Private Dinner


Kalinda's POV

Tiga hari lalu Tegar baru mengabari kalau aku diundang ke acara makan malam yang diadakan oleh petinggi di agensinya. Walaupun sudah tau lebih dulu dari Dito, aku tidak mengatakannya agar ia tidak merasa 'dilangkahi'.

“Oke, gue otw” “Tunggu di halte depan apart, gue males turun dari mobil

Setelah mendapat balasan voice note dari Tegar, aku menyambar blazer berwarna senada dengan inner yang kukenakan.

Aku tau laki-laki itu memang musisi yang sedang naik daun saat ini, tapi bukankah tidak etis menyuruh seorang wanita menunggu di halte saat dirinya masih mampu berjalan ke gedung apartemenku?

Kurang lebih dua bulan kami telah menjalin hubungan yang didasari atas 'pengalihan isu' dari skandal salah satu selebriti senior di agensinya. Itu berarti tersisa dua bulan lagi aku dan Tegar menjalani ke pura-pura an tersebut.

Kami berdua punya waktu satu bulan untuk memamerkan kepalsuan kami dan satu bulan lagi untuk menunjukkan kerenggangan hubungan yang tidak pernah benar-benar terjadi ini. Itu tertulis pada kontrak yang telah ditandatangani olehku dan Tegar.

tiiin tiin!

Suara klakson yang cukup nyaring menyadarkanku , wajah laki-laki yang tadi menjadi tokoh utama lamunanku kini terlihat dari kaca mobil yang hanya diturunkan setengah, “Masuk, Lin.” titahnya tanpa keluar dari mobil.

Huh! Benar-benar tidak etis. Untung saja dia hanya pacar bohongan.

Jarak antara apartemenku dengan lokasi dinner hari ini katanya cukup jauh, oleh karena itu aku membawa paperbag berisi beberapa makanan ringan untuk mengganjal perut.

“Kalo mau ambil aja.” tawarku yang hanya dibalas deham kecil oleh pria berkemeja hitam ini.

Rasanya aku ingin menegur Tegar atas sikapnya yang tidak sopan menurutku. Karena normalnya respon orang saat ditawari sesuatu itu adalah berterimakasih lalu kalaupun ingin menolak, maka tolak dengan baik-baik.

Sekali lagi, untung saja dia hanya pacar bohongan.

Aku berjanji tidak ingin berurusan lagi dengan laki-laki ini setelah kontrak berakhir.

Daripada meluapkan emosiku, aku memilih untuk berselancar di instagram. Melihat snapgram beberapa teman dan sedikit menggulir laman explore.

Merasa cukup, aku berpindah ke profil akun milikku. Menampilkanfeeds instagram yang beberapa bulan ini dipenuhi postingan kedekatan aku dan Tegar.

Sebentar lagi foto-foto itu akan ku hapus, atau ku arsip saja mungkin? Entahlah. Rasanya agak berat untuk menghilangkan foto bersamanya.

Astaga Alin! Apa yang barusan aku rencanakan?

Beberapa menit lalu aku sudah kesal dan berjanji untuk tidak mau berurusan dengan Tegar lagi, kenapa sekarang malah merasa tidak ingin kehilangan momen dengannya?

Aku mendecak menyesali pembicaraan monolog barusan.

“Kenapa sih? Ditagih rentenir?”

“Sembarangan!”

Akhirnya kami bersuara setelah hampir 10 menit saling diam.

“Mau permen dong, Lin. Tolong bukain,”

Melihat aku yang sedang mengulum permen, mungkin dia juga ingin merasakan manisnya gumpalan gula ini. Aku mengambil satu permen gagang dari dalam paperbag dan membuka bungkusnya.

Tegar menoleh dengan mulut menganga namun matanya masih mengarah ke jalan, aku pun refleks menyuapkan permen cokelat ini padanya.

Thank you!

Aku hanya mengangguk walaupun tau dia tidak melihat anggukanku.

“Masih lama gak sih?”

“Lima menit lagi kalo gak macet.”

Aku bersorak, “Yes dikit lagi!”

Sialnya saat mobil Tegar berbelok ke pertigaan jalan, kemacetan sudah menyambut kami.

“Dih, macet!”

Kami bertatapan kemudian saling melempar tawa karena sebelumnya sangat optimis akan sampai di lokasi sebentar lagi.

Tegar mengambil ponselnya, mencari satu kontak untuk dihubungi.

“Halo? Gue sama Alin telat dikit nih kayaknya, di jalan macet,” “Iya ini udah deket tapi macet, bang,” “Emang udah rame?” “Ohh iya yaudah kalo ada yang nanyain gue bilang aja udah di jalan,” “Iya siap.”

Tegar menyudahi panggilannya dengan seseorang yang ia panggil 'bang' itu.

