tinkernid


cw // smoking , suicide , sexual harassment

Kepulan asap tembakau kembali mengudara saat Vallen menghembuskan napasnya kasar. Dua jari lentiknya mengapit sebatang rokok, menghisap ujungnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskan asapnya.

Pikirannya kembali pada kejadian beberapa jam lalu. Saat Jagat dengan lantang berteriak di depan wajahnya, mengatakan bahwa dirinya telah dijadikan bahan taruhan oleh laki-laki yang bahkan tidak ia kenal dengan baik, Cakra. Sebelah sudut bibirnya terangkat berbarengan dengan suara decakan dari mulutnya. “Vallen, lo tolol banget sih!” Ia bermonolog dengan kepala tertunduk, membiarkan abu rokoknya berjatuhan ke lantai.

Perempuan pemilik bentuk rahang yang tegas itu mengacak rambut panjangnya kala memori beberapa tahun lalu kembali terputar jelas di kepalanya. Saat dirinya yang lugu itu dibodohi oleh Evan, mantan kekasihnya yang ternyata telah melakukan hal keji pada sahabatnya sendiri. Evan menghamili Raya sebelum Vallen mengenal laki-laki bejat itu. Tindakan tercela yang Evan lakukan bahkan telah membuat Raya depresi berat sampai gadis manis tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Vallen sempat dihantui rasa bersalah selama berbulan-bulan lamanya karena hal itu. Dirinya merasa telah merenggut nyawa temannya sendiri lantaran telah jatuh hati pada Evan. Ia menyalahkan dirinya atas kepergian Raya.


tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu kamar kosnya, membuat Vallen buru-buru mematikan rokoknya dan menghapus jejak air matanya. “Masuk aja, nggak gue kunci,” ucapnya pada orang di balik pintu.

Pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan Kesya yang sebelumnya telah diminta datang untuk menemaninya. Vallen yang duduk bersandar lantas menegakkan punggungnya lalu merentangkan tangannya yang kemudian disambut oleh pelukan dari sahabatnya itu.

You okay?” tanya Kesya sembari menepuk-nepuk pelan punggung Vallen yang direspon gelengan olehnya. “Gapapa, udah ada gue disini.”

“Gue kenapa, sih, selalu ketemu sama cowok gak bener? Dulu Evan, sekarang Cakra. Emangnya muka gue keliatan gampang buat dimainin ya?”

Kesya melepas pelukannya, ia menaruh kedua tangannya di bahu Vallen. “Nggak sama sekali, lo cantik bukan berarti lo bisa jadi mainan buat cowok-cowok brengsek kayak mereka. Jangan mikir begitu,” katanya, meyakinkan Vallen untuk tidak berpikiran jelek tentang dirinya sendiri.

“Eh, ngomong-ngomong soal Cakra, emang dia abis ngapain? Lo belum ada cerita sama gue, anjir!”

Pukulan pelan dari Kesya menyadarkan Vallen yang memang belum mengatakan apapun tentang Cakra yang mengajaknya bertemu. Tadinya ia akan bercerita kalau semuanya sudah jelas, kalau dirinya sudah tau apa alasan Cakra mempermainkannya dulu. Namun, kejadian sore tadi justru membuat Vallen harus tau alasan tersebut dari Jagat.

Akhirnya dengan suara parau Vallen menceritakan semuanya, mulai dari pesan pertama Cakra yang memintanya untuk bertemu, sampai pertemuannya dengan Jagat bersama perempuan lain yang ia duga adalah pacar barunya—atau sekadar gebetan, entahlah.

“Sinting tuh orang!”

Vallen terkikik mendengar pekikan Kesya barusan. “I know rightttt! Cakra emang sinting banget, bisa-bisanya ngejadiin gue bahan taruhan.”

“Maksud gue si Jagat yang sinting. Kalian baru putus tapi dia udah ngedate sama cewek lain?? Nggak habis pikir gue.”

Miris, namun memang itu faktanya. Vallen hanya mengangkat bahunya malas kemudian menyandarkan punggungnya ke tepi tempat tidur. “Cepet banget, ya, move on nya.”

Kesya ikut bersandar di sebelah Vallen. “Gue kira dia bakal beda dari cowok lain. Taunya sama aja, emang semua cowok tuh sama semua. Kapan ya kita ketemu cowok yang bener-bener tulus sama kita?” ujarnya dengan nada yang dibuat sedih.

“Intinya sih, you shouldn't have a crush on your friends.

And also you shouldn't be friends with your ex.

Keduanya lantas tergelak sehabis mengatakan kalimat itu. “Bener banget, gue makan hati temenan sama Jagat versi udah jadi mantan,” kata Vallen.

That's why gue cut off Reihan dari hidup gue!”

Gelakan tawa kembali memenuhi ruangan berukuran 3 x 4 meter itu, Vallen dan Kesya saling menertawakan kebodohan masing-masing lantaran telah jatuh cinta pada teman sendiri.

Mungkin di luar sana ada yang mengalami kasus serupa dan berhasil kisah cintanya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi dua sahabat yang kini tengah meratapi ketidakberuntungannya.

Kesya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar kos yang berantakan itu. Karena tadi saat datang langsung memeluk Vallen, dirinya belum sempat melihat-lihat tempat yang baru ia datangi ini.

Perempuan itu mengernyit kala melihat sebungkus rokok dan asbak yang telah terisi beberapa bekas puntung rokok. “Lo stress banget, ya? Sampe ngerokok gini.”

Yang ditanya kemudian beranjak untuk membuang isi asbaknya ke tempat sampah kecil di dekat pintu. “Sebenernya gue udah nyentuh rokok sejak putus sama Evan, Kes. Tapi gue diem-diem aja, itu juga jarang ngerokok nya. Mulai sering beli rokok lagi waktu Velo ngabarin papa mau nikah lagi,” jelas Vallen tanpa menatap lawan bicaranya. “Terus Jagat tau gue ngerokok, dia nggak suka. Mikirnya gue nggak nganggep keberadaan dia dan malah lari ke rokok kalau ada masalah. Dia minta putus gara-gara itu,” lanjutnya.

Kesya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti dengan penjelasan panjang lebar itu.

“Lo daripada manggut-manggut doang kayak boneka mampang mending bantuin gue beresin kapal pecah ini, deh, Kes.”

Duh, lo pake sok-sokan ngekos, sih! Udah tau nggak bisa beres-beres.”

Vallen menjawab dengan candaan, “Namanya juga usaha, min.”

Lantas keduanya bersama-sama merapikan kamar kos Vallen. Lalu dikarenakan jam di dinding telah menunjukkan pukul 9 malam, Kesya memutuskan untuk menginap di sana.

Mereka menghabiskan malam dengan bercerita banyak hal. Membicarakan apapun yang belum pernah diceritakan sebelumnya.

“Len, lo berhak buat keep your story dari orang-orang. Lo boleh banget mendem masalah lo sendiri, tapi jangan denial kalo lo juga butuh pendengar. Jangan selalu beranggapan lo bakal membebani orang lain dengan cerita lo. Terkadang manusia merasa berguna untuk orang lain ketika dia bisa diandalkan, termasuk gue. Gue seneng kalo lo mau sharing keluh kesah lo ke gue. As a friend gue akan merasa ada gunanya.”

“Iyaa, Kes.”

“Jangan iya-iya doang, anjir! Gue harap lo mau terbuka sama gue mulai sekarang. Tapi gue nggak maksa juga, sih. Pokoknya i will always be there if you need me, ya.”

Lagi-lagi perempuan yang sebenarnya sedang menahan tangisnya itu hanya menjawab dengan anggukan dan sepatah kata, “Iya.”


“Padahal tinggal dateng, kenapa malu coba?”

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut Reihan langsung dihadiahi tatapan tajam dari keempat kawannya.

“Ya lo pikir aja sih, Rei!” celetuk Nahar.

“Apa? Emang dia aja yang lebay. Lagian ini udah berapa bulan? Kalo emang nganggep temen harusnya ya gak usah canggung-canggung tai kucing lah!”

Darrel yang sedang mengupas buah apel ikut bersuara, “Nye nye nye.. Ngomong noh sama tembok!” Ia memberikan apel yang telah dipotong-potong pada Vallen.

Thanks.” Vallen menerima sepiring buah manis itu dengan senang hati. “Kesya tuh bukannya lebay, Rei. Itu cara dia buat sembuhin hatinya,” ucapnya.

