tinkernid


“Kamu ada masalah apa sih, Len?”

“Baru kali ini kamu sampe ngerokok.”

“Berat banget emang masalah hidup kamu?”

Vallen yang baru masuk mobil mengernyit kala laki-laki yang duduk di kursi kemudi langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang tidak bisa langsung ia jawab.

“Kenapa diem aja? Aku nanya tadi, jawab lah,” desak Jagat karena pertanyaannya belum dijawab.

Bingung harus menjawab bagaimana, Vallen menghindari tatapan Jagat yang tengah memandangnya tajam.

“Jawab, Vallen.” Gadis yang belakangan ini seringkali menangis diam-diam itu tersentak saat tangannya digenggam kencang oleh kekasihnya.

“Kamu gak berhak tau masalah aku!”

Jagat menautkan kedua alisnya mendengar jawaban yang dilontarkan dengan nada sinis itu. “Lagi-lagi tentang ini,” batinnya.

Vallen menarik tangannya paksa. “Lagian mau aku ngerokok atau nggak, itu bukan urusan kamu. Kamu nggak dirugikan karena itu, Gat!” pekiknya.

Jagat menegakkan tubuhnya. “Oke aku nggak masalahin itu. Terserah mau kamu ngerokok, vape, atau minum-minum pun terserah kamu.” Ia mengusap wajahnya gusar sebelum melanjutkan ucapannya, “Tapi yang jadi pertanyaan aku, kenapa sih harus jadiin itu sebagai pelampiasan dari masalah kamu? Kan ada aku, gunanya kita pacaran apa kalau nggak saling support dan jadi tempat cerita?? Kamu sendiri yang larang aku buat jangan lari ke alkohol, kamu sendiri nyuruh aku buat jadiin kamu tempat keluh kesah aku. Tapi kenapa kamu nggak menerapkan itu di diri kamu juga?”

Tidak sanggup merespon perkataan Jagat yang penuh emosi, Vallen hanya bisa menunduk dan tak mampu menatap lawan bicaranya.

Tangan Jagat kembali terulur untuk mengusap tangan Vallen yang terasa dingin. “Aku juga mau berguna buat kamu,” sambungnya dengan suara yang terdengar kecewa.

Akhirnya dengan persentase keberanian yang tidak seberapa, Vallen menatap Jagat yang tidak melepaskan pandangannya sedikitpun.

Sebelum gadis itu memberikan pembelaan diri, Jagat kembali menodongnya dengan pertanyaan, “Boleh tau kenapa kamu mau pacaran sama aku?”

Sejujurnya, dalam lubuk hatinya Jagat berharap Vallen tidak menjawab dengan alasan kasihan. Perempuan cantik ini memang tidak memberi tahu alasan kenapa ia menerima pernyataan cintanya. Itu menjadikan ia takut mengalami hal serupa seperti yang dialami temannya, Reihan dan Kesya.

Jagat benci kalau harus mengetahui fakta bahwa Vallen sama saja dengan Reihan, menerima ajakan berkencan orang lain karena kasihan.

“Waktu itu kamu bilang kalau kamu butuh seseorang yang bisa ngertiin kamu, iya kan?”

Jagat mengangguk, menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut gadis itu.

“Aku buka hati aku untuk kamu karena aku mau jadi seseorang itu. Aku mau jadi orang yang kamu butuhin, yang kamu cari keberadaannya kalau kamu lagi butuh dingertiin sama orang lain.”

Kali ini Jagat dibuat bingung oleh jawaban Vallen. Dirinya mengalihkan pandangannya ke luar mobil, ke area parkiran yang mulai ramai.

Suasana di dalam mobil sempat hening beberapa saat sampai terdengar helaan napas panjang dari Jagat. “Jadi aku doang yang boleh butuh kamu? Kamu gak boleh butuh aku, gitu?”

Mendadak pikiran Vallen ngeblank, tidak tau harus memberi respon apa lagi. Karena kenyataannya, apa yang diucapkan Jagat itu sepenuhnya benar.

Vallen merasa selama ini telah cukup sering bergantung pada laki-laki itu. Perubahan status mereka dari yang awalnya berteman menjadi berkencan ini tidak memberikan dampak yang begitu berarti baginya.

“Bener kayak gitu, Len?” tanya Jagat sembari melirik sekilas.

Perempuan itu tidak tau harus mengeluarkan kata-kata seperti apa untuk menjelaskan isi hatinya. Lidahnya begitu kelu, tak mampu mengucapkan sepatah katapun karena takut salah bicara.

“Kalau emang kayak gitu, mending putus aja lah. Pacaran atau nggak juga akunya nggak dianggep pacar sama kamu.”

Vallen menoleh cepat kala kalimat itu menyapa telinganya. Putus? Apa itu solusi yang tepat untuk hubungan mereka?

Jagat masih memfokuskan perhatiannya ke arah luar. “Dari awal kamu udah maksain hubungan kita, iya kan? Mungkin kamu nggak merasa, tapi aku peka banget sama kamu, Len. Hal sekecil panggilan aku-kamu aja sering dilupain sama kamu,” ujarnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah sang gadis.

Kali ini Jagat kembali memandang Vallen. “Kita putus aja, ya? Daripada kamu cape sendiri jalanin hubungan ini.” Dengan suara lembut Jagat menyampaikan apa yang ia maksud.

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Vallen, ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar sebab menahan tangis.

“Sekarang aku anter ke apart, kamu boleh tinggal di sana dulu. Biar aku nanti numpang ke kos Fajar.”

“Nggak usah. Aku udah dapet kosan deket kampus. Nanti malem aku pindah,” ucap Vallen dengan nada datar tanpa menatap Jagat.

Merasa tidak perlu lagi mengorek informasi lebih jauh, Jagat hanya mengangguk lalu melajukan kendaraan roda empat itu menuju apartmentnya.

Walaupun Vallen tidak mengiyakan pertanyaan terakhirnya, kesimpulan yang Jagat tarik dari percakapan mereka adalah hubungan keduanya telah berakhir.

Dan tanpa keduanya ketahui, masing-masing dari mereka kini berharap masih bisa bersama sebagai teman. Karena yang berakhir hanyalah hubungan percintaannya, bukan ceritanya.


Terang bulan dibiarkan masuk melalui jendela besar yang gordennya sengaja dibuka, menjadi saksi keheningan sepasang kekasih yang malam ini tiba-tiba menjadi saling canggung.

Setelah perdebatan mereka beberapa hari lalu, Jagat dan Vallen belum berinteraksi lagi sampai Vallen tiba-tiba mencari tempat untuk ia tumpangi sementara.

Ditemani dua kaleng minuman bersoda dan buah-buahan yang dibeli Vallen, keduanya hanya saling diam, duduk di lantai kamar dengan pandangan tertuju ke arah televisi yang sebenarnya tidak benar-benar ditonton.

Satu jam yang lalu saat Jagat menjemput Vallen di supermarket, keduanya tidak banyak bicara lantaran masih diselimuti rasa gengsi yang tinggi sampai tidak ada yang mau memulai percakapan.

Sama seperti sekarang, Jagat kembali ke unit apartemennya setelah membatalkan rencananya untuk bermalam di kos Fajar. Namun baik Jagat ataupun Vallen masih enggan bersuara.

Yang dikatakan Nahar memang benar, mereka berdua sama-sama keras kepala.

Jagat yang belum pernah dihadapkan dengan situasi seperti ini bingung harus bagaimana. Begitu juga dengan Vallen, mantan pacarnya dulu selalu mengalah dan menjadi orang yang memperbaiki masalah mereka setiap kali bertengkar.

Kalau tidak sedang dalam hubungan percintaan mungkin keduanya sudah saling tertawa dan meledek sekarang. Biasanya Jagat akan menyogok Vallen dengan makanan setelah membuat gadis itu murka karena ucapan atau tingkah lakunya.

Namun kali ini situasinya telah berbeda. Hubungan yang terjalin antara keduanya bukan lagi tentang pertemanan melainkan lebih dari itu—yang mana telah merubah cara pandang pasangan ini.

Seperti yang menjadi alasan pertengkaran mereka saat ini. Jagat menganggap Vallen harus lebih terbuka padanya karena mereka kini bukan hanya sekadar teman. Sedangkan Vallen merasa bahwa tidak semua yang terjadi padanya harus diketahui orang lain termasuk Jagat, kekasihnya sendiri.

Hal itu yang membuat keduanya menjadi canggung dan kikuk karena tidak saling mengerti perasaan masing-masing.

Jagat tiba-tiba mengambil jeruk di atas meja, membuka kulitnya lalu memberikan buah berwarna oren tersebut pada gadis di sebelahnya. “Udah dibeli, jangan diliatin doang.”

Thanks,” lirih Vallen menerima buah yang telah terpisah dari kulitnya itu.

Vallen lantas memasukan buah yang agak asam itu ke mulutnya satu persatu, matanya menatap lurus ke televisi, namun ekor matanya menangkap tatapan Jagat yang sedang memandanginya dari samping.

“Kenapa, Jagat?” Vallen menatap balik kekasihnya karena merasa tidak nyaman ditatap seperti itu.

Alih-alih langsung menjawab, Jagat justru meraih tangan dingin Vallen untuk kemudian ia berikan kecup di punggung tangannya.

“Maaf.”

Faktanya, satu kata itu mampu meluluhkan hati siapapun yang mendengar, bukan?

Vallen mengulum senyum lalu mengangguk perlahan. “Maafin aku juga,” ucapnya kemudian berinisiatif menghambur ke pelukan Jagat.

Awalnya Jagat tidak memberi respon apapun, namun setelah merasa Vallen mengeratkan pelukannya, tangan laki-laki itu terulur untuk membalas pelukan hangatnya.

Diciumnya kening gadisnya lama, ditepuk-tepuk dan dielus pula punggung perempuan yang tanpa Jagat tau sedang menahan tangisnya itu

Vallen pantas diberi apresiasi atas keberhasilan dirinya melewati hari yang cukup berat ini.

