tinkernid


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga., tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak dirawat di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue juga berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga., tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak dirawat di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue juga berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga, tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak dirawat di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue juga berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga, tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya, bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak di RS yang di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue juga berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga. Tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak dirawat di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue juga berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga, tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak dirawat di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue bakal berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...


Vallen berjalan di depan diikuti Reihan di belakang. Bukan apa-apa, cowok itu tau kalau teman perempuannya ini punya pacar dan ia tidak mau menunjukkan keakraban mereka di tempat umum.

“Itu Kesya!” kata Vallen pelan sembari jarinya menunjuk salah satu meja dengan gadis anggun duduk di sana.

Reihan membenarkan tas nya lalu mengikuti Vallen yang sudah lebih dulu berlari ke sana.

“Yang lain mana?” tanya Kesya ketika dua temannya sudah duduk berhadapan dengannya.

“Jagat masih ngerokok gak tau kapan selesainya, Nahar belum bales grup.”

Gadis dengan blazer biru langit itu mengangguk-angguk lalu mengecek ponselnya, “Eh sebentar ya, gue mau ambil gofood dulu.” katanya.

Memang tidak ada larangan untuk makan dan minum di perpustakaan ini, asalkan tidak menggangu maka diperbolehkan.

Beberapa saat kemudian Kesya kembali dengan satu cup kopi di tangannya, aroma minuman itu menguar tatkala ia membuka tutup gelasnya. Menghirupnya sebentar, meniupnya, lalu menyesapnya sedikit karena masih panas. Terlihat dari asapnya yang mengepul.

Dua orang lainnya refleks melotot melihat aksi Kesya tersebut, Vallen buru-buru mengeluarkan masker dan memakainya guna menutup hidung dan mulutnya.

“Lo apa-apaan sih??” pekik Reihan sedikit keras, membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya.

Yang diteriaki mengangkat satu alisnya, seolah berkata, “Apa? Gue kenapa??”

“Vallen phobia kopi.”

Perempuan bermasker biru itu mengernyit, menghentikan Reihan agar tidak asal bicara.

“Oh iya??” “Kok bisa Len?” “Gimana ceritanya?”

Helaan napas gusar Vallen hembuskan karena pertanyaan Kesya barusan, ia tidak ingin membagi kisahnya pada sembarang orang.

“Len?? Cerita dong gue penasaran banget nih!”

Reihan yang geram menyingkirkan tangan Kesya yang sempat menggenggam tangan Vallen, “Nggak usah maksa gitu bisa gak sih?” tukasnya lalu membiarkan Vallen meremas tangannya di bawah meja. Ia tau Vallen akan panik kalau orang lain mengetahui kelemahannya.

“Lo mau tau?”

“Len??”

“Gapapa, Rei.”

Vallen meminum air mineralnya sebelum mulai bercerita, “Dari kelas 8 gue udah dituntut sama papa buat jadi yang terbaik, dalam bidang apapun. Gue harus punya waktu belajar di atas rata-rata, biar bisa ngalahin temen-temen gue yang lain. Setiap belajar papa gue selalu buatin kopi biar gue gak ngantuk. Nggak cuma itu, pengharum ruangan sama parfum gue juga diganti jadi wangi kopi. Papa seaddict itu sama kopi,”

Vallen menghela napas untuk setidaknya menenangkan suaranya yang bergetar, “Terus ruangan belajar gue yang sempit bikin aroma kopinya makin kecium, jadi gue sampe muak banget sama kopi. 5 tahun gue tidur, belajar, makan, selalu nyium bau kopi. Makanya sekarang gue gak berani kalo hirup aromanya.”

“Sekarang udah nggak disuruh ngopi lagi?”

“Papa berhenti waktu gue bilang kalo gue gak suka sama perlakuan dia, itu juga kalo gue nggak sujud dan mohon-mohon mungkin papa gak bakal berhenti, hahaha!”