Sesuai perjanjian tadi malam, empat laki-laki yang kini tengah duduk melingkar itu telah sampai di kos-kosan yang baru beberapa hari Vallen tempati. Pertemuan mereka diawali dengan membicarakan Kesya yang menolak untuk bergabung bersama mereka.

“Kalo lo sendiri, gimana cara sembuhin hatinya?”

Pertanyaan itu datang dari Nahar, membuat semua orang di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu sontak menatapnya secara bersamaan. Bukan tanpa alasan Nahar melemparkan pertanyaan itu, ia sungguh ingin tau apa yang akan Vallen lakukan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya.

Satu-satunya perempuan di sana terlihat bingung harus menjawab apa, dengan suara lirih ia menjawab, “Kalo gue-”

“Nggak usah dijawab.” Belum selesai Vallen bicara, Jagat sudah lebih dulu memotong ucapannya. “Pertanyaan lo yang bener-bener aja lah, Har,” cetusnya dengan nada ketus disertai tatapan tidak suka.

Vallen langsung menangkap sinyal yang kurang mengenakan. Pasalnya, kini Jagat dan Nahar tengah saling melempar pandang. Nahar menunjukkan tatapan meledek, sedangkan Jagat menatapnya tajam.

“Ribut gak bos? Kalo mau tonjok-tonjokan gue cariin ring tinju buat lo berdua,” seru Darrel yang berada di tengah-tengah keduanya.

Reihan yang peka dengan keadaan lantas menambahkan, “Cari aja, Rel. Gue yang beliin sarung tinju buat dua abang jago ini.”

“Bacot!”

Vallen menahan tawanya ketika melihat wajah merajuk Jagat yang menurutnya sangat lucu. Laki-laki itu kembali memfokuskan perhatiannya pada beda pipih yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya. Jemari panjangnya tidak henti mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah dengan siapa Jagat sedang bertukar pesan, hal itu membuat Vallen sedikit jealous karena Jagat lebih sibuk dengan ponselnya. Otaknya mengatakan bahwa Jagat mungkin saja sedang membalas puluhan pesan dari kontak asrama putri di ponselnya.

Hal itu menyadarkan Vallen akan hubungan yang telah kandas, hubungan yang tidak bisa ia rajut kembali.

“Ngomong-ngomong, bokap gimana kabarnya?”

Dengan tenang Vallen menjawab pertanyaan Reihan barusan, “Sehat kok, kayaknya makin sehat karena mau punya istri baru.”

Keempat laki-laki di sana sontak menoleh keheranan ke arah Vallen yang sedang duduk selonjoran di atas tempat tidurnya. Membuat Vallen membulatkan matanya karena ia baru sadar belum membeberkan tentang masalahnya dengan sang papa.

“Istri baru?”

Tak kalah penasaran dengan Darrel, laki-laki yang postur tubuhnya lebih kecil dari yang lain ikut bertanya, “Papa lo mau nikah lagi?” tanya Reihan dengan wajah penasaran setengah mati.

Nahar dengan tatapannya yang mengintimidasi memajukan tubuh tegapnya. “Vallen, lo gapapa?” Pertanyaannya mengundang Jagat untuk meliriknya sinis—tidak senang dengan Nahar yang terdengar sangat khawatir karena menanyakan keadaan mantan kekasihnya.

Sebenarnya Jagat juga khawatir, Vallen tidak memberitahunya tentang ini. Ingin ikut bertanya, namun masih teringat jelas bagaimana Vallen mengatakan kalau dirinya tidak suka membagi masalah yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, ia hanya duduk tenang dan menunggu perempuan itu bersuara.

Sorry gue lupa belum cerita.”

“Nggak perlu minta maaf. Cerita masalah pribadi itu bukan kewajiban kok, termasuk ke orang terdekat sekalipun.” Sindiran Nahar berhasil menyentil Jagat. Hampir saja ia akan memulai perdebatan lagi kalau tidak ingat sekarang adalah waktunya untuk Vallen yang bicara.

Dengan jari-jari tangan yang saling tertaut, Vallen mulai membuka suara, “Gue dikabarin sama Velo kalo papa minta izin ke nyokap buat nikah lagi. Papa bahkan nggak minta persetujuan gue. Ya emang sih, pendapat gue nggak bakal merubah apapun, tapi kan setidaknya ada omongan ke gue dulu gitu, karena gimanapun yang tinggal bareng papa itu gue.”

“Tapi lo gapapa kalo bokap nikah lagi?”

“Sebenernya gue gak mau, Rei. Ini gue sampe keluar dari rumah ya karena nggak mau ketemu sama calonnya.”

Hati Jagat terenyuh mendengar suara Vallen yang bergetar. Dirinya teringat malam dimana Vallen menangis dengan bebas di apartemennya. Ternyata masalah ini yang Vallen tangisi. Rasanya ia ingin merengkuh tubuh kurus itu dan membisikkan kata-kata yang menenangkan, namun status keduanya sekarang membuat ia sadar posisi.

Lagipula, diantara keempat teman laki-lakinya itu Vallen hanya akan menerima pelukan Reihan. Alasannya karena hanya Reihan yang wangi parfumnya paling bersahabat dengan hidungnya. Alasan lainnya karena pelukan Nahar seringkali terlalu erat sampai membuatnya sesak, Darrel adalah pacar temannya, lalu tidak mungkin Vallen dan Jagat berpelukan, bukan?

“Tapi lo pasti bakal balik ke rumah kan? People change, Len. Yang dulunya merasa nggak butuh siapa-siapa suatu saat pasti bakal jilat ludah sendiri. Dan papa lo itu salah satu contohnya, lo harus bisa menghargai keputusan papa lo.” Jagat menasihati Vallen dengan hati-hati, takut ia salah bicara.

“Iya gue ngerti. Nanti gue juga pulang kok, tapi nggak tau kapan,” jawab Vallen dengan suara lemas. Reihan tiba-tba beranjak dari duduknya hanya untuk menepuk bahu Vallen dua kali. “Lo keren.” Walaupun hanya dua kata yang keluar dari mulut Reihan, semua orang di sana tau betul bahwa ada kalimat panjang yang Reihan simpan di benaknya untuk diungkapkan nanti, secara tidak langsung. Reihan memang jarang sekali berbicara panjang lebar, namun sekalinya bersuara ia bisa membuat siapapun yang mendengar wejangannya itu terharu.

“Lo juga keren, Rei. Gimana kabar Bang Wildan? Masih sering ribut sama abang lo?'

“Ya gitu lah, ketemu ribut kalo ga ketemu kangen.”

Semuanya merespon dengan gelak tawa mendengar pernyataan Reihan. Kecuali Jagat, ia tidak ikut tertawa lantaran ada sebuah panggilan yang menginterupsinya dan membuat yang lain ikut menghentikan tawanya.

“Halo? Oh udah sampe?” “Tapi aku masih di tempat temen,” “Hah? Kamu nggak bisa lama?” “Ohh ya udah aku ke sana sekarang, tungguin ya,” tutur Jagat lalu memutus panggilannya.

Laki-laki yang sering membawa gitarnya kemana-mana itu tidak berpindah dari posisinya ketika bicara dengan seseorang di sebrang sana. Dengan demikian, Vallen, Nahar, Darrel, dan Reihan dapat mendengar percakapannya.

Sorry nih harus cabut duluan,” kata Jagat sembari mengajak teman-temannya untuk high five. Saat tangannya bertemu dengan milik Vallen, ia menangkap tatapan yang sulit diartikan dari mata perempuan itu, seperti kecewa. Namun, lengkungan bibirnya seolah menutupi kekecewaannya.

“Hati-hati, ya.”

Setelahnya Jagat berpamitan kemudian melenggang pergi dari kamar kosan Vallen.

Reihan bertanya dengan antusias, “Gebetan barunya gak sih?”

“Kayaknya udah official pacaran deh,” sahut Darrel. “Ngomongnya udah aku kamu.”

“Baru juga putus, udah dapet cewek lagi si Jagat. Anaknya nggak betah banget jomblo.

Vallen tersenyum getir mendengar celetukan teman-temannya. Ia setuju dengan ucapan Nahar, Jagat memang tipe yang selalu ingin diberi perhatian karena tidak mendapatkan hal itu dari keluarganya. Mungkin karena itu juga posisinya sudah digantikan oleh wanita lain. “Gapapa, lo harus bisa move on juga, Len,” batinnya.

