncat-loncat saking terlalu menikmati pertunjukan Kenny di atas panggung.

Pria pemilik nama Alvaro itu kemudian beranjak dari posisi awalnya. Ia berjalan mengitari panggung, menatap kerumunan orang di bawah panggung sambil terus menyanyi dan sesekali menyapa penggemarnya.

Kaki jenjangnya berhenti tepat di depan Najla, ia tersenyum saat mendapati Najla tengah bersorak untuknya.

Padahal Najla saat itu sedang memakai masker yang menutupi wajahnya, bagaimana Kenny bisa mengenali perempuan itu?

Ah.. mungkin karena jaketnya yang ia pinjamkan beberapa hari lalu itu tersampir di bahu Najla.

Najla membalas senyuman Kenny walaupun ia sadar kalau senyumnya itu tidak terlihat.

Kemudian Kenny melanjutkan langkahnya menyisir area panggung yang lain. Najla mengelus dadanya sendiri agar jantungnya tidak berdetak terlalu cepat dan berantakan.

Ini pertama kali baginya menonton konser Kenny di barisan paling depan, tentu saja kesempatan dilihat oleh Kenny juga semakin besar. Namun Najla tidak menyangka kalau seorang Kenny Alvaro akan melempar senyum padanya.

Padahal hanya beberapa detik, namun efek senyuman Kenny itu belum hilang bahkan sampai berjam-jam kemudian.

Seperti robot yang baterainya tidak pernah habis, Najla masih bersemangat dan antusias walaupun telah berdiri selama kurang lebih 3 jam.

Lagu yang entah ke berapa kembali dinyanyikan dengan apik oleh laki-laki yang keningnya sudah berkeringat.

Najla lantas mengerahkan seluruh tenaganya untuk 2 lagu terakhir itu.

Tidak hanya Najla yang heboh, penonton lain pun begitu. Saking hebohnya tubuh Najla sempat terdorong oleh orang di belakangnya, membuat ia menoleh untuk melihat siapa yang membuat tubuhnya hampir jatuh.

Namun netranya lebih dulu menangkap pemandangan yang membuat ia mengedipkan matanya berkali-kali.

Febi dan Julian.

Ia melihat teman dan suaminya yang tidak terlalu berjarak dari posisinya itu tengah asyik menyanyi, terlihat sangat akrab seperti pasangan kekasih.

Seketika musik yang sejak tadi berdendang keras tiba-tiba menjadi tidak terdengar lagi oleh telinganya. Najla terlalu terkejut dengan apa yang ia lihat.

Bagaimana bisa Julian ada disini? Bersama Febi pula.

Pikiran jelek mulai menguasai otaknya. Membuat ia menebak-nebak apa yang sedang terjadi.

Najla tidak berniat menghampiri dua orang itu karena situasinya yang seperti tidak memungkinkan. Alhasil Najla menjadi tidak seenjoy di awal pertunjukan. Ia menonton penampilan terakhir Kenny dengan suasana hati yang buruk.

Musik berhenti setelah Kenny mengucapkan salam perpisahan selama beberapa menit. Aula konser pun dipenuhi suara tepuk tangan saat Kenny meninggalkan panggung.

Para penggemar mulai berjalan ke belakang untuk keluar dari area panggung. Namun tidak dengan Najla, ia harus mengembalikan jaket milik Kenny.

Namun karena sudah terlalu bete, Najla mengurungkan niatnya untuk menemui Kenny di belakang panggung karena ia tidak ingin bertemu dengan idolanya saat suasana hati sedang tidak baik.

Alih-alih berjalan ke belakang, Najla justru berjalan ke depan sampai pagar pembatas panggung dan menunggu sampai ada staff yang lewat.

“Kak!”

Dipanggilnya seorang laki-laki jangkung yang sedang berjalan. Mendengar ada yang memanggil, laki-laki itu segera menghampiri.

“Ini jaket punya Kenny, aku nitip ya. Jangan diambil, ini punya Kenny lho! Aku gak bisa ketemu langsung soalnya, jadi aku nitip sama kamu, ya, kak!” ujar Najla tanpa jeda, “Makasih, aku mau langsung pulang. Bye, kak!”