“Ohh..”

“Oh???”

“Kenapa?”

“Oh doang? Buang kopi lo, anjir!”

“Eh denger ya Rei, Vallen aja nggak keberatan. Kenapa lo heboh banget?”

Kalau tidak ditahan mungkin Reihan sudah melemparkan buku tebalnya ke wajah Kesya.

“Gue pake masker kok, nggak kecium baunya.”

Bohong, Vallen hanya mengenakan masker tipis yang tentu saja tidak bisa menghalau aroma yang ia hirup.

Ketiganya melanjutkan belajar masing-masing dengan Vallen yang masih menggenggam erat tangan Reihan. Tangannya bahkan berkeringat, membuat Reihan melempar tatapan khawatir. Namun Vallen hanya menggeleng, mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Shit!

Vallen mengumpat setelah lebih dari 3 menit tidak bernapas normal, ia meninggalkan meja tanpa sepatah kata pun.

Melihat itu Reihan langsung mengikuti Vallen yang tengah berjalan dengan gerakan cepat ke kamar mandi. Ia berhenti saat temannya masuk ke salah satu bilik kamar mandi perpustakaan tersebut.

Cukup lama Vallen di dalam sana, beberapa orang bahkan menatap Reihan aneh karena berdiri di depan kamar mandi wanita.

“Len?? Lo gak kenapa-napa?”

“Sebentar.”

Lalu Vallen keluar dengan wajah dan poninya yang sudah basah, tetesan air itu sampai membasahi kausnya.

Reihan mengeluarkan parfum yang selalu ia kantongi di saku jaketnya, menyemprotkannya banyak-banyak. Ia melepaskan jaket hitam itu dan memakaikannya pada Vallen.

Detik selanjutnya tubuh perempuan itu ditarik ke pelukan Reihan, membiarkan sahabatnya menghirup aroma segar yang dihasilkan dari parfumnya. Laki-laki ini memiliki selera yang tinggi dalam hal wewangian.

Tidak lama, Vallen menjauhkan dirinya setelah agak tenang, “Gue lebay gak sih?”

Gelengan kuat Reihan lakukan seolah tidak setuju dengan pertanyaan barusan, “Semua orang punya ketakutannya sendiri, dan lo sama sekali nggak lebay. Wajar,” ia menaikkan resleting jaketnya agar menutupi kaus basah Vallen.

Untungnya Reihan memiliki postur tubuh yang kurus kecil sehingga jaket tersebut terlihat sangat pas di tubuh Vallen.

“Tunggu disini, gue ambil tas lo dulu. Kita pergi aja.”

Tanpa mereka sadari seseorang telah memotret keduanya saat berpelukan tadi.

Reihan berlari ke mejanya, membereskan buku miliknya dan milik Vallen. Ia tidak menghiraukan ocehan Kesya yang sangat menganggu dan langsung kembali menghampiri Vallen.

Kantin adalah tujuan mereka dan memilih kursi paling ujung adalah pilihan tepat karena ingin melanjutkan sesi belajarnya.

Reihan tidak membiarkan Vallen mengantri, ia memesan jus dan beberapa cemilan. Belajar di kantin sepertinya akan lebih menyenangkan, bukan?

Lamunan Vallen buyar tatkala suara notifikasi dari ponselnya yang terus berbunyi.

Dari Evan.

Dimana?“ “send photo“ “Maksudnya apa ya??“ “Aku tau temen kamu cowok semua, tapi apa perlu pelukan sama cowok lain??“ “Ke parkiran.“ “Cepet.

Sontak ia terkejut membaca spam chat dari pacarnya, apalagi ia dikirimi foto saat Reihan memeluknya tadi.

Vallen segera berlari ke tempat yang disuruh Evan, menghiraukan panggilan Reihan yang meneriaki namanya.


Sesampainya di parkiran Vallen ditarik paksa agar masuk ke dalam mobil. Evan langsung menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan mengintimidasi.