Gadis itu seperti ingin mencurahkan semua isi hatinya, ingin menceritakan semua keluhannya. Namun lagi-lagi status keduanya saat ini membuat ia berpikir dua kali. Vallen tidak ingin membagi masalahnya, terlebih pada Jagat yang ia tebak pasti sedang diselimuti banyak masalah juga.

Namun tanpa disangka tiba-tiba Vallen terisak, membuat Jagat refleks menjauhkan tubuhnya dan melepas dekapannya.

Dilihatnya Vallen yang tengah menutup wajah cantiknya dengan kedua tangannya. Pundaknya bergerak naik turun karena bergetar saking histeris tangisannya.

Jelas Jagat panik melihat Vallen yang menangis seperti ini. Terakhir kali ia melihat tangisan histerisnya adalah dua tahun lalu, saat ia mengakhiri hubungan dengan Evan, mantan kekasihnya.

Jagat tidak mendesak Vallen untuk bicara, ia menarik tubuh lemah gadis itu untuk diberi dekapan hangat. Membuat Vallen menumpahkan air matanya di sana, membasahi kaus yang laki-laki itu kenakan.

It's okay, jangan ditahan lagi. Nangis aja, keluarin semuanya. Nggak ada yang lihat. Nangis sampe kamu lega, gapapa.” Sembari mengusap punggung ringkih gadisnya, Jagat mencoba memberikan kenyamanan untuknya.

Vallen tidak hanya menangisi pertengkaran mereka, melainkan semuanya. Semua hal memuakkan yang telah ia tahan selama ini. Vallen bukan tipe yang mudah menangis. Dalam setahun bisa dihitung jari jumlahnya berapa kali dirinya meluapkan emosi melalui tangisan.

Kesulitannya di perkuliahan sampai masalah keluarga bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Vallen seringkali memendam perasaannya karena tidak ingin membebani orang lain dengan keluh kesahnya.

Oleh karena itu, kali ini Jagat membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.

Vallen menangis sampai rasanya air matanya telah terkuras habis. Sampai mata indahnya menolak untuk mengeluarkan air mata lagi.

Sampai suara tangisnya mereda dan tidak ada pergerakan darinya. Jagat menebak gadis itu tertidur saking lelahnya menangis. Ia lantas mengangkat tubuh Vallen untuk dibaringkan di tempat tidur kemudian diselimuti dengan hati-hati.

Jagat mengecup kening sang kekasih sekali lagi sebelum melangkahkan kaki jenjangnya ke luar kamar. Tidak lupa ia juga mematikan televisi dan lampu.

Malam ini terasa lebih panjang bagi keduanya. Jagat harap esok hari matahari bersinar terang kala gadisnya terbangun dari tidurnya untuk setidaknya memberikan pagi yang indah bagi perempuan hebat itu.


Hawa dingin dari air conditioner di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu menyapa keduanya kala Jagat membuka pintu studio musik yang kerap kali ia dan teman-teman bandnya tempati untuk latihan.

Ada Leo dan Fajar yang sedang memainkan alat musik di sana.

Jagat menyapa dua laki-laki itu lalu ia memberi kode agar mereka memberi ruang untuknya dan sang pacar, “Paham, lah!” katanya.

Sorry ya, Le, Jar, jadi ganggu kalian,” ujar Vallen merasa sedikit tidak enak karena telah mengusir mereka secara tidak langsung.

Leo memberikan kunci studio pada Jagat. “Yoi santai aja, lagian kita juga udah mau cabut.”

“Hati-hati, Len. Studio ini banyak setannya, salah satunya itu ada di sebelah lo,” ledek Fajar yang langsung dihadiahi sepakan pelan dari Jagat di bokongnya.

“Lo berdua mending buruan cabut, deh!”

Kedua temannya terkekeh geli menyadari Jagat yang sudah ingin cepat-cepat berduaan dengan pacarnya. Mereka akhirnya pamit setelah Jagat memberikan sebungkus rokok.

“Emang harus disogok dulu apa gimana deh?” tanya Vallen setelah hanya ada ia dan Jagat di sana.

Dikeprak-keprakannya alas sofa sebelum mempersilakan Vallen duduk di atasnya. “Biasalah, harus digituin biar pada diem cocotnya.”

Hari ini sesuai janji Jagat semalam, Vallen diajak ke studio yang merupakan ruang latihan milik UKM band di kampusnya untuk mendengarkan lagu yang ia ciptakan untuk perempuan itu.

Ini bukan pertama kalinya Vallen menginjakan kaki di ruangan tersebut. Sebelumnya juga ia sering diminta untuk sekadar menemani Jagat latihan. Itu kenapa Vallen bisa dikenal oleh teman-teman Jagat.

Jagat duduk di lantai—di depan Vallen yang duduk di sofa, dengan gitar yang sudah berada di posisinya. “Lagu ini sebenernya udah dibikin dari lama, tapi aku nunggu momen yang tepat buat nyanyiin di depan kamu. And today is that moment.

Dapat ia lihat gadis di depannya menahan senyum, tersipu. Membuat ia ikut mengalihkan pandangannya karena terbawa suasana malu-malu kucing.

Vallen mengeluarkan ponsel dari sling bag hitamnya. “Aku mau rekam, boleh gak?”

“Boleh, sayang.”

Bohong kalau Vallen tidak gugup. Jantungnya berdetak tidak beraturan saking gugupnya. Aneh, padahal biasanya tidak begini. Vallen jarang sekali merasa gugup atau deg-degan saat berada di dekat Jagat.

Detak jantungnya saat ini sama persis seperti detak yang ia rasakan satu bulan lalu—saat Jagat menyatakan perasaannya melalui sapuan lembut di bibirnya.

Merasa tidak nyaman karena posisinya yang lebih tinggi dari Jagat, Vallen beranjak dari tempatnya lalu duduk di lantai berhadapan dengan laki-laki yang mengenakan kemeja putih berlengan pendek itu.

Ready?

Setelah menyalakan kamera Vallen mengangguk dan siap mendengarkan lagu spesial dari kekasihnya.

Jagat dan jari-jari panjangnya mulai memetik senar gitar yang kemudian menghasilkan bunyi yang begitu sopan masuk ke telinga. Perempuan yang duduk manis di depannya pun telah bereaksi dengan memusatkan fokus hanya pada permainan gitarnya.

Di detik saat Jagat mulai bernyanyi, mata mereka bertemu dan seolah terhipnotis, laki-laki itu mengunci pandangannya sehingga keduanya saling bertatapan dengan masing-masing menunjukkan senyuman.

Seperti seorang profesional, Jagat menyanyikan lirik demi lirik tanpa melepas tatapannya dari Vallen yang juga setia menatap mata sipit laki-laki itu.

I know you know“ “I love you, baby“ “I know you know“ “I love you, baby

I just wanna you to know“ “You're my sunshine in the sky

Jagat menyudahi nyanyiannya di detik ke-25. “That's it, for now. Aku nggak mau spoiler.”

Huh?

Kekehan kecil Jagat merespon kebingungan Vallen, membuat ia semakin bingung karena masih tidak mengerti kalimat terakhir Jagat. “Spoiler gimana, sih?”

“Aku mau debut single di manajemen keluarganya temenku.” Ada jeda beberapa detik sebelum Jagat melanjutkan kalimatnya, “Pake lagu ini.”

Vallen yang dari tadi masih setia merekam langsung melempar ponselnya ke sofa, lantas ia bertepuk tangan dibarengi teriak girang dari mulutnya.

“GILA! KAMU KEREN BANGET, COY!! AAAA SUMPAH AKU BANGGA BANGET SAMA KAMUUU!” Mengangkat tangan Jagat tinggi-tinggi adalah hal yang Vallen lakukan tanpa sadar sekarang. Posisinya yang juga tanpa sadar menjadi lebih dekat memudahkan Jagat untuk mencuri kecupan singkat dari bibirnya.

Merasa tiba-tiba lemas, Vallen lantas menurunkan tangan mereka kemudian mundur beberapa senti.

Entah kenapa ekspresi malu-malu dan canggung gadisnya itu justru membuat Jagat gemas sampai rasanya ingin terus melihat Vallen yang sedang mode softie ini.

“Gimana kata mama papa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Vallen, Jagat malah berpindah posisi menjadi duduk di sofa, ia lalu menepuk tempat di sebelahnya—mengisyaratkan Vallen untuk duduk di sana.

“Emang harus bilang ya?” tanyanya saat Vallen sudah duduk menyamping berhadapan dengannya. “Nanti malah disepelein lagi, baru juga debut single, gitu.”

Vallen mengerti, hubungan Jagat dengan orangtuanya memanglah tidak begitu harmonis seperti kebanyakan orang. Mama dan papanya adalah pasangan sibuk yang selalu mengurusi hal duniawi sampai terkadang melupakan putra semata wayangnya yang kesepian ini.

Sejak SMA Jagat sudah dibiarkan tinggal sendiri di ibu kota sedangkan orang tuanya menetap di Surabaya.

Sekadar menanyakan kabar pun sepertinya bisa dihitung jari jumlahnya. Bagaimana mau punya waktu untuk mengapresiasi pencapaian putranya?

Akhirnya hanya tepukan di bahu yang bisa Vallen berikan.

“Sayang,” lirih Jagat seraya menggenggam kedua tangan Vallen. “Nanti kita dengerin lagu debut aku berdua ya? Kamu wajib tau full liriknya.” Satu kecupan kembali Jagat berikan di punggung tangan gadis itu.

Sure!


Huh!

Jagat terkekeh mendengar Vallen mendengus untuk kesekian kalinya. Ia tau gadis itu kesal karena dirinya belum juga melajukan kendaraannya setelah dua menit di dalam mobil.

