Party?
Jagat langsung mematikan ponselnya setelah membalas pesan dari sahabat perempuannya, Vallen. Ia lantas berjalan ke meja rias untuk memastikan penampilannya sekali lagi.
Varsity jacket berwarna biru tua begitu matching dengan celana dan sepatu hitamnya. Rambutnya sengaja ia atur menggunakan pomade agar tidak berantakan.
Walaupun hanya mengantar, dirinya tidak ingin penampilannya terlihat jomplang karena Vallen sendiri sudah berdandan dengan baik.
Singkatnya, Jagat tidak ingin terlihat jelek di depan perempuan yang ia suka.
Setelah hampir 5 menit menatap dirinya sendiri di cermin, Jagat segera turun dari unit apartemennya dan langsung tancap gas menuju kediaman Vallen.
Padahal Vallen sudah memperingati untuk datang 1 jam lagi, namun Jagat sama sekali tidak menghiraukan peringatan tersebut.
Jagat tau Vallen adalah tipe yang sering merasa tidak enakan pada orang lain. Vallen tidak suka ketika seseorang harus menunggunya saat ia yang minta dijemput.
Padahal itu bukan masalah bagi Jagat. Disuruh menunggu 60 menit tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan menunggu 2 tahun untuk balasan perasaannya—yang sampai detik ini belum ada titik terangnya.
Oleh karena itu disinilah Jagat sekarang. Di depan rumah mewah yang hanya ditinggali oleh 4 orang, yaitu Vallen, papanya Vallen, asisten rumah tangga, dan satpam.
20 menit sebelumnya Vallen mengirimkan pesan, mengatakan Jagat sudah boleh berangkat. Namun kenyataannya laki-laki itu menerima pesan Vallen saat dirinya sudah sampai sejak bermenit-menit lalu.
Jagat menunggu Vallen keluar sambil membalas beberapa chat yang masuk dari teman-temannya yang mayoritas perempuan itu.
Saat sedang asik berbalas pesan, tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobil, membuat fokus Jagat teralihkan. Ia langsung menaruh ponselnya dan membiarkan seseorang itu masuk lalu duduk di kursi sebelahnya.
“Lama gak nunggunya?” tanya Vallen sembari memasang seat belt
Namun bukannya menjawab, Jagat malah melongo melihat penampilan Vallen Triana sekarang. Mini dress hitam yang ia kenakan menjadi lebih pendek saat perempuan itu duduk.
Ditambah make up Vallen yang terlihat berbeda dari biasanya, membuat Jagat menatapnya dengan mulut sedikit terbuka.
“Woy?! Gue nanya!”
Fokus Jagat kembali kemudian ia mendecak, “Baru sampe,” Jagat melepas jaket yang ia pakai lalu ia lempar sembarangan ke arah Vallen, “Dingin, tutupin kaki lo.”
“Eh iya, thanks.“
Kalau kalian tebak saat ini Vallen sedang tersipu, tebakan kalian salah.
Vallen menerima jaket itu tanpa perasaan khusus apapun karena hal seperti ini sudah sering Jagat lakukan padanya.
Selanjutnya keduanya melaju dengan kecepatan sedang menuju lokasi.
“Nanti stop di diamond aja, Cakra mau jemput disitu.” ucap Vallen, membuat Jagat refleks menoleh sekilas.
“Kenapa gak gue anter sampe tempatnya?”
“Ya, kali!”
Jagat merotasikan matanya dibarengin decakan pelan yang tidak Vallen dengar.
Mungkin Vallen tidak ingin ada orang lain yang hadir di tengah-tengah pertemuannya laki-laki bernama Cakra itu, pikir Jagat.
Vallen membiarkan Jagat menyetir sendiri, ia sibuk dengan ponsel di tangannya entah sedang bertukar pesan dengan siapa. Yang Jagat tau, perempuan itu sesekali terkekeh setelah terdengar suara notifikasi dari benda pipih miliknya itu.
“Bedak lo gak rata, tuh!” celetuk Jagat tiba-tiba yang berhasil membuat Vallen melepaskan ponselnya dan mengeluarkan compact powder dari clotch berwarna putih yang ia bawa.
Jagat menyunggingkan senyumnya kala melihat Vallen yang kini tengah fokus pada riasan yang sebenarnya tidak rusak sedikitpun.
“Ngundang siapa aja si ceker?” tanyanya meledek dengan sengaja salah menyebut nama Cakra.
“Katanya sih rame, ada temen SMA sama temen kuliahnya.”
Detik selanjutnya mereka saling berbincang mengenai hari-hari keduanya belakangan ini sampai mobil Jagat berhenti di depan kafe yang cukup ramai pengunjungnya.
Ini Sabtu malam dan pukul 8, wajar saja tempat seperti ini ramai dikunjungi kaula muda.
“Nanti baliknya dianter ceker kan?”
“Namanya Cakra, Gat.”
“Ya emang kenapa sih kalo manggil ceker?”
Vallen menghembuskan napasnya kasar, “Iya, dianter. Lo bisa bebas malem mingguan sama cewek-cewek lo!” sindirnya lalu keluar mobil tanpa menunggu reaksi Jagat setelah mendengar kalimat sindirannya itu.
Setelah Vallen berdiri di pinggir jalan depan kafe tersebut, ia melambaikan tangannya menyuruh Jagat segera berlalu dari pandangannya.
Yang diusir hanya menggeleng pelan lalu meninggalkan Vallen sendirian di sana.
“Tapi bener loh, menurut gue mereka jago banget mainin nada. Lo pada nonton kan perform yang di SMANLI Depok?”
