My Idol My Savior
“Papa biasanya di rumah jam berapa, Naj?”
“Sekitar jam 6 sih, jam segini udah di jalan pulang.”
Setelah mendapat jawaban atas pertanyaannya, laki-laki berkacamata itu kembali menyantap dessert miliknya.
Siang tadi ia habis mengantar juga menemani Najla ke Pengadilan Negeri untuk mendaftarkan gugatan cerainya dengan Julian.
Kenny senang bisa membantu, ia juga senang bisa selangkah lebih dekat dengan gadis pujaannya itu karena di perjalanan tadi Najla memintanya untuk bertemu sang papa.
Keduanya kini tengah menikmati damainya sore di sebuah kafe yang cukup sepi pengunjung.
Sengaja Najla mengajak Kenny ke tempat ini karena ia takut idolanya itu tidak nyaman kalau ke tempat yang terlalu ramai.
Kepalanya sedikit pening memikirkan Febi yang bermasalah dengan Julian. Bohong kalau Najla tidak perduli, bagaimanapun Febi adalah temannya dan pernah beberapa kali membantu dirinya.
Inti semua masalah saat ini memang ada di Julian. Pria dewasa yang menurut Najla tidak ada apa-apanya itu telah bertindak seenaknya. Ia sangat marah kalau mengingat fakta bahwa Julian berhasil mengelabuhi dirinya dan sang papa.
“Najla? You okay?“
Yang ditanya tersadar dari lamunannya saat Kenny melambaikan tangan ke depan wajahnya.
“Lagi mikirin apa, sih? Sampe gak sadar tuh di luar udah hujan?”
Benar saja, saat Najla menengok ke sebelah kiri ternyata jalanan sore itu telah diguyur hujan rintik-rintik.
Ia melirik jam di dinding kafe, pukul 5.
“Pulang sekarang aja apa ya?”
“Ayo, takut hujannya makin gede kalo kita stay disini.”
Akhirnya Kenny dan Najla memutuskan untuk meninggalkan kafe tersebut. Keduanya berjalan terburu-buru ke parkiran yang jaraknya tidak seberapa jauh dari pintu kafe.
Untungnya hujan yang turun tidak terlalu lebat dan masih bisa dilewati dengan berjalan tanpa payung.
“Blus lo basah, Naj. Mau pake kemeja gue gak? Gue selalu bawa baju ganti di belakang.” tawar Kenny setelah mereka di dalam mobil.
Najla yang menyadari hal itu langsung panik karena blus putih yang ia kenakan sekarang nampak sedikit transparan akibat terkena air hujan.
Pantas saja Kenny tidak menatap ke arahnya sejak tadi.
“Mau gak?” tanya Kenny sekali lagi.
Najla lantas mengiyakan tawaran itu dan pindah ke kursi belakang untuk mengganti pakaian atasnya.
“Bajunya di paper bag cheetah, ya”
Iya betul, paper bag yang Kenny terima dari Najla, ia menyimpan semua tas kertas yang diberikan Najla.
Namun sepertinya Najla sendiri tidak menyadari hal itu karena terlalu terburu-buru.
“I'm not looking, santai aja, Naj!”
“Oke, jangan hadap belakang kalo aku belum ngomong apa-apa!”
Kenny terkekeh kecil, “Alright, ma'am!“
Setelah beberapa menit lamanya, Najla kembali ke kursi depan dengan pakaian yang sudah lebih baik dari sebelumnya.
Kemeja Kenny nampak kebesaran di tubuhnya yang mungil. Kedua lengannya sengaja ia gulung sampai siku.
Namun dimata Kenny, perempuan yang tengah mengikat rambutnya itu justru terlihat semakin cantik dan menggemaskan sampai ia tidak mengalihkan pandangannya sejak tadi.
“Kenapa sih, Ken? Gak pantes ya pake kemeja ini?”
“Hah? Enggak kok, cocok sama lo, jadi lucu.”
Sebenernya kalimat barusan sangat jelas didengar, namun Najla ingin memastikan lagi kalau pendengarannya tidak salah, “Eh?”
Keduanya salah tingkah, Kenny langsung tancap gas sedangkan Najla merapikan rambut yang sebenarnya tidak perlu.
Kalau dipikir-pikir sejauh ini Najla sudah sangat beruntung. Bisa berteman dengan idolanya sendiri tidak pernah terlintas di pikirannya.
Melihat Kenny dari jarak sedekat ini membuat detak jantungnya tidak beraturan. Biasanya ia hanya melihat Kenny menyetir lewat layar kaca namun sekarang pemandangan tersebut dapat dilihat tanpa pembatas apapun.
“Gue tau gue ganteng, tapi jangan lupa ngedip.”
Seperti habis kepergok mencuri ayam, Najla yang tersentak lantas mengedarkan pandangannya asal ke jalanan, mengundang tawa kecil dari Kenny.
Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di kediaman Najla.
Arya, papanya Najla telah menunggu kedatangan mereka di depan rumah, “Siapa, nih, kak?” tanyanya saat mereka bertemu.
“Ini Kenny, pa. Ken, ini papa aku.”
Najla saling mengenalkan keduanya dan membiarkan dua laki-laki dewasa itu berjabat tangan.
“Saya Kenny, om.”
“Oh ini pemilik suara yang didengerin anak papa setiap malem?” ledek Arya.
“Papa, ih!”
Arya semakin tertawa melihat putri semata wayangnya malu.
Begitu juga dengan Kenny, ia tertawa canggung mendengarnya.
“Aku tinggal sebentar ya, mau bikin teh. Papa sama Kenny ngobrol dulu aja!”
Najla lantas masuk ke dalam meninggalkan Kenny yang langsung diajak main catur oleh papanya. Tidak tau apa yang akan mereka bicarakan.
Cukup lama Najla di dapur, ia sekalian menyiapkan makanan yang Kenny beli di kafe sore tadi. Semuanya ia lakukan sendiri karena papanya tidak mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah ini.
Di waktu yang sama, di ruang tamu, Kenny tengah bermain catur melawan Arya yang sudah mahir memainkan permainan ini.
Sembari berbincang keduanya makin terlihat akrab, Kenny yang cepat tanggap dapat dengan mudah memahami maksud Arya setiap kali lelaki paruh baya itu berbicara.
Najla kembali dengan nampan di tangan, mengganti papan catur di meja dengan piring makanan dan gelas teh hangat yang ia bawa.
Ketiganya lantas menghabiskan satu jam untuk mengobrol dan saling mengenal.
Najla bahkan sedikit heran dengan keakraban Kenny dan papanya yang seperti sudah berteman lama.
Gadis itu senang sekarang bisa mengenal Kenny Alvaro sebagai teman. Tanpa berharap lebih karena bisa dikenal olehnya saja sudah lebih dari cukup.
Mungkin kalau saat itu Julian mengizinkannya ke KENPHORIA ia tidak akan menjadi sedekat ini dengan Kenny.
So, thanks to him.