People change, katanya. Mungkin nasihat Jagat juga menggambarkan dirinya sendiri. Jagat yang sebelumnya begitu mencintai Vallen sekarang sudah menemukan perempuan baru untuk ia cintai.

“Biarin lah, he deserves better than me.“

Tanpa mereka sadari, orang yang mereka bicarakan masih berdiri di ambang pintu dan mendengarkan semua spekulasi tersebut.


“Padahal tinggal dateng, kenapa malu coba?”

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut Reihan langsung dihadiahi tatapan tajam dari keempat kawannya.

“Ya lo pikir aja sih, Rei!” celetuk Nahar.

“Apa? Emang dia aja yang lebay. Lagian ini udah berapa bulan? Kalo emang nganggep temen harusnya ya gak usah canggung-canggung tai kucing lah!”

Darrel yang sedang mengupas buah apel ikut bersuara, “Nye nye nye.. Ngomong noh sama tembok!” Ia memberikan apel yang telah dipotong-potong pada Vallen.

Thanks.” Vallen menerima sepiring buah manis itu dengan senang hati. “Kesya tuh bukannya lebay, Rei. Itu cara dia buat sembuhin hatinya,” ucapnya.

Sesuai perjanjian tadi malam, empat laki-laki yang kini tengah duduk melingkar itu telah sampai di kos-kosan yang baru beberapa hari Vallen tempati. Pertemuan mereka diawali dengan membicarakan Kesya yang menolak untuk bergabung bersama mereka.

“Kalo lo sendiri, gimana cara sembuhin hatinya?”

Pertanyaan itu datang dari Nahar, membuat semua orang di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu sontak menatapnya secara bersamaan. Bukan tanpa alasan Nahar melemparkan pertanyaan itu, ia sungguh ingin tau apa yang akan Vallen lakukan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya.

Satu-satunya perempuan di sana terlihat bingung harus menjawab apa, dengan suara lirih ia menjawab, “Kalo gue-”

“Nggak usah dijawab.” Belum selesai Vallen bicara, Jagat sudah lebih dulu memotong ucapannya. “Pertanyaan lo yang bener-bener aja lah, Har,” cetusnya dengan nada ketus disertai tatapan tidak suka.

Vallen langsung menangkap sinyal yang kurang mengenakan. Pasalnya, kini Jagat dan Nahar tengah saling melempar pandang. Nahar menunjukkan tatapan meledek, sedangkan Jagat menatapnya tajam.

“Ribut gak bos? Kalo mau tonjok-tonjokan gue cariin ring tinju buat lo berdua,” seru Darrel yang berada di tengah-tengah keduanya.

Reihan yang peka dengan keadaan lantas menambahkan, “Cari aja, Rel. Gue yang beliin sarung tinju buat dua abang jago ini.”

“Bacot!”

Vallen menahan tawanya ketika melihat wajah merajuk Jagat yang menurutnya sangat lucu. Laki-laki itu kembali memfokuskan perhatiannya pada beda pipih yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya. Jemari panjangnya tidak henti mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah dengan siapa Jagat sedang bertukar pesan, hal itu membuat Vallen sedikit jealous karena Jagat lebih sibuk dengan ponselnya. Otaknya mengatakan bahwa Jagat mungkin saja sedang membalas puluhan pesan dari kontak asrama putri di ponselnya.

Hal itu menyadarkan Vallen akan hubungan yang telah kandas, hubungan yang tidak bisa ia rajut kembali.

“Ngomong-ngomong, bokap gimana kabarnya?”

Dengan tenang Vallen menjawab pertanyaan Reihan barusan, “Sehat kok, kayaknya makin sehat karena mau punya istri baru.”

Keempat laki-laki di sana sontak menoleh keheranan ke arah Vallen yang sedang duduk selonjoran di atas tempat tidurnya. Membuat Vallen membulatkan matanya karena ia baru sadar belum membeberkan tentang masalahnya dengan sang papa.

“Istri baru?”

Tak kalah penasaran dengan Darrel, laki-laki yang postur tubuhnya lebih kecil dari yang lain ikut bertanya, “Papa lo mau nikah lagi?” tanya Reihan dengan wajah penasaran setengah mati.

Nahar dengan tatapannya yang mengintimidasi memajukan tubuh tegapnya. “Vallen, lo gapapa?” Pertanyaannya mengundang Jagat untuk meliriknya sinis—tidak senang dengan Nahar yang terdengar sangat khawatir karena menanyakan keadaan mantan kekasihnya.

Sebenarnya Jagat juga khawatir, Vallen tidak memberitahunya tentang ini. Ingin ikut bertanya, namun masih teringat jelas bagaimana Vallen mengatakan kalau dirinya tidak suka membagi masalah yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, ia hanya duduk tenang dan menunggu perempuan itu bersuara.

Sorry gue lupa belum cerita.”

“Nggak perlu minta maaf. Cerita masalah pribadi itu bukan kewajiban kok, termasuk ke orang terdekat sekalipun.” Sindiran Nahar berhasil menyentil Jagat. Hampir saja ia akan memulai perdebatan lagi kalau tidak ingat sekarang adalah waktunya untuk Vallen yang bicara.

Dengan jari-jari tangan yang saling tertaut, Vallen mulai membuka suara, “Gue dikabarin sama Velo kalo papa minta izin ke nyokap buat nikah lagi. Papa bahkan nggak minta persetujuan gue. Ya emang sih, pendapat gue nggak bakal merubah apapun, tapi kan setidaknya ada omongan ke gue dulu gitu, karena gimanapun yang tinggal bareng papa itu gue.”

“Tapi lo gapapa kalo bokap nikah lagi?”

“Sebenernya gue gak mau, Rei. Ini gue sampe keluar dari rumah ya karena nggak mau ketemu sama calonnya.”

Hati Jagat terenyuh mendengar suara Vallen yang bergetar. Dirinya teringat malam dimana Vallen menangis dengan bebas di apartemennya. Ternyata masalah ini yang Vallen tangisi. Rasanya ia ingin merengkuh tubuh kurus itu dan membisikkan kata-kata yang menenangkan, namun status keduanya sekarang membuat ia sadar posisi.

Lagipula, diantara keempat teman laki-lakinya itu Vallen hanya akan menerima pelukan Reihan. Alasannya karena hanya Reihan yang wangi parfumnya paling bersahabat dengan hidungnya. Alasan lainnya karena pelukan Nahar seringkali terlalu erat sampai membuatnya sesak, Darrel adalah pacar temannya, lalu tidak mungkin Vallen dan Jagat berpelukan, bukan?

“Tapi lo pasti bakal balik ke rumah kan?”

“Iya, tapi nggak tau kapan,” jawab Vallen dengan suara lemas.

Reihan tiba-tba beranjak dari duduknya hanya untuk menepuk bahu Vallen dua kali. “Lo keren.” Walaupun hanya dua kata yang keluar dari mulut Reihan, semua orang di sana tau betul bahwa ada kalimat panjang yang Reihan simpan di benaknya untuk diungkapkan nanti, secara tidak langsung. Reihan memang jarang sekali berbicara panjang lebar, namun sekalinya bersuara ia bisa membuat siapapun yang mendengar wejangannya itu terharu.

“Lo juga keren, Rei. Gimana kabar Bang Wildan? Masih sering ribut sama abang lo?'

“Ya gitu lah, ketemu ribut kalo ga ketemu kangen.”

Semuanya merespon dengan gelak tawa mendengar pernyataan Reihan. Kecuali Jagat, ia tidak ikut tertawa lantaran ada sebuah panggilan yang menginterupsinya dan membuat yang lain ikut menghentikan tawanya.

“Halo? Oh udah sampe?” “Tapi aku masih di tempat temen,” “Hah? Kamu nggak bisa lama?” “Ohh ya udah aku ke sana sekarang, tungguin ya,” tutur Jagat lalu memutus panggilannya.

Laki-laki yang sering membawa gitarnya kemana-mana itu tidak berpindah dari posisinya ketika bicara dengan seseorang di sebrang sana. Dengan demikian, Vallen, Nahar, Darrel, dan Reihan dapat mendengar percakapannya.

