everything happened in one night


Vallen turun dari taksi dengan menenteng plastik bubur ayam dan obat yang ia beli sebelum pergi ke kos-kosan mantan kekasihnya ini.

“Gue udah di depan.” send

Tidak lama setelah mengirim pesan singkat itu, Evan menghampiri Vallen yang berdiri di depan gerbang kos-kosannya.

“Len? Masuk dulu.”

“Gue mau langsung pulang, ini bubur sama obatnya udah gue beli.”

“Mampir dulu lah, kamu kan baru sampe,” Evan menahan tangan Vallen yang sudah ingin memesan taksi online, “Nanti pulangnya aku anter.”

Mendengar sebutan 'aku-kamu' dari Evan rasanya agak canggung, namun tidak bohong juga kalau Vallen sedikit merindukan berbincang begini dengan laki-laki berkaus abu ini.

“Gue cuma nemenin lo makan sama minum obat, abis itu gue pulang.” tukas Vallen yang dibalas anggukan.

Keduanya berjalan di lorong kos ditemani tatapan heran penghuni kos lainnya. Tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Mungkin bertanya-tanya gadis mana lagi yang kali ini dibawa Evan, entahlah.

“Duduk dulu.” titah Evan setelah memasuki ruangan yang disebut kamar kos itu.

Vallen menduduki kursi kayu di samping ranjang sembari menyiapkan bubur dan obat untuk laki-laki yang kini sedang mengambil air minum, “Sekarang sering balik ke kos ya?” tanyanya setelah menyadari betapa berantakannya tempat ini.

Biasanya Evan memang jarang menempati kos-nya, ia hanya akan mampir kalau benar-benar sedang ingin saja. Misalnya saat banyak tugas yang mengharuskan ia mengerjakan dengan fokus atau saat sedang menyiapkan projek kampus dan ia harus bolak-balik ke kampusnya.

“Iya, biasa, mahasiswa akhir.” kata Evan dibarengi tawanya yang jujur sudah lama tidak Vallen dengar.

Evan mengambil posisi di atas tempat tidurnya, duduk bersila. Lalu tanpa disuruh Vallen refleks memajukan tangannya, hendak memberikan suapan pertama untuk Evan.

Menangkap ekspresi kaget Evan, ia memundurkan sendoknya kembali, “Sorry, mau makan sendiri?”

Alih-alih mengangguk atau bilang 'iya', laki-laki yang rambutnya acak itu malah membuka mulutnya sambil bersuara, “Aaa!”

Kekehan kecil Vallen terdengar, “Bayi banget!” katanya gemas.

Di suapan ketiga Evan terlihat mengunyah dengan ogah-ogahan, tidak nafsu mungkin.

“Gak enak ya?”

“Gak ada rasanya.”

“Tetep harus habis loh! Abis ini mau minum obat.”

“Siap komandan!”

Tawa renyah kembali menggema di ruangan yang luasnya tidak seberapa ini.

Kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya mereka berinteraksi—lagi setelah bertengkar dan memutuskan hubungan via chat.

Keduanya saling melempar pandangan rindu, rindu bertemu dan rindu berbincang.

Evan bahkan berhenti mengunyah padahal gumpalan nasi lembek itu masih tinggal di rongga mulutnya.

Seperti tidak ada hari esok, mereka sama-sama menelisik wajah satu sama lain seolah tidak ingin berhenti.

Sedetik kemudian mual yang tidak diundang tiba-tiba mengganggu momen itu.

“Mau muntah.”

Vallen langsung mengambil plastik bekas bubur yang ia bawa, menadahkan plastik itu di depan mulut Evan agar ia memuntahkan isi perutnya di sana.

Evan menjatuhkan tubuhnya lemas, ia merengek, “Udah ah makannya, mau langsung minum obat.”

“Iya sebentar ya,”

Melihat situasinya sepertinya Vallen harus lebih lama disini, ia tidak ingin nanti Evan sendirian.

Vallen mentransfer uang ke Nahar sebagai pengganti McD yang ia janjikan pada teman-temannya. Ia juga langsung menelepon Nahar, mengabari kalau dirinya tidak bisa bergabung dengan pertemuan mereka.

Selesai dengan itu, Vallen kembali 'mengurusi' bayi besar yang sekarang sudah mengganti kausnya karena terkena muntahan.

Ia dengan cekatan memberikan 2 tablet obat yang harus diminum Evan.

“Kamu mau pulang?”

“Kamu mau aku pulang?

Evan menggeleng.

“Ya udah aku stay.”


kinda mature but it's okay hshshs

Jam dinding sudah mengarah ke angka 7 dengan jarum pendek menunjuk angka 15.

Vallen masih setia menemani Evan yang sudah pulas sejak 30 menit lalu.

Ia bangun dari duduknya setelah merapikan kamar Evan yang berantakan, mendekat ke arah Evan ingin membetulkan selimutnya yang tersingkap.

