There's still another day
Siang itu nampak seorang perempuan yang tengah menunggu dijemput di depan rumahnya.
Najla tidak suka saat seseorang harus menunggunya, oleh karena itu dirinya telah siap berangkat sejak 10 menit lalu saat Kenny mengabarinya sudah dalam perjalanan.
Tidak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah tepat dimana Najla berdiri.
Kenny keluar dari mobilnya, menyapa Najla yang hari ini rambutnya sengaja digerai, “Hai!”
“Hai, Ken!”
“Papa ada?”
“Papa udah pergi kerja.”
Laki-laki itu mengangguk kecil sebelum mengajak Najla untuk bergegas. Ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu, lantas Najla si pemilik love language act of service sedikit tersipu dibuatnya.
“Pake seat belt dulu, Naj!” titah Kenny yang langsung dituruti.
Setelahnya Kenny langsung melajukan kendaraan roda 4 itu menuju apartemen Julian, suami Najla sekaligus musuhnya sejak Sekolah Menengah Atas.
“Ken,” panggilan lirih itu membuat Kenny berdehem tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, “Itu kemarin, kamu mau ngomongin apa?”
Pertanyaan Najla berhasil membuat yang ditanya melirik sekilas, “Nanti aja, gak enak ngomong disini.”
Najla tau itu, sejujurnya ia juga tidak berniat untuk menyinggung hal ini. Namun suasana mobil yang senyap terpaksa membuat Najla bertanya.
“Ya udah, nanti aja.”
Kecanggungan kembali menyelimuti keduanya, Kenny fokus menyetir sedangkan Najla sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki itu.
Dari luar Kenny memang nampak tenang dan santai, namun kalian harus tau kalau saat ini jantungnya tidak berdetak dengan normal.
Mantan penyanyi itu ingin memberitahu Najla bahwa ia telah mengaguminya sejak 5 tahun lalu dan berencana akan mengajaknya menjalin hubungan lebih dari sekadar teman.
Se-yakin itulah perasaannya pada perempuan yang kini tengah bersenandung kecil.
Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya keduanya sampai di basemen apartemen.
Kenny yang wajahnya tegang terlihat berusaha mengontrol diri agar tidak melampiaskan emosinya saat bertemu Julian nanti.
“Kenapa, Ken? Kayak mules gitu.”
Yang ditanya terperanjat, “Hah? Enggak, kok!”
Najla hanya mengangguk karena ingin cepat-cepat menemui Julian di unit apartemennya.
Kini keduanya sudah berada di lift.
“Naj, nanti kita pura-pura pacaran di depan Julian gak?”
Najla bingung harus menjawab apa.
“Atau gak usah?” kembali Kenny melontarkan pertanyaan.
“Iya, pura-pura pacaran.” tukas Najla sedetik sebelum lift terbuka.
Mereka lantas berjalan beriringan menuju unit apartemen tujuan. Najla menekan bel beberapa kali sampai pintu dibuka oleh si penghuni apartemen tersebut.
Kenny menangkap ekspresi kaget dari wajah Julian yang seperti baru bangun tidur, “Hai? Long time no see!“
Laki-laki berkaus abu itu tidak mengindahkan sapaan Kenny, ia langsung beralih memandang Najla, “Ngapain sih ngajak-ngajak orang lain?”
“Kenny bukan orang lain, he's my boyfriend.” sahur Najla dengan nada dingin.
Diam-diam sudut bibir Kenny terangkat dibarengi tatapan meledek yang ia lemparkan pada Julian.
Seolah tidak ingin berdebat lebih lama, Julian langsung mempersilahkan dua orang di depannya untuk masuk.
“Masuk,”
Kenny yang awalnya membuntuti Najla tiba-tiba ditahan oleh Julian, “Lo diem disini.” katanya.
Ucapan Julian membuat Najla mengisyaratkan kepada pacar pura-pura nya untuk mengiyakannya yang disuruh Julian.
Akhirnya Najla dan Julian masuk ke kamar, meninggalkan Kenny di ruang tamu.
“Gue tanya sekali lagi, lo ngapain bawa Kenny?”
“Kenapa sih? Emangnya salah kalau aku minta ditemenin pacar aku?”
“Lo itu masih istri gue, menurut lo apa etis kalau lo bawa laki-laki lain kesini?”
“Giliran begini aja, kamu baru nganggep aku istri. Kemarin-kemarin kemana aja??”
Di dalam kamar, Najla terlibat cekcok dengan Julian. Tangannya memang sibuk mengemasi barang-barang miliknya ke dalam koper, namun mulutnya masih sanggup untuk terus mengoceh—memutarbalikkan ucapan Julian.
Julian yang duduk di tepi ranjang hanya memandangi gerak-gerik Najla tanpa sedikitpun niat ingin membantu.