Sorry nih harus cabut duluan,” kata Jagat sembari mengajak teman-temannya untuk high five. Saat tangannya bertemu dengan milik Vallen, ia menangkap tatapan yang sulit diartikan dari mata perempuan itu, seperti kecewa. Namun, lengkungan bibirnya seolah menutupi kekecewaannya.

“Hati-hati, ya.”

Setelahnya Jagat berpamitan kemudian melenggang pergi dari kamar kosan Vallen.

Reihan bertanya dengan antusias, “Gebetan barunya gak sih?”

“Kayaknya udah official pacaran deh,” sahut Darrel. “Ngomongnya udah aku kamu.”

“Baru juga putus, udah dapet cewek lagi si Jagat. Anaknya nggak betah banget jomblo.

Vallen tersenyum getir mendengar celetukan teman-temannya. Ia setuju dengan ucapan Nahar, Jagat memang tipe yang selalu ingin diberi perhatian karena tidak mendapatkan hal itu dari keluarganya. Mungkin karena itu juga posisinya sudah digantikan oleh wanita lain. “Gapapa, lo harus bisa move on juga, Len,” batinnya.

People change, katanya. Mungkin nasihat Jagat juga menggambarkan dirinya sendiri. Jagat yang sebelumnya begitu mencintai Vallen sekarang sudah menemukan perempuan baru untuk ia cintai.

“Biarin lah, he deserves better than me.

Tanpa mereka sadari, orang yang mereka bicarakan masih berdiri di ambang pintu dan mendengarkan semua spekulasi tersebut.


“Padahal tinggal dateng, kenapa malu coba?”

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut Reihan langsung dihadiahi tatapan tajam dari keempat kawannya.

“Ya lo pikir aja sih, Rei!” celetuk Nahar.

“Apa? Emang dia aja yang lebay. Lagian ini udah berapa bulan? Kalo emang nganggep temen harusnya ya gak usah canggung-canggung tai kucing lah!”

Darrel yang sedang mengupas buah apel ikut bersuara, “Nye nye nye.. Ngomong noh sama tembok!” Ia memberikan apel yang telah dipotong-potong pada Vallen.

Thanks.” Vallen menerima sepiring buah manis itu dengan senang hati. “Kesya tuh bukannya lebay, Rei. Itu cara dia buat sembuhin hatinya,” ucapnya.

Sesuai perjanjian tadi malam, empat laki-laki yang kini tengah duduk melingkar itu telah sampai di kos-kosan yang baru beberapa hari Vallen tempati. Pertemuan mereka diawali dengan membicarakan Kesya yang menolak untuk bergabung bersama mereka.

“Kalo lo sendiri, gimana cara sembuhin hatinya?”

Pertanyaan itu datang dari Nahar, membuat semua orang di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu sontak menatapnya secara bersamaan. Bukan tanpa alasan Nahar melemparkan pertanyaan itu, ia sungguh ingin tau apa yang akan Vallen lakukan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya.

Satu-satunya perempuan di sana terlihat bingung harus menjawab apa, dengan suara lirih ia menjawab, “Kalo gue-”

“Nggak usah dijawab.” Belum selesai Vallen bicara, Jagat sudah lebih dulu memotong ucapannya. “Pertanyaan lo yang bener-bener aja lah, Har,” cetusnya dengan nada ketus disertai tatapan tidak suka.

Vallen langsung menangkap sinyal yang kurang mengenakan. Pasalnya, kini Jagat dan Nahar tengah saling melempar pandang. Nahar menunjukkan tatapan meledek, sedangkan Jagat menatapnya tajam.

“Ribut gak bos? Kalo mau tonjok-tonjokan gue cariin ring tinju buat lo berdua,” seru Darrel yang berada di tengah-tengah keduanya.

Reihan yang peka dengan keadaan lantas menambahkan, “Cari aja, Rel. Gue yang beliin sarung tinju buat dua abang jago ini.”

“Bacot!”

Vallen menahan tawanya ketika melihat wajah merajuk Jagat yang menurutnya sangat lucu. Laki-laki itu kembali memfokuskan perhatiannya pada beda pipih yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya. Jemari panjangnya tidak henti mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah dengan siapa Jagat sedang bertukar pesan, hal itu membuat Vallen sedikit jealous karena Jagat lebih sibuk dengan ponselnya. Otaknya mengatakan bahwa Jagat mungkin saja sedang membalas puluhan pesan dari kontak asrama putri di ponselnya.

Hal itu menyadarkan Vallen akan hubungan yang telah kandas, hubungan yang tidak bisa ia rajut kembali.

“Ngomong-ngomong, bokap gimana kabarnya?”

Dengan tenang Vallen menjawab pertanyaan Reihan barusan, “Sehat kok, kayaknya makin sehat karena mau punya istri baru.”

Keempat laki-laki di sana sontak menoleh keheranan ke arah Vallen yang sedang duduk selonjoran di atas tempat tidurnya. Membuat Vallen membulatkan matanya karena ia baru sadar belum membeberkan tentang masalahnya dengan sang papa.

“Istri baru?”

Tak kalah penasaran dengan Darrel, laki-laki yang postur tubuhnya lebih kecil dari yang lain ikut bertanya, “Papa lo mau nikah lagi?” tanya Reihan dengan wajah penasaran setengah mati.

Nahar dengan tatapannya yang mengintimidasi memajukan tubuh tegapnya. “Vallen, lo gapapa?” Pertanyaannya mengundang Jagat untuk meliriknya sinis—tidak senang dengan Nahar yang terdengar sangat khawatir karena menanyakan keadaan mantan kekasihnya.

Sebenarnya Jagat juga khawatir, Vallen tidak memberitahunya tentang ini. Ingin ikut bertanya, namun masih teringat jelas bagaimana Vallen mengatakan kalau dirinya tidak suka membagi masalah yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, ia hanya duduk tenang dan menunggu perempuan itu bersuara.

Sorry gue lupa belum cerita.”

“Nggak perlu minta maaf. Cerita masalah pribadi itu bukan kewajiban kok, termasuk ke orang terdekat sekalipun.” Sindiran Nahar berhasil menyentil Jagat. Hampir saja ia akan memulai perdebatan lagi kalau tidak ingat sekarang adalah waktunya untuk Vallen yang bicara.

Dengan jari-jari tangan yang saling tertaut, Vallen mulai membuka suara, “Gue dikabarin sama Velo kalo papa minta izin ke nyokap buat nikah lagi. Papa bahkan nggak minta persetujuan gue. Ya emang sih, pendapat gue nggak bakal merubah apapun, tapi kan setidaknya ada omongan ke gue dulu gitu, karena gimanapun yang tinggal bareng papa itu gue. Padahal dulu papa pernah bilang nggak bakal cari pengganti mama.”

“Tapi lo gapapa kalo bokap nikah lagi?”

“Sebenernya gue gak mau, Rei. Ini gue sampe keluar dari rumah ya karena nggak mau ketemu sama calonnya.”

Hati Jagat terenyuh mendengar suara Vallen yang bergetar. Dirinya teringat malam dimana Vallen menangis dengan bebas di apartemennya. Ternyata masalah ini yang Vallen tangisi. Rasanya ia ingin merengkuh tubuh kurus itu dan membisikkan kata-kata yang menenangkan, namun status keduanya sekarang membuat ia sadar posisi.

Lagipula, diantara keempat teman laki-lakinya itu Vallen hanya akan menerima pelukan Reihan. Alasannya karena hanya Reihan yang wangi parfumnya paling bersahabat dengan hidungnya. Alasan lainnya karena pelukan Nahar seringkali terlalu erat sampai membuatnya sesak, Darrel adalah pacar temannya, lalu tidak mungkin Vallen dan Jagat berpelukan, bukan?

“Tapi lo pasti bakal balik ke rumah kan? People change, Len. Yang dulunya merasa nggak butuh siapa-siapa suatu saat pasti bakal jilat ludah sendiri. Dan papa lo itu salah satu contohnya, lo harus bisa menghargai keputusan papa lo.” Jagat menasihati Vallen dengan hati-hati, takut ia salah bicara.

“Iya gue ngerti. Nanti gue juga pulang kok, tapi nggak tau kapan,” jawab Vallen dengan suara lemas.

