Lucky to have you
Vallen's POV
“I love you, let's date.“
Bukan sekali dua kali orang itu mengungkapkan perasaannya dan mengajakku untuk menjalin hubungan lebih dari teman.
Namun bukan sekali dua kali juga aku menolak perasaannya.
“But we are friends.“
Begitu jawabanku setiap mendengar pernyataan cintanya.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk pertemanan kami. Aku telah berteman dengan laki-laki bernama Jagat itu sejak masih duduk di bangku SMA.
Tidak menutup kemungkinan bahwa selama lima tahun itu ada masa dimana aku tertarik dengannya dan ingin memiliki status selain 'teman'. Namun perasaan tersebut tidak berlangsung lama, karena rasaku padanya saat itu bukan perasaan cinta. Melainkan sebatas rasa nyaman dan tidak ingin kehilangan.
Berteman dengan Jagat adalah salah satu hal yang selalu aku syukuri karena ia merupakan tipe teman yang baik—setidaknya bagiku yang introvert ini.
Jagat selalu mencoba untuk memahami kondisi orang lain, bisa menjadi pendengar yang baik, juga mendukung apapun keputusan temannya.
Dan yang paling penting, Jagat selalu ada saat dibutuhkan.
Tidak peduli sedang apa dan dimana, kalau temannya sudah memanggil pasti Jagat akan mengusahakan untuk memenuhi panggilan itu.
Namun yang baru aku tau, dibalik ke-loyal-an seorang Jagat Adigdaya tenyata ada cerita masa lalu yang mungkin akan terdengar miris bagi sebagian orang.
Jagat selalu memahami kondisi orang lain karena orang lain tidak pernah memahami kondisinya.
Jagat selalu menjadi pendengar yang baik karena dirinya tidak pernah didengar oleh orang lain dengan baik.
Jagat selalu mendukung temannya karena teman-temannya tidak pernah memberikan dukungan untuknya.
Jagat tidak ingin orang lain merasakan apa yang pernah ia rasakan di masa lalu.
Setidaknya itulah kesimpulan yang aku ambil dari obrolan kami di tepi danau beberapa hari lalu.
Dan aku dengan pertimbanganku tentang berbagai kemungkinan memutuskan untuk menjadi orang yang Jagat butuhkan.
Yang memahami kondisinya, yang mendengarkan ceritanya, dan yang mendukungnya.
Dibantu sahabatku, Kesya. Kami telah bicara semalaman lewat telepon tentang keputusanku ini. Sejak awal Kesya memang sudah meyakinkanku untuk membalas perasaan Jagat secepatnya. Tetapi saat itu aku masih diselimuti keraguan karena Jagat kerap kali mendekati banyak perempuan lain. Hal itu tentu membuatku mempertanyakan kembali perasaan laki-laki itu.
Akan tetapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku akan menjadi orang yang bisa mengerti keadaannya. Maka aku akan mencoba untuk memahami alasan dibalik kedekatan Jagat dengan teman-teman perempuannya.
“*Pokoknya jangan sampe kalian malah awkward, oke?*”
Aku mengangguk walaupun di seberang sana Kesya tidak bisa melihat anggukan ku, “Oke sis. Udah dulu ya, gue mau nunggu Jagat nih.”
“Siap, good luck cantikkk!” seru Kesya kemudian memutuskan panggilan kami.
Lantas aku keluar dari kamar dan menunggu Jagat di ruang tamu.
“Mbak, tolong buatin jus dong. Dua gelas ya, mbak!” seruku pada Mbak Caca, satu-satunya asisten rumah tangga di rumahku.
Mbak Caca menyahut, “Mau jeruk atau mangga, ka?”
Aku tidak begitu tau buah kesukaan Jagat. Maka aku minta Mbak Caca untuk membuat keduanya.
Sambil menunggu Jagat, aku iseng membaca ulang pesan di room chat kami. Aku terkikik setelah menyadari beberapa hari kebelakang ruang obrolan ini dihiasi emoticon dan gambar lucu yang Jagat kirim.
Usahanya untuk mendapat balasan dariku memang patut diacungi jempol, hahaha!
Tak terasa jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 15.45 yang berarti aku telah menunggu Jagat selama hampir satu jam.
Es batu di dalam gelas pun sudah berubah menjadi air dan ku tebak membuat rasa jusnya menjadi kurang manis.
Sebenarnya apa yang membuat laki-laki itu begitu lama? Biasanya dia hanya membutuhkan 30 menit untuk sampai ke rumahku.
