Hilman, piknik, and es krim
Entah sudah semprotan ke berapa minyak wangi yang menyapa kulit putih gadis cantik ini.
Sejak 3 menit yang lalu, setelah mengirim pesan pada Hilman untuk minta dijemput, Amanda tidak berhenti bersenandung sambil berputar di bawah cairan parfum yang sengaja ia semprotkan ke udara.
Pasalnya ia begitu senang karena akan bertemu laki-laki yang beberapa hari kebelakang selalu mampir ke pikirannya.
Hilman, tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya akan menjadi seakrab ini dengan pria yang digadang-gadang sebagai idaman semua siswi di sekolahnya tersebut.
“Sayang, ada yang jemput kamu di bawah, tuh!” panggilan sang mama menghentikan pergerakan Amanda.
Ia lantas mengecek penampilannya sekali lagi sebelum turun ke bawah menemui supir yang dimaksud Hilman.
Setelah pamit dengan mamanya, gadis yang mengenakan gaun putih bunga-bunga itu segera masuk ke dalam mobil dan melaju menemui pria yang sudah menunggunya.
Tidak lupa Amanda mengabari Hilman kalau dirinya sedang menuju kesana.
Membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai di taman yang ternyata tidak ramai pengunjung itu.
Amanda diantar oleh supir yang mengantarnya menemui Hilman.
“Makasih, pak!” ucapnya setelah berhasil sampai di tempat dimana Hilman sudah menunggu.
Hilman terlihat sangat antusias dengan kehadiran gadis itu. Terlihat jelas dari senyumnya yang mengembang bahkan sejak Amanda belum menginjakan kakinya di tikar yang sudah Hilman siapkan.
“Nyengir aja lo!”
Kekehan kecil terdengar dari mulut Hilman, “Lo cantik banget pake baju itu.” pujinya.
Yang dipuji sekuat tenaga menahan malunya, “Diem, deh! Bosen dipuji cantik terus.”
“Ya udah kalo gitu, gue bilang jelek aja, ya?”
Mendengar itu rasanya Amanda ingin memukul tubuh Hilman yang kalau diperhatikan terlihat seperti lebih kurus dari biasanya, namun tangannya lebih dulu ditahan sebelum mendarat di bahu Hilman.
“Tenaga lo itu tenaga kuda, jangan mukul gue lagi!” ledeknya.
Amanda hanya mencibir karena ia juga tidak ingin kejadian sebelumnya terulang lagi.
Entah berapa jam lamanya Hilman menyiapkan acara piknik sore ini, yang jelas sangat terlihat usahanya untuk membuat pikniknya tidak mengecewakan.
Hilman menuangkan jus lalu memberikannya pada Amanda yang langsung diminum habis, “Makasih, tau aja tenggorokan gue lagi kering!”
“Gimana sekolah tanpa gue, Man?”
Yang ditanya terlihat berpikir sejenak, “Biasa aja, sebelumnya juga gue gak ngerasa ada lo di sekolah.” katanya sambil terkekeh.
Mendengar itu entah kenapa justru membuat Hilman bernapas lega, “Bagus, deh!”
Sekarang gantian Amanda yang memberi pertanyaan, “Jadi, lo kemana aja, Hil? Lama banget bolosnya.”
Hilman menggerakkan jarinya, mengisyaratkan agar gadis di depannya mendekat, “Sebenernya gue habis keliling dunia.” bisiknya, mengundang tepukan dari telapak tangan Amanda di pahanya sendiri.
“Gak bisa serius banget!”
Keduanya melanjutkan obrolan dengan membicarakan gosip-gosip sekolah yang belum sampai ke telinga Hilman.
Mulai dari kunci jawaban ulangan yang bocor, menu baru di kantin, bahkan info tidak penting seperti kucing yang melahirkan di ruang kelas juga diceritakan oleh Amanda.
Perempuan itu terlihat sangat atraktif saat bercerita, tangannya tidak bisa diam seperti sudah di setting untuk bergerak mengikuti intonasi suaranya. Ekspresinya juga tidak membosankan, membuat Hilman menyimaknya dengan tanpa menyela sedikitpun.