“Kamu lupa ya kalo punya pacar?” “Gak malu diliatin orang-orang?” “Temen kamu cuma dia doang?” “Nggak ada temen yang pelukan di tempat umum, Vallen Triana.”

“Kamu salah paham, sayang.”

“Salah paham gimana? Jelas banget kamu pelukan sama dia.”

Vallen merasa akan terlalu bertele-tele kalau ia menjelaskan semuanya. Akhirnya ia hanya meminta maaf agar emosi Evan mereda.

Karena jujur saja, ia sangat tidak suka saat bicara dengan orang yang sedang emosi.

“Kita putus aja lah,”

Kalimat barusan sontak membuat Vallen terkejut, bibirnya kelu, kakinya lemas, bahkan dadanya bergemuruh tak karuan.

“Putus aja ya? Aku gak tahan liat kamu temenan sama mereka-mereka itu,”

Vallen menggigit bibir atasnya menahan tangis, ia menggeleng dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

“Gak mau putus? Ya udah, berhenti temenan sama mereka demi aku.”

“Sayang.. kok gini sih?? Jangan minta putus, aku gak mau.”

“Gak usah sayang-sayang.”

Katakanlah bucin, karena Vallen memang secinta itu dengan laki-laki yang sedang penuh amarah ini.

“Terserah pokoknya gak mau putus. Aku juga gak bisa jauhin Nahar sama yang lain. They're my best friend.”

Evan memukul stir mobilnya kencang, membuat Vallen sedikit meloncat kaget, “But i'm your boyfriend!” bentaknya.

Baru kali ini Vallen melihat Evan yang sangat emosi sampai membuatnya tidak bisa berkutik lagi.

“Helloooo? Kok malah bengong?? Ayo putus.”

Saat ingin bersuara, seseorang mengetuk kaca mobil Evan.

Melihat Jagat yang mendatanginya dengan wajah marah membuat Evan mendengus, ia membuka pintu mobilnya dan menghampiri Jagat yang sedang berkacak pinggang.

Sedangkan di sisi lainnya Nahar menggiring Vallen keluar.

“Lo yang tadi–”

Belum selesai bicara, Jagat sudah lebih dulu mendaratkan bogemnya ks wajah tampan Evan. Membuat laki-laki itu tersungkur ke tanah.

Vallen teriak, ia menahan Jagat yang hampir ingin melayangkan tinju keduanya, “Jagat lo ngapain?!”

Tanpa merespon apa-apa Jagat menarik Vallen, menjauhkannya dari parkiran. Nahar mengikutinya dari belakang.

“Vallen! Kalo 5 detik lo belum balik kesini, kita putus!!” ancam Evan dengan lantang.

Tentu saja Vallen tidak mau itu terjadi, ia memaksa Jagat agar melepaskan tangannya. Namun tenaganya kalah kuat, ia tidak berhasil melepaskan diri.


cw//harsword

“Untung gue lewatin parkiran.”

Vallen menatap sinis Jagat yang kembali dari dapurnya membawa lima teh kotak.

“Gara-gara lo Evan luka!”

“Iya, sama-sama.”

“Sinting??!”

“Putus aja, Len.Hubungan lo tuh toxic tau.” kali ini Darrel yang bersuara.

Vallen masih terisak, ia menyenderkan kepalanya di bahu Nahar.

“Kalo gue suruh lo putus sama cewek lo, mau gak??”

“YA NGGAK LAH! Pake ditanya.”

“Ya gue juga nggak mau. Gue sayang sama Evan.”

“Gue mah gak mau karena hubungan kita baik-baik aja. Beda sama pacar lo, udah posesif, cemburuan pula. Toxic.”

“Omongan lo dijaga dong anjing banget mulutnya!”

Apartemen Jagat kini dipenuhi saut-sautan Vallen dan Darrel yang tengah adu nasib mengenai hubungan percintaan mereka.