“Ayo, ih! Kenapa gak jalan-jalan sih?”

“Habisnya kamu nggak nurut, udah disuruh jangan cantik-cantik sekarang malah cantik banget. Kalo kayak gini kan bikin aku mau lama-lama liatin kamu.”

Alih-alih salah tingkah, Vallen justru melepas topi yang ia kenakan dan memakaikannya di kepala Jagat. “Stop basa-basi,” keluhnya lalu sengaja menurunkan posisi topinya sampai menutupi mata Jagat.

Sekali lagi Jagat terkekeh, “Iya iya, yuk jalan yuk.” Jagat merapikan rambut Vallen—yang tatanannya sempat berantakan saat melepas topinya sebelum tancap gas menuju kafe yang menjadi tujuan mereka.

Malam ini adalah performance yang ke 17 bagi kelompok band yang ada Jagat di dalamnya.

Ia dan teman-temannya di UKM band mulai sering tampil di kafe-kafe sejak 5 bulan lalu. Biasanya mereka akan membawakan lagu dari musisi yang sudah terkenal dan sedikit diaransemen lagi agar terdengar berbeda dari musik aslinya.

Walaupun agak kecewa karena orangtuanya belum pernah menyaksikan penampilannya dengan alasan sibuk, malam ini Jagat dengan semangat akan menunjukan performa yang maksimal sebab gadis pujaannya telah meluangkan waktu untuk mendengar nyanyiannya di atas panggung.

Begitupun dengan Vallen, dirinya tidak kalah semangat dengan sang pacar. Seperti sekarang, Vallen ikut bernyanyi dari meja yang tidak terlalu berjarak dengan panggung tempat Jagat berdiri.

Mulai dari lagu yang ceria sampai mellow, Jagat, Fajar, Leo, Hardian dan Bima berhasil membuat pengunjung kafe terbawa suasana karena sesi nongkrong mereka diiringi oleh nyanyian lima orang itu.

Sesekali Jagat melirik Vallen yang tengah menikmati appetizersnya dan tersenyum kala melihat ekspresi puas di wajah gadisnya.

Vallen akan membulatkan matanya dan menggerakkan kepalanya girang setiap kali indera perasa-nya bertemu dengan makanan enak.

Di saat seperti ini, baginya Vallen seperti anak kecil yang terjebak di tubuh orang dewasa.

Vallen memang jarang menunjukkan sisi kekanakannya karena ia terlalu sering dilihat sebagai pribadi yang jutek dan galak oleh teman-temannya. Namun di mata Jagat, apapun yang dilakukannya akan terlihat menggemaskan.

Vallen yang sekarang tersenyum lebar sampai menampilkan deretan giginya membuat Jagat ikut tersenyum saat berjalan ke arahnya.

Penampilan band-nya telah selesai dan digantikan oleh pengisi acara yang lain, Jagat lantas menghampiri pacarnya. “Udah mau jam 9, kamu gapapa makan jam segini? Nggak lagi diet kan?” tanyanya sebelum memesan makanan.

“Nggak kok, aku laper malah.”

Setelah mendapat persetujuan, barulah Jagat memanggil salah satu waitress di sana.

“Saya chicken katsu original sama ice lychee tea, terus temen saya,” ujar Vallen sembari menyodorkan daftar menu pada Jagat yang langsung menatapnya tidak percaya.

“Samain aja, mas.”

Jagat tidak melepas tatapannya dari Vallen setelah waitress meninggalkan meja mereka untuk menyiapkan pesanan.

Merasa tidak nyaman ditatap heran seperti itu, Vallen bertanya, “Kenapa deh?”

“Temen saya banget nih?” tanya Jagat dengan penuh penekanan.

“Masa aku bilang pacar sih? Malu tau sama mas-masnya, kalo ternyata dia jomblo kan nanti iri.”

Jagat mengangguk-angguk sok paham. “Oke teman, nanti teman pulang sendiri ya? Saya mau nyari pacar dulu di sini,” sindirnya.

“Hahaha!” Vallen tertawa karena rencananya menjahili Jagat berhasil. “Aku bercanda, sumpah!” katanya dengan menunjukan dua jari membentuk huruf V.

“Nggak lucu, tau!”

“Eh jangan ngambek dong, nanti makananku setengahnya buat kamu deh.”

“Dasar! itu mah kamu aja yang gak mau makan banyak.”

Vallen mulai merasa tidak enak karena nada suara Jagat yang masih terdengar kesal. “Jagat, sorry gue cuma bercanda tadi.”

“Lain kali bercandanya jangan kayak gitu. Candaan tuh harusnya bikin ketawa, bukan bikin kesel,” ucap Jagat dengan nada serius.

Sambil mencubit pelan pipi Jagat, Vallen menimpali, “Iyaaa ganteng, nanti gue gak gitu lagi deh, janji! Udah ya, lo udahan dong keselnya.”

Setelahnya Jagat tersenyum miris karena Vallen masih belum konsisten dengan panggilannya. Kadang aku-kamu, kadang gue-lo.

Sebenarnya itu bukan hal besar yang harus dipermasalahkan. Hanya saja ia sedikit sedih karena Vallen masih juga belum terbiasa dengan pergantian status mereka.

Baru ingin bersuara lagi, pelayan lebih dulu datang dengan dua porsi pesanan mereka membuat Jagat mengurungkan niatnya.

Laki-laki yang malam ini mengenakan kemeja yang tidak dikancingkan itu memotong-motong makanannya menjadi beberapa bagian sebelum menyerahkannya pada sang kekasih.

Dari situ Vallen tau kalau Jagat sudah tidak kesal padanya. “Thank youuu!” serunya.

Vallen sedikit terkikik mengingat sebelumnya Jagat tidak pernah melakukan hal semanis ini. Ia baru mengerti bagaimana perbedaan berteman dengan Jagat dan berkencan dengan Jagat.

Baru beberapa potongan masuk ke mulutnya, Vallen sudah mengeluh kenyang. Membuat Jagat inisiatif megambil alih piring miliknya.

“Kalo kenyang gak usah dipaksa, nanti sakit perutnya.”

Sekali lagi Vallen menyadari perbedaan Jagat saat menjadi teman dan pacar. Alih-alih khawatir, biasanya Jagat akan berkata, “Makanya kagak usah sok-sokan makan banyak. Kasian tuh makanannya nangis gara-gara ngga dihabisin!

Kencan mereka berakhir dengan Vallen yang menemani Jagat menghabiskan makanannya sambil memotret beberapa sudut kafe.

“Nanti kalo kamu ada manggung kayak gini lagi, aku mau ikut ya?”

Jagat mengangguk kemudian berkata, “Tapi nggak buat jadwal yang di atas jam 10 malem.”


Vallen's POV

I love you, let's date.

Bukan sekali dua kali orang itu mengungkapkan perasaannya dan mengajakku untuk menjalin hubungan lebih dari teman.

Namun bukan sekali dua kali juga aku menolak perasaannya.

But we are friends.

Begitu jawabanku setiap mendengar pernyataan cintanya.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk pertemanan kami. Aku telah berteman dengan laki-laki bernama Jagat itu sejak masih duduk di bangku SMA.

Tidak menutup kemungkinan bahwa selama lima tahun itu ada masa dimana aku tertarik dengannya dan ingin memiliki status selain 'teman'. Namun perasaan tersebut tidak berlangsung lama, karena rasaku padanya saat itu bukan perasaan cinta. Melainkan sebatas rasa nyaman dan tidak ingin kehilangan.

Berteman dengan Jagat adalah salah satu hal yang selalu aku syukuri karena ia merupakan tipe teman yang baik—setidaknya bagiku yang introvert ini.

Jagat selalu mencoba untuk memahami kondisi orang lain, bisa menjadi pendengar yang baik, juga mendukung apapun keputusan temannya.

Dan yang paling penting, Jagat selalu ada saat dibutuhkan.

Tidak peduli sedang apa dan dimana, kalau temannya sudah memanggil pasti Jagat akan mengusahakan untuk memenuhi panggilan itu.

Namun yang baru aku tau, dibalik ke-loyal-an seorang Jagat Adigdaya tenyata ada cerita masa lalu yang mungkin akan terdengar miris bagi sebagian orang.

Jagat selalu memahami kondisi orang lain karena orang lain tidak pernah memahami kondisinya.

Jagat selalu menjadi pendengar yang baik karena dirinya tidak pernah didengar oleh orang lain dengan baik.

Jagat selalu mendukung temannya karena teman-temannya tidak pernah memberikan dukungan untuknya.

Jagat tidak ingin orang lain merasakan apa yang pernah ia rasakan di masa lalu.

Setidaknya itulah kesimpulan yang aku ambil dari obrolan kami di tepi danau beberapa hari lalu.

Dan aku dengan pertimbanganku tentang berbagai kemungkinan memutuskan untuk menjadi orang yang Jagat butuhkan.

Yang memahami kondisinya, yang mendengarkan ceritanya, dan yang mendukungnya.

Dibantu sahabatku, Kesya. Kami telah bicara semalaman lewat telepon tentang keputusanku ini. Sejak awal Kesya memang sudah meyakinkanku untuk membalas perasaan Jagat secepatnya. Tetapi saat itu aku masih diselimuti keraguan karena Jagat kerap kali mendekati banyak perempuan lain. Hal itu tentu membuatku mempertanyakan kembali perasaan laki-laki itu.

Akan tetapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku akan menjadi orang yang bisa mengerti keadaannya. Maka aku akan mencoba untuk memahami alasan dibalik kedekatan Jagat dengan teman-teman perempuannya.

“*Pokoknya jangan sampe kalian malah awkward, oke?*”

Aku mengangguk walaupun di seberang sana Kesya tidak bisa melihat anggukan ku, “Oke sis. Udah dulu ya, gue mau nunggu Jagat nih.”

Siap, good luck cantikkk!” seru Kesya kemudian memutuskan panggilan kami.

