tinkernid


Stttt!” Jagat menempelkan jarinya ke bibir Vallen, membuat gadis itu refleks berhenti bicara. “Ngomel-ngomelnya nanti aja, obatin dulu nih luka gue.” katanya, kesal dengan Vallen yang langsung berceramah saat baru masuk mobil.

Vallen mendecak, “Abisnya tingkah lo mancing emosi gue banget, anjing!” pekiknya.

“Kalo si Cakranjing nggak nyari masalah juga gue gak bakal ribut.” lirih Jagat, mencari pembelaan.

Gadis di sampingnya hanya mendelik kemudian meminta kotak P3K dan segera mengobati luka-luka di wajah Jagat.

Darah di sudut bibir laki-laki itu sudah agak mengering, begitu juga dengan luka cakar di pelipisnya.

Vallen menuangkan beberapa tetes obat merah ke kapas untuk ditepuk-tepukan ke area wajah Jagat yang terluka secara perlahan, takut membuat lukanya makin terasa sakit.

Baru menempelkan kapas, Jagat sudah menggerutu di depan wajah Vallen, “Pelan-pelan dong, perih, anjing!”

“Ini udah pelan, cupu banget sih lo!”

“JANGAN GITUUU, VALLEN! SAKIT WOY!” kali ini dibarengi dengan pukulan pelan di tangan Vallen yang tengah mengobati lukanya.

“Bacot banget, anjing! Obatin sendiri aja lah!”

Jagat bergeming kala Vallen menarik tangannya, “Mau gue obatin gak sih?” tanyanya sedikit meninggikan nada suaranya.

Yang ditanya hanya mengangguk sambil memasang ekspresi takut. Sahabatnya itu memang menakutkan kalau sengaja dibuat marah.

“Diem.” Vallen menggulung lengan jaketnya, sedikit memajukan tubuhnya agar lebih mudah meraih wajah Jagat. Tangan kirinya ia letakkan di kepala Jagat agar tidak bergerak ke kanan-kiri, lalu tangan kanannya kembali mengobati luka di sudut bibir dan pelipis laki-laki itu.

Jagat meringis ketika cairan merah itu menyapa lukanya, namun ia tidak berani bersuara lagi. Takut akan disemprot cercaan dari mulut Vallen lagi.

Mata Vallen yang tengah fokus ke luka Jagat membuatnya tidak menyadari tatapan dalam yang laki-laki itu layangkan.

Jarak keduanya begitu dekat, sehingga memudahkan Jagat memandangi paras tegas perempuan di depannya. “Lo nggak pernah cuci muka ya, nyet?”

Kini Vallen telah selesai dengan obat merah dan kapas, langkah selanjutnya yang harus ia lakukan adalah menempelkan plester ke luka cakar di pelipis Jagat.

“Kenapa? Komuk gue udah kumel?”

Jagat menggeleng, “Cantiknya gak pernah luntur dari dulu.”

Mendengar itu Vallen sengaja menempelkan plesternya dengan kasar. “Jelek banget gombalan lo!” cibirnya.

Jagat tau bualan seperti itu tidak mempan untuk meruntuhkan tembok di hatinya. Vallen bukan tipe perempuan yang mudah luluh dengan rayuan murahan seperti yang ia lontarkan barusan.

Ia terkekeh kemudian menepuk-nepuk puncak kepala Vallen dan sedikit mengacak rambutnya yang tidak diikat itu. “Thank you, bestie!

“Ini luka kedua yang lo dapet dari nonjokin cowok yang jahat sama gue.” lirih Vallen sembari memasukan isi kotak P3K itu ke tempatnya semula.

“Nanti bakal ada luka yang ketiga, keempat dan seterusnya. Jangan kapok obatin luka gue, oke?”

Vallen tidak menjawab, ia hanya mengangguk-angguk dengan tangan terlipat di depan dada.

“Eh, tapi jangan sampe ada luka lagi sih. Soalnya gue gak bakal biarin siapapun nyakitin lo.” ujar Jagat yang langsung dihadiahi gelak tawa dari lawan bicaranya.

“Hahaha! Bisa-bisa.. Bisa gue tampol, ya, lo sekali lagi gombalin gue!

“Yehh dikasih taunya ngelunjak nih cewek satu!”

Vallen meledek dengan menirukan kalimat itu namun mengubah huruf vokalnya menjadi huruf i.

“Kamprettt!”

“Udah deh, jangan ngomul! Gue numpang merem sebentar ya, 10 menit lagi bangunin.”

Saat ingin memejamkan matanya, Jagat memberikan penutup mata yang masih dibungkus plastik pada Vallen.

“Gue beli, khusus buat lo. Bukan bekas dipake orang lain.”

Vallen menyipitkan matanya curiga, “Ada udang di balik batu gak, nih?”

“Aduh!” Jagat memasangkan penutup mata berbentuk mata koala yang terpejam itu dengan paksa. “Curigaan mulu, cepet tua lo nanti!”

“Ihh, Jagat!”

Walaupun terlibat adu mulut, pada akhirnya Vallen tetap menerima penutup mata tersebut dan ingin segera mengistirahatkan matanya.

Jagat sengaja membeli penutup mata berwarna coklat itu karena sebelumnya Vallen menolak memakai penutup mata yang sama dengan yang biasa dipakai oleh perempuan lain saat tidur di mobilnya.

Melihat Vallen yang sepertinya sudah terlelap, Jagat lantas ikut menyandarkan punggungnya.

Pikirannya kembali mengingat kejadian siang tadi ketika ia menemui Cakra. Dirinya langsung mendaratkan bogem mentah saat melihat laki-laki itu sedang seru bermain basket.

Berani-beraninya cowok brengsek itu memilih perempuan yang ia suka menjadi bahan taruhan.

“Jangan cari cowok lain, Len. Gue disini.” gumamnya yang ia pikir tidak akan didengar Vallen.

Tanpa sepengetahuannya, Vallen menghela napas panjang kala kalimat tersebut terdengar olehnya.


Stttt!” Jagat menempelkan jarinya ke bibir Vallen, membuat gadis itu refleks berhenti bicara. “Ngomel-ngomelnya nanti aja, obatin dulu nih luka gue.” katanya, kesal dengan Vallen yang langsung berceramah saat baru masuk mobil.

Vallen mendecak, “Abisnya tingkah lo mancing emosi gue banget, anjing!” pekiknya.

“Kalo si Cakranjing nggak nyari masalah juga gue gak bakal ribut.” lirih Jagat, mencari pembelaan.

Gadis di sampingnya hanya mendelik kemudian meminta kotak P3K dan segera mengobati luka-luka di wajah Jagat.

Darah di sudut bibir laki-laki itu sudah agak mengering, begitu juga dengan luka cakar di pelipisnya.

Vallen menuangkan beberapa tetes obat merah ke kapas untuk ditepuk-tepukan ke area wajah Jagat yang terluka secara perlahan, takut membuat lukanya makin terasa sakit.

Baru menempelkan kapas, Jagat sudah menggerutu di depan wajah Vallen, “Pelan-pelan dong, perih, anjing!”

“Ini udah pelan, cupu banget sih lo!”

“JANGAN GITUUU, VALLEN! SAKIT WOY!” kali ini dibarengi dengan pukulan pelan di tangan Vallen yang tengah mengobati lukanya.

“Bacot banget, anjing! Obatin sendiri aja lah!”

Jagat bergeming kala Vallen menarik tangannya, “Mau gue obatin gak sih?” tanyanya sedikit meninggikan nada suaranya.

Yang ditanya hanya mengangguk sambil memasang ekspresi takut. Sahabatnya itu memang menakutkan kalau sengaja dibuat marah.

“Diem.” Vallen menggulung lengan jaketnya, sedikit memajukan tubuhnya agar lebih mudah meraih wajah Jagat. Tangan kirinya ia letakkan di kepala Jagat agar tidak bergerak ke kanan-kiri, lalu tangan kanannya kembali mengobati luka di sudut bibir dan pelipis laki-laki itu.

Jagat meringis ketika cairan merah itu menyapa lukanya, namun ia tidak berani bersuara lagi. Takut akan disemprot cercaan dari mulut Vallen lagi.

Mata Vallen yang tengah fokus ke luka Jagat membuatnya tidak menyadari tatapan dalam yang laki-laki itu layangkan.

Jarak keduanya begitu dekat, sehingga memudahkan Jagat memandangi paras tegas perempuan di depannya.