Dipandanginya wajah teduh Evan yang terlihat capek. Bibir pucat dan kantung matanya yang jelas seperti mengatakan kalau lelaki ini sedang di titik terlelahnya.

Lelah dengan kuliahnya, lelah dengan keluarganya, lelah dengan dunianya.

Melihat Evan seperti ini rasanya Vallen tidak percaya kalau laki-laki yang telah menyakiti hatinya adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang kini secara tiba-tiba membuka matanya.

Evan menangkap basah Vallen yang tangannya hampir terulur ingin merapikan rambut mantan pacarnya, “Sini,” katanya dengan suara serak karena tenggorokannya sedang radang.

Entah dapat keberanian dari mana, Vallen menuruti yang diminta Evan. Dengan percaya diri gadis itu masuk ke dalam selimut tebal yang sesaat kemudian telah membungkus tubuh keduanya.

Evan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Vallen, mendekatkan wajahnya ke ceruk leher gadis itu, “Wangi, i miss your sweet smell.

Vallen senyum tertahan walaupun Evan tidak melihat ekspresi itu karena posisinya yang membelakangi.

“Tidur, Evan.”

Untuk beberapa menit ke depan keduanya sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing. Tidak tau apa yang sedang mereka pikirkan.

Evan terpejam namun tidak benar-benar tidur. Sedangkan Vallen? Boro-boro tidur, mengatur detak jantungnya saja kesulitan.

“Vallen,”

Yang dipanggil hanya berdeham.

“Aku minta maaf.” “I'm sorry for being mean to you.

Tidak ada respon dari lawan bicaranya, Evan mendadak memutar tubuh Vallen agar berhadapan dengannya.

“Vallen,” “I miss calling your name,“ “I miss our hugs,” “I miss you, Vallen.

Vallen menunduk, mengindari tatapan Evan yang mengintimidasi, “Jangan gini.”

“Kenapa?”

Vallen hendak bangkit dari posisinya namun kesulitan karena Evan menahan, “Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang berbeda. Terdengar lebih tegas.

Merasa ada yang tidak beres, Vallen semakin berontak ingin bangun, “Aku mau pulang, lepastin.” pintanya dengan suara bergetar sambil berusaha menyingkirkan cengkraman Evan di bahunya.

You can't.

“Evan, kenapa sih?!”

“Kamu yang kenapa!”

Vallen tersentak karena belum sempat mengatur nafasnya, tahu-tahu Evan sudah berada di atasnya.

Belum sempat mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba pintu kosan didobrak sampai menimbulkan suara yang cukup keras.

Lalu tanpa berpikir dua kali Vallen langsung berteriak, membuat suara dobrakan pintu semakin cepat dan brutal.

Brakk!

Jagat hampir sempoyongan setelah mengerahkan tenaganya untuk membuka paksa pintu itu, “Anjing!”

Shit!” Evan melepaskan Vallen yang langsung lari ke arah Kesya. Ia dengan wajah sok jagoannya itu menghampiri Darrel yang berdiri paling depan.

“Lo sem–”

Bugh!

Satu bogem mentah melayang ke wajah tampan Evan.

Nahar pelakunya.

Semua yang ada di sana terkejut karena mereka tidak merencanakan ini sebelumnya.

Evan tersungkur ke lantai.

“Evan!”

Reihan menahan Vallen yang sudah ingin menghampiri laki-laki yang sudut bibirnya berdarah itu, “Bawa keluar dulu, Kes.” katanya pada Kesya.


Karena tidak sanggup menceritakan secara langsung, Kesya memberikan buku harian Raya setelah Vallen sudah cukup tenang.

Ia membiarkan Vallen membacanya dalam diam.

Diam-diam kaget, diam-diam menangis.

Setelah sampai pada halaman terakhir, menunduk menutupi wajah dengan kedua tangannya.

Tangis dan penyesalannya Vallen tumpahkan semua saat itu juga.

Kesya yang tidak tega melihatnya langsung memeluknya, ikut menangis.

Tangisan Vallen semakin menjadi setelah sadar kalau Kesya bahkan tidak pernah membencinya. Karena perempuan itu kini tengah mengelus-elus punggungnya memenangkan.

Vallen mengucapkan maaf berkali-kali karena merasa se-bersalah itu terhadap apa yang ia lakukan di masa lalu.

Dirinya merasa se-bodoh itu karena tidak memahami sahabatnya—Raya di masa lalu.

Lalu tiba-tiba Vallen berdiri dengan mata berapi-api, kembali memasuki kamar kos Evan dengan langkah panjang.

Penghuni kos yang lain mulai mengerubungi kamar itu, menyebabkan Vallen tidak sengaja menabrak beberapa orang yang ia lewati.

Di dalam sana, Evan tengah dipojokkan oleh keempat laki-laki yang ia sebut 'sahabat'. Wajahnya masih tampan, menandakan mereka tidak main hakim sendiri terhadap Evan.

“Brengsek!”

Plak!

“Bajingan gila!”

Plak!

“LO PIKIR LO SECAKEP APA, HAH?!”