Julian, hujan dan teh hangat


“Julian biasa pulang jam berapa?”

“Jam 7 udah di apart kalo gak lembur.”

Febi mengangguk dan pandangannya kembali ke laptop yang tengah menayangkan video klip Kenny Alvaro.

Sudah hampir satu jam perempuan dengan tubuh kurus ini berada di atap yang sama dengan Najla. Ia langsung mendatangi kediaman temannya itu sepulang dari tempat kerjanya.

Keduanya kini fokus menonton penampilan Kenny Alvaro di atas panggung dari layar laptop. Saat Kenny menyanyikan lagu ceria atau semangat mereka akan heboh, begitupun saat terputar video lagu ballad Najla dan Febi langsung terlihat sedih.

“Sedih banget abis ini gak bisa liat Kenny manggung lagi, Naj.”

Najla berniat menghibur Febi yang murung, “Gapapa, kita harus hargain keputusan Kenny. Yang penting kan kita masih bisa nikmatin karyanya. Iya gak?”

Yang dihiburnya mengangguk dan tersenyum. Teman yang baru ia kenal beberapa bulan ini sangat cantik saat bibirnya menyunggingkan senyuman yang manis.

Ia bahkan pernah bertanya kenapa Febi tidak ingin menjalin hubungan dengan laki-laki dan Febi menjawab, “Gak mau pacaran kalo bukan sama Kenny.”

Sama seperti Febi, Najla pun pernah punya pemikiran seperti itu. Namun ia tidak ingin berlarut-larut dalam kehaluan karena menurutnya tidak mungkin seorang Najla Khavisa dan Kenny Alvaro bisa bersatu.

Beberapa saat kemudian pintu apartemen dibuka oleh seorang laki-laki yang kemejanya berantakan entah karena apa.

Julian, laki-laki yang berstatus sebagai suami Najla menghampiri mereka, “Hai, Feb!” sapanya lalu ikut duduk di sofa.

“Hai! Apa kabar?”

“Baik baik, lo gimana?”

“Nggak baik-baik amat tapi oke lah.”

Najla berinisiatif menaruh tas dan jas yang dipakai Julian ke kamarnya, membiarkan suaminya bercengkrama dengan temannya.

Sebelum kembali Najla ingin membuatkan minum dulu untuk Julian, oleh sebab itu alih-alih kembali ke ruang tamu, Najla justru berjalan ke dapur.

Ia membuatkan teh hangat karena kebetulan malam itu sedang turun hujan.

Setelah bermenit-menit di dapur, Najla kembali ke ruang tamu dengan segelas teh hangat di tangannya.

Ia dapat melihat Julian yang asyik berbincang dengan Febi. Wajahnya terlihat begitu senang dengan matanya yang ikut tersenyum saat dua sudut labium tebalnya tertarik ke atas.

Biasanya Julian tidak menunjukkan senyumannya yang itu pada Najla, ini kali kedua baginya melihat ekspresi tersebut. Yang pertama saat mereka makan malam dua bulan lalu.

“Eh, kayaknya gue mau langsung pulang deh. Takut kemaleman.” ucap Febi saat Najla meletakkan gelas yang ia bawa ke meja.

“Tapi masih ujan, Feb.”

“Iya sih, tapi gue gak bisa lama-lama. Besok kan gue kerja.”

Najla melihat jam di dinding, pukul setengah tujuh malam. Tadi sore Febi naik ojek online, jadi sepertinya tidak mungkin perempuan ini bisa pulang sekarang saat hujan diluar malah turun semakin lebat.

Lalu tanpa diminta Julian menawarkan diri untuk mengantar Febi, “Sama gue aja.”

“Ya udah sama lo aja, deh, Jul!”

Najla sedikit terkejut dengan dua orang itu karena ia kira Julian bukan tipe yang mau direpotkan oleh orang lain, terlebih ia baru pulang kerja.

Jangankan mengantarkan seseorang pulang, diajak menemaninya nonton tv saja biasanya Julian langsung menolak dengan alasan capek.

“Boleh kan, Naj, gue dianter sama Julian?”

Hujan yang tak kunjung berhenti seperti menyuruh Najla untuk mengizinkan suaminya itu keluar mengantar perempuan lain.

“Iya boleh kok, dari pada kamu makin malem pulangnya.”

“Ya udah, ayo Feb mumpung belum malem banget.” ajak Julian.

Akhirnya Febi berpamitan dan pulang diantar oleh Julian.

Merasa seperti ada yang aneh, Najla berusaha menyingkirkan pikiran negatif dari otaknya.

Cemburu? Tidak.

Najla tidak cemburu karena ia sendiri tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki angkuh itu.

Setelah Julian dan Febi keluar dari unit apartemennya, Najla lantas membereskan meja yang berantakan.

Ah, Kak Julian bahkan enggak minum teh buatan aku.” batinnya ketika melihat mug keramik yang air teh hangat di dalamnya tidak berkurang sedikitpun.