“Lo nggak pernah cuci muka ya, nyet?”

Kini Vallen telah selesai dengan obat merah dan kapas, langkah selanjutnya yang harus ia lakukan adalah menempelkan plester ke luka cakar di pelipis Jagat.

“Kenapa? Komuk gue udah kumel?”

Jagat menggeleng, “Cantiknya gak pernah luntur dari dulu.”

Mendengar itu Vallen sengaja menempelkan plesternya dengan kasar. “Jelek banget gombalan lo!” cibirnya.

Jagat tau bualan seperti itu tidak mempan untuk meruntuhkan tembok di hatinya. Vallen bukan tipe perempuan yang mudah luluh dengan rayuan murahan seperti yang ia lontarkan barusan.

Ia terkekeh kemudian menepuk-nepuk puncak kepala Vallen dan sedikit mengacak rambutnya yang tidak diikat itu. “Thank you, bestie!

“Ini luka kedua yang lo dapet dari nonjokin cowok yang jahat sama gue.” lirih Vallen sembari memasukan isi kotak P3K itu ke tempatnya semula.

“Nanti bakal ada luka yang ketiga, keempat dan seterusnya. Jangan kapok obatin luka gue, oke?”

Vallen tidak menjawab, ia hanya mengangguk-angguk dengan tangan terlipat di depan dada.

“Eh, tapi jangan sampe ada luka lagi sih. Soalnya gue gak bakal biarin siapapun nyakitin lo.” ujar Jagat yang langsung dihadiahi gelak tawa dari lawan bicaranya.

“Hahaha! Bisa-bisa.. Bisa gue tampol, ya, lo sekali lagi gombalin gue!

“Yehh dikasih taunya ngelunjak nih cewek satu!”

Vallen meledek dengan menirukan kalimat itu namun mengubah huruf vokalnya menjadi huruf i.

“Kamprettt!”

“Udah deh, jangan ngomul! Gue numpang merem sebentar ya, 10 menit lagi bangunin.”

Saat ingin memejamkan matanya, Jagat memberikan penutup mata yang masih dibungkus plastik pada Vallen.

“Gue beli, khusus buat lo. Bukan bekas dipake orang lain.”

Vallen menyipitkan matanya curiga, “Ada udang di balik batu gak, nih?”

“Aduh!” Jagat memasangkan penutup mata berbentuk mata koala yang terpejam itu dengan paksa. “Curigaan mulu, cepet tua lo nanti!”

“Ihh, Jagat!”

Walaupun terlibat adu mulut, pada akhirnya Vallen tetap menerima penutup mata tersebut dan ingin segera mengistirahatkan matanya.

Jagat sengaja membeli penutup mata berwarna coklat itu karena sebelumnya Vallen menolak memakai penutup mata yang sama dengan yang biasa dipakai oleh perempuan lain saat tidur di mobilnya.

Melihat Vallen yang sepertinya sudah terlelap, Jagat lantas ikut menyandarkan punggungnya.

Pikirannya kembali mengingat kejadian siang tadi ketika ia menemui Cakra. Dirinya langsung mendaratkan bogem mentah saat melihat laki-laki itu sedang seru bermain basket.

Berani-beraninya cowok brengsek itu memilih perempuan yang ia suka menjadi bahan taruhan.

“Jangan cari cowok lain, Len. Gue disini.” gumamnya yang ia pikir tidak akan didengar Vallen.

Tanpa sepengetahuannya, Vallen menghela napas panjang kala kalimat tersebut terdengar olehnya.


“Pake baju gue mau kan?”

Vallen bergeming beberapa saat sebelum Jagat melempar kaus hitamnya ke wajah yang masih full make up itu.

“Mau gak mau harus mau. Lo nggak boleh tidur pake baju itu.”

“Emang kenapa?”

“Bahaya,” Jagat mengalungkan celana trainingnya ke leher Vallen. “Di kamar mandi ada sabun muka, pake aja. Lo bersih-bersih dulu, temuin gue di luar kalo udah beres.” lanjutnya kemudian meninggalkan Vallen di kamarnya.

Vallen cukup lama menghabiskan waktu di kamar mandi. Ia berkali-kali merutuki dirinya sendiri karena dengan bodohnya telah mengakrabkan diri dengan Cakra.

“Awas ya lo kalo ketemu gue di kampus, dasar ceker!” umpatnya di depan cermin kamar mandi.

Ia keluar menemui Jagat di luar kamar. Dilihatnya Jagat yang sedang duduk bersila di lantai dengan beberapa cemilan dan minuman kaleng di dekatnya.

Canggung dan sunyi menyelimuti keduanya. Sebelum ini mereka memang pernah beberapa kali berduaan di apartemen Jagat, namun tidak pernah terlintas dipikiran Vallen ia akan tidur di apartemen ini.

“Si ceker bisa dihubungin gak?” tanya Jagat, memecah keheningan di antara keduanya.

“Dia blokir semua sosmed gue.”

Jagat sebenarnya sudah gatal ingin membeberkan kelakuan Cakra, namun ia takut Vallen akan lebih sakit hati jika mendengar dirinya dijadikan bahan taruhan.

“Ya udah lah, lupain. Emang gak serius sama lo kali.”

Vallen mengangguk lemah dengan mulutnya yang penuh biskuit.

“Kita party disini aja, besok lo gak ada kelas kan?”

“Ada, tapi siang sih.”

“Ya udah kita party berdua, gimana?”

“Lo punya apa?”

“Soju.”

“Gas!”


Jagat langsung mematikan ponselnya setelah membalas pesan dari sahabat perempuannya, Vallen. Ia lantas berjalan ke meja rias untuk memastikan penampilannya sekali lagi.

Varsity jacket berwarna biru tua begitu matching dengan celana dan sepatu hitamnya. Rambutnya sengaja ia atur menggunakan pomade agar tidak berantakan.

Walaupun hanya mengantar, dirinya tidak ingin penampilannya terlihat jomplang karena Vallen sendiri sudah berdandan dengan baik.

Singkatnya, Jagat tidak ingin terlihat jelek di depan perempuan yang ia suka.

Setelah hampir 5 menit menatap dirinya sendiri di cermin, Jagat segera turun dari unit apartemennya dan langsung tancap gas menuju kediaman Vallen.

Padahal Vallen sudah memperingati untuk datang 1 jam lagi, namun Jagat sama sekali tidak menghiraukan peringatan tersebut.

Jagat tau Vallen adalah tipe yang sering merasa tidak enakan pada orang lain. Vallen tidak suka ketika seseorang harus menunggunya saat ia yang minta dijemput.

Padahal itu bukan masalah bagi Jagat. Disuruh menunggu 60 menit tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan menunggu 2 tahun untuk balasan perasaannya—yang sampai detik ini belum ada titik terangnya.

Oleh karena itu disinilah Jagat sekarang. Di depan rumah mewah yang hanya ditinggali oleh 4 orang, yaitu Vallen, papanya Vallen, asisten rumah tangga, dan satpam.

20 menit sebelumnya Vallen mengirimkan pesan, mengatakan Jagat sudah boleh berangkat. Namun kenyataannya laki-laki itu menerima pesan Vallen saat dirinya sudah sampai sejak bermenit-menit lalu.

Jagat menunggu Vallen keluar sambil membalas beberapa chat yang masuk dari teman-temannya yang mayoritas perempuan itu.

Saat sedang asik berbalas pesan, tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobil, membuat fokus Jagat teralihkan. Ia langsung menaruh ponselnya dan membiarkan seseorang itu masuk lalu duduk di kursi sebelahnya.

“Lama gak nunggunya?” tanya Vallen sembari memasang seat belt

Namun bukannya menjawab, Jagat malah melongo melihat penampilan Vallen Triana sekarang. Mini dress hitam yang ia kenakan menjadi lebih pendek saat perempuan itu duduk.

Ditambah make up Vallen yang terlihat berbeda dari biasanya, membuat Jagat menatapnya dengan mulut sedikit terbuka.

“Woy?! Gue nanya!”

Fokus Jagat kembali kemudian ia mendecak, “Baru sampe,” Jagat melepas jaket yang ia pakai lalu ia lempar sembarangan ke arah Vallen, “Dingin, tutupin kaki lo.”

“Eh iya, thanks.

Kalau kalian tebak saat ini Vallen sedang tersipu, tebakan kalian salah.

