About feelings


Siang itu Vallen, Kesya, Nahar, dan Darrel telah berkumpul di kediaman Reihan sebagai tuan rumah. Sudah kebiasaan mereka untuk bertemu setidaknya satu bulan sekali. Kesibukan masing-masing dari mereka membuat keenam sahabat itu menjadi jarang berkumpul full team.

Tinggal menunggu Jagat, maka lengkaplah anggota geng-gam, nama circle pertemanan mereka.

Di kamar Reihan mereka mereka berbincang, mulai dari membicarakan hal-hal tentang perkuliahan sampai hal-hal yang tidak penting sekalipun.

“Itu kemaren si Jagat bikin ulah apa?”

Vallen menjawab pertanyaan Nahar, “Lo tau gak sih kalo dia bikin gue dijauhin sama cowok-cowok kampus?”

“Dijauhin gimana?” kali ini pertanyaan dari Reihan yang tadinya sedang asyik bercanda dengan Kesya.

Darrel yang sebelumnya sibuk dengan game di ponselnya juga ikut penasaran, dia menghentikan permainannya dan ikut mendengarkan curahan hati Vallen.

“Gue baru tau kemarin sih, Jagat ngomong ke tongkrongannya jangan ada yang deketin gue. Nggak tau motivasi dia apa nyuruh orang-orang buat kayak gitu.”

“Kok nggak tau sih? Itu kan karena dia cinta mati sama lo, Vallen. Makanya Jagat gak mau lo dideketin orang lain.” kata Darrel, si paling ahli dalam percintaan di geng mereka.

Reihan menimpali, “Cinta mati, gak tuh?!” katanya kemudian disambut tawa dari yang lain.

“Tapi dia emang cinta mati gak sih sama Vallen? Lo bayangin aja dari 2 tahun lalu dia confess sampe sekarang, masih aja tuh ngejar-ngejar Vallen.” kata Nahar serius.

“Kalo cinta mati harusnya fokus sama Vallen aja kali, bukan nempel sana-sini.” sarkas Kesya dan disetujui oleh yang lain.

“Mungkin Jagat kayak gitu juga karena Vallen yang gak ngasih kepastian?”

“Gak ngasih kepastian gimana sih, Rel? Gue tuh selalu say no kalo Jagat lagi flirting. Kurang jelas apa penolakan gue??”

“Lho, Nahar? Kok masih berdiri aja?”

Sontak keenam orang di dalam kamar itu menengok ke sumber suara. Saat pintu terbuka, ada mamanya Reihan dan Jagat di ambang pintu.

Jagat menatap temannya satu persatu, membuat mereka menghindari tatapannya yang tidak bersahabat itu.

Keadaan menjadi canggung kala Jagat sudah bergabung dengan mereka.

“Tante tinggal dulu ya, cemilan sama minumnya harus habis, kalau masih sisa kalian gak boleh main disini lagi!” gurau tante Rani kemudian pamit meninggalkan sekelompok anak muda tersebut.

Sorry telat, abis ngambil gitar di studio.”

Jagat sebisa mungkin memecah keheningan yang menyelimuti kamar Reihan, dirinya pura-pura tidak peduli dengan percakapan yang ia dengar sebelumnya.

“Siap, aman lah. Cepet play filmnya mumpung udah ngumpul semua!” seru Darrel yang secara tidak langsung membantu Jagat untuk mencairkan suasana.

Kesya mulai mencari serial Netflix di smart tv milik Reihan. Setelah menemukan film yang bagus barulah mereka menyamankan posisi untuk menonton.

Reihan dan Kesya duduk di bawah dan menyender di tempat tidur yang ada Vallen, Nahar, dan Darrel di atasnya. Sedangkan Jagat duduk di kursi belajar Reihan, di samping tempat tidur.

Seperti inilah rutinitas mereka kalau sedang berkumpul. Menonton film sambil sesekali berkomentar mengenai akting aktor maupun aktrisnya sampai berjam-jam. Kemudian dilanjut dengan makan-makan, lalu berisik lagi membicarakan obrolan tidak penting lainnya.

Selama film berlangsung, Jagat selalu melirik ke arah Vallen yang terlihat lebih diam dari biasanya. Entah kenapa.