Reihan tiba-tba beranjak dari duduknya hanya untuk menepuk bahu Vallen dua kali. “Lo keren.” Walaupun hanya dua kata yang keluar dari mulut Reihan, semua orang di sana tau betul bahwa ada kalimat panjang yang Reihan simpan di benaknya untuk diungkapkan nanti, secara tidak langsung. Reihan memang jarang sekali berbicara panjang lebar, namun sekalinya bersuara ia bisa membuat siapapun yang mendengar wejangannya itu terharu.

“Lo juga keren, Rei. Gimana kabar Bang Wildan? Masih sering ribut sama abang lo?'

“Ya gitu lah, ketemu ribut kalo gak ketemu kangen.”

Semuanya merespon dengan gelak tawa mendengar pernyataan Reihan. Kecuali Jagat, ia tidak ikut tertawa lantaran ada sebuah panggilan yang menginterupsinya dan membuat yang lain ikut menghentikan tawanya.

“Halo? Oh udah sampe?” “Tapi aku masih di tempat temen,” “Hah? Kamu nggak bisa lama?” “Ohh ya udah aku ke sana sekarang, tungguin ya,” tutur Jagat lalu memutus panggilannya.

Laki-laki yang sering membawa gitarnya kemana-mana itu tidak berpindah dari posisinya ketika bicara dengan seseorang di sebrang sana. Dengan demikian, Vallen, Nahar, Darrel, dan Reihan dapat mendengar percakapannya.

Sorry nih harus cabut duluan,” kata Jagat sembari mengajak teman-temannya untuk high five. Saat tangannya bertemu dengan milik Vallen, ia menangkap tatapan yang sulit diartikan dari mata perempuan itu, seperti kecewa. Namun, lengkungan bibirnya seolah menutupi kekecewaannya.

“Hati-hati, ya.”

Setelahnya Jagat berpamitan kemudian melenggang pergi dari kamar kosan Vallen.

Reihan bertanya dengan antusias, “Gebetan barunya gak sih?”

“Kayaknya udah official pacaran deh,” sahut Darrel. “Ngomongnya udah aku kamu.”

“Baru juga putus, udah dapet cewek lagi si Jagat. Anaknya nggak betah banget jomblo.

Vallen tersenyum getir mendengar celetukan teman-temannya. Ia setuju dengan ucapan Nahar, Jagat memang tipe yang selalu ingin diberi perhatian karena tidak mendapatkan hal itu dari keluarganya. Mungkin karena itu juga posisinya sudah digantikan oleh wanita lain. “*Gapapa, lo harus bisa move on juga, Len,” batinnya.

People change, katanya. Mungkin nasihat Jagat juga menggambarkan dirinya sendiri. Jagat yang sebelumnya begitu mencintai Vallen sekarang sudah menemukan perempuan baru untuk ia cintai.

“Biarin lah, he deserves better than me.

Tanpa mereka sadari, orang yang mereka bicarakan masih berdiri di ambang pintu dan mendengarkan semua spekulasi tersebut.


“Padahal tinggal dateng, kenapa malu coba?”

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut Reihan langsung dihadiahi tatapan tajam dari keempat kawannya.

“Ya lo pikir aja sih, Rei!” celetuk Nahar.

“Apa? Emang dia aja yang lebay. Lagian ini udah berapa bulan? Kalo emang nganggep temen harusnya ya gak usah canggung-canggung tai kucing lah!”

Darrel yang sedang mengupas buah apel ikut bersuara, “Nye nye nye.. Ngomong noh sama tembok!” Ia memberikan apel yang telah dipotong-potong pada Vallen.

Thanks.” Vallen menerima sepiring buah manis itu dengan senang hati. “Kesya tuh bukannya lebay, Rei. Itu cara dia buat sembuhin hatinya,” ucapnya.

Sesuai perjanjian tadi malam, empat laki-laki yang kini tengah duduk melingkar itu telah sampai di kos-kosan yang baru beberapa hari Vallen tempati. Pertemuan mereka diawali dengan membicarakan Kesya yang menolak untuk bergabung bersama mereka.

“Kalo lo sendiri, gimana cara sembuhin hatinya?”

Pertanyaan itu datang dari Nahar, membuat semua orang di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu sontak menatapnya secara bersamaan. Bukan tanpa alasan Nahar melemparkan pertanyaan itu, ia sungguh ingin tau apa yang akan Vallen lakukan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya.

Satu-satunya perempuan di sana terlihat bingung harus menjawab apa, dengan suara lirih ia menjawab, “Kalo gue-”

“Nggak usah dijawab.” Belum selesai Vallen bicara, Jagat sudah lebih dulu memotong ucapannya. “Pertanyaan lo yang bener-bener aja lah, Har,” cetusnya dengan nada ketus disertai tatapan tidak suka.

Vallen langsung menangkap sinyal yang kurang mengenakan. Pasalnya, kini Jagat dan Nahar tengah saling melempar pandang. Nahar menunjukkan tatapan meledek, sedangkan Jagat menatapnya tajam.

“Ribut gak bos? Kalo mau tonjok-tonjokan gue cariin ring tinju buat lo berdua,” seru Darrel yang berada di tengah-tengah keduanya.

Reihan yang peka dengan keadaan lantas menambahkan, “Cari aja, Rel. Gue yang beliin sarung tinju buat dua abang jago ini.”

“Bacot!”

Vallen menahan tawanya ketika melihat wajah merajuk Jagat yang menurutnya sangat lucu. Laki-laki itu kembali memfokuskan perhatiannya pada beda pipih yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya. Jemari panjangnya tidak henti mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah dengan siapa Jagat sedang bertukar pesan, hal itu membuat Vallen sedikit jealous karena Jagat lebih sibuk dengan ponselnya. Otaknya mengatakan bahwa Jagat mungkin saja sedang membalas puluhan pesan dari kontak asrama putri di ponselnya.

Hal itu menyadarkan Vallen akan hubungan yang telah kandas, hubungan yang tidak bisa ia rajut kembali.

“Ngomong-ngomong, bokap gimana kabarnya?”

Dengan tenang Vallen menjawab pertanyaan Reihan barusan, “Sehat kok, kayaknya makin sehat karena mau punya istri baru.”

Keempat laki-laki di sana sontak menoleh keheranan ke arah Vallen yang sedang duduk selonjoran di atas tempat tidurnya. Membuat Vallen membulatkan matanya karena ia baru sadar belum membeberkan tentang masalahnya dengan sang papa.

“Istri baru?”

Tak kalah penasaran dengan Darrel, laki-laki yang postur tubuhnya lebih kecil dari yang lain ikut bertanya, “Papa lo mau nikah lagi?” tanya Reihan dengan wajah penasaran setengah mati.

Nahar dengan tatapannya yang mengintimidasi memajukan tubuh tegapnya. “Vallen, lo gapapa?” Pertanyaannya mengundang Jagat untuk meliriknya sinis—tidak senang dengan Nahar yang terdengar sangat khawatir karena menanyakan keadaan mantan kekasihnya.

Sebenarnya Jagat juga khawatir, Vallen tidak memberitahunya tentang ini. Ingin ikut bertanya, namun masih teringat jelas bagaimana Vallen mengatakan kalau dirinya tidak suka membagi masalah yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, ia hanya duduk tenang dan menunggu perempuan itu bersuara.

Sorry gue lupa belum cerita.”

“Nggak perlu minta maaf. Cerita masalah pribadi itu bukan kewajiban kok, termasuk ke orang terdekat sekalipun.” Sindiran Nahar berhasil menyentil Jagat. Hampir saja ia akan memulai perdebatan lagi kalau tidak ingat sekarang adalah waktunya untuk Vallen yang bicara.

Dengan jari-jari tangan yang saling tertaut, Vallen mulai membuka suara, “Gue dikabarin sama Velo kalo papa minta izin ke nyokap buat nikah lagi. Papa bahkan nggak minta persetujuan gue. Ya emang sih, pendapat gue nggak bakal merubah apapun, tapi kan setidaknya ada omongan ke gue dulu gitu, karena gimanapun yang tinggal bareng papa itu gue. Padahal dulu papa pernah bilang nggak bakal cari pengganti mama.”

“Tapi lo gapapa kalo bokap nikah lagi?”

“Sebenernya gue gak mau, Rei. Ini gue sampe keluar dari rumah ya karena nggak mau ketemu sama calonnya.”