Vallen menerima jaket itu tanpa perasaan khusus apapun karena hal seperti ini sudah sering Jagat lakukan padanya.

Selanjutnya keduanya melaju dengan kecepatan sedang menuju lokasi.

“Nanti stop di diamond aja, Cakra mau jemput disitu.” ucap Vallen, membuat Jagat refleks menoleh sekilas.

“Kenapa gak gue anter sampe tempatnya?”

“Ya, kali!”

Jagat merotasikan matanya dibarengin decakan pelan yang tidak Vallen dengar.

Mungkin Vallen tidak ingin ada orang lain yang hadir di tengah-tengah pertemuannya laki-laki bernama Cakra itu, pikir Jagat.

Vallen membiarkan Jagat menyetir sendiri, ia sibuk dengan ponsel di tangannya entah sedang bertukar pesan dengan siapa. Yang Jagat tau, perempuan itu sesekali terkekeh setelah terdengar suara notifikasi dari benda pipih miliknya itu.

“Bedak lo gak rata, tuh!” celetuk Jagat tiba-tiba yang berhasil membuat Vallen melepaskan ponselnya dan mengeluarkan compact powder dari clotch berwarna putih yang ia bawa.

Jagat menyunggingkan senyumnya kala melihat Vallen yang kini tengah fokus pada riasan yang sebenarnya tidak rusak sedikitpun.

“Ngundang siapa aja si ceker?” tanyanya meledek dengan sengaja salah menyebut nama Cakra.

“Katanya sih rame, ada temen SMA sama temen kuliahnya.”

Detik selanjutnya mereka saling berbincang mengenai hari-hari keduanya belakangan ini sampai mobil Jagat berhenti di depan kafe yang cukup ramai pengunjungnya.

Ini Sabtu malam dan pukul 8, wajar saja tempat seperti ini ramai dikunjungi kaula muda.

“Nanti baliknya dianter ceker kan?”

“Namanya Cakra, Gat.”

“Ya emang kenapa sih kalo manggil ceker?”

Vallen menghembuskan napasnya kasar, “Iya, dianter. Lo bisa bebas malem mingguan sama cewek-cewek lo!” sindirnya lalu keluar mobil tanpa menunggu reaksi Jagat setelah mendengar kalimat sindirannya itu.

Setelah Vallen berdiri di pinggir jalan depan kafe tersebut, ia melambaikan tangannya menyuruh Jagat segera berlalu dari pandangannya.

Yang diusir hanya menggeleng pelan lalu meninggalkan Vallen sendirian di sana.


“Tapi bener loh, menurut gue mereka jago banget mainin nada. Lo pada nonton kan perform yang di SMANLI Depok?”

“Kan kita nonton bareng, bego!”

“Nah iya pokoknya gitu maksud gue, kalo bisa ya kita greet mereka duluan lah. Siapa tau gitu kan bisa belajar ilmu baru.”

“Belajar ilmu hitam mau lo?”

“Sialan!”

Jagat tertawa renyah mendengar candaan teman-temannya yang sebenarnya tidak lucu-lucu amat.

Sepulang mengantar Vallen, ia membuat janji dengan teman kuliahnya yang berada di satu UKM yang sama dengannya yaitu UKM Band.

Selain dengan Nahar, Darrel, dan Reihan, Jagat juga berteman dengan Fajar, Hardian, Bima, dan Leo yang merupakan temannya di UKM Band.

Sekarang ini mereka sedang menunggu kedatangan Bima yang belum sampai di tongkrongan.

Jagat tau Fajar tidak akan datang karena Vallen bilang teman SMA Cakra akan datang ke pesta ulang tahunnya.

Asap rokok mengepul dari masing-masing mulut 3 laki-laki di sana.

“Ini si Bima lama banget?” tanya Jagat yang sudah mulai bosan dengan perbincangan Leo dan Hardian.

Pasalnya ia telah duduk dan bercengkrama lebih dari satu jam dengan 2 orang yang mulai terlihat sudah mengantuk ini.

“Katanya nyamper si Fajar dulu ke rumahnya.” sahut Leo.

Jagat yang tadinya duduk menyandar sambil ongkang-ongkang kaki itu refleks meluruskan punggungnya.

“Bukannya Fajar pergi ke pesta Cakra?”

“Cakra siapa?”

“Cakra Rifaldi, yang anak basket.”

“Oh Cakra itu, pesta apaan anjir, Gat?”

“Pesta ultah katanya.”

Leo dan Hardian saling tatap setelah Jagat mengucapkan 3 kata itu.

Kemudian Hardian memberi tau satu hal tentang Cakra yang membuat alis Jagat menukik tajam, menghiasi wajahnya yang sudah merah padam, menandakan amarahnya yang sudah tidak teredam.

Saking emosinya Jagat bahkan tidak mendengarkan cerita Hardian sampai habis. Dirinya langsung meninggalkan tongkrongan, berjalan dengan langkah lebar menuju mobilnya. Jagat juga sampai menghiraukan panggilan Fajar dan Bima yang ternyata datang berbarengan saat ia sudah di parkiran.

Hardian bilang, Cakra dan teman-temannya seringkali menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan.

Hardian juga bilang, Cakra dan teman-temannya akan menyuruh perempuan itu untuk datang ke pesta yang sebenarnya tidak ada itu hanya untuk mengelabuhi bahan taruhan mereka.

Setelahnya siapapun yang berhasil membuat perempuan datang untuk menunggu akan memenangkan hadiah berupa uang.

Membayangkan Vallen yang kedinginan dan kesepian membuat Jagat mempercepat laju kendaraannya.

Jagat mencari kontak Vallen untuk dihubungi, ia memanggil angka 1 di layar ponselnya. Namun ia menyisir rambut dengan jari-jarinya saat menemukan ponsel Vallen ternyata tergelak di kursi sebelahnya.

“Kenapa handphone lo pake ketinggalan sih, Len?!”

Disisi lain, seorang gadis yang rambutnya sudah agak berantakan tengah berdiri dengan gusar. Kakinya tidak berhenti mengetuk ke tanah.

Vallen malu kalau harus berjongkok di tepi jalan karena ia tau gaunnya akan terlihat semakin pendek. Ia juga malu kalau harus melepaskan heels yang tingginya akan membuat siapapun yang memakainya tidak menemukan kenyamanan.

Kalau kalian tanya kenapa Vallen tidak memilih duduk di dalam kafe dan malah berdiri satu jam di luar kafe, jawabannya karena dia menunggu Jagat.

Vallen yakin Jagat akan kembali dan dia tidak ingin sahabatnya nanti pusing-pusing mencarinya.

Sepasang sepatu putih berhenti di depan heels yang Vallen kenakan. Gadis itu mendongak dan menemukan wajah Jagat yang ekspresinya sangat tidak bersahabat itu.

Vallen sudah siap mendengarkan ceramah panjang dan omelan yang akan Jagat lontarkan. Namun diluar dugaan, alih-alih mengomel Jagat malah berjongkok di depan kaki Vallen dan mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang ia jinjing, sepasang sandal crocs berwarna ungu polos.

Jagat melepas heels yang Vallen pakai dan menggantikan alas kakinya dengan sandal yang ia beli kemarin. Jagat sengaja membeli sandal itu untuk berjaga-jaga kalau nanti Vallen tidak nyaman dengan heelsnya, perempuan itu bisa langsung memakai sandal ini.

Benar saja, kaki Vallen sudah lecet padahal ia tidak banyak menggerakkan kakinya.

“Kalo bukan punya Kesya udah gue lempar nih heels!”

Vallen hanya terkekeh mendengar cibiran itu.

“Gue anter pulang?”

Vallen menggeleng, “Gue udah bilang papa mau nginep di kos Kesya.”

“Ya udah ayo gue anter kesana.”

Vallen kembali menggeleng, “Jam segini kos nya udah gak terima tamu, Gat.”

Diliriknya jam di tangannya, hampir pukul 10 malam.

Lalu tanpa bersuara lagi Jagat langsung menarik tangan Vallen, membawanya masuk ke dalam mobil.

“Mau kemana?”

“Lo tidur di apart gue malem ini.”


“Yang bagus dong tulisannya!”

“Sabar.”

“Ih lo salah anjir tangannya, gue aja deh yang nulis!”

Nahar langsung menjauhkan kue ulang tahun yang sedang ia hias dari tangan Vallen. Pasalnya kue itu tinggal diberi tulisan Happy Birthday sebelum benar-benar dimasukan ke dalam kotaknya.