Lantas aku keluar dari kamar dan menunggu Jagat di ruang tamu.

“Mbak, tolong buatin jus dong. Dua gelas ya, mbak!” seruku pada Mbak Caca, satu-satunya asisten rumah tangga di rumahku.

Mbak Caca menyahut, “Mau jeruk atau mangga, ka?”

Aku tidak begitu tau buah kesukaan Jagat. Maka aku minta Mbak Caca untuk membuat keduanya.

Sambil menunggu Jagat, aku iseng membaca ulang pesan di room chat kami. Aku terkikik setelah menyadari beberapa hari kebelakang ruang obrolan ini dihiasi emoticon dan gambar lucu yang Jagat kirim.

Usahanya untuk mendapat balasan dariku memang patut diacungi jempol, hahaha!

Tak terasa jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 15.45 yang berarti aku telah menunggu Jagat selama hampir satu jam.

Es batu di dalam gelas pun sudah berubah menjadi air dan ku tebak membuat rasa jusnya menjadi kurang manis.

Sebenarnya apa yang membuat laki-laki itu begitu lama? Biasanya dia hanya membutuhkan 30 menit untuk sampai ke rumahku.

Aku mencoba menghubungi Jagat, namun ia tidak menerima panggilanku.


Author's Pov

Do you hear me I’m talking to you Across the water across the deep blue ocean Under the open sky, oh my, baby i’m trying

Di panggilan ke tiga, tiba-tiba terdengar suara genjrengan gitar dari depan rumah Vallen. Gadis itu segera loncat dari duduknya dan berlari kecil ke luar karena ia tau suara gitar itu berasal dari petikan jari-jari Jagat.

Girl i hear you in my dreams I feel your whisper across the sea I keep you with me in my heart You make it easier when life gets hard

Vallen terperangah kala melihat laki-laki yang ia tunggu kini telah berdiri di sana dengan gitar yang tersampir di pundaknya. Senyumnya mengembang saat Jagat menyanyikan bagian selanjutnya dari lagu yang ia nyanyikan.

Lucky i’m in love with my best friend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh

Jagat berjalan mendekat ke arah perempuan yang senyumnya belum pudar itu sampai jarak keduanya tidak lebih dari tiga langkah.

They don’t know how long it takes Waiting for a love like this Every time we say goodbye I wish we had one more kiss I’ll wait for you i promise you, i will~

Suara petikan gitar terhenti berbarengan dengan bibir Jagat yang mengatup—tidak melanjutkan nyanyiannya.

Sing with me, please?” pinta Jagat.

Anggukan gadis di depannya membuat Jagat tersenyum sampai matanya ikut menyipit saking manis senyumannya.

Jari-jari lentiknya mulai kembali memetik senar gitar dan kemudian diikuti suara Vallen yang merdunya tidak seberapa itu.

Lucky i’m in love with my best friend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again Lucky we’re in love every way Lucky to have stayed where we have stayed Lucky to be coming home someday

Vallen memberikan tepuk tangan setelah mereka berhenti bernyanyi, masih dengan senyumnya yang mengembang ia memberikan pujian, “Nice!

Tangan Jagat terulur untuk mengacak pelan puncak kepala Vallen yang diterima dengan senang hati olehnya. Biasanya Vallen akan berdecak bahkan marah kalau Jagat melakukan itu, namun kali ini rasanya berbeda.

“Maaf lo jadi nunggu lama, ngambil gitar dulu ke kos Fajar.”

Vallen mengangguk mengerti, “It's okay, masuk dulu yuk? Mbak Caca udah bikin minuman di dalem,” ajaknya.

“Mau jeruk atau mangga?” tanya Vallen sebelum mempersilahkan Jagat mengambil gelas jus di meja.

“Mangga boleh tuh.”

Kemudian Vallen memberikan gelas berisi jus mangga untuk Jagat. “Yang jeruk buat gue.”

Salah satu yang Jagat suka dari Vallen, gadis berambut ikal ini seringkali mendahulukan kepentingan orang lain. Walaupun sikap ini tidak selalu baik, namun hal itu menjadi daya tarik tersendiri baginya.

Jus di tangan Jagat habis dalam satu tegukan. “Haus bang?” ledek Vallen.

“Tenggorokan saya kering, abis nyanyi buat cewek cantik.”

Cubitan kecil di perut Jagat membuatnya meringis. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah si cewek cantik yang ia maksud.

“Ayo ah cepetan!”

“Lah mau kemana?”

“Ya kemana aja? Emangnya lo kesini cuma buat nyanyi?”

“Lebih tepatnya buat nyanyi dan ketemu sama cewek cantik sih.”

“Jagat! Cringe banget, tau gak?!”

Jagat tertawa melihat protes perempuan yang paling anti gombal ini.

“Iya iyaa bercanda doang, yuk jalan-jalan. Kita buat pengumuman ke semua orang kalo hari ini kita udah resmi pacaran.”

“Kata siapa?”

“Apa?”

“Kata siapa kita udah pacaran?”

“Vallen... Come on lah...”

Melihat ekspresi merajuk laki-laki disebelahnya membuat Vallen tidak kuasa menahan gemas.

“Jangan gemes gemes ah, nanti makin cinta.” celetuk Vallen yang membuat Jagat menaikkan sebelah alisnya.

“Kacau banget nih cewek,” Jagat menyusul Vallen yang lebih dulu berlari ke luar, “Woy?? Tanggungjawab ini jantung gue jatuh ke lantai!”

Di luar Vallen telah berdiri di samping motor yang Jagat kendarai. “Tumben, kenapa bawa motor?”

Jagat menyunggingkan senyumnya sebelum menjawab, “Biar bisa dipeluk.”


Vallen's POV

I love you, let's date.

Bukan sekali dua kali orang itu mengungkapkan perasaannya dan mengajakku untuk menjalin hubungan lebih dari teman.

Namun bukan sekali dua kali juga aku menolak perasaannya.

But we are friends.

Begitu jawabanku setiap mendengar pernyataan cintanya.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk pertemanan kami. Aku telah berteman dengan laki-laki bernama Jagat itu sejak masih duduk di bangku SMA.

Tidak menutup kemungkinan bahwa selama lima tahun itu ada masa dimana aku tertarik dengannya dan ingin memiliki status selain 'teman'. Namun perasaan tersebut tidak berlangsung lama, karena rasaku padanya saat itu bukan perasaan cinta. Melainkan sebatas rasa nyaman dan tidak ingin kehilangan.

Berteman dengan Jagat adalah salah satu hal yang selalu aku syukuri karena ia merupakan tipe teman yang baik—setidaknya bagiku yang introvert ini.

Jagat selalu mencoba untuk memahami kondisi orang lain, bisa menjadi pendengar yang baik, juga mendukung apapun keputusan temannya.

Dan yang paling penting, Jagat selalu ada saat dibutuhkan.

Tidak peduli sedang apa dan dimana, kalau temannya sudah memanggil pasti Jagat akan mengusahakan untuk memenuhi panggilan itu.

Namun yang baru aku tau, dibalik ke-loyal-an seorang Jagat Adigdaya tenyata ada cerita masa lalu yang mungkin akan terdengar miris bagi sebagian orang.

Jagat selalu memahami kondisi orang lain karena orang lain tidak pernah memahami kondisinya.

Jagat selalu menjadi pendengar yang baik karena dirinya tidak pernah didengar oleh orang lain dengan baik.

Jagat selalu mendukung temannya karena teman-temannya tidak pernah memberikan dukungan untuknya.

Jagat tidak ingin orang lain merasakan apa yang pernah ia rasakan di masa lalu.

Setidaknya itulah kesimpulan yang aku ambil dari obrolan kami di tepi danau beberapa hari lalu.

Dan aku dengan pertimbanganku tentang berbagai kemungkinan memutuskan untuk menjadi orang yang Jagat butuhkan.

Yang memahami kondisinya, yang mendengarkan ceritanya, dan yang mendukungnya.

Dibantu sahabatku, Kesya. Kami telah bicara semalaman lewat telepon tentang keputusanku ini. Sejak awal Kesya memang sudah meyakinkanku untuk membalas perasaan Jagat secepatnya. Tetapi saat itu aku masih diselimuti keraguan karena Jagat kerap kali mendekati banyak perempuan lain. Hal itu tentu membuatku mempertanyakan kembali perasaan laki-laki itu.

Akan tetapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku akan menjadi orang yang bisa mengerti keadaannya. Maka aku akan mencoba untuk memahami alasan dibalik kedekatan Jagat dengan teman-teman perempuannya.

“*Pokoknya jangan sampe kalian malah awkward, oke?*”

Aku mengangguk walaupun di seberang sana Kesya tidak bisa melihat anggukan ku, “Oke sis. Udah dulu ya, gue mau nunggu Jagat nih.”

Siap, good luck cantikkk!” seru Kesya kemudian memutuskan panggilan kami.

Lantas aku keluar dari kamar dan menunggu Jagat di ruang tamu.

“Mbak, tolong buatin jus dong. Dua gelas ya, mbak!” seruku pada Mbak Caca, satu-satunya asisten rumah tangga di rumahku.

Mbak Caca menyahut, “Mau jeruk atau mangga, ka?”

Aku tidak begitu tau buah kesukaan Jagat. Maka aku minta Mbak Caca untuk membuat keduanya.

Sambil menunggu Jagat, aku iseng membaca ulang pesan di room chat kami. Aku terkikik setelah menyadari beberapa hari kebelakang ruang obrolan ini dihiasi emoticon dan gambar lucu yang Jagat kirim.

Usahanya untuk mendapat balasan dariku memang patut diacungi jempol, hahaha!

Tak terasa jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 15.45 yang berarti aku telah menunggu Jagat selama hampir satu jam.

Es batu di dalam gelas pun sudah berubah menjadi air dan ku tebak membuat rasa jusnya menjadi kurang manis.

