Sore itu
Aku berlari kecil ke arah motor yang terparkir rapih lalu bercermin di spion, kulihat bibirku pucat sekali karena tidak sempat minum air putih selama jam pembelajaran terakhir. Akupun memoleskan lip tint yang selalu kubawa agar tidak terlihat seperti orang sakit.
Setelah itu aku langsung mengaitkan tali helm sebelum keluar dari area parkiran sekolah.
Jalanan yang sepi menjadi alasanku mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dengan percaya diri aku memfokuskan perhatian ke depan sembari mencengkram kuat stang motor.
Saat bertemu dengan tikungan tajam, akupun lantas memiringkan motorku. Namun pergerakanku yang terlampau percaya diri ini malah membuat motor yang kukendarai berbelok terlalu miring.
Lalu sedetik kemudian aku sudah menempel pada permukaan tanah dibarengi dengan badan motor yang menindih tubuh ringkihku.
Aku tidak bisa langsung bangun karena kakiku terhimpit, pergelangan tanganku yang juga sakit karena terkilir membuat aku tidak bisa memindahkan motor ini dari atasku.
Dapat kulihat dua orang bapak-bapak mendekat ke arahku, aku dibantu berdiri setelah motorku berhasil diawaskan.
Ternyata tidak hanya pergelangan tangan, kakiku juga sepertinya terkilir karena untuk melangkah saja aku kesulitan.
Baru saja bapak-bapak yang menolongku ingin membantu aku berjalan, seseorang entah darimana tiba-tiba datang menghampiriku.
“Ayo gue bantuin.” kata laki-laki yang dikenal sebagai cowok idaman di sekolahku, Hilman Ferdinan.
Ia melingkarkan tanganku ke bahunya, membawaku duduk di pangkalan ojek yang lumayan ramai. Aku langsung duduk sedangkan Hilman berlari ke jalan dan mendorong motorku ke tepi jalan, kemudian kembali setelah membeli air mineral di warung dekat pangkalan ojek ini.
“Makasih.” ucapku seraya menerima botol minum darinya.
Hilman menunggu aku selesai dengan minumanku sebelum membuka suara, “Gue anter aja ya pulangnya? Nanti motor lo biar dibawa sama Azka.”
“Gak ngerepotin emangnya?”
Pria itu tersenyum lalu menggeleng, “Daripada lo nanti jatuh lagi?”
Aku memijit pelan pergelangan tanganku yang terasa nyeri kalau digerakkan, “Iya, sih.” lirihku.
“Ya udah gue chat Azka dulu biar nyusul kesini.”
Untuk beberapa menit kedepan kami mengobrol santai sambil menunggu Azka. Padahal aku dan Hilman tidak sedekat itu, entah kenapa hari ini dia menunjukkan sisi malaikatnya. Tadi pagi membelikan bubur dan sekarang ia juga menolongku.
“Abisin air minumnya!”
“Udah nggak haus, buat lo aja!”
Sesaat kemudian aku menyesali ucapanku karena Hilman yang tiba-tiba merebut botol minum dari tanganku dan langsung menempelkan bibirnya tepat di lubang botol yang terdapat warna pink bekas bibirku. Ia menenggak air tersebut sampai habis.
Saat aku ingin menegurnya, Azka malah datang menghampiri kami berdua. Aku lantas mengurungkan niatku untuk memprotes Hilman.
Setelah bercakap-cakap sebentar akhirnya aku dan Hilman pulang dengan diikuti Azka di belakang motor Hilman.