“Kan kita nonton bareng, bego!”
“Nah iya pokoknya gitu maksud gue, kalo bisa ya kita greet mereka duluan lah. Siapa tau gitu kan bisa belajar ilmu baru.”
“Belajar ilmu hitam mau lo?”
“Sialan!”
Jagat tertawa renyah mendengar candaan teman-temannya yang sebenarnya tidak lucu-lucu amat.
Sepulang mengantar Vallen, ia membuat janji dengan teman kuliahnya yang berada di satu UKM yang sama dengannya yaitu UKM Band.
Selain dengan Nahar, Darrel, dan Reihan, Jagat juga berteman dengan Fajar, Hardian, Bima, dan Leo yang merupakan temannya di UKM Band.
Sekarang ini mereka sedang menunggu kedatangan Bima yang belum sampai di tongkrongan.
Jagat tau Fajar tidak akan datang karena Vallen bilang teman SMA Cakra akan datang ke pesta ulang tahunnya.
Asap rokok mengepul dari masing-masing mulut 3 laki-laki di sana.
“Ini si Bima lama banget?” tanya Jagat yang sudah mulai bosan dengan perbincangan Leo dan Hardian.
Pasalnya ia telah duduk dan bercengkrama lebih dari satu jam dengan 2 orang yang mulai terlihat sudah mengantuk ini.
“Katanya nyamper si Fajar dulu ke rumahnya.” sahut Leo.
Jagat yang tadinya duduk menyandar sambil ongkang-ongkang kaki itu refleks meluruskan punggungnya.
“Bukannya Fajar pergi ke pesta Cakra?”
“Cakra siapa?”
“Cakra Rifaldi, yang anak basket.”
“Oh Cakra itu, pesta apaan anjir, Gat?”
“Pesta ultah katanya.”
Leo dan Hardian saling tatap setelah Jagat mengucapkan 3 kata itu.
Kemudian Hardian memberi tau satu hal tentang Cakra yang membuat alis Jagat menukik tajam, menghiasi wajahnya yang sudah merah padam, menandakan amarahnya yang sudah tidak teredam.
Saking emosinya Jagat bahkan tidak mendengarkan cerita Hardian sampai habis. Dirinya langsung meninggalkan tongkrongan, berjalan dengan langkah lebar menuju mobilnya. Jagat juga sampai menghiraukan panggilan Fajar dan Bima yang ternyata datang berbarengan saat ia sudah di parkiran.
Hardian bilang, Cakra dan teman-temannya seringkali menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan.
Hardian juga bilang, Cakra dan teman-temannya akan menyuruh perempuan itu untuk datang ke pesta yang sebenarnya tidak ada itu hanya untuk mengelabuhi bahan taruhan mereka.
Setelahnya siapapun yang berhasil membuat perempuan datang untuk menunggu akan memenangkan hadiah berupa uang.
Membayangkan Vallen yang kedinginan dan kesepian membuat Jagat mempercepat laju kendaraannya.
Jagat mencari kontak Vallen untuk dihubungi, ia memanggil angka 1 di layar ponselnya. Namun ia menyisir rambut dengan jari-jarinya saat menemukan ponsel Vallen ternyata tergelak di kursi sebelahnya.
“Kenapa handphone lo pake ketinggalan sih, Len?!”
Disisi lain, seorang gadis yang rambutnya sudah agak berantakan tengah berdiri dengan gusar. Kakinya tidak berhenti mengetuk ke tanah.
Vallen malu kalau harus berjongkok di tepi jalan karena ia tau gaunnya akan terlihat semakin pendek. Ia juga malu kalau harus melepaskan heels yang tingginya akan membuat siapapun yang memakainya tidak menemukan kenyamanan.
Kalau kalian tanya kenapa Vallen tidak memilih duduk di dalam kafe dan malah berdiri satu jam di luar kafe, jawabannya karena dia menunggu Jagat.
Vallen yakin Jagat akan kembali dan dia tidak ingin sahabatnya nanti pusing-pusing mencarinya.
Sepasang sepatu putih berhenti di depan heels yang Vallen kenakan. Gadis itu mendongak dan menemukan wajah Jagat yang ekspresinya sangat tidak bersahabat itu.
Vallen sudah siap mendengarkan ceramah panjang dan omelan yang akan Jagat lontarkan. Namun diluar dugaan, alih-alih mengomel Jagat malah berjongkok di depan kaki Vallen dan mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang ia jinjing, sepasang sandal crocs berwarna ungu polos.
Jagat melepas heels yang Vallen pakai dan menggantikan alas kakinya dengan sandal yang ia beli kemarin. Jagat sengaja membeli sandal itu untuk berjaga-jaga kalau nanti Vallen tidak nyaman dengan heelsnya, perempuan itu bisa langsung memakai sandal ini.
Benar saja, kaki Vallen sudah lecet padahal ia tidak banyak menggerakkan kakinya.
“Kalo bukan punya Kesya udah gue lempar nih heels!”
Vallen hanya terkekeh mendengar cibiran itu.
“Gue anter pulang?”
Vallen menggeleng, “Gue udah bilang papa mau nginep di kos Kesya.”
“Ya udah ayo gue anter kesana.”
Vallen kembali menggeleng, “Jam segini kos nya udah gak terima tamu, Gat.”
Diliriknya jam di tangannya, hampir pukul 10 malam.
Lalu tanpa bersuara lagi Jagat langsung menarik tangan Vallen, membawanya masuk ke dalam mobil.
“Mau kemana?”
“Lo tidur di apart gue malem ini.”