Sebenarnya apa yang membuat laki-laki itu begitu lama? Biasanya dia hanya membutuhkan 30 menit untuk sampai ke rumahku.

Aku mencoba menghubungi Jagat, namun ia tidak menerima panggilanku.


Author's Pov

Do you hear me I’m talking to you Across the water across the deep blue ocean Under the open sky, oh my, baby i’m trying

Di panggilan ke tiga, tiba-tiba terdengar suara genjrengan gitar dari depan rumah Vallen. Gadis itu segera loncat dari duduknya dan berlari kecil ke luar karena ia tau suara gitar itu berasal dari petikan jari-jari Jagat.

Girl i hear you in my dreams I feel your whisper across the sea I keep you with me in my heart You make it easier when life gets hard

Vallen terperangah kala melihat laki-laki yang ia tunggu kini telah berdiri di sana dengan gitar yang tersampir di pundaknya. Senyumnya mengembang saat Jagat menyanyikan bagian selanjutnya dari lagu yang ia nyanyikan.

Lucky i’m in love with my best friend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh

Jagat berjalan mendekat ke arah perempuan yang senyumnya belum pudar itu sampai jarak keduanya tidak lebih dari tiga langkah.

They don’t know how long it takes Waiting for a love like this Every time we say goodbye I wish we had one more kiss I’ll wait for you i promise you, i will~

Suara petikan gitar terhenti berbarengan dengan bibir Jagat yang mengatup—tidak melanjutkan nyanyiannya.

Sing with me, please?” pinta Jagat.

Anggukan gadis di depannya membuat Jagat tersenyum sampai matanya ikut menyipit saking manis senyumannya.

Jari-jari lentiknya mulai kembali memetik senar gitar dan kemudian diikuti suara Vallen yang merdunya tidak seberapa itu.

Lucky i’m in love with my best friend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again Lucky we’re in love every way Lucky to have stayed where we have stayed Lucky to be coming home someday

Vallen memberikan tepuk tangan setelah mereka berhenti bernyanyi, masih dengan senyumnya yang mengembang ia memberikan pujian, “Nice!

Tangan Jagat terulur untuk mengacak pelan puncak kepala Vallen yang diterima dengan senang hati olehnya. Biasanya Vallen akan berdecak bahkan marah kalau Jagat melakukan itu, namun kali ini rasanya berbeda.

“Maaf lo jadi nunggu lama, ngambil gitar dulu ke kos Fajar.”

Vallen mengangguk mengerti, “It's okay, masuk dulu yuk? Mbak Caca udah bikin minuman di dalem,” ajaknya.

“Mau jeruk atau mangga?” tanya Vallen sebelum mempersilahkan Jagat mengambil gelas jus di meja.

“Mangga boleh tuh.”

Kemudian Vallen memberikan gelas berisi jus mangga untuk Jagat. “Yang jeruk buat gue.”

Salah satu yang Jagat suka dari Vallen, gadis berambut ikal ini seringkali mendahulukan kepentingan orang lain. Walaupun sikap ini tidak selalu baik, namun hal itu menjadi daya tarik tersendiri baginya.

Jus di tangan Jagat habis dalam satu tegukan. “Haus bang?” ledek Vallen.

“Tenggorokan saya kering, abis nyanyi buat cewek cantik.”

Cubitan kecil di perut Jagat membuatnya meringis. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah si cewek cantik yang ia maksud.

“Ayo ah cepetan!”

“Lah mau kemana?”

“Ya kemana aja? Emangnya lo kesini cuma buat nyanyi?”

“Lebih tepatnya buat nyanyi dan ketemu sama cewek cantik sih.”

“Jagat! Cringe banget, tau gak?!”

Jagat tertawa melihat protes perempuan yang paling anti gombal ini.

“Iya iyaa bercanda doang, yuk jalan-jalan. Kita buat pengumuman ke semua orang kalo hari ini kita udah resmi pacaran.”

“Kata siapa?”

“Apa?”

“Kata siapa kita udah pacaran?”

“Vallen... Come on lah...”

Melihat ekspresi merajuk laki-laki disebelahnya membuat Vallen tidak kuasa menahan gemas.

“Jangan gemes gemes ah, nanti makin cinta.” celetuk Vallen yang membuat Jagat menaikkan sebelah alisnya.

“Kacau banget nih cewek,” Jagat menyusul Vallen yang lebih dulu berlari ke luar, “Woy?? Tanggungjawab ini jantung gue jatuh ke lantai!”

Di luar Vallen telah berdiri di samping motor yang Jagat kendarai. “Tumben, kenapa bawa motor?”

Jagat menyunggingkan senyumnya sebelum menjawab, “Biar bisa dipeluk.”


Sore itu Vallen, Kesya, Nahar, dan Darrel telah berkumpul di kediaman Reihan sebagai tuan rumah. Sudah kebiasaan mereka untuk bertemu setidaknya satu bulan sekali. Kesibukan masing-masing dari mereka membuat keenam sahabat itu menjadi jarang berkumpul full team.

Tinggal menunggu Jagat, maka lengkaplah anggota geng-gam, nama circle pertemanan mereka.

Di kamar Reihan mereka mereka berbincang, mulai dari membicarakan hal-hal tentang perkuliahan sampai hal-hal yang tidak penting sekalipun.

“Itu kemaren si Jagat bikin ulah apa?”

Vallen menjawab pertanyaan Nahar, “Lo tau gak sih kalo dia bikin gue dijauhin sama cowok-cowok kampus?”

“Dijauhin gimana?” kali ini pertanyaan dari Reihan yang tadinya sedang asyik bercanda dengan Kesya.

Darrel yang sebelumnya sibuk dengan game di ponselnya juga ikut penasaran, dia menghentikan permainannya dan ikut mendengarkan curahan hati Vallen.

“Gue baru tau kemarin sih, Jagat ngomong ke tongkrongannya jangan ada yang deketin gue. Nggak tau motivasi dia apa nyuruh orang-orang buat kayak gitu.”

“Kok nggak tau sih? Itu kan karena dia cinta mati sama lo, Vallen. Makanya Jagat gak mau lo dideketin orang lain.” kata Darrel, si paling ahli dalam percintaan di geng mereka.

Reihan menimpali, “Cinta mati, gak tuh?!” katanya kemudian disambut tawa dari yang lain.

“Tapi dia emang cinta mati gak sih sama Vallen? Lo bayangin aja dari 2 tahun lalu dia confess sampe sekarang, masih aja tuh ngejar-ngejar Vallen.” kata Nahar serius.

“Kalo cinta mati harusnya fokus sama Vallen aja kali, bukan nempel sana-sini.” sarkas Kesya dan disetujui oleh yang lain.

“Mungkin Jagat kayak gitu juga karena Vallen yang gak ngasih kepastian?”

“Gak ngasih kepastian gimana sih, Rel? Gue tuh selalu say no kalo Jagat lagi flirting. Kurang jelas apa penolakan gue??”

“Lho, Nahar? Kok masih berdiri aja?”

Sontak keenam orang di dalam kamar itu menengok ke sumber suara. Saat pintu terbuka, ada mamanya Reihan dan Jagat di ambang pintu.

Jagat menatap temannya satu persatu, membuat mereka menghindari tatapannya yang tidak bersahabat itu.

Keadaan menjadi canggung kala Jagat sudah bergabung dengan mereka.

“Tante tinggal dulu ya, cemilan sama minumnya harus habis, kalau masih sisa kalian gak boleh main disini lagi!” gurau tante Rani kemudian pamit meninggalkan sekelompok anak muda tersebut.

Sorry telat, abis ngambil gitar di studio.”

Jagat sebisa mungkin memecah keheningan yang menyelimuti kamar Reihan, dirinya pura-pura tidak peduli dengan percakapan yang ia dengar sebelumnya.

“Siap, aman lah. Cepet play filmnya mumpung udah ngumpul semua!” seru Darrel yang secara tidak langsung membantu Jagat untuk mencairkan suasana.

Kesya mulai mencari serial Netflix di smart tv milik Reihan. Setelah menemukan film yang bagus barulah mereka menyamankan posisi untuk menonton.

Reihan dan Kesya duduk di karpet depan TV. Vallen, Nahar, dan Darrel menguasai tempat tidur Reihan. Sedangkan Jagat duduk di kursi belajar Reihan, di samping tempat tidur.

Seperti inilah rutinitas mereka kalau sedang berkumpul. Menonton film sambil sesekali berkomentar mengenai akting aktor maupun aktrisnya sampai berjam-jam. Kemudian dilanjut dengan makan-makan, lalu berisik lagi membicarakan obrolan tidak penting lainnya.

Selama film berlangsung, Jagat selalu melirik ke arah Vallen yang terlihat lebih diam dari biasanya. Entah kenapa.

Mengingat betapa galak dan penuh emosi pesan yang Vallen kirim kemarin, tadinya ia kira perempuan itu akan marah-marah dan mengomel padanya.

Pukul 15.45 film telah selesai. Mereka kembali duduk di karpet untuk melanjutkan agenda selanjutnya yaitu makan-makan.

Seperti biasa, keenam sahabat ini akan memesan makanan via online dan di makan bersama-sama.

Sambil menunggu pesanan mereka sampai, Darrel memainkan gitar yang dibawa Jagat, menyanyikan sebuah lagu yang kemudian diikuti oleh yang lain.

Alih-alih ikut bernyanyi dan meramaikan suasana, Jagat malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Merasa masih kesal dengan ulah teman-temannya yang bergosip tentang dirinya.

Jagat marah, namun kenyataan bahwa semua yang dibicarakan mereka adalah sebuah kebenaran membuat ia tidak bisa mengelak dan mencari pembelaan.

Laki-laki itu menyadari bahwa dirinya yang masih sering mendekati perempuan lain saat ia telah terang-terangan mengungkapkan perasaan pada Vallen menjadi penyebab utama perasaannya belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan.