Namun tangan Nahar yang gemetar dan posisinya yang tidak pas saat memegang plastik kerucut berisi krim itu membuat Vallen gemas karena sejak tadi belum ada satu huruf pun tertoreh di atas kue yang didominasi warna pink tersebut.

“Lo diem atau muka lo yang gue olesin krim?!”

Ancaman Nahar barusan membuat Vallen menghela napas pasrah. Ia lantas meninggalkan Nahar dan membiarkan laki-laki yang telah berteman dengannya sejak SMP itu berkutat dengan kue-nya.

“Kalo udah beres panggil gue, mau merem dulu sebentar!” teriak Vallen dan hanya direspon anggukan yang ia sendiri tidak dapat lihat karena sudah membelakangi Nahar.

Hari ini adalah hari bahagia bagi Nabil, gadis kecil berumur 9 tahun yang merupakan adik kandung Nahar.

Vallen dan Nahar yang telah berteman sejak masih duduk di bangku SMP membuat dirinya lebih dekat dengan keluarga Nahar dibanding keempat temannya yang lain (Darrel, Jagat, Reihan, dan Kesya).

Baru ingin menjemput mimpi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang refleks membuat Vallen bangun.

Tiga laki-laki dan satu perempuan yang telah berpakaian rapi itu langsung masuk ke kos an Nahar setelah Vallen membukakan pintu untuk mereka.

“Kemana Nahar?” tanya Kesya.

Vallen menjawab, “Dapur, lagi beresin kue.”

Kesya ikut duduk di sebelah Vallen, sedangkan Jagat, Darrel, dan Reihan sudah berpencar menjelajahi kos an yang luasnya sudah seperti rumah sendiri ini.

Jagat menemui Nahar sekaligus meminta air minum dingin dari kulkas, Darrel pergi ke kamar Nahar untuk mengambil barang yang sempat dipinjam, dan Reihan ngibrit ke kamar mandi untuk menyelesaikan panggilan alam.

“Len, bawa parfum gak? Minta dong, gue lupa bawa.”

Vallen yang sedang mencoba untuk memejamkan matanya sebentar itu kembali terbangun untuk mengambil parfum yang diminta Kesya. “Nih,” katanya dengan mata mengantuk.

“Tadi malem lo gak tidur ya?”

Perempuan yang sudah terpejam itu hanya berdehem menanggapi pertanyaan Kesya.

Terlihat dari matanya yang lelah, belakangan ini Vallen memang sering insomnia. Belum diketahui penyebabnya apa karena Vallen tidak merasa ada yang salah dengan pola hidupnya.

Selagi menunggu Nahar selesai dengan kue dan printilanya, Vallen mencuri waktu untuk memejamkan matanya walaupun hanya sekejap.

Tidak lupa ia berpesan pada Kesya agar dibangunkan kalau sudah mau berangkat.

Hanya 5 menit. Vallen tidak benar-benar tertidur, ia hanya ingin mengistirahatkan matanya yang telah terjaga semalaman.

Empat laki-laki di sana kemudian menghampiri Vallen dan Kesya, salah satunya bertepuk tangan sambil menyindir, “Dunia udah terbalik, ya. Cowok-cowok sibuk di dapur ceweknya asik nyantai di sini.”

Darrel mendapat lemparan bantal sofa dari Vallen kala ia berjalan melewati gadis itu dan iseng mengacak-acak rambutnya, “Rese!” pekiknya.

Bukan Darrel namanya kalau berhenti disitu, ia masih ingin menjahili sahabat perempuannya, “Waktunya bangun, tuan puteri!”

Vallen memilih untuk menghiraukan ledekan Darrel. “Udah beres?” tanyanya pada Nahar.

“Aman.” kata Nahar, ia mengangkat kotak kertas yang di dalamnya ada kue ulang tahun buatannya sendiri.

Jagat mengeluarkan kunci mobilnya, “Ya udah cabut sekarang, yuk?”

“Sebentar, gue cuci muka dulu.”

Vallen berlari kecil ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, berharap bisa mengusir rasa kantuknya.

“Si Vallen belum tidur dari tadi malem, kasian masih ngantuk.” lirih Kesya.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9, Jagat tanpa ragu langsung meminta Vallen berangkat dengannya saat perempuan yang rambutnya telah diikat itu kembali ke ruang tamu.

“Woy, kok gak diskusi sama gue dulu?” protes Darrel yang merasa dikhianati karena sebelumnya ia yang menumpang di mobil Jagat.

“Ngalah, bahaya kalo nanti Vallen ketiduran di motor.”

Diam-diam Vallen tersenyum mendengar jawaban Jagat, ia merasa sangat diperhatikan saat ini.

“Iya, nanti lo sama gue, Dar.” sahut Nahar.

Reihan menimpali, “Iya bener si Jagat, gue ngeri Vallen jatuh ke jalan kalo ngantuk gitu.”

Setelahnya mereka berenam pergi meninggalkan kos an Nahar dan pergi menuju rumah keluarga Nahar yang biasa ditempuh dalam waktu satu jam kalau tidak macet.

Nahar menitipkan kue untuk Nabil di mobil Jagat agar tidak kepanasan.

Di dalam mobil, Vallen sudah mengambil ancang-ancang untuk tidur.

“Gapapa nih, gue tinggal tidur?”

Jagat terkekeh, “Kan gue ngajak lo bareng biar bisa tidur, Len.”

Vallen mengangguk kemudian membetulkan posisinya agar bisa nyaman tidur di dalam mobil.

Sebelum menginjak pedal gas, Jagat mengambil sesuatu dari dasboard mobil. Penutup mata berwarna merah ia berikan pada Vallen.

“Pake, biar ga silau.”

Vallen mendelik, menatap penuh curiga ke arah laki-laki yang bahkan tidak menatapnya itu. “Punya siapa, nih?”

“Punya umum.” jawab Jagat singkat.

Sudah gadis itu duga, pasti ada perempuan lain yang pernah menumpang di mobil Jagat. Kalau sampai disediakan penutup mata segala sepertinya Jagat sudah melakukan perjalanan jauh dengan orang tersebut, entah siapa. Itu dugaannya.

“Gak mau pake ah, takut maskara gue rusak.” Vallen mengeles, padahal ia hanya tidak ingin memakai barang yang sama dengan perempuan lain.

Jagat tidak memaksa. Ia membiarkan Vallen menaruh kembali penutup mata tersebut ke dashboard mobil.

Setelah itu Jagat lantas melajukan kendaraannya, menyusul dua motor yang sudah lebih dulu berangkat.

Sedangkan Vallen, ia memejamkan matanya berharap dapat tertidur tenang walaupun sedang dalam perjalanan.

Jagat melirik, menyadari sesuatu yang membuat ia geleng-geleng.

Vallen tidak mengaplikasikan maskara ke bulu matanya.


“Korek mana korek?”

“Emang lo gak bawa?”

“Gue lupa beli korek.”

Semua orang mengeluh saat Nahar dengan santainya mengatakan kalau ia lupa. Lalu Nahar menatap Jagat, diikuti oleh empat lainnya.

“Apaan?” celetuk Jagat yang tiba-tiba merasa sedang diinterogasi.

Darrel mengulurkan tangannya ke depan wajah Jagat, “Korek, bray. Lo pasti bawa.”

Benar saja, Jagat yang memang selalu membawa korek kemanapun akhirnya memberikan benda itu pada Nahar.

Di antara keempat laki-laki ini, hanya Jagat dan Reihan saja yang merokok. Sebenarnya Darrel juga sempat merokok, namun setelah terkena kanker paru-paru 2 tahun lalu ia memutuskan untuk berhenti menyentuh lintingan tembakau tersebut. Beda lagi dengan Nahar, laki-laki itu tidak pernah dan tidak ingin merokok.

Nahar langsung menyalakan lilin berbentuk angka 9 itu setelah menerima korek dari Jagat.

Setelah itu mereka berjalan tanpa mengeluarkan suara memasuki halaman rumah Nahar. Kejutan ini sudah direncakan dengan ayah dan ibu Nahar. Jadi hanya Nabil yang tidak tau kedatangan kakak kesayangannya itu.

HAPPY BIRTHDAY NABIL... HAPPY BIRTHDAY NABIL... HAPPY BIRTHDAY, HAPPY BIRTHDAY... HAPPY BIRTHDAY NABIL...”