“Naharrr temen lo nyebelin!”

“Yee udah keabisan kata-kata ngadunya ke Nahar!”

Nahar menendang pelan kaki Darrel, “Ngalah sama cewek.”

“Minum, Len.” Reihan memberikan teh kotak yang lubang sedotannya sudah ia tusuk agar Vallen tinggal langsung minum.

“Ratu banget dah.” sindir Jagat.

“Naharrr, Jagat juga nyebelin!”

Laki-laki yang tangannya sudah agak kebas itu hanya mendecak, ia masih merangkul Vallen saat memarahi Jagat dan Darrel yang terus-terusan meledek temannya dari SMP itu.

Reihan menyalakan televisi milik Jagat, “Mending kita nonton drakor yuk??”

“AYOKKK!”

Beberapa saat kemudian Vallen sudah dibuat lupa dengan masalah hari ini. Ia tertawa terbahak-bahak saat menonton adegan lucu drama korea yang ia gemari.

Tentunya keempat teman laki-lakinya juga ikut tertawa, mereka lega melihat Vallen yang sudah tidak menangis lagi.

Terimakasih pada Reihan.


Vallen berjalan di depan diikuti Reihan di belakang. Bukan apa-apa, cowok itu tau kalau teman perempuannya ini punya pacar dan ia tidak mau menunjukkan keakraban mereka di tempat umum.

“Itu Kesya!” kata Vallen pelan sembari jarinya menunjuk salah satu meja dengan gadis anggun duduk di sana.

Reihan membenarkan tas nya lalu mengikuti Vallen yang sudah lebih dulu berlari ke sana.

“Yang lain mana?” tanya Kesya ketika dua temannya sudah duduk berhadapan dengannya.

“Jagat masih ngerokok gak tau kapan selesainya, Nahar belum bales grup.”

Gadis dengan blazer biru langit itu mengangguk-angguk lalu mengecek ponselnya, “Eh sebentar ya, gue mau ambil gofood dulu.” katanya.

Memang tidak ada larangan untuk makan dan minum di perpustakaan ini, asalkan tidak menggangu maka diperbolehkan.

Beberapa saat kemudian Kesya kembali dengan satu cup kopi di tangannya, aroma minuman itu menguar tatkala ia membuka tutup gelasnya. Menghirupnya sebentar, meniupnya, lalu menyesapnya sedikit karena masih panas. Terlihat dari asapnya yang mengepul.

Dua orang lainnya refleks melotot melihat aksi Kesya tersebut, Vallen buru-buru mengeluarkan masker dan memakainya guna menutup hidung dan mulutnya.

“Lo apa-apaan sih??” pekik Reihan sedikit keras, membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya.

Yang diteriaki mengangkat satu alisnya, seolah berkata, “Apa? Gue kenapa??”

“Vallen phobia kopi.”

Perempuan bermasker biru itu mengernyit, menghentikan Reihan agar tidak asal bicara.

“Oh iya??” “Kok bisa Len?” “Gimana ceritanya?”

Helaan napas gusar Vallen hembuskan karena pertanyaan Kesya barusan, ia tidak ingin membagi kisahnya pada sembarang orang.

“Len?? Cerita dong gue penasaran banget nih!”

Reihan yang geram menyingkirkan tangan Kesya yang sempat menggenggam tangan Vallen, “Nggak usah maksa gitu bisa gak sih?” tukasnya lalu membiarkan Vallen meremas tangannya di bawah meja. Ia tau Vallen akan panik kalau orang lain mengetahui kelemahannya.

“Lo mau tau?”

“Len??”

“Gapapa, Rei.”