Mengingat betapa galak dan penuh emosi pesan yang Vallen kirim kemarin, tadinya ia kira perempuan itu akan marah-marah dan mengomel padanya.

Pukul 15.45 film telah selesai. Mereka kembali duduk di karpet untuk melanjutkan agenda selanjutnya yaitu makan-makan.

Seperti biasa, keenam sahabat ini akan memesan makanan via online dan di makan bersama-sama.

Sambil menunggu pesanan mereka sampai, Darrel memainkan gitar yang dibawa Jagat, menyanyikan sebuah lagu yang kemudian diikuti oleh yang lain.

Alih-alih ikut bernyanyi dan meramaikan suasana, Jagat malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Merasa masih kesal dengan ulah teman-temannya yang bergosip tentang dirinya.

Jagat marah, namun kenyataan bahwa semua yang dibicarakan mereka adalah sebuah kebenaran membuat ia tidak bisa mengelak dan mencari pembelaan.

Laki-laki itu menyadari bahwa dirinya yang masih sering mendekati perempuan lain saat ia telah terang-terangan mengungkapkan perasaan pada Vallen menjadi penyebab utama perasaannya belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan.


“Pulang atau nggak nih?”

“Gue maunya pulang sama Nahar.”

“Mau ditigain bareng Darrel?”

“Kan Darrel bisa di mobil lo!”

“Tapi gue mau nya lo yang duduk disini, bukan Darrel.”

Vallen menatap Jagat dengan sinis. Walaupun biasanya memang seperti itu, kali ini lirikannya terlihat lebih tajam.

Gadis itu tidak menimpali omongan Jagat. Ia memasang seat belt yang berarti dirinya sudah tidak ingin berdebat lagi dan memilih pulang bersama Jagat.

Nahar dan Darrel sudah pergi sejak tadi, sedangkan Kesya sengaja tidak ingin pulang dulu karena masih ingin bercengkrama dengan tante Rani, mama dari pacarnya itu.

Selama di dalam mobil keduanya tidak terlibat percakapan lagi sampai Jagat mengubah rute perjalanan mereka.

“Kok belok?”

Jagat tidak menjawab, membuat Vallen menegakkan duduknya. “Mau kemana?”

“Duduk aja sih, lagian gak bakal gue bawa ke jurang kok!”

Vallen tidak melepaskan tatapannya dari Jagat yang tengah fokus ke jalan hingga mobil yang ia tumpangi berhenti di parkiran taman.

Sore itu taman nampak ramai karena hari ini adalah hari libur, membuat banyak orang mengunjungi taman ini.

Banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya menambah keramaian suasana taman yang jaraknya cukup jauh dari rumah Vallen.

Jagat berjalan mencari area taman yang cukup sepi diikuti Vallen yang terus mengoceh.

“Mau ngapain sih kesini?” “Jagat!” “Ih, Jagat?? Gue mau pulang tau!” “Bisa pelan-pelan gak sih jalannya??!”

Laki-laki jangkung itu menghentikan langkahnya, ia menunggu Vallen yang ternyata tertinggal jauh di belakangnya.

Jagat meraih tangan Vallen untuk ia genggam lalu berkata, “Biar nggak ketinggalan lagi.”

Vallen tidak menolak, keduanya berjalan beriringan karena Jagat menyesuaikan langkahnya dengan Vallen.

Mereka sampai di tepi danau yang pengunjungnya tidak terlalu ramai, di bawah pohon rindang keduanya menggelar karpet yang disewakan dengan harga Rp 25.000/jam.

Jagat melepas jaketnya kemudian ia sampirkan di bahu Vallen karena angin sore itu bertiup cukup kencang.

Untuk beberapa saat tidak ada percakapan antara keduanya. Hanya menonton orang-orang yang sedang naik perahu bebek.

“Mau naik itu gak?”

Vallen menghela napasnya kasar, “Udah deh mendingan lo to the point, ngapain ngajak gue kesini?”

“Apa sih yang bikin lo susah banget buka hati buat gue?” tanya Jagat, to the point sesuai permintaan Vallen.