Sorak keenamnya saat membuka pintu utama dan langsung disambut oleh si pemilik hari bahagia ini.

“KAKAKKKKK!” jerit Nabil, membuat semua orang di sana ikut senang karena respons Nabil yang antusias.

Nahar berlutut, mensejajarkan tubuhnya dengan Nabil agar anak perempuan itu bisa meniup lilin. Setelah meniup lilin, Nabil merengek minta digendong. Akhirnya sang ibunda mengambil alih kue tersebut dan membiarkan putri bungsunya di gendong oleh Nahar.


“Biasa aja kali liatin nya!”

Jagat melirik sinis pada Darrel yang iseng melemparinya dengan kacang.

Jagat, Darrel dan Reihan kini tengah mengobrol di gazebo. Sedangkan Nahar, Vallen, dan Kesya memisahkan diri, ingin bermain dengan Nabil di halaman belakang rumah Nahar yang masih bisa dijangkau oleh tiga orang lainnya di gazebo.

“Kayak lagi mantau siapa aja lo, Gat!”

“Reihan aja yang pacarnya Kesya tetep santuy. Tapi lo yang bukan siapa-siapa panik banget keliatannya.”

Bukan rahasia lagi kalau Jagat sering terlihat perhatian berlebihan pada Vallen. Mereka tau laki-laki yang bergabung dengan kelompok band itu memang menaruh hati pada perempuan yang masih single sejak putus dengan mantannya 2 tahun lalu.

Memang benar Vallen dan Kesya nampak akrab dan enjoy bermain dengan Nabil, namun keberadaan Nahar di sana yang membuat Jagat sedikit was-was.

Pasalnya Nahar juga pernah mengungkapkan perasaannya pada Vallen—walaupun berakhir penolakan.

“Sayaaaang diajak makan sama ibunya Nahar, nih!” teriak Kesya yang tidak lain dan tidak bukan ditujukan pada sang kekasih, Reihan.

“Udah dipanggil, kuy lah isi perut dulu!” ajak Darrel yang kemudian diiyakan oleh Jagat dan Reihan.


“Masih ngantuk gak?” tanya Jagat setelah Vallen memasang seat belt.

“Udah nggak dong, tadi bawah mata gue diolesin balsem.”

“Serius??”

Vallen tergelak karena ekspresi Jagat yang seolah percaya dengan bualannya barusan, “Nggak lah, gila kali gue!”

“Kirain lo nekat gitu, Len.”

Saat ini pukul 16.45 dan mereka sudah harus kembali karena besok masih ada jadwal yang kuliah yang menanti.

Setelah makan siang, main dengan Nabil, juga mengobrol dengan ayah dan ibu Nahar, pikiran Vallen sekarang sudah lumayan ter-refresh setelah 6 hari disibukkan oleh kegiatan kuliah.

Sama seperti saat berangkat, Vallen kembali nebeng di mobil Jagat.

Keduanya sudah cukup sering berada dalam situasi seperti ini, dimana hanya ada Vallen dan Jagat. Karena tidak jarang keduanya pergi hangout yang benar-benar hanya berdua saja.

Tiba-tiba Vallen teringat moment 2 tahun lalu saat Jagat mengatakan kalau ia menyukainya.

“Kalo gue bilang gue suka sama lo, lo percaya gak?”

Kalimat itu sempat menimbulkan jarak antara keduanya karena kecanggungan yang melanda setelah Jagat mengungkapkan perasaannya.

Saat itu Jagat pernah berhenti mencari perhatian Vallen karena merasa dirinya tidak pantas untuk perempuan itu. Namun ternyata hatinya masih menaruh rasa pada Vallen. Ia tidak tahan kalau harus bersikap cuek padanya. Oleh karena itu Jagat kembali ingin memperjuangkan perasaannya yang sempat dan terlalu sering mendapat penolakan.

“Besok lo kelas jam berapa?” tanya Jagat, basa basi.

“Jam 10.”

“Ada barengan berangkatnya?”

“Ada kok.”

Jagat hanya mengangguk dan kembali fokus ke jalan. Dirinya tau Vallen bukan tipe yang banyak bicara kalau sedang dalam perjalanan. Jadi ia tidak ingin menggangu kenyamanan gadis itu dengan cara tidak mengajaknya bicara lagi.

Tiba-tiba ponsel Jagat berdering, menandakan ada panggilan masuk.

“Tolong angkat deh, Len. Hp gue di tas.”

Vallen langsung mengambil benda pipih di dalam tas Jagat dan melihat nama siapa yang muncul di layar kunci.

Farah.

Loud speaker gak nih?”

“Iya.”

Saat Vallen mengangkat panggilan itu, suara tangisan perempuan di seberang sana langsung menyambut telinganya.

Jagattt... Lo bisa ke kos an gue gak? Hiks.. Sekarang, Gat...

Keduanya saling pandang beberapa detik. Ekspresi Jagat saat ini seperti maling yang ketahuan habis mencuri ayam, sedangkan Vallen tengah menahan tawanya.

Jagat langsung menepikan mobilnya untuk bicara sendiri Farah. Jagat bahkan sengaja keluar mobil agar Vallen tidak mendengar pembicaraannya.

Vallen bermonolog, “What a surprise, hahaha!


Najla menghela napas untuk kesekian kalinya, gugup nampak jelas terpancar dari wajahnya.

“Najla, tangan kamu dingin. You okay?” tanya Kenny yang berdiri di sebelahnya sembari menggenggam satu tangan Najla.

Perempuan yang hari ini mengenakan dress putih bersih itu menggeleng, “Padahal papa yang mau nikah, tapi aku yang deg-degan.”

“Aku kira kamu sakit.”

“Aku gugup, Ken!”

“Gapapa, tandanya kamu ikut bahagia sama pernikahan papa.”

Kenny benar, hari ini adalah hari yang membahagiakan baginya. Seharusnya Najla menikmati acara resepsi pernikahan papanya.

“Aku seneng kok, hehe!”

Setelah bertahun-tahun menduda, akhirnya Arya menemukan wanita baru untuk ia jadikan istri. Wanita yang setelah ini akan menemani hari-harinya setelah lama menyendiri.

Dan Najla sebagai putri semata wayangnya tentu ikut merasakan kebahagian itu. Ia senang karena sang papa telah sepenuhnya melupakan wanita yang telah meninggalkannya dulu.

Acara digelar di luar ruangan yang lahannya tidak terlalu luas karena memang tidak banyak mengundang orang lain. Hanya mengundang orang terdekat dan teman bisnis Arya.

Seolah tuhan merestui pernikahan kedua Arya, langit saat itu juga terpantau cerah disertai dengan gumpalan awan putih bersih dan matahari yang tidak terlalu terik.

Saat sesi pengucapan janji pernikahan dimulai, semua tamu serentak menghentikan aktivitasnya hendak mendengarkan ucapan janji yang akan Arya ucapkan.

Mata Najla berbinar-binar saat papanya dengan lantang mengucapkan janji suci tersebut. Menurutnya hari ini adalah hari dimana Arya terlihat sangat gagah, hebat, dan lebih tampan dari biasanya.

Orang-orang disekitar bersorak ketika Arya menyelesaikan ucapan janjinya dengan lancar.

Sorakan semakin terdengar kala di depan sana, di altar pernikahan itu Arya untuk pertama kalinya mengecup wanita yang telah sah menyandang status sebagai istrinya.

Begitupun dengan Najla, ia merasa bangga karena memiliki Arya sebagai papanya.

Saat sedang heboh bersorak dan tepuk tangan, tiba-tiba bahunya ditepuk pelan oleh seseorang, membuat ia refleks menoleh.

Kenny.

Laki-laki yang mengenakan jas formal itu berlutut di hadapan Najla, dengan kotak cincin yang terbuka di tangannya Kenny berkata, “Najla, will you marry me?

Sorakan yang tak kalah heboh kembali terdengar. Menyudutkan Najla untuk segera mengatakan yes pada Kenny.

Najla terlalu terkejut dengan aksi Kenny yang tiba-tiba ini sampai ia hanya menutup mulu menggunakan dua tangannya saking tidak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar.

Pandangan Najla kembali ke altar, mencari bantuan dari papanya yang ternyata langsung mengangguk dan menunjukan dua jempolnya.