“Pulang atau nggak nih?”

“Gue maunya pulang sama Nahar.”

“Mau ditigain bareng Darrel?”

“Kan Darrel bisa di mobil lo!”

“Tapi gue mau nya lo yang duduk disini, bukan Darrel.”

Vallen menatap Jagat dengan sinis. Walaupun biasanya memang seperti itu, kali ini lirikannya terlihat lebih tajam.

Gadis itu tidak menimpali omongan Jagat sebelumnya. Ia memasang seat belt yang berarti dirinya sudah tidak ingin berdebat lagi dan memilih pulang bersama Jagat.

Nahar dan Darrel sudah pergi sejak tadi, sedangkan Kesya sengaja tidak ingin pulang dulu karena masih ingin bercengkrama dengan tante Rani, mama dari pacarnya itu.

Selama di dalam mobil keduanya tidak terlibat percakapan lagi sampai Jagat mengubah rute perjalanan mereka.

“Kok belok?”

Jagat tidak menjawab, membuat Vallen menegakkan duduknya. “Mau kemana?”

“Duduk aja sih, gak bakal gue bawa ke jurang kok!”

Vallen tidak melepaskan tatapannya dari Jagat yang tengah fokus ke jalan hingga mobil yang ia tumpangi berhenti di parkiran taman.

Sore itu taman nampak ramai karena hari ini adalah hari libur, membuat banyak orang mengunjungi taman ini.

Banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya menambah keramaian suasana taman yang jaraknya cukup jauh dari rumah Vallen.

Jagat berjalan mencari area taman yang cukup sepi diikuti Vallen yang terus mengoceh.

“Mau ngapain sih kesini?” “Jagat!” “Ih, Jagat?? Gue mau pulang tau!” “Bisa pelan-pelan gak sih jalannya??!”

Laki-laki jangkung itu menghentikan langkahnya, ia menunggu Vallen yang ternyata tertinggal jauh di belakangnya.

Jagat meraih tangan Vallen untuk ia genggam lalu berkata, “Biar gak ketinggalan lagi.”

Vallen tidak menolak, keduanya berjalan beriringan karena Jagat menyesuaikan langkahnya dengan kaki Vallen yang tidak terlalu panjang itu.

Mereka sampai di tepi danau yang pengunjungnya tidak terlalu ramai, di bawah pohon rindang keduanya menggelar karpet yang disewakan dengan harga Rp 25.000/jam.

Jagat melepas jaketnya untuk kemudian ia sampirkan di bahu Vallen karena angin sore itu bertiup cukup kencang.

Untuk beberapa saat tidak ada percakapan antara keduanya. Hanya menonton orang-orang yang sedang naik perahu bebek.

“Mau naik itu gak?”

Vallen menghela napasnya kasar, “Udah deh mendingan lo to the point, ngapain ngajak gue kesini?”

“Apa sih yang bikin lo susah banget buka hati buat gue?” tanya Jagat, to the point sesuai permintaan Vallen.

Perempuan berambut panjang itu memiringkan posisi duduknya. “Kita temenan, Jagat. Gue nggak mau merusak hubungan pertemanan kita. Lo tau kan, gimana gue sama Evan sekarang? Kita dulunya bucin, tapi sekarang jadi kayak orang asing yang gak pernah saling kenal. Gue nggak mau ngerasain itu buat kedua kalinya, apalagi sama lo.” ujarnya panjang lebar.

Tidak perlu waktu lama untuk Jagat mengambil kesimpulannya, “Jadi karena lo nggak mau kehilangan gue?”

“Bisa dibilang begitu.”

Let's not break up then

Tawa Vallen lepas kala Jagat mengucapkan kalimat itu. “Lo kira Evan nggak pernah ngomong kayak gitu?”

“Evan, Evan, Evan! Bisa nggak sih lo melihat gue sebagai diri gue sendiri?? Nggak semua cowok sebajingan mantan lo, Vallen.”

Vallen sempat tertegun mendengar keluhan Jagat. Ia sadar betul apa yang dikatakannya itu memang benar.

“Sekarang gue tanya balik, apa yang bikin lo jatuh ke gue?”

“Karena gue nggak mau kehilangan lo. Gue mau punya alasan buat selalu ada di samping lo. Sekadar jadi temen itu bukan alasan yang cukup, Len. Lo mau tau kenapa gue gak pengen ada cowok lain yang deketin lo? Ya karena itu.”

“Terus kenapa lo harus deket sama banyak cewek? Seolah-olah gue cuma dijadiin opsi.”

Suasananya kini nampak tegang. Jagat dan Vallen terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar, membuat beberapa pasang mata menfokuskan perhatiannya pada mereka.

Ada jeda waktu sebelum Jagat kembali membuka suaranya. Ia mengusap wajahnya kasar. “Mereka nggak lebih dari temen cerita gue,” lirihnya. “Gue butuh orang buat dengerin masalah gue, dan mereka sukarela jadi pendengar saat gue butuh didengar.”

Vallen mendelik heran, “Lo nggak se-friendlessness itu, Jagat. Lo punya banyak temen buat jadi tempat lo cerita. Termasuk gue.” Jagat tersenyum getir mendengarnya.

“Terus setelah gue cerita, temen-temen gue itu bakal merubah cara pandang mereka ke gue. Gitu kan?”

“Maksudnya?”

“Dulu gue selalu over sharing sama semua orang yang gue kenal. Tapi itu bikin mereka ngejauhin gue, katanya gue ini problematik dan banyak masalah. Terus lo mau gue mengulang hal yang sama ke kalian? Termasuk ke lo?” Jagat menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, “Gue nggak mau dianggap lemah. Makanya gue selalu cari orang baru buat dengerin cerita gue.”

Di antara temannya yang lain, memang hanya Jagat yang jarang bahkan hampir tidak pernah mencurahkan isi hatinya. Yang Vallen tau, laki-laki di sebelahnya ini tidak pernah berbagi keluh kesah pada orang lain.

Kini Jagat menatap Vallen yang hanya diam, “Pasti sekarang lo juga udah mulai ilfeel, iya kan?”

Vallen mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air yang sudah terbendung di pelupuk matanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jagat, Vallen justru menarik tubuh Jagat yang lebih besar darinya untuk ia peluk.

Vallen tidak tau kalau selama ini sahabatnya itu kesepian dan membutuhkan seseorang untuk diajak bercerita tanpa mengubah cara pandang orang itu padanya.

“Otak lo jelek banget sih mikirnya! Lo bilang nggak semua cowok sebajingan Evan, berarti nggak semua orang juga sejahat temen lama lo itu!”

Antara ingin menangis dan tertawa, Vallen bisa merasakan bahu Jagat yang bergetar karena menahan keduanya.

Setelah beberapa tepukan dari tangan Vallen mendarat di punggung lebar Jagat, pelukannya merenggang karena Jagat melepas pelukannya.

Lalu keduanya mulai tertawa setelah menyadari betapa cringenya mereka tadi.

Orang-orang di sekitar yang memerhatikan keduanya juga ikut tersenyum melihat keduanya yang telah berbaikan.

“Berarti sekarang lo udah bisa jadi pacar gue?”

Tawa Vallen terhenti, “Bisa.”

“Serius??”

“Bisa gue lempar lo ke danau!”


Siang itu Vallen, Kesya, Nahar, dan Darrel telah berkumpul di kediaman Reihan sebagai tuan rumah. Sudah kebiasaan mereka untuk bertemu setidaknya satu bulan sekali. Kesibukan masing-masing dari mereka membuat keenam sahabat itu menjadi jarang berkumpul full team.

Tinggal menunggu Jagat, maka lengkaplah anggota geng-gam, nama circle pertemanan mereka.

Di kamar Reihan mereka mereka berbincang, mulai dari membicarakan hal-hal tentang perkuliahan sampai hal-hal yang tidak penting sekalipun.

“Itu kemaren si Jagat bikin ulah apa?”

Vallen menjawab pertanyaan Nahar, “Lo tau gak sih kalo dia bikin gue dijauhin sama cowok-cowok kampus?”

“Dijauhin gimana?” kali ini pertanyaan dari Reihan yang tadinya sedang asyik bercanda dengan Kesya.

Darrel yang sebelumnya sibuk dengan game di ponselnya juga ikut penasaran, dia menghentikan permainannya dan ikut mendengarkan curahan hati Vallen.

“Gue baru tau kemarin sih, Jagat ngomong ke tongkrongannya jangan ada yang deketin gue. Nggak tau motivasi dia apa nyuruh orang-orang buat kayak gitu.”

“Kok nggak tau sih? Itu kan karena dia cinta mati sama lo, Vallen. Makanya Jagat gak mau lo dideketin orang lain.” kata Darrel, si paling ahli dalam percintaan di geng mereka.

Reihan menimpali, “Cinta mati, gak tuh?!” katanya kemudian disambut tawa dari yang lain.

“Tapi dia emang cinta mati gak sih sama Vallen? Lo bayangin aja dari 2 tahun lalu dia confess sampe sekarang, masih aja tuh ngejar-ngejar Vallen.” kata Nahar serius.

“Kalo cinta mati harusnya fokus sama Vallen aja kali, bukan nempel sana-sini.” sarkas Kesya dan disetujui oleh yang lain.

“Mungkin Jagat kayak gitu juga karena Vallen yang gak ngasih kepastian?”

“Gak ngasih kepastian gimana sih, Rel? Gue tuh selalu say no kalo Jagat lagi flirting. Kurang jelas apa penolakan gue??”

“Lho, Nahar? Kok masih berdiri aja?”

Sontak keenam orang di dalam kamar itu menengok ke sumber suara. Saat pintu terbuka, ada mamanya Reihan dan Jagat di ambang pintu.

Jagat menatap temannya satu persatu, membuat mereka menghindari tatapannya yang tidak bersahabat itu.