Setelahnya Najla bergabung dengan gerombolan manusia lainnya yang hendak keluar.

Selama perjalanan pulang, Najla terus memaki-maki Julian di dalam hati.

Berani-beraninya dia selingkuhin aku!


Najla membawa tubuhnya yang tidak terlalu kurus itu ke dalam bangunan yang menjadi tempat pertemuannya dengan seseorang.

Seseorang itu adalah Kenny Alvaro, idola bagi mayoritas kaum remaja yang namanya telah naik daun sejak awal meniti karir di bidang musik.

Lagu Here We Go Again yang dipopulerkan oleh Arditho Pramono menyambut kedatangannya, ia pun lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang tidak terlalu ramai tersebut. Mencari keberadaan Kenny di dalam sana namun eksistensinya tak kunjung tertangkap oleh netranya.

Salah Najla karena tidak menanyakan di meja mana Kenny menunggunya. Baru saja ingin mengirim pesan pada Kenny, satu notifikasi dari orang yang dicari muncul di layar benda pipih yang ia genggam sejak tadi.

Minta waiters buat anterin ke meja no 23, Naj.

Setelah membaca pesan singkat itu Najla langsung menghampiri salah satu pelayan kafe di sana untuk mengantarnya ke meja yang disebut Kenny. Ia diajak ke sudut kafe—dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan raya.

Dapat ia lihat laki-laki bertopi yang tengah asik memerhatikan jalanan dengan tangan kiri menopang dagunya, laki-laki itu adalah Kenny Alvaro.

Tidak pernah sekalipun terlintas dalam benak Najla akan bertemu dengannya di tempat ini dan hanya berdua tanpa penggemarnya yang lain.

Begitupun dengan Kenny, ia tidak pernah membayangkan akan berada di satu meja yang sama dengan salah satu penggemar favoritnya.

Ini bukan pertemuan pertama mereka, melainkan yang kesekian kalinya mereka bertemu secara langsung dengan karena Najla yang tidak pernah absen dari konser Kenny dan rutin ikut meramaikan acara meet and greet yang diselenggarakan oleh manajemen yang menaungi idolanya tersebut.

Kenny menyadari kehadiran Najla setelah ia dan kakinya yang sudah lemas itu berdiri di depannya, “Najla? Hai!”

Laki-laki itu menyapanya lebih dulu. Ia bahkan menyodorkan tangannya yang dipenuhi gelang, berniat menjabat tangan Najla.

Dengan persentase keberanian yang sangat kecil Najla perlahan mengangkat tangan gemetarnya—saking tidak percaya dengan siapa ia akan bersalaman.

Kenny terkekeh, tidak tahan dengan tingkah Najla yang terlihat menggemaskan di matanya.

Lalu yang dapat Najla rasakan sedetik kemudian adalah tangannya yang ditarik oleh Kenny karena tak kunjung menyambut miliknya, “Gugup banget? Sampe keringetan gini?”

Dalam hati Najla merutuki diri sendiri karena tidak bisa mengontrol kecemasannya. Dirinya hendak menarik kembali tangan yang berkeringat itu, namun segera ditahan oleh laki-laki yang kini sedang menyeka cairan asin dari telapak tangannya menggunakan tissue.

“Eh, gak usah, Kenny.” kata Najla.

Alih-alih menuruti ucapannya, Kenny malah kembali terkekeh kali ini dengan suara yang lebih nyaring, “Santai, kayak ketemu presiden aja lo!” Kenny memang dikenal sebagai penyanyi yang humble pada penggemarnya. Jadi jangan heran kalau keduanya akan bicara santai selayaknya teman sebaya. “Duduk dulu, Naj. Mau minum apa?”

Setelah nyaman dengan posisi duduknya, Najla menilik daftar menu yang sejak tadi ada di meja, ia memilih varian yang sering dibeli saat sedang enggan mencoba rasa baru, “Matcha latte aja deh.”

“Oke, tunggu ya.” titah Kenny kemudian berdiri dari duduknya.

“Kamu yang *order”?” Kenny mengiyakan pertanyaannya lalu melangkahkan kaki panjangnya menghampiri pelayan di belakang meja kasir kafe ini.

Najla kira ia akan mengangkat tangannya tinggi- tinggi lalu meminta salah satu diantara pelayan di sana untuk mengurus pesanan kami.