Setelah melihat itu, dengan keyakinan penuh Najla menjulurkan tangannya.

I have no reason to say no, so.. Yes.


Najla's POV

“Kemana lagi kita hari ini?”

Aku kira setelah mengisi perut Kenny akan langsung mengantarku pulang, rupanya ia masih ingin berlama-lama denganku. Hahaha, gemas!

Aku teringat beberapa bulan lalu Kenny pernah menawarkan untuk mendengar lagu yang liriknya ia tulis sendiri. Sampai sekarang lagu itu belum dirilis.

“Ke studio kamu, yuk? Dengerin lagu yang waktu itu kamu omongin.”

“Yakin? Di sana nggak ada apa-apa, nanti lo bosen.”

“Kan waktu itu kamu yang ngajak aku kesana, Ken. Lupa ya?”

“Iya sih, ya udah yuk meluncurrr!”

Aku terkikik melihat Kenny yang mengerucutkan bibirnya lucu. Ah, bisa tidak sih laki-laki ini kalau sudah tampan jangan lucu juga?!

Setelah berbulan-bulan berteman, kami jadi semakin akrab, tidak sungkan untuk saling meminta tolong, juga saling curhat menceritakan keluh kesah keseharian kami.

Bahkan entah sejak kapan aku sudah tidak lagi memandangnya sebagai 'idola', image itu perlahan hilang dari pikiranku.

Namun tidak tau kalau Kenny, apakah dirinya masih menganggap aku fans nya atau tidak.

Perlukah aku tanya?

Untuk memecah keheningan di dalam mobil mungkin sudah seharusnya aku memulai percakapan.

“Kenny, aku mau nanya deh.”

“Tanya aja, tapi gue sambil nyetir ya.”

“Kamu ini masih nganggep aku sebagai fans atau nggak?”

Dapat kulihat raut wajahnya berubah bingung, mungkin tidak menyangka dengan pertanyaanku barusan.

Kenny nampak berpikir sebelum berkata, “Nggak tau, Naj.”

Rupanya ia sendiri bingung.

“Oke deh, btw gak usah dipikirin ya, tadi cuma iseng nanya aja.”

Setelah itu Kenny kembali fokus ke jalan. Sampai kami sampai di studio, tidak ada percakapan sedikitpun yang kami lontarkan.

Sedikit canggung.

Beberapa orang yang ada di sana menyapa kami, lebih tepatnya menyapa Kenny.

“Gue mau pake studio bentar, bang.”

“Pake aja, lagi kosong kok. Kuncinya tuh di atas meja.”

Setelah mengambil kunci studio Kenny langsung menuntunku ke ruangan yang sering ia tempati untuk bekerja itu.

Kenny menyalakan lampu yang terangnya tidak seberapa. Mungkin sengaja dibuat redup karena alasan tertentu.

“Duduk, Naj.” titahnya setelah menarik kursi dari bawah meja. Ia mengambil kursi lain dari meja yang lain kemudian duduk di sebelahku.

Kenny mulai menyalakan komputer di depannya lalu mencari rekaman yang ingin ia perdengarkan padaku.

Setelah menemukan file yang dimaksud, Kenny memasangkan headphone ke kepalaku, lalu meng-klik tombol enter di “keyboard*.

Suara yang pertama menyapa gendang telingaku adalah suara gitar yang kuyakini merupakan genjrengan tangannya.

Vokalnya yang berat namun halus itu mulai terdengar, menyanyikan lirik demi lirik dengan irama yang menenangkan.

Aku terbawa suasana karena lagunya begitu enak didengar, aku bahkan sampai menutup mataku, jariku juga mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama.

Dengan kepala yang ikut bergerak aku mendengarkan lagu yang belum dirilis ini sampai selesai.

Aku merasa beruntung karena menjadi pendengar pertama.

Begitu lagunya berhenti, aku lantas melepaskan headphone yang sejak tadi nangkring di kepalaku.

Dan saat aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah wajah Kenny yang berjarak sangat dekat tengah memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.

Kami saling bertatapan karena aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tidak tau apa maksud Kenny menatapku seintens ini, yang kutahu sekarang adalah tatapannya turun, ke bibirku.

Ya Tuhan, apa ini??

Kenny memajukan wajahnya perlahan membuatku tidak bisa berkutik, helaan napasnya semakin dapat kurasakan kala hidung kami bersentuhan.

Aku menahan napas karena tau apa yang akan selanjutnya terjadi.

He kissed me

He stole my first kiss

Aku mengepalkan tanganku di atas paha karena bibirnya tidak juga beranjak sampai aku kehabisan napas. Aku memundurkan kepalaku dan menghirup napas sebanyak-banyaknya.

Kenny terkekeh melihat aku yang bernapas dengan rakus.

“Naj, mau lagi, boleh?”

Belum sempat aku menjawab, Kenny sudah mendaratkan bibirnya lagi di bibirku. Satu kecupan seringan kapas aku terima darinya.

Don't hold your breath, sweetheart.

Kalimatnya barusan ia ucapkan tepat di depan wajahku, dengan tatapan lurus menatap mataku.

Oleh karena itu aku yakin untuk menerima ciuman darinya. Ciuman yang lebih memabukkan dari sebelumnya.

Ia melumat bibir bawahku dengan lembut sedang aku menyesap bibir atasnya yang tipis.

Tidak tau apa tujuan ciuman kami. Aku hanya mengikuti pergerakan yang bibir Kenny ciptakan.

Sudah kubilang, aku tidak lagi menganggapnya sebagai idola. Kenny yang sekarang sedang mencicipi bibirku ini bukan Kenny Alvaro si penyanyi yang aku gemari.

Melainkan Kenny Alvaro si laki-laki baik hati yang mau melepaskan jaketnya demi menutupi kakiku yang terbuka, laki-laki yang mau meminjamkan kemejanya saat bajuku basah terkena hujan, juga laki-laki yang rela meluangkan waktunya untuk membantu dan mendengarkan keluh kesahku.

Begitulah aku memandang seorang Kenny sekarang.

Kenny melepaskan tautannya setelah bermenit-menit lamanya bibir kami bercumbu, membiarkan mata kami bertemu sebelum ia meraih dan mencium punggung tanganku.

“Di mata aku kamu bukan sekedar fans, Najla. Kamu lebih dari itu.”


Najla menghembuskan napasnya lega setelah kakinya melangkah keluar dari gedung pengadilan. Hatinya begitu tenang karena persidangannya berjalan lancar setelah melewati beberapa tahap sidang sebelumnya.

Ia bangga pada diri sendiri karena telah menyelesaikan masalahnya dengan Julian. Ia bangga karena berhasil lepas dari laki-laki itu.

“Makasih ya, Naj. Gue harap setelah ini lo bisa menemukan kebahagiaan yang baru,” kalimat Julian menggantung di udara sebelum ia melanjutkan, “Sama orang baru juga.” ucapnya sambil menatap Kenny yang berdiri di sebelah Najla.

Kenny hanya mengangguk pelan, padahal senyumnya sudah ingin mengembang mendengar Julian yang secara tidak langsung tengah mendukungnya bersama Najla.

Julian memang tidak tau kalau hubungan Kenny dan Najla sekarang hanya rekayasa semata.

“Iya, Julian, kamu juga ya.” ucap Najla dibarengi senyum yang tulus.

Setelahnya Julian pamit menyusul orangtuanya yang lebih dulu pergi dari sana.

Menyadari ada yang kurang, Kenny celingukan lalu bertanya, “Papa kemana, Naj?”

“Papa buru-buru balik ke kantor, tadi beres sidang langsung ngibrit keluar.”

“Oh, ya udah lo pulang sama gue ya, mau kan?”

Najla mengangguk, “Iya ayo, tapi aku mau makan dulu boleh gak? Tadi pagi gak sempet sarapan.” ucap gadis itu dengan wajah melas.

Melihat ekspresi memohon itu Kenny tertawa gemas, “Ya udah, ayo!” serunya lalu refleks menarik tangan Najla.

Gerakan tiba-tiba itu jelas membuat Najla terkejut, pasalnya mereka memang tidak pernah bergandengan sebelumnya.

“Eh, sorry, refleks.”

“Nggak papa.”

Akhirnya mereka berjalan masing-masing, sedikit canggung namun keduanya berusaha tidak memperlihatkan kecanggungan tersebut.