Keadaan menjadi canggung kala Jagat sudah bergabung dengan mereka.

“Tante tinggal dulu ya, cemilan sama minumnya harus habis, kalau masih sisa kalian gak boleh main disini lagi!” gurau tante Rani kemudian pamit meninggalkan sekelompok anak muda tersebut.

Sorry telat, abis ngambil gitar di studio.”

Jagat sebisa mungkin memecah keheningan yang menyelimuti kamar Reihan, dirinya pura-pura tidak peduli dengan percakapan yang ia dengar sebelumnya.

“Siap, aman lah. Cepet play filmnya mumpung udah ngumpul semua!” seru Darrel yang secara tidak langsung membantu Jagat untuk mencairkan suasana.

Kesya mulai mencari serial Netflix di smart tv milik Reihan. Setelah menemukan film yang bagus barulah mereka menyamankan posisi untuk menonton.

Reihan dan Kesya duduk di bawah dan menyender di tempat tidur yang ada Vallen, Nahar, dan Darrel di atasnya. Sedangkan Jagat duduk di kursi belajar Reihan, di samping tempat tidur.

Seperti inilah rutinitas mereka kalau sedang berkumpul. Menonton film sambil sesekali berkomentar mengenai akting aktor maupun aktrisnya sampai berjam-jam. Kemudian dilanjut dengan makan-makan, lalu berisik lagi membicarakan obrolan tidak penting lainnya.

Selama film berlangsung, Jagat selalu melirik ke arah Vallen yang terlihat lebih diam dari biasanya. Entah kenapa.

Mengingat betapa galak dan penuh emosi pesan yang Vallen kirim kemarin, tadinya ia kira perempuan itu akan marah-marah dan mengomel padanya.

Pukul 15.45 film telah selesai. Mereka kembali duduk di karpet untuk melanjutkan agenda selanjutnya yaitu makan-makan.

Seperti biasa, keenam sahabat ini akan memesan makanan via online dan di makan bersama-sama.

Sambil menunggu pesanan mereka sampai, Darrel memainkan gitar yang dibawa Jagat, menyanyikan sebuah lagu yang kemudian diikuti oleh yang lain.

Alih-alih ikut bernyanyi dan meramaikan suasana, Jagat malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Merasa masih kesal dengan ulah teman-temannya yang bergosip tentang dirinya.

Jagat marah, namun kenyataan bahwa semua yang dibicarakan mereka adalah sebuah kebenaran membuat ia tidak bisa mengelak dan mencari pembelaan.

Laki-laki itu menyadari bahwa dirinya yang masih sering mendekati perempuan lain saat ia telah terang-terangan mengungkapkan perasaan pada Vallen menjadi penyebab utama perasaannya belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan.


“Pulang atau nggak nih?”

“Gue maunya pulang sama Nahar.”

“Mau ditigain bareng Darrel?”

“Kan Darrel bisa di mobil lo!”

“Tapi gue mau nya lo yang duduk disini, bukan Darrel.”

Vallen menatap Jagat dengan sinis. Walaupun biasanya memang seperti itu, kali ini lirikannya terlihat lebih tajam.

Gadis itu tidak menimpali omongan Jagat. Ia memasang seat belt yang berarti dirinya sudah tidak ingin berdebat lagi dan memilih pulang bersama Jagat.

Nahar dan Darrel sudah pergi sejak tadi, sedangkan Kesya sengaja tidak ingin pulang dulu karena masih ingin bercengkrama dengan tante Rani, mama dari pacarnya itu.

Selama di dalam mobil keduanya tidak terlibat percakapan lagi sampai Jagat mengubah rute perjalanan mereka.

“Kok belok?”

Jagat tidak menjawab, membuat Vallen menegakkan duduknya. “Mau kemana?”

“Duduk aja sih, lagian gak bakal gue bawa ke jurang kok!”

Vallen tidak melepaskan tatapannya dari Jagat yang tengah fokus ke jalan hingga mobil yang ia tumpangi berhenti di parkiran taman.

Sore itu taman nampak ramai karena hari ini adalah hari libur, membuat banyak orang mengunjungi taman ini.

Banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya menambah keramaian suasana taman yang jaraknya cukup jauh dari rumah Vallen.

Jagat berjalan mencari area taman yang cukup sepi diikuti Vallen yang terus mengoceh.

“Mau ngapain sih kesini?” “Jagat!” “Ih, Jagat?? Gue mau pulang tau!” “Bisa pelan-pelan gak sih jalannya??!”

Laki-laki jangkung itu menghentikan langkahnya, ia menunggu Vallen yang ternyata tertinggal jauh di belakangnya.

Jagat meraih tangan Vallen untuk ia genggam lalu berkata, “Biar nggak ketinggalan lagi.”

Vallen tidak menolak, keduanya berjalan beriringan karena Jagat menyesuaikan langkahnya dengan Vallen.

Mereka sampai di tepi danau yang pengunjungnya tidak terlalu ramai, di bawah pohon rindang keduanya menggelar karpet yang disewakan dengan harga Rp 25.000/jam.

Jagat melepas jaketnya kemudian ia sampirkan di bahu Vallen karena angin sore itu bertiup cukup kencang.

Untuk beberapa saat tidak ada percakapan antara keduanya. Hanya menonton orang-orang yang sedang naik perahu bebek.

“Mau naik itu gak?”

Vallen menghela napasnya kasar, “Udah deh mendingan lo to the point, ngapain ngajak gue kesini?”

“Apa sih yang bikin lo susah banget buka hati buat gue?” tanya Jagat, to the point sesuai permintaan Vallen.

Perempuan berambut panjang itu memiringkan posisi duduknya. “Kita temenan, Jagat. Gue nggak mau merusak hubungan pertemanan kita. Lo tau kan, gimana gue sama Evan sekarang? Kita dulunya bucin, tapi sekarang jadi kayak orang asing yang gak pernah saling kenal. Gue nggak mau ngerasain itu buat kedua kalinya, apalagi sama lo.” ujarnya panjang lebar.

Tidak perlu waktu lama untuk Jagat mengambil kesimpulan, “Jadi karena lo nggak mau kehilangan gue?”

“Bisa dibilang begitu.”

Let's not break up then

Tawa Vallen lepas kala Jagat mengucapkan kalimat itu. “Lo kira Evan nggak pernah ngomong kayak gitu?”

“Evan, Evan, Evan! Bisa nggak sih lo melihat gue sebagai diri gue sendiri?? Nggak semua cowok sebajingan mantan lo, Vallen.”

Vallen sempat tertegun mendengar keluhan Jagat. “Sekarang gue tanya balik, apa yang bikin lo mau gue buka hati?”

“Karena gue nggak mau kehilangan lo. Gue mau punya alasan buat selalu ada di samping lo. Sekadar jadi temen itu bukan alasan yang cukup, Len. Lo mau tau kenapa gue gak pengen ada cowok lain yang deketin lo? Ya karena itu.”

“Terus kenapa lo harus deket sama banyak cewek? Seolah-olah gue cuma dijadiin opsi.”

Suasananya kini nampak tegang. Jagat dan Vallen terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar, membuat beberapa pasang mata memfokuskan perhatiannya pada mereka.

Ada jeda waktu sebelum Jagat kembali membuka suaranya. Ia mengusap wajahnya kasar. “Cewek-cewek itu nggak lebih dari temen cerita gue,” lirihnya. “Gue butuh orang buat dengerin masalah gue, dan mereka sukarela jadi pendengar saat gue butuh didengar.”

Vallen mendelik heran, “Lo nggak se-friendlessness itu, Jagat. Lo punya banyak temen buat jadi tempat lo cerita. Termasuk gue.”

Jagat tersenyum getir mendengarnya.

“Terus setelah gue cerita, temen-temen gue itu bakal merubah cara pandang mereka ke gue. Gitu kan?” tukasnya dengan menekankan kata teman-teman.

“Maksudnya?”

“Dulu gue selalu over sharing sama semua orang yang gue kenal. Tapi itu bikin mereka ngejauhin gue, katanya gue ini problematik dan banyak masalah. Terus lo mau gue mengulang hal yang sama ke kalian? Termasuk ke lo?” Jagat menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, “Gue nggak mau dianggap lemah. Makanya gue selalu cari orang baru buat dengerin cerita gue.”

Di antara temannya yang lain, memang hanya Jagat yang jarang bahkan hampir tidak pernah mencurahkan isi hatinya. Yang Vallen tau, sejauh ini laki-laki di sebelahnya tidak pernah berbagi keluh kesah pada orang lain.

Kini Jagat menatap Vallen yang hanya diam, “Pasti sekarang lo juga udah mulai ilfeel, iya kan?”

Vallen mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air yang sudah terbendung di pelupuk matanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jagat, Vallen justru menarik tubuh Jagat yang lebih besar darinya untuk ia peluk.

Vallen tidak tau kalau selama ini sahabatnya itu kesepian dan membutuhkan seseorang untuk diajak bercerita tanpa mengubah cara pandang orang itu padanya.

“Otak lo jelek banget sih mikirnya! Lo bilang nggak semua cowok sebajingan Evan, berarti nggak semua orang juga sejahat temen lama lo itu!” ucap Vallen dengan suara bergetar.

Antara ingin menangis dan tertawa, Vallen bisa merasakan bahu Jagat yang bergetar karena menahan keduanya.

Setelah beberapa tepukan dari tangan Vallen mendarat di punggung lebar Jagat, pelukannya merenggang karena Jagat menarik dirinya.

Lalu keduanya mulai tertawa setelah menyadari betapa cringenya mereka tadi.

Orang-orang di sekitar yang memerhatikan keduanya juga ikut tersenyum melihat keduanya yang telah berbaikan.

“Berarti sekarang lo udah bisa jadi pacar gue?”

Tawa Vallen terhenti, “Bisa.”

“Serius??”

“Bisa gue lempar lo ke danau!”


“Duh, nyusahin aja deh.”