Perempuan berambut panjang itu memiringkan posisi duduknya. “Kita temenan, Jagat. Gue nggak mau merusak hubungan pertemanan kita. Lo tau kan, gimana gue sama Evan sekarang? Kita dulunya bucin, tapi sekarang jadi kayak orang asing yang gak pernah saling kenal. Gue nggak mau ngerasain itu buat kedua kalinya, apalagi sama lo.” ujarnya panjang lebar.

Tidak perlu waktu lama untuk Jagat mengambil kesimpulan, “Jadi karena lo nggak mau kehilangan gue?”

“Bisa dibilang begitu.”

Let's not break up then

Tawa Vallen lepas kala Jagat mengucapkan kalimat itu. “Lo kira Evan nggak pernah ngomong kayak gitu?”

“Evan, Evan, Evan! Bisa nggak sih lo melihat gue sebagai diri gue sendiri?? Nggak semua cowok sebajingan mantan lo, Vallen.”

Vallen sempat tertegun mendengar keluhan Jagat. “Sekarang gue tanya balik, apa yang bikin lo mau gue buka hati?”

“Karena gue nggak mau kehilangan lo. Gue mau punya alasan buat selalu ada di samping lo. Sekadar jadi temen itu bukan alasan yang cukup, Len. Lo mau tau kenapa gue gak pengen ada cowok lain yang deketin lo? Ya karena itu.”

“Terus kenapa lo harus deket sama banyak cewek? Seolah-olah gue cuma dijadiin opsi.”

Suasananya kini nampak tegang. Jagat dan Vallen terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar, membuat beberapa pasang mata memfokuskan perhatiannya pada mereka.

Ada jeda waktu sebelum Jagat kembali membuka suaranya. Ia mengusap wajahnya kasar. “Cewek-cewek itu nggak lebih dari temen cerita gue,” lirihnya. “Gue butuh orang buat dengerin masalah gue, dan mereka sukarela jadi pendengar saat gue butuh didengar.”

Vallen mendelik heran, “Lo nggak se-friendlessness itu, Jagat. Lo punya banyak temen buat jadi tempat lo cerita. Termasuk gue.”

Jagat tersenyum getir mendengarnya.

“Terus setelah gue cerita, temen-temen gue itu bakal merubah cara pandang mereka ke gue. Gitu kan?” tukasnya dengan menekankan kata teman-teman.

“Maksudnya?”

“Dulu gue selalu over sharing sama semua orang yang gue kenal. Tapi itu bikin mereka ngejauhin gue, katanya gue ini problematik dan banyak masalah. Terus lo mau gue mengulang hal yang sama ke kalian? Termasuk ke lo?” Jagat menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, “Gue nggak mau dianggap lemah. Makanya gue selalu cari orang baru buat dengerin cerita gue.”

Di antara temannya yang lain, memang hanya Jagat yang jarang bahkan hampir tidak pernah mencurahkan isi hatinya. Yang Vallen tau, sejauh ini laki-laki di sebelahnya tidak pernah berbagi keluh kesah pada orang lain.

Kini Jagat menatap Vallen yang hanya diam, “Pasti sekarang lo juga udah mulai ilfeel, iya kan?”

Vallen mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air yang sudah terbendung di pelupuk matanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jagat, Vallen justru menarik tubuh Jagat yang lebih besar darinya untuk ia peluk.

Vallen tidak tau kalau selama ini sahabatnya itu kesepian dan membutuhkan seseorang untuk diajak bercerita tanpa mengubah cara pandang orang itu padanya.

“Otak lo jelek banget sih mikirnya! Lo bilang nggak semua cowok sebajingan Evan, berarti nggak semua orang juga sejahat temen lama lo itu!” ucap Vallen dengan suara bergetar.

Antara ingin menangis dan tertawa, Vallen bisa merasakan bahu Jagat yang bergetar karena menahan keduanya.

Setelah beberapa tepukan dari tangan Vallen mendarat di punggung lebar Jagat, pelukannya merenggang karena Jagat menarik dirinya.

Lalu keduanya mulai tertawa setelah menyadari betapa cringenya mereka tadi.

Orang-orang di sekitar yang memerhatikan keduanya juga ikut tersenyum melihat keduanya yang telah berbaikan.

“Berarti sekarang lo udah bisa jadi pacar gue?”

Tawa Vallen terhenti, “Bisa.”

“Serius??”

“Bisa gue lempar lo ke danau!”