JUDUL
gently reminder ini hanya fiksi dan bergenre fantasi
19.45
Gadis yang mengenakan pakaian pasien itu mengerjap beberapa kali sampai netranya dapat melihat dengan jelas ruangan serba putih di sekelilingnya
“Rin?” panggil seseorang yang ia kenal sebagai Ajay Kharizma, “Erin akhirnya bangun juga kamu!” pekik seseorang itu sebelum memanggil dokter.
Erin yang masih setengah sadar kembali memejamkan matanya karena merasa masih pusing, tidak lama kemudian dokter masuk untuk memeriksa keadaannya.
Ajay di samping ranjang Erin terus tersenyum seperti orang bodoh yang senyum-senyum sendiri. Erin meliriknya dengan heran karena satu bulan kebelakang Ajay tidak pernah menunjukkan senyumannya yang seperti ini.
“Lain kali di cek dulu makanannya ya Bu, mengandung udang atau tidak. Kalau beli makanan kemasan juga jangan lupa diliat komposisinya dulu.”
Erin mengangguk paham, “Saya udah bisa pulang kan dok? Gak perlu dirawat kan ya?”
“Iya, silahkan diurus terlebih dahulu administrasinya ya.” kata dokter kemudian pamit keluar.
Setelah tersisa mereka berdua di ruangan ini, Ajay langsung meraih tangan Erin yang sedang berusaha untuk duduk.
“Kamu kenapa sih aneh banget?”
“Rin, ini aku.”
“Iya aku tau kamu itu kamu. Jangan berlebihan deh, aku cuma pingsan bukan amnesia kayak kamu.”
“Dengerin aku,” Ajay menahan bahu Erin saat ia ingin beranjak dari tempatnya, “Yang satu bulan ini sama kamu, itu bukan aku. Dia jiwa orang lain yang masuk ke tubuh aku, dan saat itu aku ada di raga orang itu. Kita tukeran tubuh sebulan lalu, waktu aku koma. Sampe sini paham?”
Erin mengangguk.
“Bagus. Nah kenapa kita tukeran tubuh itu karena pas aku koma, jiwa aku ngga ada di tubuh aku sendiri. Begitupun jiwa dia. Kita bertemu sebagai jiwa yang berkeliaran karena belum waktunya untuk bangun dari koma. Saat itu kita akhirnya temenan, saling cerita, dan akhirnya memutuskan untuk meminjam raga satu sama lain. Awalnya dia bilang, dia belum pernah ngerasain dicintai sama perempuan karena fisiknya yang lemah dan sering sakit-sakitan, jadi aku yang terharu denger cerita dia pengen bantu dengan minjemin tubuh aku. Sedangkan aku masuk ke raga dia dan merasakan gimana rasanya jadi seorang anak dengan keluarga yang lengkap dan harmonis. Perjanjian kita waktu itu cuma satu bulan karena sebenarnya dia udah gak punya banyak waktu untuk hidup. Tapi seiring berjalannya waktu, dia malah terlalu nyaman menjadi aku. Dia gak mau kembali ke raga nya dan dia mau selamanya sama kamu. Aku ya gak bisa biarin itu karena kalau itu terjadi sama aja nantinya malah aku yang menggantikan dia untuk mati. Aku udah bujuk dia berkali-kali biar mau balikin tubuh aku, tapi dia tetep nolak. Sampe akhirnya, hari ini, dia ngajak aku ketemu dan mau kembali ke tubuh aslinya.”
“Udah?”
“Hah?”
“Udah selesai belum halu nya? Kamu tuh ngaco banget dari tadi. Mana bisa tukeran jiwa kayak gitu sih? Aneh.” tukas Erin, ia langsung bangun dan berjalan keluar.
Pergerakan Erin terhenti tatkala Ajay meneriakkan kalimat yang berhasil membuat gadis itu berpikir kembali tentang cerita yang Ajay jelaskan semenit lalu.
“Aku gak akan kasih nasi goreng udang kalo dia itu aku!”
Erin membalikan badannya, menatap lurus ke arah Ajay yang masih duduk di tepi ranjang.
Lalu Ajay dengan langkah panjang menghampiri Erin, “Aku punya satu bukti yang bisa bikin kamu percaya,” katanya kemudian mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.
Sebuah surat.
“Dari dia“
Erin dituntun kembali ke ranjang pasien, ia duduk membaca surat itu disana.
Dear, Erin..
Hai cantik! Kaget ya? Pertama aku mau minta maaf karena bikin kamu sakit gara-gara nasi goreng buatan aku.
Erin, aku sangat berterimakasih untuk pengalaman yang menyenangkan selama satu bulan ini. Terimakasih sudah mengizinkan aku untuk mengenal kamu sebelum aku pergi selamanya.
Erin, kamu itu cantik walaupun lagi nangis. Kamu selalu cantik, Erin. Nanti jangan ngumpet lagi kalau nangis, kamu butuh dipeluk.
Erin, maaf aku udah bohongin kamu.
Erin, namamu bagus.
Erin, aku pamit ya? Jangan kangen, Ajay mu sudah kembali.
From,
Toni
Erin meneteskan air matanya setelah membaca kalimat terakhir di surat itu.
“Sekarang dia dimana, Jay?”
Ajay tidak bisa menjawab karena saat itu, Toni—baik jiwa maupun raganya telah tiada.