Vallen meminum air mineralnya sebelum mulai bercerita, “Dari kelas 8 gue udah dituntut sama papa buat jadi yang terbaik, dalam bidang apapun. Gue harus punya waktu belajar di atas rata-rata, biar bisa ngalahin temen-temen gue yang lain. Setiap belajar papa gue selalu buatin kopi biar gue gak ngantuk. Nggak cuma itu, pengharum ruangan sama parfum gue juga diganti jadi wangi kopi. Papa seaddict itu sama kopi,”

Vallen menghela napas untuk setidaknya menenangkan suaranya yang bergetar, “Terus ruangan belajar gue yang sempit bikin aroma kopinya makin kecium, jadi gue sampe muak banget sama kopi. 5 tahun gue tidur, belajar, makan, selalu nyium bau kopi. Makanya sekarang gue gak berani kalo hirup aromanya.”

“Sekarang udah nggak disuruh ngopi lagi?”

“Papa berhenti waktu gue bilang kalo gue gak suka sama perlakuan dia, itu juga kalo gue nggak sujud dan mohon-mohon mungkin papa gak bakal berhenti, hahaha!”

“Ohh..”

“Oh???”

“Kenapa?”

“Oh doang? Buang kopi lo, anjir!”

“Eh denger ya Rei, Vallen aja nggak keberatan. Kenapa lo heboh banget?”

Kalau tidak ditahan mungkin Reihan sudah melemparkan buku tebalnya ke wajah Kesya.

“Gue pake masker kok, nggak kecium baunya.”

Bohong, Vallen hanya mengenakan masker tipis yang tentu saja tidak bisa menghalau aroma yang ia hirup.

Ketiganya melanjutkan belajar masing-masing dengan Vallen yang masih menggenggam erat tangan Reihan. Tangannya bahkan berkeringat, membuat Reihan melempar tatapan khawatir. Namun Vallen hanya menggeleng, mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Shit!

Vallen mengumpat setelah lebih dari 3 menit tidak bernapas normal, ia meninggalkan meja tanpa sepatah kata pun.

Melihat itu Reihan langsung mengikuti Vallen yang tengah berjalan dengan gerakan cepat ke kamar mandi. Ia berhenti saat temannya masuk ke salah satu bilik kamar mandi perpustakaan tersebut.

Cukup lama Vallen di dalam sana, beberapa orang bahkan menatap Reihan aneh karena berdiri di depan kamar mandi wanita.

“Len?? Lo gak kenapa-napa?”

“Sebentar.”

Lalu Vallen keluar dengan wajah dan poninya yang sudah basah, tetesan air itu sampai membasahi kausnya.

Reihan mengeluarkan parfum yang selalu ia kantongi di saku jaketnya, menyemprotkannya banyak-banyak. Ia melepaskan jaket hitam itu dan memakaikannya pada Vallen.

Detik selanjutnya tubuh perempuan itu ditarik ke pelukan Reihan, membiarkan sahabatnya menghirup aroma segar yang dihasilkan dari parfumnya. Laki-laki ini memiliki selera yang tinggi dalam hal wewangian.

Tidak lama, Vallen menjauhkan dirinya setelah agak tenang, “Gue lebay gak sih?”

Gelengan kuat Reihan lakukan seolah tidak setuju dengan pertanyaan barusan, “Semua orang punya ketakutannya sendiri, dan lo sama sekali nggak lebay. Wajar,” ia menaikkan resleting jaketnya agar menutupi kaus basah Vallen.

Untungnya Reihan memiliki postur tubuh yang kurus kecil sehingga jaket tersebut terlihat sangat pas di tubuh Vallen.

“Tunggu disini, gue ambil tas lo dulu. Kita pergi aja.”

Tanpa mereka sadari seseorang telah memotret keduanya saat berpelukan tadi.

Reihan berlari ke mejanya, membereskan buku miliknya dan milik Vallen. Ia tidak menghiraukan ocehan Kesya yang sangat menganggu dan langsung kembali menghampiri Vallen.

Kantin adalah tujuan mereka dan memilih kursi paling ujung adalah pilihan tepat karena ingin melanjutkan sesi belajarnya.

