He kiss me
Najla's POV
“Kemana lagi kita hari ini?”
Aku kira setelah mengisi perut Kenny akan langsung mengantarku pulang, rupanya ia masih ingin berlama-lama denganku. Hahaha, gemas!
Aku teringat beberapa bulan lalu Kenny pernah menawarkan untuk mendengar lagu yang liriknya ia tulis sendiri. Sampai sekarang lagu itu belum dirilis.
“Ke studio kamu, yuk? Dengerin lagu yang waktu itu kamu omongin.”
“Yakin? Di sana nggak ada apa-apa, nanti lo bosen.”
“Kan waktu itu kamu yang ngajak aku kesana, Ken. Lupa ya?”
“Iya sih, ya udah yuk meluncurrr!”
Aku terkikik melihat Kenny yang mengerucutkan bibirnya lucu. Ah, bisa tidak sih laki-laki ini kalau sudah tampan jangan lucu juga?!
Setelah berbulan-bulan berteman, kami jadi semakin akrab, tidak sungkan untuk saling meminta tolong, juga saling curhat menceritakan keluh kesah keseharian kami.
Bahkan entah sejak kapan aku sudah tidak lagi memandangnya sebagai 'idola', image itu perlahan hilang dari pikiranku.
Namun tidak tau kalau Kenny, apakah dirinya masih menganggap aku fans nya atau tidak.
Perlukah aku tanya?
Untuk memecah keheningan di dalam mobil mungkin sudah seharusnya aku memulai percakapan.
“Kenny, aku mau nanya deh.”
“Tanya aja, tapi gue sambil nyetir ya.”
“Kamu ini masih nganggep aku sebagai fans atau nggak?”
Dapat kulihat raut wajahnya berubah bingung, mungkin tidak menyangka dengan pertanyaanku barusan.
Kenny nampak berpikir sebelum berkata, “Nggak tau, Naj.”
Rupanya ia sendiri bingung.
“Oke deh, btw gak usah dipikirin ya, tadi cuma iseng nanya aja.”
Setelah itu Kenny kembali fokus ke jalan. Sampai kami sampai di studio, tidak ada percakapan sedikitpun yang kami lontarkan.
Sedikit canggung.
Beberapa orang yang ada di sana menyapa kami, lebih tepatnya menyapa Kenny.
“Gue mau pake studio bentar, bang.”
“Pake aja, lagi kosong kok. Kuncinya tuh di atas meja.”
Setelah mengambil kunci studio Kenny langsung menuntunku ke ruangan yang sering ia tempati untuk bekerja itu.
Kenny menyalakan lampu yang terangnya tidak seberapa. Mungkin sengaja dibuat redup karena alasan tertentu.
“Duduk, Naj.” titahnya setelah menarik kursi dari bawah meja. Ia mengambil kursi lain dari meja yang lain kemudian duduk di sebelahku.
Kenny mulai menyalakan komputer di depannya lalu mencari rekaman yang ingin ia perdengarkan padaku.
Setelah menemukan file yang dimaksud, Kenny memasangkan headphone ke kepalaku, lalu meng-klik tombol enter di “keyboard*.
Suara yang pertama menyapa gendang telingaku adalah suara gitar yang kuyakini merupakan genjrengan tangannya.
Vokalnya yang berat namun halus itu mulai terdengar, menyanyikan lirik demi lirik dengan irama yang menenangkan.
Aku terbawa suasana karena lagunya begitu enak didengar, aku bahkan sampai menutup mataku, jariku juga mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama.
Dengan kepala yang ikut bergerak aku mendengarkan lagu yang belum dirilis ini sampai selesai.
Aku merasa beruntung karena menjadi pendengar pertama.
Begitu lagunya berhenti, aku lantas melepaskan headphone yang sejak tadi nangkring di kepalaku.
Dan saat aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah wajah Kenny yang berjarak sangat dekat tengah memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.
Kami saling bertatapan karena aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tidak tau apa maksud Kenny menatapku seintens ini, yang kutahu sekarang adalah tatapannya turun, ke bibirku.
Ya Tuhan, apa ini??
Kenny memajukan wajahnya perlahan membuatku tidak bisa berkutik, helaan napasnya semakin dapat kurasakan kala hidung kami bersentuhan.
Aku menahan napas karena tau apa yang akan selanjutnya terjadi.
He kissed me
He stole my first kiss
Aku mengepalkan tanganku di atas paha karena bibirnya tidak juga beranjak sampai aku kehabisan napas. Aku memundurkan kepalaku dan menghirup napas sebanyak-banyaknya.
Kenny terkekeh melihat aku yang bernapas dengan rakus.
“Naj, mau lagi, boleh?”
Belum sempat aku menjawab, Kenny sudah mendaratkan bibirnya lagi di bibirku. Satu kecupan seringan kapas aku terima darinya.
“Don't hold your breath, sweetheart.“
Kalimatnya barusan ia ucapkan tepat di depan wajahku, dengan tatapan lurus menatap mataku.
Oleh karena itu aku yakin untuk menerima ciuman darinya. Ciuman yang lebih memabukkan dari sebelumnya.
Ia melumat bibir bawahku dengan lembut sedang aku menyesap bibir atasnya yang tipis.
Tidak tau apa tujuan ciuman kami. Aku hanya mengikuti pergerakan yang bibir Kenny ciptakan.
Sudah kubilang, aku tidak lagi menganggapnya sebagai idola. Kenny yang sekarang sedang mencicipi bibirku ini bukan Kenny Alvaro si penyanyi yang aku gemari.
Melainkan Kenny Alvaro si laki-laki baik hati yang mau melepaskan jaketnya demi menutupi kakiku yang terbuka, laki-laki yang mau meminjamkan kemejanya saat bajuku basah terkena hujan, juga laki-laki yang rela meluangkan waktunya untuk membantu dan mendengarkan keluh kesahku.
Begitulah aku memandang seorang Kenny sekarang.
Kenny melepaskan tautannya setelah bermenit-menit lamanya bibir kami bercumbu, membiarkan mata kami bertemu sebelum ia meraih dan mencium punggung tanganku.
“Di mata aku kamu bukan sekedar fans, Najla. Kamu lebih dari itu.”