Kenny merutuki dirinya sendiri karena telah lancang dan merasa Najla tidak nyaman dengan tindakan spontan nya tadi, sedangkan Najla sedang mengatur jantungnya agar kembali berdetak normal lagi.


Mobil Kenny berhenti tepat di depan gerobak pedagang kaki lima dengan tulisan “ketoprak” di kaca etalasenya.

Trotoar saat ini dikunjungi oleh orang-orang yang mencari santap siang. Tidak terlalu ramai namun tidak sepi juga.

“Kok berhenti?” tanya Najla keheranan.

“Kita makan disini aja, ketopraknya enak.”

Kemudian Kenny keluar mobil lalu tidak lupa ia membukakan pintu untuk Najla tanpa diminta.

Perempuan yang rambutnya digerai itupun turun dari mobil, menatap Kenny seolah bertanya, “Yakin?

“Lo harus cobain ketoprak disini!”

Kenny lantas menghampiri gerobak ketoprak itu, sedangkan Najla mengekor di belakangnya. Ia sedikit terkejut melihat Kenny menyalami tangan penjual ketoprak tersebut.

“Ini Pak Dadang, Naj, kenalin.”

Najla tersenyum kikuk pada laki-laki yang dikenalkan Kenny sebagai Pak Dadang tersebut.

“Tumben bawa cewek!”

Mendengar ledekan itu Kenny menyenggol bahu Pak Dadang, “Sekali-sekali lah. Pesen dua makan disini ya, pak.”

“Ya udah atuh sok duduk dulu.”

Setelah dipersilahkan keduanya pun mengambil duduk di kursi panjang yang posisinya membelakangi jalanan.

“Kamu sering kesini?” tanya Najla, basa basi.

“Iya, ketoprak langganan gue dari SMA.”

“Wow.. Lama juga ya.”

“Kalo lo biasanya beli ketoprak dimana?”

Najla menggeleng, “Gak pernah beli ketoprak.”

Mulut Kenny membulat, “Gak heran sih, cantik-cantik masa makan ketoprak. Iya gak?”

Kalimat barusan terdengar seperti ledekan di telinga Najla, posisi mereka yang duduk bersebelahan memudahkannya untuk memukul pelan bahu Kenny.

“Gak gitu, loh!”

Kenny hanya tertawa melihat Najla yang merajuk, di matanya itu terlihat sangat lucu sampai ingin mencubit pipinya yang chubby. Namun kenyataan bahwa mereka tidak memiliki hubungan spesial membuat ia mengurungkan niatnya.

Beberapa saat kemudian Pak Dadang mendatangi meja mereka dengan dua porsi ketoprak di tangannya, “Silahkan dinikmati, ya, anak muda.”

Nuhun, pak!”

Lapak Pak Dadang siang itu terpantau sepi, lebih banyak yang membeli untuk dibawa pulang ketimbang makan di tempat.

Kenny mengambilkan sendok untuk Najla, namun sebelum itu ia menyemprotkan hand sanitizer terlebih dulu sebelum memberikannya pada Najla.

Thank you!

Suapan pertama Najla, Kenny menanyakan apakah rasanya sudah pas dengan seleranya atau belum lalu dibalas anggukan olehnya.

Setelah memastikan Najla bisa memakan ketopraknya, Kenny juga ikut menikmati makanan yang disirami bumbu kacang tersebut.

“Enak, kan?”

Yang ditanya hanya berdehem karena mulutnya penuh, membuat Kenny lagi-lagi gemas dibuatnya.

Kenny menyadari kalau Najla sedikit terganggu dengan rambut panjangnya yang tidak diikat, membuat helaian halus itu berkali-kali hampir mengenai piringnya.

“Naj, sebentar,” Kenny menjeda sesi makan Najla, ia menghampiri Pak Dadang sebentar dan kembali dengan satu karet gelang di tangannya, “Rambut lo kuncir aja, ya?” izinnya.

Sebenarnya Najla membawa scrunchie di tas nya, namun ia tetap memperbolehkan Kenny mengikat rambutnya menggunakan karet gelang berwarna kuning tersebut.

“Kalo terlalu terlalu kenceng bilang ya.”

Najla dengan senyum sumringahnya mengangguk. Namun karena ia membelakangi Kenny, laki-laki itu tidak melihat betapa senangnya ekspresi Najla.

“Makasih.”

Kenny tidak mampu merespon karena setelah dilihat lagi ternyata Najla jadi terlihat lebih manis saat tidak ada rambut yang menghalangi rupa cantiknya.

“He'em.”

Keduanya melanjutkan kegiatan makan mereka sampai piring masing-masing bersih.

Ada kesenangan tersendiri melihat Najla menghabiskan makanan yang ia rekomendasikan itu. Awalnya Kenny kira Najla bahkan tidak akan menghabiskan setengahnya.

Kenny kemudian mengeluarkan uang Rp 50.000,00 untuk diberikan ke Pak Dadang. Namun Najla menahan tangannya, “Sebentar,”

Najla mengambil pulpen dan kertas dari tas nya, ia memang selalu membawa 2 benda itu kemanapun.

Ketopraknya enak, makasih yaa pak! Semangat jualannya!” tulisnya di kertas tersebut lalu dilipat kecil.

Melihat itu Kenny jadi teringat surat-surat yang sering Najla berikan padanya saat meet and greet dulu. Kelihatannya memang hanya kalimat biasa, namun efek dari setiap kata yang gadis itu tulis sangatlah besar sampai bisa membuat seseorang yang membacanya memiliki semangat untuk melanjutkan hidup.

“Kenny? Kok bengong, sih. Ini sekalian kasih ke bapaknya.”

Kenny lantas sadar dari lamunannya dan langsung membayarkan makanan mereka menggunakan uang yang dilipat bersama kertas dari Najla.

Setelah pamit dan berjanji akan datang lagi, mereka pun pulang dengan perut kenyang.


Pemandangan kota Jakarta terlihat lebih indah kala ragaku berada di atas ketinggian, di dalam kotak bianglala dimana terdapat dua jiwa yang sedang kasmaran.

Aku tidak henti mengambil gambar langit, gedung, dan potret seorang pria yang duduk manis di depanku.

Sore itu menjadi kencan pertama yang menyenangkan bagiku.

Reihan, laki-laki yang baru menyandang status sebagai kekasihku itu sejak tadi hanya memandang dalam diam. Sesekali ia terkekeh tatkala melihatku kegirangan karena hasil foto yang sesuai ekspektasi.

“Kamu mau difotoin gak?”

Tawarannya yang tiba-tiba itu langsung aku iyakan tanpa basa-basi.

Lantas ku serahkan benda pipih milikku padanya dan segera berpose.

Selain dirinya yang fotogenik, Reihan juga pandai memotret orang lain. Ia dengan cekatan menghitung sampai tiga dan akan memintaku untuk menunjukan pose baru saat pose sebelumnya dirasa kurang.

“1.. 2.. 3..” “Ganti gaya, 1.. 2.. 3..” “Coba tangannya kayak gini, 1.. 2.. 3..” “Pose yang tadi sekali lagi deh, ini nge-blur, 1.. 2.. 3..”

Terus begitu sampai aku mati gaya.

Aku yakin fotoku pasti terlihat cantik dan aesthetic, kemampuan photography Reihan memang tidak perlu diragukan.

“Selfie disini yuk, Rei?!” pintaku padanya sembari menepuk-nepuk space kosong di sebelahku.

Ia segera berpindah posisi, duduk berdempetan di sebelahku lalu meletakan tangan kurusnya di bahuku. Tidak lupa ia memiringkan kepalanya sampai rambut kami bertemu.

Tangannya mengangkat ponsel tinggi-tinggi, mencari angle foto yang pas agar wajah kami terlihat bagus di kamera. Senyumnya mengembang menampakan kerutan di sudut matanya.

Dengan jarak sedekat ini harumnya dapat dengan mudah menyapa indra penciumanku, aroma citrus yang menyegarkan menguar dari tubuhnya.

Sial, jantungku berdetak tidak karuan.

Visual Reihan yang nyaris sempurna itu benar-benar mengalihkan perhatianku. Selama berteman dengannya aku tidak pernah berada di jarak sedekat ini.

“Senyum, Kes!” titahnya.

Mendengar itu fokus ku kembali dan langsung memberikan senyum terbaikku.

Reihan memotret beberapa kali sampai aku bingung harus berekspresi bagaimana lagi.

“Udah dulu, mau liat-liat fotonya.”