Reihan tidak membiarkan Vallen mengantri, ia memesan jus dan beberapa cemilan. Belajar di kantin sepertinya akan lebih menyenangkan, bukan?

Lamunan Vallen buyar tatkala suara notifikasi dari ponselnya yang terus berbunyi.

Dari Evan.

Dimana?“ “send photo” “Maksudnya apa ya??“ “Aku tau temen kamu cowok semua, tapi apa perlu pelukan sama cowok lain??“ “Ke parkiran.“ “Cepet.*”

Sontak ia terkejut membaca spam chat dari pacarnya, apalagi ia dikirimi foto saat Reihan memeluknya tadi.

Vallen segera berlari ke tempat yang disuruh Evan, menghiraukan panggilan Reihan yang meneriaki namanya.


Sesampainya di parkiran Vallen ditarik paksa agar masuk ke dalam mobil. Evan langsung menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan mengintimidasi.

“Kamu lupa ya kalo punya pacar?” “Gak malu diliatin orang-orang?” “Temen kamu cuma dia doang?” “Nggak ada temen yang pelukan di tempat umum, Vallen Triana.”

“Kamu salah paham, sayang.”

“Salah paham gimana? Jelas banget kamu pelukan sama dia.”

Vallen merasa akan terlalu bertele-tele kalau ia menjelaskan semuanya. Akhirnya ia hanya meminta maaf agar emosi Evan mereda.

Karena jujur saja, ia sangat tidak suka saat bicara dengan orang yang sedang emosi.

“Kita putus aja lah,”

Kalimat barusan sontak membuat Vallen terkejut, bibirnya kelu, kakinya lemas, bahkan dadanya bergemuruh tak karuan.

“Putus aja ya? Aku gak tahan liat kamu temenan sama mereka-mereka itu,”

Vallen menggigit bibir atasnya menahan tangis, ia menggeleng dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

“Gak mau putus? Ya udah, berhenti temenan sama mereka demi aku.”

“Sayang.. kok gini sih?? Jangan minta putus, aku gak mau.”

“Gak usah sayang-sayang.”

Katakanlah bucin, karena Vallen memang secinta itu dengan laki-laki yang sedang penuh amarah ini.

“Terserah pokoknya gak mau putus. Aku juga gak bisa jauhin Nahar sama yang lain. They're my best friend.”

Evan memukul stir mobilnya kencang, membuat Vallen sedikit meloncat kaget, “But i'm your boyfriend!” bentaknya.

Baru kali ini Vallen melihat Evan yang sangat emosi sampai membuatnya tidak bisa berkutik lagi.

“Helloooo? Kok malah bengong?? Ayo putus.”

Saat ingin bersuara, seseorang mengetuk kaca mobil Evan.

Melihat Jagat yang mendatanginya dengan wajah marah membuat Evan mendengus, ia membuka pintu mobilnya dan menghampiri Jagat yang sedang berkacak pinggang.

Sedangkan di sisi lainnya Nahar menggiring Vallen keluar.

“Lo yang tadi–”

Belum selesai bicara, Jagat sudah lebih dulu mendaratkan bogemnya ks wajah tampan Evan. Membuat laki-laki itu tersungkur ke tanah.

Vallen teriak, ia menahan Jagat yang hampir ingin melayangkan tinju keduanya, “Jagat lo ngapain?!”

Tanpa merespon apa-apa Jagat menarik Vallen, menjauhkannya dari parkiran. Nahar mengikutinya dari belakang.

“Vallen! Kalo 5 detik lo belum balik kesini, kita putus!!” ancam Evan dengan lantang.

Tentu saja Vallen tidak mau itu terjadi, ia memaksa Jagat agar melepaskan tangannya. Namun tenaganya kalah kuat, ia tidak berhasil melepaskan diri.


cw//harsword

“Untung gue lewatin parkiran.”

Vallen menatap sinis Jagat yang kembali dari dapurnya membawa lima teh kotak.