Sebenarnya tidak apa-apa, toh Najla juga tidak perlu bantuan.
Namun ia merasa risih dan tidak nyaman ketika seseorang memperhatikannya saat sedang berkutat dengan suatu pekerjaan, “Kamu bisa keluar aja gak sih? Keberadaan kamu disini itu ganggu banget, bikin risih.” jujurnya.
Julian mendecak, “Gue lagi jaga-jaga takut lo butuh bantuan.”
“Gak butuh, aku bisa handle sendiri.” sarkas Najla yang membuat Julian langsung keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun.
Baguslah, dengan begitu Najla bisa menyelesaikan urusannya dengan leluasa.
cw // harsh words, violence
Sementara itu di luar kamar, Kenny berdiri tegap di depan lemari etalase yang menyimpan banyak piala dan piagam penghargaan.
Matanya memanas tatkala pandangannya jatuh pada piala berbentuk microphone yang terukir tulisan juara 1 di sana.
Piala itu, piala yang seharusnya menjadi milik Kenny.
Tangannya terulur, mendarat di permukaan kaca seolah ingin memegang piala tersebut.
“Keep your hands off!“
Baru beberapa detik tangannya menempel, teriakkan Julian yang tidak ramah menyapa telinganya.
“*Lo dateng kesini, bukan berarti lo bisa pegang-pegang barang gue seenaknya!”
Mendengar itu Kenny sama sekali tidak merasa terancam, justru ia tertantang untuk mendekati Julian dan memberi senyum meremehkan pada laki-laki yang sedang mengepalkan tangannya itu.
“Barang lo, ya?”
“Itu ada di tempat gue, berarti punya gue!”
Kenny tertawa, “Muka lo tebel juga, ya!”
Terpancing emosinya, Julian maju selangkah ke depan Kenny, “You better get out before i punch you!“
“Uuu, takut!” sahut Kenny lagi-lagi dengan nada meledek.
Baru ingin menarik kerah kemeja musuhnya, Najla tiba-tiba keluar dan menghentikan pergerakan Julian yang hampir melayangkan tinjunya.
Diluar rencana, Kenny langsung menghampiri Najla dan merangkulnya, “Udah selesai, sayang?”
Najla yang membutuhkan waktu untuk memproses apa yang barusan terjadi sempat bergeming beberapa saat sampai Kenny mengambil alih koper yang sebelumnya ia seret.
“Iya, udah nih! Ayo sayang, pulang sekarang.”
Pemandangan itu tentunya membuat emosi Julian semakin menjadi.
“Najis! Gue kira lo cewek bener, Naj. Taunya gak beda jauh sama lonte-lonte di luaran.”
Kenny yang mendengar kalimat buruk itu hampir ingin menonjok wajah tampan Julian kalau tidak ditahan oleh Najla.
Najla menggenggam tangan Kenny, “Maling teriak maling! Level mu itu bahkan di atas bajingan alias kamu adalah contoh seburuk-buruknya lelaki.”
Setelah mengucapkan kalimat yang keluar dengan lancar dari mulutnya, Najla langsung menarik tangan Kenny tanpa menghiraukan teriakan Julian.
“Dasar cewek gak tau diri!” “Sok suci!” “Pelacur!”
Teriakan yang ketiga berhasil menghentikan langkah Kenny, ia melepas tautan tangannya dari tangan Najla, memutar badannya dan lantas menghampiri Julian.
“Anjing!”
Bugh!
Julian tersungkur saat Kenny menghadiahinya bogem mentah di wajahnya.
“Lo laki, tapi mulut lo kayak cewe! Kalo mau ngejelekin orang lain minimal ngaca dulu, jangan merasa paling bener, brengsek!”
Setelah itu Kenny segera kembali menghampiri Najla, ia rangkul gadis itu membawanya keluar dari unit apartemen Julian.
“Omongan Julian yang gak bermutu itu jangan dimasukin ke hati.”
Tidak ada respon dari sang puan.
“Naj?”
“Maaf Ken, aku mau tidur. Bangunin kalo udah sampe, ya?”
Keduanya telah berada di mobil yang sedang melaju untuk pulang. Sejak keluar dari apartemen, Najla jadi terlihat lebih murung.
Hal itu membuat Kenny tidak berani menegurnya, “Oke, tidur yang nyenyak ya!” katanya kemudian.
Najla sungguh tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Bahkan saat matanya terpejam pun sangat jelas kalau ia ingin menangis, terlihat dari sudut bibir yang turun.
Kenny mengurungkan niatnya untuk jujur pada Najla, ia sungguh tidak tega kalau harus menambah beban pikiran gadis itu.
“Calm, Ken, masih ada hari lain.“