She looks different


Tegar dengan 2 plastik kresek di tangannya langsung masuk setelah perempuan di dalam sana memberi pin smart lock apartemen padanya.

Sedikit khawatir karena pada dasarnya Tegar memang mudah simpatik dengan keadaan orang disekitarnya.

Ngomong-ngomong, ia cukup tersentuh saat Kalinda tidak menganggapnya orang asing.

Sebagai dua orang yang tidak saling mengenal sebelumnya, sudah seharusnya Kalinda berhati-hati dengan Tegar bukan? Tapi gadis itu malah dengan senang hati berbagi pin apartemennya.

“Gue disiniii!” teriak Alin dari dalam kamarnya.

Tegar menyahuti dengan nada serupa, “Keluaaar!”

“Masuk ajaa, Tegar!”

“Keluaaar, Alin!”

“Gue lemes.”

Kalau Tegar orang jahat, bisa saja ia betulan masuk dan berbuat macam-macam. Tapi ia masih cukup waras untuk tidak melakukan itu.

“5 detik lo ngga keluar, bubur sama obatnya gue bawa pulang nih!”

Alin tidak menimpali.

“Satu... Dua... Tiga...”

Masih belum ada tanda-tanda Alin akan keluar.

“Empat...”

Kali ini Tegar memperlambat hitungannya.

“Lin?? Beneran gak mau keluar?”

“Oke, li...”

I'M HERE!!!” Alin keluar sebelum Tegar selesai menghitung dengan penampilan yang sangat bentrok dengan imagenya, “Gue nyariin iket rambut gak ketemu, anjir!”

Tegar agak kaget namun tetap berusaha agar terlihat biasa saja dengan pemandangan yang ia lihat saat ini.

Bagaimana tidak kaget?? Biasanya Tegar bertemu Alin dengan penampilan yang 'layak', tidak seperti hari ini.

Daster batik dengan warna yang sudah pudar dan belel, rambutnya yang dibiarkan terurai acak, juga wajahnya yang polos tanpa riasan membuat sosok model dari Alin tidak terpancar.

“Lo kerja sampingan jadi pembantu ya?” sarkas Tegar.

“Mulut lo kayak bukan mulut manusia beradab!” Alin duduk bersila di lantai, sedangkan Tegar duduk di sofa.

Tidak perlu disuruh, Alin sudah menyambar bubur ayam pesanannya, ditaruh di lantai lalu ia makan dengan kepala yang menghampiri sendok.

Tegar menggeleng tidak percaya, Kalinda yang ia kenal biasanya akan duduk anggun dan tegak.

Risih melihat rambut Alin yang berantakan dan menghalangi akses makan gadis itu, Tegar mengambil karet gelang bekas kerupuk bubur kemudian mengikat rambut Alin tanpa meminta izin lebih dulu pada si pemilik rambut.

Bukannya berterimakasih, Alin malah mengomel, “Aduhhh, Tegar! Nanti rambut gue rusak kalo diiket pake karet, gue gak level sama karet gelang tau!”

Tatapan julid Tegar sangat mengintimidasi tatkala bola mata pria jangkung itu seolah menscan penampilan Alin dari atas sampai bawah, “Gak usah sok deh, daster lo tuh warnanya luntur!”

Seperti baru sadar dari sesi hipnotis, Alin yang sempat terintimidasi langsung memperhatikan dasternya dan ia tidak bisa menyanggah omongan Tegar barusan.

Selanjutnya mereka berdua saling diam, Alin dengan buburnya dan Tegar memilih menyibukkan diri di dapur.

Setelah beberapa menit, Tegar kembali sambil membawakan segelas air untuk Alin, “Jangan dilama-lamain makan buburnya, gue sibuk nih!”

“Lho yang bilang mau ditemenin siapa? Kalo sibuk, ya sana pulang!”

Mata Tegar menyipit, “Gini nih, udah dibaikin malah ngelunjak. Tau gitu gue gak usah dateng aja tadi.” katanya sinis.

“Ih jangan gitu dong,” nyali Alin ciut, bahkan nada suaranya ikut menciut, “Gue kan lagi sakit, lo jangan galak-galak bisa gak sih?”

Helaan napas panjang keluar dari mulut Tegar, “Iya iya, maaf.”

Thanks airnya!”

“Bisa minum obat tablet kan?” tanya Tegar, kali ini dengan intonasi yang bersahabat.

Alin yang sedang mengunyah suapan terakhir hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya.

Namun segera setelah itu Alin langsung merutuki dirinya karena mencoba untuk terlihat keren dengan menenggak satu obat tablet berbentuk lingkaran.

Alin biasanya jarang sakit, oleh karena itu ia jarang dan agak kesulitan minum obat. Alhasil obat yang belum turun ke tenggorokan itu keluar lagi karena lidahnya merasakan pahit dari obat tersebut.

Tegar mendecak tanpa berkomentar, ia ke dapur lagi dan kembali dengan 2 sendok makan.

Diambilnya obat tablet yang harus Alin minum, lalu ditumbuk menggunakan dua sendok yang ia ambil. Setelah diteteskan sedikit air, Tegar langsung menyuapkan obatnya pada Alin.

“Minum, langsung telen jangan ditahan.”

Berhasil.

Selanjutnya Alin hanya memerhatikan Tegar yang sibuk membereskan kekacauan yang dibuatnya. Membereskan bekas makannya, merapikan obatnya, dan terakhir ia membersihkan pinggiran mulut Alin yang tadi terkena muntahan obat (menggunakan tissue tentu saja).

“Makasih.”

“Lo hutang budi sama gue!”

Alin yang tadi memasang wajah malaikat langsung merubah eskpresinya.

“Kenapa? Gak seneng??” ledek Tegar sembari mengenakan jaketnya, bersiap pulang.

“Karena gue lagi baik hati dan gak mau marah-marah, kali ini lo aman dari amukan gue.”

“Terserah, gue mau langsung cabut.”

Alin mendengus, “Pacarnya lagi sakit bukannya ditemenin malah ditinggal.” sindirnya yang langsung dihadiahi sentilan di dahinya.

“Abis ini lo tidur, obatnya bikin ngantuk. Kalo mau mandi dulu, mandi pake air anget. Ganti bajunya, pake baju tebel. Hmm apalagi ya.. Oh iya, kalo laper lagi, tadi di dapur gue udah masak sayuran lo yang di kulkas, tinggal dipanasin aja. Terus kalo sakitnya makin parah lo telfon gue.”

“Udah?”

Tegar mengangguk.

“Peluk dulu dong, pacarku yang perhatian!” rayu Alin sambil memamerkan senyumnya yang terkesan sok imut.

Tegar mendekatkan tubuhnya tapi bukan untuk memeluk, “Know your limit, pacar pura-pura ku!” bisiknya.