Walaupun menggerutu, perempuan yang sudah memakai piyama itu tetap menghawatirkan keadaan sahabatnya.

Setelah dikirimi titik lokasi oleh Fajar, dirinya langsung mengambil hoodie dan memesan taksi online.

Berbagai kemungkinan jelek mulai menggerayangi pikiran Vallen. Ia tidak tau masalah apa yang tengah Jagat hadapi sampai dirinya harus berurusan dengan alkohol.

Jagat dan alkohol memang bukan hal yang baru, laki-laki itu bukan baru berkenalan dengan minuman yang memabukkan tersebut.

Namun yang Vallen tau, Jagat tidak bisa mengontrol dirinya begitu sudah di bawah pengaruh alkohol.

Oleh karena itu Vallen bertanya-tanya kekacauan apa saja yang sudah Jagat lakukan di sana.

Sesampainya di lokasi, Fajar telah menunggu di depan club yang ramai itu, sehingga dirinya tidak perlu repot-repot masuk ke dalam untuk menemuinya.

Fajar berseru saat Vallen keluar dari taksi, “Akhirnya dateng juga guardian angel si Jagat!”

Vallen hanya menggeleng lalu ikut berjongkok di depan Jagat yang menundukkan kepalanya.

“Dia di dalem teriak-teriak, makanya gue bawa keluar. Dia juga udah 3 kali muntahin baju gue.” ujar Fajar tanpa diminta.

“Terus mau diapain manusia satu ini?”

“Kita bawa dia ke apart, tapi gue ngikutin di belakang aja naik motor. Nanti lo pulangnya gue anter, biar gue yang nemenin Jagat di apart-nya.”

“Gapapa lo bolak-balik gitu?”

“Jagat yang nyuruh.”

Setelahnya Fajar membopong tubuh Jagat masuk ke dalam taksi diikuti Vallen di belakangnya.

Rrrr, dingin.” bisik Jagat yang langsung menyenderkan kepalanya ke bahu Vallen.

Laki-laki yang wajahnya telah memerah itu mengeratkan jaketnya dan semakin mendekatkan tubuhnya membuat Vallen harus menahan napas karena bau alkohol yang menguar. “Abis ini lo kena sama gue, Jagat!” batinnya.

Laki-laki pemilik nama belakang Adigdaya itu menjadi lebih manja seperti anak kecil. Sedikit lucu namun Vallen lebih ingin memukul kepalanya karena demi apapun itu sangat menjengkelkan baginya.

Sama seperti sekarang, tangan kirinya mengalung di leher Fajar yang membantunya berjalan. Namun tangan kanannya tetap tidak melepaskan genggaman tangan Vallen.

Ketiganya masuk setelah Vallen menekan pin pada smart lock unit apartemen milik Jagat lalu membaringkan tubuh berotot laki-laki itu di atas tempat tidurnya.

“Gue mau ganti baju, lo temenin dia sebentar ya.” kata Fajar yang dibalas anggukan oleh Vallen.

Dirinya menatap Jagat yang terlelap, nampak damai dengan matanya yang terpejam tenang.

Saat Vallen ingin menyelimuti Jagat, tiba-tiba satu panggilan masuk ke ponselnya.

Pukul 22.00 dan panggilan dari papa.

Baru ingin beranjak untuk menerima panggilan, tangannya ditahan oleh tangan dingin Jagat.

“Vallen, i love you, but you're not mine.

Vallen bergeming kala kalimat itu menyapa telinganya sampai nada dering di ponselnya berhenti berdering.

“Dia itu naksir berat sama lo. Kalian berdua kenapa gak pacaran aja sih?” tanya Fajar yang baru keluar dari kamar mandi.

Vallen lantas menghempaskan tangan Jagat. “Yang naksir berat kan Jagat doang, gue nggak.”

Setelah itu Fajar langsung mengantar Vallen pulang, sesuai amanah Jagat.

Tanpa mereka sadari, sebenarnya Jagat tidak benar-benar terlelap dan mendengar percakapan keduanya.

Shit!


Stttt!” Jagat menempelkan jarinya ke bibir Vallen, membuat gadis itu refleks berhenti bicara. “Ngomel-ngomelnya nanti aja, obatin dulu nih luka gue.” katanya, kesal dengan Vallen yang langsung berceramah saat baru masuk mobil.

Vallen mendecak, “Abisnya tingkah lo mancing emosi gue banget, anjing!” pekiknya.

“Kalo si Cakranjing nggak nyari masalah juga gue gak bakal ribut.” lirih Jagat, mencari pembelaan.

Gadis di sampingnya hanya mendelik kemudian meminta kotak P3K dan segera mengobati luka-luka di wajah Jagat.

Darah di sudut bibir laki-laki itu sudah agak mengering, begitu juga dengan luka cakar di pelipisnya.

Vallen menuangkan beberapa tetes obat merah ke kapas untuk ditepuk-tepukan ke area wajah Jagat yang terluka secara perlahan, takut membuat lukanya makin terasa sakit.

Baru menempelkan kapas, Jagat sudah menggerutu di depan wajah Vallen, “Pelan-pelan dong, perih, anjing!”

“Ini udah pelan, cupu banget sih lo!”

“JANGAN GITUUU, VALLEN! SAKIT WOY!” kali ini dibarengi dengan pukulan pelan di tangan Vallen yang tengah mengobati lukanya.

“Bacot banget, anjing! Obatin sendiri aja lah!”

Jagat bergeming kala Vallen menarik tangannya, “Mau gue obatin gak sih?” tanyanya sedikit meninggikan nada suaranya.

Yang ditanya hanya mengangguk sambil memasang ekspresi takut. Sahabatnya itu memang menakutkan kalau sengaja dibuat marah.

“Diem.” Vallen menggulung lengan jaketnya, sedikit memajukan tubuhnya agar lebih mudah meraih wajah Jagat. Tangan kirinya ia letakkan di kepala Jagat agar tidak bergerak ke kanan-kiri, lalu tangan kanannya kembali mengobati luka di sudut bibir dan pelipis laki-laki itu.

Jagat meringis ketika cairan merah itu menyapa lukanya, namun ia tidak berani bersuara lagi. Takut akan disemprot cercaan dari mulut Vallen lagi.

Mata Vallen yang tengah fokus ke luka Jagat membuatnya tidak menyadari tatapan dalam yang laki-laki itu layangkan.

Jarak keduanya begitu dekat, memudahkan Jagat memandangi paras tegas perempuan di depannya. “Lo nggak pernah cuci muka ya, nyet?”

Kini Vallen telah selesai dengan obat merah dan kapas, langkah selanjutnya yang harus ia lakukan adalah menempelkan plester ke luka cakar di pelipis Jagat.

“Kenapa? Komuk gue udah kumel?”

Jagat menggeleng, “Cantiknya gak pernah luntur dari dulu.”

Mendengar itu Vallen sengaja menempelkan plesternya dengan kasar. “Jelek banget gombalan lo!” cibirnya.

Jagat tau bualan seperti itu tidak mempan untuk meruntuhkan tembok di hatinya. Vallen bukan tipe perempuan yang mudah luluh dengan rayuan murahan seperti yang ia lontarkan barusan.

Ia terkekeh kemudian menepuk-nepuk puncak kepala Vallen dan sedikit mengacak rambutnya yang tidak diikat itu. “Thank you, bestie!

“Ini luka kedua yang lo dapet dari nonjokin cowok yang jahat sama gue.” lirih Vallen sembari memasukan isi kotak P3K itu ke tempatnya semula.

“Nanti bakal ada luka yang ketiga, keempat dan seterusnya. Jangan kapok obatin luka gue, oke?”

Vallen tidak menjawab, ia hanya mengangguk-angguk dengan tangan terlipat di depan dada.

“Eh, tapi jangan sampe ada luka lagi sih. Soalnya gue gak bakal biarin siapapun nyakitin lo.” ujar Jagat yang langsung dihadiahi gelak tawa dari lawan bicaranya.

“Hahaha! Bisa-bisa.. Bisa gue tampol, ya, lo sekali lagi gombalin gue!

“Yehh dikasih taunya ngelunjak nih cewek satu!”

Vallen meledek dengan menirukan kalimat itu namun mengubah huruf vokalnya menjadi huruf i.

“Kamprettt!”

“Udah deh, jangan ngomul! Gue numpang merem sebentar ya, 10 menit lagi bangunin.”

Saat ingin memejamkan matanya, Jagat memberikan penutup mata yang masih dibungkus plastik pada Vallen.

“Gue beli, khusus buat lo. Bukan bekas dipake orang lain.”

Vallen menyipitkan matanya curiga, “Ada udang di balik batu gak, nih?”

“Aduh!” Jagat memasangkan penutup mata berbentuk mata koala yang terpejam itu dengan paksa. “Curigaan mulu, cepet tua lo nanti!”

“Ihh, Jagat!”

Walaupun terlibat adu mulut, pada akhirnya Vallen tetap menerima penutup mata tersebut dan ingin segera mengistirahatkan matanya.

Jagat sengaja membeli penutup mata berwarna coklat itu karena sebelumnya Vallen menolak memakai penutup mata yang sama dengan yang biasa dipakai oleh perempuan lain saat tidur di mobilnya.

Melihat Vallen yang sepertinya sudah terlelap, Jagat lantas ikut menyandarkan punggungnya.

Pikirannya kembali mengingat kejadian siang tadi ketika ia menemui Cakra. Dirinya langsung mendaratkan bogem mentah saat melihat laki-laki itu sedang seru bermain basket.

Berani-beraninya cowok brengsek itu memilih perempuan yang ia suka menjadi bahan taruhan.

“Jangan cari cowok lain, Len. Gue disini.” gumamnya yang ia pikir tidak akan didengar Vallen.

Tanpa sepengetahuannya, Vallen menghela napas panjang kala kalimat tersebut terdengar olehnya.