Beberapa menit kemudian Kenny kembali, berjalan ke arah Najla seraya melepas jaket denim yang ia kenakan. Saat sudah sampai di meja, ia menyampirkan jaket itu di pahanya yang agak terekspos karena memakai rok pendek.

“Gapapa?” Najla sungguh bertanya mengingat siapa Kenny Alvaro itu. Ku ingatkan lagi, Kenny Alvaro adalah musisi muda yang karyanya telah sukses sejak debut. Seorang selebriti yang mampu menggelar konser dan dihadiri oleh ribuan penggemarnya.

Bukankah akan terlihat aneh kalau ia memberikan jaketnya pada Najla yang secara harfiah tidak memiliki hubungan khusus dengannya?

Seakan menangkap ekspresi cemas yang terpancar dari wajah gadis itu, “I'm a gentleman, Najla,” lirih Kenny dibarengi sebelah ujung bibirnya yang naik sebelah, “Kaki lo diliatin orang-orang.” sambungnya.

Najla melirik ke meja di sebelahnya yang berisi 4 laki-laki, benar saja, mereka panik dan langsung mengalihkan pandangannya seperti maling yang tertangkap basah, “Thanks, Kenny!”

Laki-laki yang hari ini mengenakan kaus hitam itu mengangguk pelan sebelum mengeluarkan sebuah pouch berwarna biru dari backpack yang sering ia bawa kemana-mana, “Your ticket.

Kenny meletakan pouch itu di dekat tangan Najla, sebagai fans yang menggemarinya sejak awal tentu ia merasa waktu yang disisihkan untuk mengaguminya selama 5 tahun ini sangatlah tidak sia-sia.

Najla menggenggam pemberiannya dengan senang hati, “Makasih banyak ya! Tapi sebenernya aku gak butuh tiket gratis karena aku bisa beli sendiri. Yang aku butuhin sekarang tuh izin dari suami aku. Gimana ya biar dibolehin ke konser kamu?”

Saat Kenny ingin menjawab, seorang pelayang wanita datang membawakan pesanan mereka. Ia meletakkan gelas minuman yang dibawanya dengan hati-hati ke meja.

Namun bukannya langsung beranjak, wanita yang memakai name tag bertuliskan nama Tiara itu malah ingin foto bersama Kenny. Kenny tidak menolak, ia justru meminta tolong pada Najla untuk memotret mereka berdua.

Setelah mengambil beberapa pose Kenny kembali duduk, “Gimana tadi pertanyaan lo?” tanyanya pada Najla karena ia benar-benar lupa pertanyaan yang dilontarkan Najla beberapa menit lalu.

Yang ditanya hanya menggeleng, sepertinya akan tidak etis kalau ia menceritakan masalah pribadinya pada Kenny.

Lalu untuk beberapa menit kedepan keduanya mengobrol, membicarakan hal random baik tentang Najla maupun tentang Kenny.

Najla bahkan memberitahu Kenny kalau ia telah mendukungnya selama 5 tahun sejak awal debutnya dan itu membuat Kenny mengucap terimakasih dengan sangat tulus.

Laki-laki bertopi hitam itu tampak lebih atraktif kalau dilihat dengan jarak sedekat ini. Obrolan mereka berlangsung selama kurang lebih 30 menit.

Kenny menawarkan tumpangan pada Najla sebab ia melihat langit yang sudah hampir gelap.

“Aku bawa motor, makasih tawarannya.” kata Najla menolak dengan halus.

Sedikit kecewa, namun Kenny berusaha mengontrol ekspresinya, “Ya udah.. Btw itu jaketnya dibawa aja, balikin minggu depan ke backstage.”

Najla sempat berpikir apa maksud ucapan Kenny dan ingin memperjelas maksudnya, namun Kenny sudah lebih dulu keluar meninggalkannya yang masih belum berkutik dari kursi.

Dibukanya pouch dari Kenny, ada satu tiket dan satu kertas yang tertulis nomor telepon, “Ini gak mungkin nomor pribadi Kenny kan? Ah.. Aku harus hubungin nomor ini dulu!” batin Najla kemudian ia beranjak pulang sebelum hujan turun.