Kami pun mengecek satu persatu hasil foto selfie tadi.

Cantik, kata itu selalu ada di kalimat yang Reihan ucapkan setiap habis menggeser layar ponsel.

“Cantik banget sih,” “Yang ini cantik banget, Kes,” “Eh parah senyumnya cantik banget,” “Astaga, cantiknya pacar gue!”

Salah tingkah, tidak tau harus merespon apa. Aku malah memajukan wajahku, mendaratkan bibirku di pipi tirusnya.

Hanya sedetik.

Setelah satu detik itu aku merutuki diri sendiri karena tiba-tiba menciumnya tanpa aba-aba.

Reihan menoleh, nampak bingung dengan apa yang barusan aku lakukan.

Aku yang masih salah tingkah juga tidak sanggup berkata apa-apa, aku hanya mengatupkan bibirku.

Kami bertatapan beberapa saat sampai Reihan bersuara, “Are you comfortable if we kiss?

Lalu dengan persentase kepercayaan diri yang tidak seberapa aku menjawab, “Yes,

After getting my permission, he cupped my chubby cheeks, touch my pink lips, then lands his lips on mine.

Kecupannya seringan kapas, tanpa pergerakan dan tidak menuntut lebih. Membuatku gemas menunggu aksi selanjutnya dari bibir tipisnya.

Karena tidak ada tanda ingin melanjutkan ciumannya, aku lantas membuka mulutku kecil berhadap ada pergerakan juga darinya.

Namun yang ia lakukan malah menjauhkan kepalanya, “Sorry, it's my first time.” lirihnya canggung.

Entah dapat keberanian darimana, aku tanpa tau malu menangkup wajahnya dan menciumnya lagi.

Don't say that, i want to feel your lips again.” kataku sebelum memagut bibirnya.

Untungnya Reihan menyambut bibirku dengan baik. Kalau tidak, mungkin aku akan loncat dari bianglala ini karena saking malunya.

He moved his lips gently, he also moved my hand to his slender waist.

This is our first kiss, that's why our movements feel amateurish. But it's okay because i kissed with him.

Jemari lentiknya yang mengusap halus pipiku berhasil meleburkan akal sehatku. Guna memperdalam ciuman kami, aku tidak segan menyapu bibirnya dengan lidahku.

Bibirnya yang manis membuatku tidak ingin cepat-cepat menyudahi pagutan ini. Dapat kurasakan sebelah ujung bibirnya sedikit naik.

Reihan terkekeh kala aku menggigit pelan bibir bawahnya, lalu ia melepas tautan bibir kami, “Santai, Kes, i'm not going anywhere.” ucapnya seperti menahan tawa, membuat terkikik kecil kemudian mengangguk.

Ia lantas merentangkan tangan memintaku menghambur ke peluknya. Aku segera memeluknya erat, menyembunyikan wajahku yang memerah di dada yang lebarnya tidak seberapa itu.

Reihan mengelus rambut panjangku perlahan, kasih dan sayangnya dapat kurasakan dari gerakan telapak tangannya yang pelan namun menenangkan itu.

I love you.” kataku pelan.

Reihan mengeratkan rengkuhannya, “I love you more.

Lantas kami melalui sore yang tenang di atas permukaan tanah dengan obrolan ringan disertai canda tawa serta ungkapan cinta yang tiada habisnya sampai bianglala yang kami tempati berhenti berputar.


“Gak usah cantik-cantik, kak. Kamu ini cuma mau ketemu Julian.”

Aku yang sedang menyisir rambutku terkekeh mendengar sindiran papa. Kedengarannya beliau masih menyimpan rasa kesal pada Julian.

Setelah kemarin Julian mengajakku untuk bertemu, siang tadi ia mengirimkan alamat lokasi yang akan menjadi tempat pertemuan kami, dan malam ini aku bersama papa akan menuju ke tempat itu.

“Gak apa-apa dong dandan cantik, siapa tau nanti ketemu jodoh di jalan.” candaku menanggapi sindiran papa tadi.

Papa hanya menggeleng sambil menyenderkan tubuhnya di tembok kamarku, “Papa tunggu di bawah ya kak, panasin mobil dulu.”

Aku hanya mengangkat jempolku sebagai respon karena sedang memoleskan lip tint.

Entah ini keputusan yang benar atau tidak. Bertemu dengan Julian sebenarnya adalah hal yang sangat aku hindari. Namun membaca pesan yang ia kirimkan kemarin sepertinya Julian tulus ingin meminta maaf secara baik-baik.

Aku otw kesanasend

Aku lantas menemui papa di bawah setelah mengirim pesan itu pada Julian.


Rasanya seperti dejavu, aku memasuki restoran yang cukup ramai itu dengan jantung yang berdegup tidak beraturan.

Sama seperti beberapa bulan lalu, saat itu aku berjalan beriringan dengan Julian. Namun malam ini di sampingku ada papa yang telah memasang wajah serius sejak turun dari mobil.

Sepertinya papa sedang membangun image sangar.

Sebuah tangan melambai dari meja yang letaknya di ujung, Julian bersama kedua orangtuanya tengah menunggu kami.

Aku pun langsung menggandeng tangan papa untuk menghampiri ketiga orang itu.

Papaku menjabat tangan om Jerry begitu kami sampai di meja yang telah tersaji 5 gelas minuman di atasnya.

Tante Tiara yang duduk di samping suaminya juga melemparkan senyum canggung pada papa.

Sedangkan laki-laki yang tadi melambaikan tangannya hanya menunduk dan terus-terusan menghindari tatapan mata denganku.

Sudah kuduga, dia pasti gugup.

Aku dan papa sengaja tidak membuka suara karena ingin mendengar pernyataan dari keluarga Julian lebih dulu.

“Julian,” om Jerry mengkode Julian untuk segera bicara. Laki-laki yang wajahnya terlihat lebih tirus dari terakhir kali aku melihatnya itu langsung menegakkan punggungnya.

Mata kami bertemu, namun Julian langsung mengalihkan pandangannya pada papa yang sudah menautkan jari-jarinya di atas meja.

“Maksud Julian mengundang Om Arya dan Najla malam ini, Julian mau minta maaf secara tulus atas kesalahan Julian. Julian tau betul kalau yang Julian lakuin itu gak bisa ditolerir lagi, tapi Julian mau mohon maaf dari Om Arya dan juga Najla. Kejadian kemarin bener-bener bikin Julian sadar kalau seharusnya Julian nggak ngelakuin hal itu, seharusnya—”

“Ngelakuin hal apa?”

Aku menoleh ke arah kananku ketika papa sengaja menyela pembicaraan Julian. Lalu aku melirik Julian, ia menghela nafasnya sebelum melanjutkan bicaranya.

“Selingkuh, om.”

Papa menganggukkan kepala lalu membuka suaranya tanpa menunggu Julian menyelesaikan kalimat sebelumnya, “Buat maafin kamu, kita berdua sudah memaafkan. Tapi kalau kamu mau membatalkan perceraian, saya akan sangat menentang itu karena saya gak mau anak saya jatuh ke tangan laki-laki tidak bertanggungjawab seperti kamu.”

Aku terkejut mendengar respon papa, aku bahkan sampai melotot saking tidak percaya dengan apa yang barusan ku dengar. Papa begitu berani menyuarakan isi hatinya di depan orang tua Julian.

Tidak terlihat niat ingin membela putranya, pasangan suami istri di sebelah Julian justru mengangguk setuju dengan apa yang papa bicarakan.

“Julian ngerti, om. Julian juga gak bakal batalin perceraian kita. Niat Julian pure mau minta maaf sama Om Arya dan Najla, gak lebih.”

“Oke, kalau gitu udah selesai kan urusannya?”

“Kalau boleh Julian mau bicara empat mata dulu sama Najla, boleh?”

“Gak boleh, kita udah mau pulang.” jawab papa to the point.

Terpancar raut kecewa di wajahnya, namun Julian tidak memaksa. Ia mempersilahkan aku dan papa untuk pulang.

Kami pun lantas berpamitan dengan Om Jerry dan Tante Tiara yang sejak tadi hanya diam menyimak permintaan maaf Julian.

Dengan pertemuan malam ini, aku telah mengikhlaskan sakit hatiku kemarin. Permintaan maaf dari Julian sungguh terdengar tulus. Rasanya jahat kalau aku masih menyimpan dendam padanya.