This is not the end
“Kamu ada masalah apa sih, Len?”
“Baru kali ini kamu sampe ngerokok.”
“Berat banget emang masalah hidup kamu?”
Vallen yang baru masuk mobil mengernyit kala laki-laki yang duduk di kursi kemudi langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang tidak bisa langsung ia jawab.
“Kenapa diem aja? Aku nanya tadi, jawab lah,” desak Jagat karena pertanyaannya belum dijawab.
Bingung harus menjawab bagaimana, Vallen menghindari tatapan Jagat yang tengah memandangnya tajam.
“Jawab, Vallen.” Gadis yang belakangan ini seringkali menangis diam-diam itu tersentak saat tangannya digenggam kencang oleh kekasihnya.
“Kamu gak berhak tau masalah aku!”
Jagat menautkan kedua alisnya mendengar jawaban yang dilontarkan dengan nada sinis itu. “Lagi-lagi tentang ini,” batinnya.
Vallen menarik tangannya paksa. “Lagian mau aku ngerokok atau nggak, itu bukan urusan kamu. Kamu nggak dirugikan karena itu, Gat!” pekiknya.
Jagat menegakkan tubuhnya. “Oke aku nggak masalahin itu. Terserah mau kamu ngerokok, vape, atau minum-minum pun terserah kamu.” Ia mengusap wajahnya gusar sebelum melanjutkan ucapannya, “Tapi yang jadi pertanyaan aku, kenapa sih harus jadiin itu sebagai pelampiasan dari masalah kamu? Kan ada aku, gunanya kita pacaran apa kalau nggak saling support dan jadi tempat cerita?? Kamu sendiri yang larang aku buat jangan lari ke alkohol, kamu sendiri nyuruh aku buat jadiin kamu tempat keluh kesah aku. Tapi kenapa kamu nggak menerapkan itu di diri kamu juga?”
Tidak sanggup merespon perkataan Jagat yang penuh emosi, Vallen hanya bisa menunduk dan tak mampu menatap lawan bicaranya.
Tangan Jagat kembali terulur untuk mengusap tangan Vallen yang terasa dingin. “Aku juga mau berguna buat kamu,” sambungnya dengan suara yang terdengar kecewa.
Akhirnya dengan persentase keberanian yang tidak seberapa, Vallen menatap Jagat yang tidak melepaskan pandangannya sedikitpun.
Sebelum gadis itu memberikan pembelaan diri, Jagat kembali menodongnya dengan pertanyaan, “Boleh tau kenapa kamu mau pacaran sama aku?”
Sejujurnya, dalam lubuk hatinya Jagat berharap Vallen tidak menjawab dengan alasan kasihan. Perempuan cantik ini memang tidak memberi tahu alasan kenapa ia menerima pernyataan cintanya. Itu menjadikan ia takut mengalami hal serupa seperti yang dialami temannya, Reihan dan Kesya.
Jagat benci kalau harus mengetahui fakta bahwa Vallen sama saja dengan Reihan, menerima ajakan berkencan orang lain karena kasihan.
“Waktu itu kamu bilang kalau kamu butuh seseorang yang bisa ngertiin kamu, iya kan?”
Jagat mengangguk, menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut gadis itu.
“Aku buka hati aku untuk kamu karena aku mau jadi seseorang itu. Aku mau jadi orang yang kamu butuhin, yang kamu cari keberadaannya kalau kamu lagi butuh dingertiin sama orang lain.”
Kali ini Jagat dibuat bingung oleh jawaban Vallen. Dirinya mengalihkan pandangannya ke luar mobil, ke area parkiran yang mulai ramai.
Suasana di dalam mobil sempat hening beberapa saat sampai terdengar helaan napas panjang dari Jagat. “Jadi aku doang yang boleh butuh kamu? Kamu gak boleh butuh aku, gitu?”
Mendadak pikiran Vallen ngeblank, tidak tau harus memberi respon apa lagi. Karena kenyataannya, apa yang diucapkan Jagat itu sepenuhnya benar.
Vallen merasa selama ini telah cukup sering bergantung pada laki-laki itu. Perubahan status mereka dari yang awalnya berteman menjadi berkencan ini tidak memberikan dampak yang begitu berarti baginya.
“Bener kayak gitu, Len?” tanya Jagat sembari melirik sekilas.
Perempuan itu tidak tau harus mengeluarkan kata-kata seperti apa untuk menjelaskan isi hatinya. Lidahnya begitu kelu, tak mampu mengucapkan sepatah katapun karena takut salah bicara.
“Kalau emang kayak gitu, mending putus aja lah. Pacaran atau nggak juga akunya nggak dianggep pacar sama kamu.”
Vallen menoleh cepat kala kalimat itu menyapa telinganya. Putus? Apa itu solusi yang tepat untuk hubungan mereka?
Jagat masih memfokuskan perhatiannya ke arah luar. “Dari awal kamu udah maksain hubungan kita, iya kan? Mungkin kamu nggak merasa, tapi aku peka banget sama kamu, Len. Hal sekecil panggilan aku-kamu aja sering dilupain sama kamu,” ujarnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah sang gadis.
Kali ini Jagat kembali memandang Vallen. “Kita putus aja, ya? Daripada kamu cape sendiri jalanin hubungan ini.” Dengan suara lembut Jagat menyampaikan apa yang ia maksud.
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Vallen, ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar sebab menahan tangis.
“Sekarang aku anter ke apart, kamu boleh tinggal di sana dulu. Biar aku nanti numpang ke kos Fajar.”
“Nggak usah. Aku udah dapet kosan deket kampus. Nanti malem aku pindah,” ucap Vallen dengan nada datar tanpa menatap Jagat.
Merasa tidak perlu lagi mengorek informasi lebih jauh, Jagat hanya mengangguk lalu melajukan kendaraan roda empat itu menuju apartmentnya.
Walaupun Vallen tidak mengiyakan pertanyaan terakhirnya, kesimpulan yang Jagat tarik dari percakapan mereka adalah hubungan keduanya telah berakhir.
Dan tanpa keduanya ketahui, masing-masing dari mereka kini berharap masih bisa bersama sebagai teman. Karena yang berakhir hanyalah hubungan percintaannya, bukan ceritanya.