Semesta sedang tidak berpihak padanya
Aku yang mengekor di belakang punggung tegap Hilman dapat merasakan beberapa pasang mata menatap ke arah kami.
Entah ini keputusan yang tepat atau tidak, menerima tawaran Hilman ternyata dapat mengundang bisikan yang kini mulai menyapa telingaku.
Aku paham betul kenapa reaksi orang-orang di sekitarku sampai seperti itu. Bagaimana tidak? Seorang siswa most wanted tengah memasangkan helm ke kepala siswi dengan reputasi biasa-biasa saja yang tidak lain dan tidak bukan adalah aku, Amanda Zweta.
Setelah selesai dengan helm, Hilman tidak langsung menyuruhku naik ke atas motornya. Ia malah menduduki jok belakang yang seharusnya aku tempati, “Sebentar ya, jok nya panas.” lirihnya.
Selama kurang lebih satu menit Hilman duduk di jok yang katanya panas itu, sedangkan aku hanya melihat-lihat sekitar guna mengusir kecanggungan ini.
Hilman kemudian turun dari motor untuk menurunkan footstep di sebelah kanan dan kiri menggunakan tangannya.
“Yuk, berangkat!” katanya setelah kembali duduk di depan, mempersilahkan aku untuk naik ke motornya.
“Udah?”
Aku hanya mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya. Bodohnya aku, tentu saja Hilman tidak bisa melihat anggukkan itu.
Laki-laki yang wangi parfumnya masih kuat walaupun sudah sore ini menolehkan kepalanya ke belakang, membuat mataku bertemu dengan miliknya yang baru kusadari ternyata seindah itu, “Udah siap atau belum, Man?”
“Udah, udah! Ayo berangkat.” jawabku tergesa-gesa karena gugup.
Hilman kembali menatap ke depan lalu terkekeh sampai bahunya bergetar membuat aku merutuki diri sendiri karena malu telah terlihat gugup barusan.
Kami pun meninggalkan area sekolah, bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.
Baik aku maupun Hilman tidak ada yang berbicara. Syukurlah, aku memang tidak suka mengobrol kalau sedang dalam perjalanan.
Ketika motor yang kutumpangi melewati gang menuju rumahku, aku lantas menyuruh Hilman berhenti dan putar arah.
Namun ia tidak menghiraukan ucapanku, dirinya terus melaju membuat aku panik.
“EH GUE MAU DIBAWA KEMANA?! LO MAU MACEM-MACEMIN GUE YA? TURUNIN GUE! TURUNIN GUE SEKARANG, HILMAN!!” aku berteriak sambil memukul-mukul punggungnya, tidak peduli dengan pengendara lain yang menatap heran.
Hilman memekik, “Arghh! Sakit banget!”
Sadar kalau aku memukulnya terlalu kencang, aku lantas menghentikan aksiku berbarengan dengan motor Hilman yang ikut menepi ke pinggir jalan.
“Yah, Hil, sorry. Lagian lo kayak mau bawa gue kabur, sih! Sakit ya? Maaf, Hil!” sesalku sambil menepuk pelan area yang sebelumnya aku hadiahi pukulan.
Sekitar tiga menit kami diam di pinggir jalan dengan Hilman yang terus-terusan mengerang kesakitan, “Sesakit itu kah pukulannya?” batinku.
Hilman menyalakan mesin motornya, “Tadinya gue mau ajak lo jalan dulu, tapi kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat deh. Lain kali aja gapapa, kan? Sekarang gue anter lo pulang.” ujarnya lalu memutarbalikkan motornya ke rumahku.