Hati Jagat terenyuh mendengar suara Vallen yang bergetar. Dirinya teringat malam dimana Vallen menangis dengan bebas di apartemennya. Ternyata masalah ini yang Vallen tangisi. Rasanya ia ingin merengkuh tubuh kurus itu dan membisikkan kata-kata yang menenangkan, namun status keduanya sekarang membuat ia sadar posisi.

Lagipula, diantara keempat teman laki-lakinya itu Vallen hanya akan menerima pelukan Reihan. Alasannya karena hanya Reihan yang wangi parfumnya paling bersahabat dengan hidungnya. Alasan lainnya karena pelukan Nahar seringkali terlalu erat sampai membuatnya sesak, Darrel adalah pacar temannya, lalu tidak mungkin Vallen dan Jagat berpelukan, bukan?

“Tapi lo pasti bakal balik ke rumah kan? People change, Len. Yang dulunya merasa nggak butuh siapa-siapa suatu saat pasti bakal jilat ludah sendiri. Dan papa lo itu salah satu contohnya, lo harus bisa menghargai keputusan papa lo.” Jagat menasihati Vallen dengan hati-hati, takut ia salah bicara.

“Iya gue ngerti. Nanti gue juga pulang kok, tapi nggak tau kapan,” jawab Vallen dengan suara lemas.

Reihan tiba-tba beranjak dari duduknya hanya untuk menepuk bahu Vallen dua kali. “Lo keren.” Walaupun hanya dua kata yang keluar dari mulut Reihan, semua orang di sana tau betul bahwa ada kalimat panjang yang Reihan simpan di benaknya untuk diungkapkan nanti, secara tidak langsung. Reihan memang jarang sekali berbicara panjang lebar, namun sekalinya bersuara ia bisa membuat siapapun yang mendengar wejangannya itu terharu.

“Lo juga keren, Rei. Gimana kabar Bang Wildan? Masih sering ribut sama abang lo?'

“Ya gitu lah, ketemu ribut kalo ga ketemu kangen.”

Semuanya merespon dengan gelak tawa mendengar pernyataan Reihan. Kecuali Jagat, ia tidak ikut tertawa lantaran ada sebuah panggilan yang menginterupsinya dan membuat yang lain ikut menghentikan tawanya.

“Halo? Oh udah sampe?” “Tapi aku masih di tempat temen,” “Hah? Kamu nggak bisa lama?” “Ohh ya udah aku ke sana sekarang, tungguin ya,” tutur Jagat lalu memutus panggilannya.

Laki-laki yang sering membawa gitarnya kemana-mana itu tidak berpindah dari posisinya ketika bicara dengan seseorang di sebrang sana. Dengan demikian, Vallen, Nahar, Darrel, dan Reihan dapat mendengar percakapannya.

Sorry nih harus cabut duluan,” kata Jagat sembari mengajak teman-temannya untuk high five. Saat tangannya bertemu dengan milik Vallen, ia menangkap tatapan yang sulit diartikan dari mata perempuan itu, seperti kecewa. Namun, lengkungan bibirnya seolah menutupi kekecewaannya.

“Hati-hati, ya.”

Setelahnya Jagat berpamitan kemudian melenggang pergi dari kamar kosan Vallen.

Reihan bertanya dengan antusias, “Gebetan barunya gak sih?”

“Kayaknya udah official pacaran deh,” sahut Darrel. “Ngomongnya udah aku kamu.”

“Baru juga putus, udah dapet cewek lagi si Jagat. Anaknya nggak betah banget jomblo.

Vallen tersenyum getir mendengar celetukan teman-temannya. Ia setuju dengan ucapan Nahar, Jagat memang tipe yang selalu ingin diberi perhatian karena tidak mendapatkan hal itu dari keluarganya. Mungkin karena itu juga posisinya sudah digantikan oleh wanita lain. “*Gapapa, lo harus bisa move on juga, Len,” batinnya.

People change, katanya. Mungkin nasihat Jagat juga menggambarkan dirinya sendiri. Jagat yang sebelumnya begitu mencintai Vallen sekarang sudah menemukan perempuan baru untuk ia cintai.

“Biarin lah, he deserves better than me.

Tanpa mereka sadari, orang yang mereka bicarakan masih berdiri di ambang pintu dan mendengarkan semua spekulasi tersebut.


Nahar sedikit terkejut melihat perempuan di depannya melempar ponselnya ke sofa. Ia kemudian memindahkan berbagai jajanan sekolah yang telah ia beli sebelumnya ke piring. “Lo kenapa, Len?”

“Ada orang ngeselin,” celetuk Vallen yang kemudian langsung membantu Nahar yang sedang direpotkan dengan telur gulung dan jajarannya.

Vallen menuangkan saus dengan raut wajah yang tidak bersahabat, suasana hatinya langsung tidak baik kala mendapati pesan dari seseorang yang beberapa waktu lalu pernah berurusan dengannya, Cakra.

Laki-laki yang telah menjadi temannya sejak SMP itu menghentikan pergerakannya secara tiba-tiba. “Kenapa? cerita aja,” ucapnya.

Sebab Vallen tau Nahar pasti akan menunggu ceritanya, mau tidak mau ia harus membeberkan sesuatu yang telah menggangu pikirannya.

“Gue kesel gara-gara diajak ketemu sama cowok yang udah gue blacklist, Har. Gue kira dia udah nggak inget sama gue, taunya malah ngechat terus minta ketemuan.”

“Cowok mana? Emangnya lo pernah deket sama cowok lain selain Jagat?”

Vallen menepuk jidatnya sendiri karena baru sadar kalau Nahar tidak tahu-menahu soal Cakra. Ia memang sengaja tidak menggembar-gemborkan masalah pribadinya. “Gue lupa belum pernah ngasih tau lo.”

“Tuh, kan. Emang ya gue tuh udah nggak dianggep temen sama lo.” Satu tusuk telur gulung Nahar ambil tanpa melepas pandangannya dari Vallen.

“Bukan gitu, anjir! Cerita gue emang nggak penting, makannya gue nggak bilang. Ya intinya gue sempet kenal sama satu cowok, tapi first impression gue ke dia emang udah jelek sih. Dia kayak tiba-tiba banget ngajak gue kenalan lewat DM Instagram terus ngundang gue ke partynya. Gue nya iya-iya aja karena kan emang dia niatnya mau temenan sama gue. Tapi waktu gue datang ke tempatnya, itu cowok nggak muncul-muncul sampe gue harus nunggu berjam-jam sendirian kayak anak ilang di depan kafe.”

Nahar bisa menangkap emosi yang sedang dialami Vallen, terlihat jelas dari ekspresi dan gerak tangannya ketika berbicara. “Kurang ajar juga ya. Tapi yang bikin gue heran tuh, kok ada yang bisa deketin lo selain Jagat?” tanyanya, kemudian meringis lantaran menerima cubitan di lengannya.

“Ngeledek banget pertanyaan lo!”

“Maksud gue tuh, Jagat kan udah nyuruh cowok cowok buat jangan deketin lo nih. Tapi kok masih ada yang berani deketin lo itu gimana asal-usulnya?”

“Lho, kok lo tau kalo Jagat nyuruh orang buat jangan ada yang deketin gue?”

“Ya tau lah, kan gue salah satu yang dikasih peringatan sama dia.”

Vallen mendecak mendengar penjelasan Nahar, “Gak waras banget deh si Jagat.”

“Namanya juga udah cinta mati,” kata Nahar diikuti gelak tawanya. “Eh, tapi kalo cinta mati harusnya nggak putus ya, Len?!”

Lagi-lagi Vallen mencubit lengan Nahar karena laki-laki berkaus hitam itu kembali meledeknya.

Setelahnya keheningan lantas menyelimuti keduanya, baik Nahar maupun Vallen sama-sama asyik dengan berbagai jajanan yang tersaji di meja ruang tamu.

Mulai dari milor, cilung, gorengan, telur gulung, cireng dan makanan berminyak lainnya satu-persatu mereka cicipi. Rasanya masih sama seperti beberapa tahun kebelakang, saat keduanya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama.

Nahar dan Vallen telah akrab sejak lama, bahkan beberapa teman yang kenal dengan mereka sering mempertanyakan kenapa keduanya tidak menjalin hubungan lebih dari teman.

Jawabannya sederhana, baik Nahar maupun Vallen sama-sama tidak ingin ada perubahan status antara mereka. Keduanya sudah sangat nyaman dengan pertemanan ini. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau diantara mereka ada yang menyimpan rasa sayang lebih dari teman.

