lucky to have you


Vallen turun dari mobil Nahar tanpa mengucapkan sepatah kata. Walaupun sempat beberapa kali beradu tatap dengan pria itu lewat kaca spion, sepanjang perjalanan pun dirinya yang duduk di kursi belakang hanya diam dan segera mengalihkan pandangannya.

“Kebelet apa gimana itu si Vallen?”

Nahar hanya mengangkat bahu sebagai respon. Padahal ia tau kalau Vallen sedang menghindarinya.

“Dar! Har!”

Seseorang memanggil mereka dari belakang, Reihan dengan setelan formalnya menghampiri.

“Si tengil mana?”

“Kejebak macet katanya.”

Sehabis mengkonfirmasi posisi Jagat, ketiganya sepakat untuk menyapa tuan rumah lebih dulu.

“Rame juga yang dateng.”

“Kata gue mah ini orang yang gak Kesya kenal juga diundang.”

Ini adalah pertama kalinya mereka datang dan masuk ke rumah Kesya. Sebelumnya hanya mengantar/menjemput sampai depan gerbang saja.

Nahar, Reihan, dan Darrel disambut ramah oleh orang tua Kesya yang baru pertama kali juga mereka temui.

“Oh ini yang bikin sahabat gue gak betah di rumah.” batin Darrel.

Setelah dipersilahkan masuk, mereka segera bergabung dengan beberapa orang lainnya yang sudah lebih dulu sampai.

Reihan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, “Vallen mana?” tanyanya.

“Tadi turun duluan, gak tau kemana.”

Sejak mengungkapkan perasaannya beberapa hari lalu lewat chat, Reihan belum bertemu dengan Vallen lagi. Sebenarnya agak lega karena sudah jujur, namun disisi lain ia juga takut hubungan pertemanannya akan renggang.

“NGAB!”

Jagat berjalan ke arah mereka bersama Vallen di sampingnya.

“Ketemu di depan.” tukas Vallen sebelum mendapat pertanyaan “Kok kalian bisa bareng?”

Setelahnya Vallen dan yang lain menikmati acara yang berjalan lancar itu. Namun ia dipaksa bergabung dengan kelompok hits di kampusnya oleh Darrel karena sejak tadi terus-terusan mengekor di belakang Jagat, Nahar, dan Reihan.

Akhirnya Vallen memisahkan diri dari mereka dan terpaksa bergabung dengan orang-orang yang hanya ia kenal wajahnya saja.

Sampai pukul 9 malam, acara perayaan ulang tahun Kesya masih berlangsung.

Reihan berjalan mendekati Vallen yang terlihat sudah mengantuk, ia melepas jaketnya lalu menaruhnya di pangkuan Vallen guna menutupi paha gadis itu karena dress yang digunakan sedikit terbuka.

“Biar apa sih pake baju kayak gini? Pengen diliat cantik sama siapa emang?”

Lirikan sinis Vallen lemparkan, “Gak usah banyak omong lah, ngantuk nih gue!”

Lalu tanpa aba-aba dan persetujuan, Reihan menarik tangan Vallen, memaksa agar mengikuti langkahnya.

Beberapa pasang mata sempat tertuju pada dua orang itu karena Vallen heboh minta tangannya dilepaskan.

Keduanya sekarang berada di tepi kolam renang yang tidak terlalu ramai, “Ngapain anjir?” tanya Vallen sewot.

“Gue tau timingnya kurang pas, tapi gue udah gatel banget mau bahas ini.”

Reihan gugup, begitu juga dengan Vallen.

Gadis itu sudah mengira bahwa momen ini akan datang, momen dimana sahabatnya sendiri akan mengungkapkan perasaan dan meminta kejelasan darinya.

Membayangkannya saja sudah merinding.

To the point aja deh, Rei.”

“Oke, pertama, jujur gue mau minta maaf dulu. Karena tiba-tiba confess dan mungkin di lo nya jadi kurang nyaman. Maaf buat itu.”

“Jangan serius-serius dong ngab, takut gue liat lo begini.”

“Lo mau gue dorong ke kolam gak? Gue lagi gak pengen bercanda dulu anjrit.”

Sorry

“Gini Len, gue kan udah jujur tentang perasaan gue. Tapi sumpah demi apapun gue gak berharap lo suka gue balik, jujur banget ini. Gue juga kayaknya ogah pacaran sama lo.”

“Mau lo apa monyet???”

“Weiss santai dong, dengerin dulu anjir! Gue tuh gak mau lo pacaran sama gue, soalnya lo pantes dapet yang lebih baik. Gue mah gak ada apa-apanya kali. Gue tau kok diluar sana pasti ada cowok yang bener-bener sayang sama lo dan bisa kasih lo kebahagiaan. Gue udah beruntung banget punya lo as my bestfriend, kayaknya gak tau malu deh kalo gue mau milikin lo sepenuhnya. Terus gue juga—”

Belum selesai dengan perkataannya, Vallen dengan refleks memeluk Reihan. Ia tidak perlu berjinjit karena tinggi mereka tidak jauh beda, “Makasih banget buset lo bisa ye bikin gue pengen nangis gini Rei!”

“Gak usah peluk-peluk ah lo bau!”

“Jadi kita damai nih?”

“Ya damai lah, gak usah ngehindarin gue lagi, jangan canggung juga sama gue.”

“Aaaa siap!”

Tanpa keduanya sadari, seseorang tengah memerhatikan mereka dengan rasa marah.