Aku mencoba menghubungi Jagat, namun ia tidak menerima panggilanku.
Author's Pov
Do you hear me I’m talking to you Across the water across the deep blue ocean Under the open sky, oh my, baby i’m trying
Di panggilan ke tiga, tiba-tiba terdengar suara genjrengan gitar dari depan rumah Vallen. Gadis itu segera loncat dari duduknya dan berlari kecil ke luar karena ia tau suara gitar itu berasal dari petikan jari-jari Jagat.
Girl i hear you in my dreams I feel your whisper across the sea I keep you with me in my heart You make it easier when life gets hard
Vallen terperangah kala melihat laki-laki yang ia tunggu kini telah berdiri di sana dengan gitar yang tersampir di pundaknya. Senyumnya mengembang saat Jagat menyanyikan bagian selanjutnya dari lagu yang ia nyanyikan.
Lucky i’m in love with my best friend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh
Jagat berjalan mendekat ke arah perempuan yang senyumnya belum pudar itu sampai jarak keduanya tidak lebih dari tiga langkah.
They don’t know how long it takes Waiting for a love like this Every time we say goodbye I wish we had one more kiss I’ll wait for you i promise you, i will~
Suara petikan gitar terhenti berbarengan dengan bibir Jagat yang mengatup—tidak melanjutkan nyanyiannya.
“Sing with me, please?” pinta Jagat.
Anggukan gadis di depannya membuat Jagat tersenyum sampai matanya ikut menyipit saking manis senyumannya.
Jari-jari lentiknya mulai kembali memetik senar gitar dan kemudian diikuti suara Vallen yang merdunya tidak seberapa itu.
Lucky i’m in love with my best friend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again Lucky we’re in love every way Lucky to have stayed where we have stayed Lucky to be coming home someday
Vallen memberikan tepuk tangan setelah mereka berhenti bernyanyi, masih dengan senyumnya yang mengembang ia memberikan pujian, “Nice!“
Tangan Jagat terulur untuk mengacak pelan puncak kepala Vallen yang diterima dengan senang hati olehnya. Biasanya Vallen akan berdecak bahkan marah kalau Jagat melakukan itu, namun kali ini rasanya berbeda.
“Maaf lo jadi nunggu lama, ngambil gitar dulu ke kos Fajar.”
Vallen mengangguk mengerti, “It's okay, masuk dulu yuk? Mbak Caca udah bikin minuman di dalem,” ajaknya.
“Mau jeruk atau mangga?” tanya Vallen sebelum mempersilahkan Jagat mengambil gelas jus di meja.
“Mangga boleh tuh.”
Kemudian Vallen memberikan gelas berisi jus mangga untuk Jagat. “Yang jeruk buat gue.”
Salah satu yang Jagat suka dari Vallen, gadis berambut ikal ini seringkali mendahulukan kepentingan orang lain. Walaupun sikap ini tidak selalu baik, namun hal itu menjadi daya tarik tersendiri baginya.
Jus di tangan Jagat habis dalam satu tegukan. “Haus bang?” ledek Vallen.
“Tenggorokan saya kering, abis nyanyi buat cewek cantik.”
Cubitan kecil di perut Jagat membuatnya meringis. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah si cewek cantik yang ia maksud.
“Ayo ah cepetan!”
“Lah mau kemana?”
“Ya kemana aja? Emangnya lo kesini cuma buat nyanyi?”
“Lebih tepatnya buat nyanyi dan ketemu sama cewek cantik sih.”
“Jagat! Cringe banget, tau gak?!”
Jagat tertawa melihat protes perempuan yang paling anti gombal ini.
“Iya iyaa bercanda doang, yuk jalan-jalan. Kita buat pengumuman ke semua orang kalo hari ini kita udah resmi pacaran.”
“Kata siapa?”
“Apa?”
“Kata siapa kita udah pacaran?”
“Vallen... Come on lah...”
Melihat ekspresi merajuk laki-laki disebelahnya membuat Vallen tidak kuasa menahan gemas.
“Jangan gemes gemes ah, nanti makin cinta.” celetuk Vallen yang membuat Jagat menaikkan sebelah alisnya.
“Kacau banget nih cewek,” Jagat menyusul Vallen yang lebih dulu berlari ke luar, “Woy?? Tanggungjawab ini jantung gue jatuh ke lantai!”
Di luar Vallen telah berdiri di samping motor yang Jagat kendarai. “Tumben, kenapa bawa motor?”
Jagat menyunggingkan senyumnya sebelum menjawab, “Biar bisa dipeluk.”