“Gara-gara lo Evan luka!”

“Iya, sama-sama.”

“Sinting??!”

“Putus aja, Len.Hubungan lo tuh toxic tau.” kali ini Darrel yang bersuara.

Vallen masih terisak, ia menyenderkan kepalanya di bahu Nahar.

“Kalo gue suruh lo putus sama cewek lo, mau gak??”

“YA NGGAK LAH! Pake ditanya.”

“Ya gue juga nggak mau. Gue sayang sama Evan.”

“Gue mah gak mau karena hubungan kita baik-baik aja. Beda sama pacar lo, udah posesif, cemburuan pula. Toxic.”

“Omongan lo dijaga dong anjing banget mulutnya!”

Apartemen Jagat kini dipenuhi saut-sautan Vallen dan Darrel yang tengah adu nasib mengenai hubungan percintaan mereka.

“Naharrr temen lo nyebelin!”

“Yee udah keabisan kata-kata ngadunya ke Nahar!”

Nahar menendang pelan kaki Darrel, “Ngalah sama cewek.”

“Minum, Len.” Reihan memberikan teh kotak yang lubang sedotannya sudah ia tusuk agar Vallen tinggal langsung minum.

“Ratu banget dah.” sindir Jagat.

“Naharrr, Jagat juga nyebelin!”

Laki-laki yang tangannya sudah agak kebas itu hanya mendecak, ia masih merangkul Vallen saat memarahi Jagat dan Darrel yang terus-terusan meledek temannya dari SMP itu.

Reihan menyalakan televisi milik Jagat, “Mending kita nonton drakor yuk??”

“AYOKKK!”

Beberapa saat kemudian Vallen sudah dibuat lupa dengan masalah hari ini. Ia tertawa terbahak-bahak saat menonton adegan lucu drama korea yang ia gemari.

Tentunya keempat teman laki-lakinya juga ikut tertawa, mereka lega melihat Vallen yang sudah tidak menangis lagi.

Terimakasih pada Reihan.


“Lo bahas tugas apa Kes?”

“Ada deh, lo nggak ngerti pasti.”

Mendengar itu Vallen hanya manggut-manggut, ia jalan beriringan di samping Kesya.

Senyum perempuan yang baru 2 bulan berteman dengan Vallen itu tidak luntur sejak tadi, menyapa setiap orang yang bertatapan dengannya.

Salut sekaligus iri, bagaimana bisa Kesya mengenal banyak orang padahal mereka belum lama berkuliah disini.

Sedangkan Vallen terus memasang wajah tidak ramah karena memang tidak kenal dengan orang-orang itu, “Huh.. gak boleh iri Vallen, dia dulunya tukang bully.” batinnya.

Selain karena tidak mudah bersosialisasi, fitur wajahnya yang jutek membuat orang lain menganggap Vallen sebagai individu yang tidak ramah.

Sesampainya di parkiran, Vallen sempat bingung kenapa Kesya pergi ke parkiran motor. Biasanya gadis itu mengemudikan mobil ke kampus.

“Hari ini lo bawa motor?”

Kesya mengangguk, “Mobil gue dipake Kevin, adek gue. Katanya mau ngedate gak mau pake motor.” katanya sembari sibuk mencari kunci motor dari backpack Charles & Keith miliknya.

“Eh bentar,” Vallen melepas denim jacket yang ia kenakan, menyisakan kaus maroon polos di tubuhnya, “Kalo bawa motor tuh jangan pake rok dong Kes,” ucapnya lalu memberikan jaket tersebut pada Kesya.

Yang diberi jaket menatap bingung.

Vallen lanjut mengikat rambutnya tinggi-tinggi, “Buat nutupin paha lo.”

“Tapi nanti lo kepanasan,” melihat respon Vallen yang terkesan acuh karena hanya mengangkat bahunya, Kesya mengeluarkan sesuatu dari tas, “Nih gue bawa sunblock, biar gak gosong tangan lo.”