“Kata manager gue disana udah rame.”

“Gapapa kita telat?”

“Santai.”

Kami kembali saling diam karena tidak ada pembahasan apa-apa lagi.

Mengingat kami tidak pernah memiliki interaksi apapun sebelum berita kencan itu dipublish, aku dan dia biasanya memang jarang mengobrol sekalipun sedang berduaan—di dalam mobil.

Setelah bermenit-menit berlalu akhirnya kami berdua tiba di restauran tujuan. Pasalnya tempat ini telah disewa agar acara malam ini tidak diketahui publik dan hanya pihak yang diundang saja yang hadir.

Tidak seperti sebelumnya, Tegar menghentikan pergerakanku saat hendak membuka pintu. Ia keluar lebih dulu lalu membukakan akses keluar ini untukku.

Pencitraan.

“Harus keliatan kayak pasangan beneran,” bisiknya.

Aku merasa miris setelah kembali menyadari kepalsuan hubungan kami. Beberapa orang mungkin akan bahagia tak terkira saat berkencan dengan seorang pria yang ketampanannya di atas rata-rata ini.

Aku pun awalnya begitu, namun setelah beberapa kali ngedate dengannya, aku sadar kalau tidak seharusnya aku bahagia dengan laki-laki yang suka berbuat seenaknya seperti Tegar.

Sebetulnya tidak banyak yang patut disesali selama berkencan dengannya. Namun kadang sifat aslinya muncul saat aku mulai sedikit tertarik padanya.

Munafik kalau aku bilang tidak menaruh hati pada seorang Tegar. Parasnya tampan, suaranya indah, jalannya tegap, dan jujur dia kadang menunjukan perhatiannya melalui nasehat singkat mengenai aku yang over worked.

Setelah berbalas pesan entah dengan siapa, Tegar merapikan kemejanya, “Meja kita di lantai dua, Lin.” katanya kemudian tanpa persetujuanku meraih telapak tanganku dan menautkan jarinya di antara jari-jariku.

Akting, seperti biasa.

Langkah Tegar membawaku ke kumpulan orang-orang yang wajahnya familiar karena sering kulihat di televisi dan sosial media.

Setelah menyapa, kami mengambil tempat duduk yang tersisa lalu fakta bahwa aku dan Tegar adalah tamu yang datang paling akhir membuat kami harus minta maaf karena terlambat.

Aku memperhatikan sekeliling, ternyata banyak selebriti yang bukan bagian dari agensi yang sama dengan Tegar ikut hadir.

Tidak tau kenapa mereka bisa diundang, mungkin nasibnya sama sepertiku? Menjadi pacar pura-pura atau ada diantaranya yang memang berkencan sungguhan.

Makan malam berlangsung dengan diselingi gosip-gosip yang sama sekali tidak menarik atensiku. Selain karena tidak suka bergosip, statusku sebagai model pendatang baru membuatku segan untuk sekedar ikut tertawa bersama selebriti-selebriti senior ini.

Saat tidak ada yang mengajakku bicara maka aku hanya akan diam.

Tegar sepertinya tidak menyadari aku yang diselimuti kecanggungan ini, ia terlalu asik berbincang dengan salah satu penyanyi wanita yang kalau tidak salah wanita ini mendapat gelar solois terbaik tahun lalu.

Aku sengaja makan perlahan karena kalau piringku sudah kosong aku tidak tau harus melakukan kesibukan apa lagi.

Kemudian aku melihat beberapa orang mulai memisahkan diri tanpa pamit, sepertinya aku harus melakukan hal yang sama.

“Sayang, aku mau ke toilet sebentar ya.”

Agak geli saat harus memanggil Tegar dengan sebutan 'sayang', namun itulah yang sudah kami sepakati di perjalanan tadi.

“Oh iya, aku juga mau gabung sama temenku disana. Nanti kamu nyusul aja ya?”

Aku mengangguk kemudian kami berpisah.

Bukan tanpa alasan aku pergi ke toilet, warna merah di bibirku agak pudar setelah melahap santapan tadi dan aku berniat touch up disana.

Letak toilet yang agak di pojok membuatku jalan cepat karena tidak ingin berpapasan dengan seseorang yang mengharuskanku mengobrol dengan seseorang tersebut.

Aku langsung mengeluarkan lipstik dan mengoleskannya di bibir setelah sampai di toilet. Agar tidak merusak citra, aku juga menyapa beberapa aktris, penyanyi, ataupun model yang kutemui.

“Hai?”

Aku melempar pandangan ke sekeliling, hanya aku dan wanita berambut ikal ini yang tersisa disini.

“Aku nyapa kamu, lho!” ucap wanita yang kuketahui sebagai aktris yang sering muncul di film layar lebar, Shafira Putri.

