I know you know


Hawa dingin dari air conditioner di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu menyapa keduanya kala Jagat membuka pintu studio musik yang kerap kali ia dan teman-teman bandnya tempati untuk latihan.

Ada Leo dan Fajar yang sedang memainkan alat musik di sana.

Jagat menyapa dua laki-laki itu lalu ia memberi kode agar mereka memberi ruang untuknya dan sang pacar, “Paham, lah!” katanya.

Sorry ya, Le, Jar, jadi ganggu kalian,” ujar Vallen merasa sedikit tidak enak karena telah mengusir mereka secara tidak langsung.

Leo memberikan kunci studio pada Jagat. “Yoi santai aja, lagian kita juga udah mau cabut.”

“Hati-hati, Len. Studio ini banyak setannya, salah satunya itu ada di sebelah lo,” ledek Fajar yang langsung dihadiahi sepakan pelan dari Jagat di bokongnya.

“Lo berdua mending buruan cabut, deh!”

Kedua temannya terkekeh geli menyadari Jagat yang sudah ingin cepat-cepat berduaan dengan pacarnya. Mereka akhirnya pamit setelah Jagat memberikan sebungkus rokok.

“Emang harus disogok dulu apa gimana deh?” tanya Vallen setelah hanya ada ia dan Jagat di sana.

Dikeprak-keprakannya alas sofa sebelum mempersilakan Vallen duduk di atasnya. “Biasalah, harus digituin biar pada diem cocotnya.”

Hari ini sesuai janji Jagat semalam, Vallen diajak ke studio yang merupakan ruang latihan milik UKM band di kampusnya untuk mendengarkan lagu yang ia ciptakan untuk perempuan itu.

Ini bukan pertama kalinya Vallen menginjakan kaki di ruangan tersebut. Sebelumnya juga ia sering diminta untuk sekadar menemani Jagat latihan. Itu kenapa Vallen bisa dikenal oleh teman-teman Jagat.

Jagat duduk di lantai—di depan Vallen yang duduk di sofa, dengan gitar yang sudah berada di posisinya. “Lagu ini sebenernya udah dibikin dari lama, tapi aku nunggu momen yang tepat buat nyanyiin di depan kamu. And today is that moment.

Dapat ia lihat gadis di depannya menahan senyum, tersipu. Membuat ia ikut mengalihkan pandangannya karena terbawa suasana malu-malu kucing.

Vallen mengeluarkan ponsel dari sling bag hitamnya. “Aku mau rekam, boleh gak?”

“Boleh, sayang.”

Bohong kalau Vallen tidak gugup. Jantungnya berdetak tidak beraturan saking gugupnya. Aneh, padahal biasanya tidak begini. Vallen jarang sekali merasa gugup atau deg-degan saat berada di dekat Jagat.

Detak jantungnya saat ini sama persis seperti detak yang ia rasakan satu bulan lalu—saat Jagat menyatakan perasaannya melalui sapuan lembut di bibirnya.

Merasa tidak nyaman karena posisinya yang lebih tinggi dari Jagat, Vallen beranjak dari tempatnya lalu duduk di lantai berhadapan dengan laki-laki yang mengenakan kemeja putih berlengan pendek itu.

Ready?

Setelah menyalakan kamera Vallen mengangguk dan siap mendengarkan lagu spesial dari kekasihnya.

Jagat dan jari-jari panjangnya mulai memetik senar gitar yang kemudian menghasilkan bunyi yang begitu sopan masuk ke telinga. Perempuan yang duduk manis di depannya pun telah bereaksi dengan memusatkan fokus hanya pada permainan gitarnya.

Di detik saat Jagat mulai bernyanyi, mata mereka bertemu dan seolah terhipnotis, laki-laki itu mengunci pandangannya sehingga keduanya saling bertatapan dengan masing-masing menunjukkan senyuman.

Seperti seorang profesional, Jagat menyanyikan lirik demi lirik tanpa melepas tatapannya dari Vallen yang juga setia menatap mata sipit laki-laki itu.

I know you know“ “I love you, baby“ “I know you know“ “I love you, baby

I just wanna you to know“ “You're my sunshine in the sky

Jagat menyudahi nyanyiannya di detik ke-25. “That's it, for now. Aku nggak mau spoiler.”

Huh?

Kekehan kecil Jagat merespon kebingungan Vallen, membuat ia semakin bingung karena masih tidak mengerti kalimat terakhir Jagat. “Spoiler gimana, sih?”

“Aku mau debut single di manajemen keluarganya temenku.” Ada jeda beberapa detik sebelum Jagat melanjutkan kalimatnya, “Pake lagu ini.”

Vallen yang dari tadi masih setia merekam langsung melempar ponselnya ke sofa, lantas ia bertepuk tangan dibarengi teriak girang dari mulutnya.

“GILA! KAMU KEREN BANGET, COY!! AAAA SUMPAH AKU BANGGA BANGET SAMA KAMUUU!” Mengangkat tangan Jagat tinggi-tinggi adalah hal yang Vallen lakukan tanpa sadar sekarang. Posisinya yang juga tanpa sadar menjadi lebih dekat memudahkan Jagat untuk mencuri kecupan singkat dari bibirnya.

Merasa tiba-tiba lemas, Vallen lantas menurunkan tangan mereka kemudian mundur beberapa senti.

Entah kenapa ekspresi malu-malu dan canggung gadisnya itu justru membuat Jagat gemas sampai rasanya ingin terus melihat Vallen yang sedang mode softie ini.

“Gimana kata mama papa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Vallen, Jagat malah berpindah posisi menjadi duduk di sofa, ia lalu menepuk tempat di sebelahnya—mengisyaratkan Vallen untuk duduk di sana.

“Emang harus bilang ya?” tanyanya saat Vallen sudah duduk menyamping berhadapan dengannya. “Nanti malah disepelein lagi, baru juga debut single, gitu.”

Vallen mengerti, hubungan Jagat dengan orangtuanya memanglah tidak begitu harmonis seperti kebanyakan orang. Mama dan papanya adalah pasangan sibuk yang selalu mengurusi hal duniawi sampai terkadang melupakan putra semata wayangnya yang kesepian ini.

Sejak SMA Jagat sudah dibiarkan tinggal sendiri di ibu kota sedangkan orang tuanya menetap di Surabaya.

Sekadar menanyakan kabar pun sepertinya bisa dihitung jari jumlahnya. Bagaimana mau punya waktu untuk mengapresiasi pencapaian putranya?

Akhirnya hanya tepukan di bahu yang bisa Vallen berikan.

“Sayang,” lirih Jagat seraya menggenggam kedua tangan Vallen. “Nanti kita dengerin lagu debut aku berdua ya? Kamu wajib tau full liriknya.” Satu kecupan kembali Jagat berikan di punggung tangan gadis itu.

Sure!