Kebetulan cuaca hari itu memang sedang panas-panasnya, Vallen menerima sunblock dari Kesya. Ia membalurkan cairan kental tersebut ke tangannya dan Kesya mengikatkan jaket milik Vallen ke pinggangnya.

Dalam sekali lihat hubungan keduanya memang seperti teman dekat yang tidak pernah bertengkar sampai berhari-hari.

Namun nyatanya jalinan pertemanan mereka didasari oleh ​dendam dan kemarahan atas perlakuan tidak manusiawi Kesya di masa lalu.


“Len nanti gue nunggu adem di rumah lo ya?”

“Hah? Mau mampir dulu?”

“Iya, panas banget nih pusing gue.”

“Oh ya udahhh!”

Vallen dan Kesya saut-sautan dengan sedikit berteriak karena kalau bicara seperti biasa sudah pasti suara mereka tidak terdengar.

Setelah sampai di rumah Vallen, keduanya disambut oleh jus jeruk buatan bibi. Mereka duduk di teras sambil bermain dengan Elen, anjing coklat milik Vallen dan pacarnya.

“Dia siapa Len namanya? Gue lupa lagi.”

“Elen.”

“Oh iya Elen, kenapa kok dikasih nama Elen?”

Vallen terkekeh lalu mencari satu foto di ponselnya, “Ini kan anjing yang gue pelihara bareng cowok gue, Elen tuh singkat Evan Vallen.” katanya sambil menunjukkan foto Elen saat masih kecil.

“Pacar lo lucu banget mau pelihara hewan berdua.”

“Gue yang paksa sih, hahaha!”

Kurang lebih 20 menit Kesya meneduh di rumah Vallen. Saat hendak pulang tiba-tiba saja sebuah mobil sport hitam membunyikan klaksonnya, meminta dibukakan gerbang.

Evan turun dari mobil, bercermin di spion mobilnya sebentar lalu menghampiri Vallen dan seorang gadis yang hanya ia tau namanya itu, “Sorry gak anter kamu pulang.” sesalnya dengan memberikan 3 buah es krim vanilla.

“Duduk dulu, ada temenku,”

“Buat lo satu Kes.” Vallen memberikan 1 es krimnya untuk Kesya, 1 untuknya, dan 1 lagi mau ia simpan di kulkas.

Meninggalkan Kesya dan Evan yang duduk awkward di teras.

Laki-laki yang mengenakan kemeja flanel tersebut hanya mampir sebentar untuk minta maaf dan memastikan gadisnya tidak marah, setelahnya ia akan langsung pulang karena masing-masing dari mereka punya kesibukan sendiri.

“Gue pulang dulu ya Len, udah gak sepanas tadi nih.” Kesya menyerahkan jaket denim yang dipinjamkan Vallen.

“Eh besok aja balikinnya.”

“Nggak ah gue takut lupa, gapapa kok gue udah biasa pake rok juga.”

“Jangan dong,” Evan ikut bersuara, “Gak baik nanti diliatin cowok-cowok nakal. Pake kemeja gue aja ya.” ia melepas kemejanya.

Vallen agak terkejut dengan perkataan Evan barusan, tapi ia setuju juga dengan ucapannya, “Iya tuh dari pada nanti kenapa-napa.” katanya.

Kesya pun mengiyakan lalu pamit pulang dengan kemeja kotak-kotak navy melingkar di pinggang menutupi paha putihnya.

Tak lama dari itu Evan juga berpamitan, diakhiri dengan pelukan agak lama untuk saling minta maaf.

“Besok kamu ada rapat gak? Kalo rapat lagi aku berangkat sendiri aja.”

“Nggak rapat tapi ada urusan lain. Gapapa ya kamu berangkat sendiri?”

Vallen mengangguk-anggukan kepalanya yang masih didekap erat oleh Evan. Semanja itulah Vallen kalau sedang berdua dengan kekasihnya.