Diam-diam Hilman mengupas kulit jeruk lalu memberikan isinya pada Amanda, ia juga membukakan bungkus jajanan yang lagi-lagi diberikan untuknya.
Berbeda dengan Amanda yang asik berceloteh, Hilman hanya mendengarkan setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir mungil gadis itu.
“Terus lo tau gak apa yang Windy beli? Dia malah—”
Belum selesai dengan ceritanya, Hilman lebih dulu memotong ucapan Amanda, “Gue mau es krim.”
“Hah?”
“Es krim, Man. Di ujung sana ada yang jual, lo beli ya?” pinta Hilman sambil menunjuk ke arah yang ia maksud.
“Gue sendiri yang beli?”
Hilman mengangguk, “Iya, pake sepeda aja perginya.”
Walaupun agak bingung, Amanda tetap menuruti permintaan Hilman. Laki-laki itu sudah menyiapkan semuanya, jadi ia rasa tidak ada salahnya kalau kali ini membelikan es krim untuknya.
“Oke, tunggu disini ya!”
Amanda bergegas menaiki sepeda yang sudah ada di sana sejak awal kedatangannya dan segera menggowes ke ujung taman dimana tempat es krim dijual.
Ia menoleh ke belakang sebelum melajukan sepedanya lebih cepat. Hilman masih di sana, menatapnya dengan senyuman yang terlampau indah.
Setelah sampai di tukang es krim, Amanda langsung memesan 2 rasa cokelat kemudian segera kembali ke tempat piknik.
Dari kejauhan ia sudah melihat kejanggalan.
Kenapa lokasi yang sebelumnya terdapat tikar dan makanan kini terlihat sangat kosong?
Mencoba menghempaskan pikiran buruk, Amanda menggowes lebih cepat.
Namun fakta yang ia lihat sesampainya di sana justru membuat jantungnya seperti lepas dari tempatnya. Bukan tikar lagi yang ia temukan, melainkan hanya tanah berumput.
Apa ini? Apakah pertemuannya dengan Hilman beberapa menit lalu hanya khayalan?
Amanda menjatuhkan sepedanya ke tanah, tidak peduli akan rusak atau tidak.
Ia berkali-kali mengirimkan pesan ke nomor Hilman, ia juga melakukan panggilan yang tidak kunjung menerima jawaban.
Langit yang mendung seperti mendukung suasana hatinya saat ini. Sedih dan bingung.
Kenapa Hilman tiba-tiba menghilang? Kemana laki-laki itu pergi?
Sedetik kemudian langit mulai menangis, menjatuhkan airnya membasahi tanah yang ia pijak. Bersamaan dengan itu, setetes air ikut turun dari matanya.
Amanda dan kakinya yang lemas terjatuh ke tanah yang sudah basah karena air hujan turun begitu derasnya.
Gadis yang beberapa menit lalu tertawa lepas kini menangis meraung-raung memanggil satu nama, Hilman Ferdinan.
Entah perasaan apa yang kini hinggap di hatinya. Yang Amanda tahu hanya ia yang merasa tidak ingin dipisahkan dari Hilman–lagi.
Tidak mendapat petunjuk sedikitpun, Amanda memukul-mukul kepalanya sendiri karena merasa bodoh sebab tidak tau alasan apa yang membuat Hilman pergi tanpa berpamitan padanya.
Saat berusaha memikirkan satu alasan yang masuk akal, tiba-tiba sebuah tangan menghentikan pergerakannya.
Amanda sangat berharap tangan itu adalah milik laki-laki yang sedang ia pikirkan, namun saat mendapati sosok Azka di sampingnya ia justru menangis lebih kencang.
Azka dengan tangan kiri memegang payung dan tangan kanan menggenggam jemari Amanda ikut duduk berjongkok di sebelahnya.
“Hujan, Man, ayo pulang.”
Alih-alih mengiyakan, Amanda malah menggeleng kuat dibarengi suara tangisan yang seperti tidak ada tanda-tanda ingin berhenti.
Azka menarik tubuh Amanda, membawa raga mungil itu ke pelukannya, membiarkan bajunya ikut basah terkena baju Amanda yang sudah sangat basah.
Di tengah guyuran hujan, keduanya sama-sama menangis.
Bedanya, Azka menangis dalam diam.