Rumah Hilman
Jantungku tidak berhenti gugup sepanjang perjalanan menuju rumah Hilman. Aku lega akhirnya bisa bertemu dengannya lagi, aku bahkan sudah menyiapkan banyak pertanyaan yang akan aku tanyakan saat bertemu dengannya nanti.
“Rumahnya masih jauh, Ka?”
“Sebentar lagi sampe.”
Aku melihat ke sekeliling, nampak asing dengan pemandangan ini karena aku memang belum pernah berkunjung ke rumah Hilman.
Namun semakin jauh motor Azka melaju, semakin asing pula jalanan yang kami lewati.
Sepi dan sunyi, kami bahkan melewati perkebunan. Entah kemana sebenarnya Azka membawaku.
“Lho, kita gak nyasar, kan?” tanyaku keheranan karena motor Azka malah berbelok memasuki area dengan gapura bertuliskan 'Tempat pemakaman umum'.
“Ka?”
Azka tidak menjawab, sampai motornya berhenti di parkiran yang bersebelahan dengan area pemakaman.
“Azka? Kita ngapain kesini?”
“Ini rumah Hilman, rumah baru Hilman.”
Seketika kepalaku pening seperti habis dihantam batu besar, “Kalo mau bercanda nggak sekarang, Ka.”
Azka meraih tanganku yang gemetar, “Ayo, ketemu Hilman.” katanya kemudian menuntunku memasuki tempat dimana banyak gundukkan tanah dengan batu nisan menancap di atasnya.
Aku yang pikirannya sudah kacau hanya bisa mengikuti Azka tanpa bertanya apapun.
Sampai langkahnya berhenti tepat di samping nisan bertuliskan nama seseorang yang seharusnya aku temui hari ini.
Hilman Ferninan.
Nama itu terukir sangat jelas di atas batu nisan dengan tulisan tanggal 07 Juni 2022 di bawahnya yang mana itu adalah kemarin.
“Kita.. Ngapain disini?” tanyaku seperti orang tolol.
“Ketemu Hilman.”
Dua kata itu berhasil membuat aku berlutut, berlutut di samping gundukan tanah dengan taburan bunga di atasnya.
“Kenapa Hilman ada disini, Ka?” “Disini dingin, disini gelap, kenapa Hilman harus ada disini?!”
Aku dapat mendengar Azka menghela napas kasar sebelum ikut berjongkok di sebelahku, “Kanker otak, Man.”
Rasanya aku tidak ingin mendengar kalimat lain keluar dari mulut Azka karena setiap kata yang ku dengar darinya selalu berhasil membuat jantungku seakan berhenti berdetak.
Aku menangis dengan tanpa tau malu.
Mengusap nisannya seolah sedang mengusap kepala si pemilik nisan.
“Kenapa lo jahat banget, Hil?” “Kalo lo mau pergi kenapa lo harus ketemu gue dulu?” “Kenapa?? Kenapa nggak pamit sama gue?”
Laki-laki di sampingku merangkul tubuhku yang sudah ingin ambruk, “Hilman enggak mau liat perempuan yang dia suka nangis. Udah ya, Man, nangisnya?”
Aku tidak mengindahkan ucapan Azka karena telingaku menolak untuk mendengarkannya.
Azka kemudian mengeluarkan secarik kertas dari saku dompetnya, “Dari Hilman,” katanya sembari menunjukkan lipatan kertas itu di depan wajahku.
Sebuah surat.
“Berhenti dulu nangisnya, nanti gue kasih.”
“Beneran dari Hilman?” tanyaku.
Tidak ada kebohongan yang terpancar dari matanya, aku lantas menyeka air mataku dan langsung mengambil surat itu.
Hai, Amanda!
Pasti lo lagi nangis ya? Ayo berhenti dulu nangisnya kalau mau lanjut baca surat dari gue
Udah?
Oke, lanjut!
Manda, waktu lo baca surat ini, gue ada di samping lo
Gue nggak pergi kemana-mana, Man
Manda, maafin gue ya karena pergi tanpa pamit. Gue gak mau bikin lo sedih soalnya
Man, gue seneng banget bisa kenal lo
Gue seneng akhirnya bisa mewujudkan semua yang gue mau sebelum gue bener-bener pergi dari dunia ini
Piknik, itu salah satunya
Lo mau tau impian gue yang lain gak?
Berteman sama lo, Man
Sebenernya gue udah pengen kenal sama lo sejak lama, tapi gue gak berani
Gue takut
Takut kalau kita terlalu deket, nanti lo berat buat ikhlasin gue nya
That's why gue tiba-tiba baik sama lo
Kayak yang lo bilang sore itu.. Kalau gue gak ada, lo harus bisa jalanin hidup seolah semuanya baik-baik aja
Oke, Man?
Jangan nangis lagi, gue lagi merhatiin lho!
Gue gapapa, Manda
Gue seneng karena akhirnya bisa lepas dari penyakit gue, walaupun gue harus melepas lo juga
Tapi serius, gue gapapa
Manda, bahagia terus ya? Hidup lo sebelum kenal gue udah baik-baik aja, jadi sekarang harus lebih dari baik-baik aja
Maaf surat gue gak bisa panjang-panjang, kasian susternya gue repotin buat nulis ini hahaha!
Manda, i love you, please be happy!
Your friend,
Hilman