Their first time


Pemandangan kota Jakarta terlihat lebih indah kala ragaku berada di atas ketinggian, di dalam kotak bianglala dimana terdapat dua jiwa yang sedang kasmaran.

Aku tidak henti mengambil gambar langit, gedung, dan potret seorang pria yang duduk manis di depanku.

Sore itu menjadi kencan pertama yang menyenangkan bagiku.

Reihan, laki-laki yang baru menyandang status sebagai kekasihku itu sejak tadi hanya memandang dalam diam. Sesekali ia terkekeh tatkala melihatku kegirangan karena hasil foto yang sesuai ekspektasi.

“Kamu mau difotoin gak?”

Tawarannya yang tiba-tiba itu langsung aku iyakan tanpa basa-basi.

Lantas ku serahkan benda pipih milikku padanya dan segera berpose.

Selain dirinya yang fotogenik, Reihan juga pandai memotret orang lain. Ia dengan cekatan menghitung sampai tiga dan akan memintaku untuk menunjukan pose baru saat pose sebelumnya dirasa kurang.

“1.. 2.. 3..” “Ganti gaya, 1.. 2.. 3..” “Coba tangannya kayak gini, 1.. 2.. 3..” “Pose yang tadi sekali lagi deh, ini nge-blur, 1.. 2.. 3..”

Terus begitu sampai aku mati gaya.

Aku yakin fotoku pasti terlihat cantik dan aesthetic, kemampuan photography Reihan memang tidak perlu diragukan.

“Selfie disini yuk, Rei?!” pintaku padanya sembari menepuk-nepuk space kosong di sebelahku.

Ia segera berpindah posisi, duduk berdempetan di sebelahku lalu meletakan tangan kurusnya di bahuku. Tidak lupa ia memiringkan kepalanya sampai rambut kami bertemu.

Tangannya mengangkat ponsel tinggi-tinggi, mencari angle foto yang pas agar wajah kami terlihat bagus di kamera. Senyumnya mengembang menampakan kerutan di sudut matanya.

Dengan jarak sedekat ini harumnya dapat dengan mudah menyapa indra penciumanku, aroma citrus yang menyegarkan menguar dari tubuhnya.

Sial, jantungku berdetak tidak karuan.

Visual Reihan yang nyaris sempurna itu benar-benar mengalihkan perhatianku. Selama berteman dengannya aku tidak pernah berada di jarak sedekat ini.

“Senyum, Kes!” titahnya.

Mendengar itu fokus ku kembali dan langsung memberikan senyum terbaikku.

Reihan memotret beberapa kali sampai aku bingung harus berekspresi bagaimana lagi.

“Udah dulu, mau liat-liat fotonya.”

Kami pun mengecek satu persatu hasil foto selfie tadi.

Cantik, kata itu selalu ada di kalimat yang Reihan ucapkan setiap habis menggeser layar ponsel.

“Cantik banget sih,” “Yang ini cantik banget, Kes,” “Eh parah senyumnya cantik banget,” “Astaga, cantiknya pacar gue!”

Salah tingkah, tidak tau harus merespon apa. Aku malah memajukan wajahku, mendaratkan bibirku di pipi tirusnya.

Hanya sedetik.

Setelah satu detik itu aku merutuki diri sendiri karena tiba-tiba menciumnya tanpa aba-aba.

Reihan menoleh, nampak bingung dengan apa yang barusan aku lakukan.

Aku yang masih salah tingkah juga tidak sanggup berkata apa-apa, aku hanya mengatupkan bibirku.

Kami bertatapan beberapa saat sampai Reihan bersuara, “Are you comfortable if we kiss?

Lalu dengan persentase kepercayaan diri yang tidak seberapa aku menjawab, “Yes,

After getting my permission, he cupped my chubby cheeks, touch my pink lips, then lands his lips on mine.

Kecupannya seringan kapas, tanpa pergerakan dan tidak menuntut lebih. Membuatku gemas menunggu aksi selanjutnya dari bibir tipisnya.

Karena tidak ada tanda ingin melanjutkan ciumannya, aku lantas membuka mulutku kecil berhadap ada pergerakan juga darinya.

Namun yang ia lakukan malah menjauhkan kepalanya, “Sorry, it's my first time.” lirihnya canggung.

Entah dapat keberanian darimana, aku tanpa tau malu menangkup wajahnya dan menciumnya lagi.

Don't say that, i want to feel your lips again.” kataku sebelum memagut bibirnya.

Untungnya Reihan menyambut bibirku dengan baik. Kalau tidak, mungkin aku akan loncat dari bianglala ini karena saking malunya.

He moved his lips gently, he also moved my hand to his slender waist.

This is our first kiss, that's why our movements feel amateurish. But it's okay because i kissed with him.

Jemari lentiknya yang mengusap halus pipiku berhasil meleburkan akal sehatku. Guna memperdalam ciuman kami, aku tidak segan menyapu bibirnya dengan lidahku.

Bibirnya yang manis membuatku tidak ingin cepat-cepat menyudahi pagutan ini. Dapat kurasakan sebelah ujung bibirnya sedikit naik.

Reihan terkekeh kala aku menggigit pelan bibir bawahnya, lalu ia melepas tautan bibir kami, “Santai, Kes, i'm not going anywhere.” ucapnya seperti menahan tawa, membuat terkikik kecil kemudian mengangguk.

Ia lantas merentangkan tangan memintaku menghambur ke peluknya. Aku segera memeluknya erat, menyembunyikan wajahku yang memerah di dada yang lebarnya tidak seberapa itu.

Reihan mengelus rambut panjangku perlahan, kasih dan sayangnya dapat kurasakan dari gerakan telapak tangannya yang pelan namun menenangkan itu.

I love you.” kataku pelan.

Reihan mengeratkan rengkuhannya, “I love you more.

Lantas kami melalui sore yang tenang di atas permukaan tanah dengan obrolan ringan disertai canda tawa serta ungkapan cinta yang tiada habisnya sampai bianglala yang kami tempati berhenti berputar.