Dua tahun lalu, Nahar mengungkapkan perasaannya. Ia mengaku telah jatuh hati pada sahabatnya itu sejak lama. Namun, dirinya tidak berharap balasan apapun dari perasaannya. Dengan kata lain, Nahar tidak suka kalau harus menjadi canggung ketika hubungan keduanya nanti ternyata tidak berlangsung lama.

Prinsip itu juga ada di diri Vallen, sebisa mungkin ia menghindari menjalin hubungan asmara dengan teman sendiri.

Namun ada yang berbeda dengan Jagat, hatinya dibuat dilema ketika dihadapkan dengan perasaan laki-laki tampan itu. Bohong kalau Vallen tidak mencintainya, justru Jagat lah yang berhasil membuka hatinya kembali setelah dicampakkan oleh Evan—mantan kekasihnya yang telah putus dua tahun lalu. Vallen begitu sayang padanya sampai rasanya tidak rela kalau harus kehilangan. Oleh karena itu, tidak ada sedikitpun keinginan dirinya untuk mempertahankan hubungan mereka.

Setelah beberapa bulan berpacaran dengan Jagat, ia merasa bahwa terdapat banyak ketidakcocokan diantara mereka. Jagat terlalu childish bagi Vallen. Bahkan, alasan putus keduanya pun dirasa cukup untuk membuktikan ketidakcocokan keduanya.

Menurut Jagat, Vallen harus terbuka dan mau membagi keluh kesahnya tanpa diminta, menurutnya hal ini wajar dilakukan antar pasangan. Namun, Vallen memiliki pandangan lain tentang itu. Dirinya akan dengan sukarela bercerita jika memang merasa perlu, dan Jagat tidak berhak tau semua masalahnya karena ia tidak mau menambah beban pikiran laki-laki itu. Terdengar sepele memang, namun jika terus dibiarkan dan dimaklumi, Vallen takut akan ada masalah lain yang harus mereka hadapi di kemudian hari.

Bukannya tidak mau berjuang bersama, perempuan itu hanya masih belum sembuh dari luka lamanya.

Vallen pernah ada di posisi dimana ia harus mempertahankan sebuah hubungan yang sebenarnya sudah toxic. Bersama Evan, dua tahun lalu ia telah terjebak toxic relationship. Laki-laki manipulatif itu telah berhasil membuat Vallen jatuh sejatuh-jatuhnya padanya.

Vallen juga pernah ada di posisi dimana ia harus pura-pura terlihat baik-baik saja di depan Evan walaupun sudah tau kelakuan buruknya, memaklumi kedekatan Evan dengan perempuan lain adalah tindakan bodohnya yang selalu ia sesali.

Bahkan, Vallen pernah ada di posisi dimana semua orang terdekatnya menyebutnya gadis tolol karena terlalu bucin lantaran selalu memaafkan dan tidak segan untuk memohon demi kelangsungan hubungannya dengan Evan.

Dari situlah Vallen ingin memperbaiki dirinya, ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Oleh karena itu, dirinya kini hanya akan mencintai seseorang sewajarnya saja. Kalau pasangannya ingin pergi, silahkan. Vallen tidak akan menahannya sekalipun orang itu adalah Jagat Adigdaya, laki-laki baik yang telah lama bersahabat dengannya.

“Terus nantinya lo sama Jagat bakal gimana, Len?”

“Apanya yang gimana?”

“Ya.. Lo berdua masih temenan, kan?”

Vallen menarik napasnya kemudian mengangguk lemah. “He said we shouldn't be awkward, kayak Kesya sama Reihan.”

“Bener sih, gue juga kalo jadi Jagat bakal ngomong gitu.”

“Tapi gue nggak yakin, Har. Gue takut makin susah move on.

“Lo masih ada rasa?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Nahar, perempuan dengan tatapan mata yang tajam itu mengangkat bahunya, terlalu malas menjelaskan karena ia sendiri tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan isi hatinya.

“Dasar gak jelas!” tukas Nahar seraya melempar sebiji cabai rawit yang ia dapat dari kantong gorengan.

Stop deh bahas hubungan gue. Sekarang gantian, lo sendiri gimana, Har? Udah punya cewek belum sih temen gue yang paling sabar ini?”

Yang ditanya tergelak mendengar pertanyaan yang Vallen lontarkan. “Menurut lo, cowok yang mukanya mirip Iqbal Ramadhan ini nggak bisa dapet cewek?”

Vallen mendelik mendengar ucapan penuh percaya diri itu, lantas ia menimpali, “Cewek mana nih yang bisa luluhin hati lo yang udah beku itu?”

“Lo kenal Arumi Ghefani?” tanya Nahar yang direspon gelengan. “Itu lho, anak pendidikan seni tari yang pernah pake jasa gue buat fotoin kegiatannya pas lagi lomba.”

“Yang mana sih? Lo belum pernah bilang-bilang sama gue.”

Keduanya larut dalam topik obrolan baru, tentang Nahar yang hatinya tengah kasmaran sebab baru dipertemukan dengan Arumi, mahasiswi yang berhasil mencuri perhatiannya.


cw // kissing

Sudah terhitung selama kurang lebih 3 bulan saling mengenal, hubungan Dzaki dan Kinan kini menjadi lebih dekat. Namun belum ada status khusus yang mengikat hubungan keduanya. Walaupun begitu, baik Dzaki maupun Kinan tidak terlalu meributkan perihal status tersebut.

Dzaki seringkali bertingkah dengan tiba-tiba mengatakan ingin berpacaran dengan Kinan. Tapi Kinan selalu menanggapi ucapannya dengan kalimat candaan yang sialnya tidak dianggap sebagai candaan oleh si pemilik nama belakang Fachrezi itu.

Sejujurnya, Kinan juga sedikit menaruh hati padanya. Ia menemukan kenyamanan setiap kali bertemu atau berinteraksi dengan Dzaki. Namun kedekatan keduanya yang belum lama menjadikan Kinan agak ragu untuk langsung menerima ajakan kencan dari Dzaki.

“Ki, are you really comfortable if we kiss? Sebenernya tadi iseng doang sih, tapi lo nya malah nge-iyain.” Dzaki tertawa renyah, memamerkan gummy smile yang menjadi ciri khas senyumannya.

“Ya.. Lo udah disini, mau gimana lagi?”

Di dalam kamar kos Kinan, di atas kasur lantai keduanya saling melempar pandang. Bicara dari hati ke hati, meyakinkan diri masing-masing untuk menyatakan cinta lewat pertemuan dua bibir untuk pertama kalinya.

Dengan kedua alis yang terangkat Dzaki meminta izin melalui raut wajahnya. Anggukan kecil Kinan pun menjadi sinyal untuknya bergerak. Mendekatkan wajahnya pada gadis yang duduk di depannya, lantas menautkan bibirnya dan milik Kinan dengan hati-hati.

Setelah beberapa saat, barulah perlahan Dzaki mulai berani menyesap bibir pink alami tersebut. Tidak adanya pergerakan yang berarti dari Kinan membuat Dzaki melepaskan tautannya.

Is it your first time?

Kinan menggeleng kemudian menjawab, “I'm just nervous.” Dirinya menutup wajahnya malu kala kekehan kecil dari Dzaki menyapa telinganya yang memerah.

“Lucu banget sih, Ki??”

“Diem, deh! Mau lanjutin nggak?”

Dzaki terlihat berpikir sejenak, lalu ia tersenyum jahil. “Lanjut nanti aja kalo udah resmi pacaran.”

Laki-laki berkulit putih bersih itu beranjak dari duduknya, berjalan semangat ke meja lesehan tempat Kinan biasa belajar.

“Mau ngapain, Ki?”

“Mau liat buku-buku calon ibu dokter,” jawab Dzaki.

Sore itu mereka habiskan dengan saling bercerita. Kinan menceritakan suka dukanya menjadi mahasiswi, sedangkan Dzaki berbagi pengalamannya selama gapyear.


cw // kissing

Sudah terhitung selama kurang lebih 3 bulan saling mengenal, hubungan Dzaki dan Kinan kini menjadi lebih dekat. Namun belum ada status khusus yang mengikat hubungan keduanya. Walaupun begitu, baik Dzaki maupun Kinan tidak terlalu meributkan perihal status tersebut.