“Oh, halo kak!” kataku, refleks menyodorkan tangan mengajaknya bersalaman.

Dengan ramah Shafira meraih jabatan tanganku, “Kamu Kalinda yang pacaran sama Tegar ya?”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Kalo boleh tau, beneran pacaran atau....”

Ucapannya menggantung seperti enggan menyebutkan opsi yang lain—settingan.

Aku agak ragu menjawabnya, haruskan aku jujur?

“Eh sorry gak usah gugup gitu,” sepertinya Shafira menangkap ekspresi ragu ku, “Kamu kenal Jessy Amartha gak?” tanyanya.

Jelas aku tau, nama Jessy Amartha banyak muncul di majalah fashion, sering menghadiri event yang diselenggarakan desainer ternama, dan tidak jarang pula aku menjadikan foto-fotonya sebagai referensi untuk pemotretanku.

“Aku tau tapi kita belum pernah kenalan secara langsung.”

Shafira tersenyum, “Dia itu temenku. Tegar sama Jessy kan, sempet backstreet. Mereka pacaran diem-diem hampir setahun. Terus putus nggak lama dari berita pacaran kalian,”

Terkejut tentu saja, aku kira Tegar tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita karena dia sangat kaku padaku.

“Makanya aku tanya, kalian beneran pacaran atau settingan doang?” tanyanya, to the point.

Belum sempat aku menjawab, Shafira kembali bersuara, “Soalnya setauku Tegar pernah bilang ke Dito kalo dia gak mau lagi pacaran sama model. Katanya sih, trauma gara-gara diselingkuhin sama Jessy.”

Sungguh, aku tidak penasaran sedikitpun tentang itu.

“Kalian settingan doang kan ya?”

Dia yang bertanya dia juga yang menjawab. Aku bahkan belum mengucap sepatah katapun, Shafira sudah melenggang pergi setelah tersenyum seperti meremehkan.

Sial. Apa maksud senyumnya barusan? Dan kenapa dia harus membeberkan hal yang tidak aku tanya?

Ah! Apa ini adalah privasi Tegar yang pernah disinggung Dito dulu? Entahlah, aku tidak mau ambil pusing.

Dengan tergesa-gesa aku menyudahi kegiatanku. Suasana hatiku sudah tidak enak dan ingin cepat pulang saja.

Aku segera menuju ke meja yang tadi ingin didatangi Tegar, meja bar dengan 6 kursi yang berjejer membuat Tegar tidak melihat kedatanganku karena posisinya yang membelakagiku.

Ada Dito yang belum sempat kusapa sejak tadi dan tak kusangka Shafira juga ada di tengah pembicaraan mereka. Iya, Shafira satu-satunya perempuan disini—sebelum ada aku tentunya.

“Tapi ada gak sih moment yang bikin lo terpesona sama dia? Alin kan cantik nih, masa gak pengen lo pacarin beneran sih!” celetuk Shafira, membuat langkahku terhenti tepat 5 langkah di belakang Tegar.

“Pertanyaan yang gak harus dijawab nih, jelas nggak ada! Cantik sih cantik, tapi dia jauh banget dari tipe gue. Alin juga kayak cewek ganjen lah. Sana sini mau. Langsung keliatan dari awal dia setuju tanpa penolakan waktu agensinya nunjuk dia buat disetting pacaran sama gue.”

Deg!

Aku tertegun mendengar pengakuan panjang yang terlontar dari mulut Tegar, laki-laki yang menjadi tempatku mencurahkan cerita setelah lelah bekerja, laki-laki yang dengan senang hati menerima panggilanku di tengah malam saat aku terbangun karena mimpi buruk, laki-laki yang memberikan perhatiannya dengan bertanya kabar lalu tiba-tiba mengirim makanan yang bahkan tidak aku minta.

“Eh, hai, Alin!” Shafira menoleh, menyapa diriku untuk kedua kalinya. Membuat empat pria disana—termasuk Tegar dan Dito ikut menoleh bersamaan.

Aku memberanikan diri menatap mata Tegar, mimik wajahnya terlihat seperti maling yang tertangkap basah.

Tanpa niat bergabung atau sekedar menyapa balik, aku dengan ekspresi datarku langsung balik badan hendak meninggalkan tempat ini.

Aku marah, kecewa, juga sedih mendengar jawaban Tegar atas pertanyaan Shafira.

Bukan karena pengakuan tidak langsung darinya yang mengatakan bahwa ia tidak benar-benar ingin menjalin hubungan denganku, melainkan karena ucapannya yang terdengar sangat merendahkan.

Pandangan Tegar terhadapku selama ini ternyata seburuk itu. Aku seburuk itu di matanya.

Bolehkan, aku sakit hati?