Dzaki seringkali bertingkah dengan tiba-tiba mengatakan ingin berpacaran dengan Kinan. Tapi Kinan selalu menanggapi ucapannya dengan kalimat candaan yang sialnya tidak dianggap sebagai candaan oleh si pemilik nama belakang Fachrezi itu.

Sejujurnya, Kinan juga sedikit menaruh hati padanya. Ia menemukan kenyamanan setiap kali bertemu atau berinteraksi dengan Dzaki. Namun kedekatan keduanya yang belum lama menjadikan Kinan agak ragu untuk langsung menerima ajakan kencan dari Dzaki.

“Ki, are you really comfortable if we kiss? Sebenernya tadi iseng doang sih, tapi lo nya malah nge-iyain.” Dzaki tertawa renyah, memamerkan gummy smile yang menjadi ciri khas senyumannya.

“Ya.. Lo udah disini, mau gimana lagi?”

Di dalam kamar kos Kinan, di atas kasur lantai keduanya saling melempar pandang. Bicara dari hati ke hati, meyakinkan diri masing-masing untuk menyatakan cinta lewat pertemuan dua bibir untuk pertama kalinya.

Dengan kedua alis yang terangkat Dzaki meminta izin melalui raut wajahnya. Anggukan kecil Kinan pun menjadi sinyal untuknya bergerak. Mendekatkan wajahnya pada gadis yang duduk di depannya, lantas menautkan bibirnya dan milik Kinan dengan hati-hati.

Setelah beberapa saat, barulah perlahan Dzaki mulai berani menyesap bibir pink alami tersebut. Tidak adanya pergerakan yang berarti dari Kinan membuat Dzaki melepaskan tautannya.

Is it your first time?

Kinan menggeleng kemudian menjawab, “I'm just nervous.” Dirinya menutup wajahnya malu kala kekehan kecil dari Dzaki menyapa telinganya yang memerah.

“Lucu banget sih, Ki??”

“Diem, deh! Mau lanjutin nggak?”

Dzaki terlihat berpikir sejenak, lalu ia tersenyum jahil. “Lanjut nanti aja kalo udah resmi pacaran.”

Laki-laki berkulit putih bersih itu beranjak dari duduknya, berjalan semangat ke kursi belajar yang letaknya di depan jendela.

“Mau ngapain, Ki?”

“Mau liat buku-buku calon ibu dokter,” jawab Dzaki.

Sore itu mereka habiskan dengan saling bercerita. Kinan menceritakan suka dukanya menjadi mahasiswi, sedangkan Dzaki berbagi pengalamannya selama gapyear.


Sudah terhitung selama kurang lebih 3 bulan saling mengenal, hubungan Dzaki dan Kinan kini menjadi lebih dekat. Namun belum ada status khusus yang mengikat hubungan keduanya. Walaupun begitu, baik Dzaki maupun Kinan tidak terlalu meributkan perihal status tersebut.

Dzaki seringkali bertingkah dengan tiba-tiba mengatakan ingin berpacaran dengan Kinan. Tapi Kinan selalu menanggapi ucapannya dengan kalimat candaan yang sialnya tidak dianggap sebagai candaan oleh si pemilik nama belakang Fachrezi itu.

Sejujurnya, Kinan juga sedikit menaruh hati padanya. Ia menemukan kenyamanan setiap kali bertemu atau berinteraksi dengan Dzaki. Namun kedekatan keduanya yang belum lama menjadikan Kinan agak ragu untuk langsung menerima ajakan kencan dari Dzaki.

“Ki, are you really comfortable if we kiss? Sebenernya tadi iseng doang sih, tapi lo nya malah nge-iyain.” Dzaki tertawa renyah, memamerkan gummy smile yang menjadi ciri khas senyumannya.

“Ya.. Lo udah disini, mau gimana lagi?”

Di dalam kamar kos Kinan, di atas kasur lantai keduanya saling melempar pandang. Bicara dari hati ke hati, meyakinkan diri masing-masing untuk menyatakan cinta lewat pertemuan dua bibir untuk pertama kalinya.

Dengan kedua alis yang terangkat Dzaki meminta izin melalui raut wajahnya. Anggukan kecil Kinan pun menjadi sinyal untuknya bergerak. Mendekatkan wajahnya pada gadis yang duduk di depannya, lantas menautkan bibirnya dan milik Kinan dengan hati-hati.

Setelah beberapa saat, barulah perlahan Dzaki mulai berani menyesap bibir pink alami tersebut. Tidak adanya pergerakan yang berarti dari Kinan membuat Dzaki melepaskan tautannya.

Is it your first time?

Kinan menggeleng kemudian menjawab, “I'm just nervous.” Dirinya menutup wajahnya malu kala kekehan kecil dari Dzaki menyapa telinganya yang memerah.

“Lucu banget sih, Ki??”

“Diem, deh! Mau lanjutin nggak?”

Dzaki terlihat berpikir sejenak, lalu ia tersenyum jahil. “Lanjut nanti aja kalo udah resmi pacaran.”

Laki-laki berkulit putih bersih itu beranjak dari duduknya, berjalan semangat ke kursi belajar yang letaknya di depan jendela.

“Mau ngapain, Ki?”

“Mau liat buku-buku calon ibu dokter,” jawab Dzaki.

Sore itu mereka habiskan dengan saling bercerita. Kinan menceritakan suka dukanya menjadi mahasiswi, sedangkan Dzaki berbagi pengalamannya selama gapyear.


cw // kissing

Sudah terhitung selama kurang lebih 3 bulan saling mengenal, hubungan Dzaki dan Kinan kini menjadi lebih dekat. Namun belum ada status khusus yang mengikat hubungan keduanya. Walaupun begitu, baik Dzaki maupun Kinan tidak terlalu meributkan perihal status tersebut.

Dzaki seringkali bertingkah dengan tiba-tiba mengatakan ingin berpacaran dengan Kinan. Tapi Kinan selalu menanggapi ucapannya dengan kalimat candaan yang sialnya tidak dianggap sebagai candaan oleh si pemilik nama belakang Fachrezi itu.

Sejujurnya, Kinan juga sedikit menaruh hati padanya. Ia menemukan kenyamanan setiap kali bertemu atau berinteraksi dengan Dzaki. Namun kedekatan keduanya yang belum lama menjadikan Kinan agak ragu untuk langsung menerima ajakan kencan dari Dzaki.

“Ki, are you really comfortable if we kiss? Sebenernya tadi iseng doang sih, tapi lo nya malah nge-iyain.” Dzaki tertawa renyah, memamerkan gummy smile yang menjadi ciri khas senyumannya.

“Ya.. Lo udah disini, mau gimana lagi?”

Di dalam kamar kos Kinan, di atas kasur lantai keduanya saling melempar pandang. Bicara dari hati ke hati, meyakinkan diri masing-masing untuk menyatakan cinta lewat pertemuan dua bibir untuk pertama kalinya.

Dengan kedua alis yang terangkat Dzaki meminta izin melalui raut wajahnya. Anggukan kecil Kinan pun menjadi sinyal untuknya bergerak. Mendekatkan wajahnya pada gadis yang duduk di depannya, lantas menautkan bibirnya dan milik Kinan dengan hati-hati.

Setelah beberapa saat, barulah perlahan Dzaki mulai berani menyesap bibir pink alami tersebut. Tidak ada pergerakan yang berarti dari perempuan yang mengenakan sweater orange ini, membuat Dzaki melepaskan tautannya.

Is it your first time?

Kinan menggeleng kemudian menjawab, “I'm just nervous.” Dirinya menutup wajahnya malu kala kekehan kecil dari Dzaki menyapa telinganya yang memerah.

“Lucu banget sih, Ki??”

“Diem, deh! Mau lanjutin nggak?”

Dzaki terlihat berpikir sejenak, lalu ia tersenyum jahil. “Lanjut nanti aja kalo udah resmi pacaran.”

Laki-laki berkulit putih bersih itu beranjak dari duduknya, berjalan semangat ke kursi belajar yang letaknya di depan jendela.

“Mau ngapain, Ki?”

“Mau liat buku-buku calon ibu dokter,” jawab Dzaki.

Sore itu mereka habiskan dengan saling bercerita. Kinan menceritakan suka dukanya menjadi mahasiswi, sedangkan Dzaki berbagi pengalamannya selama gapyear.