Cafe date
“Huh!“
Jagat terkekeh mendengar Vallen mendengus untuk kesekian kalinya. Ia tau gadis itu kesal karena dirinya belum juga melajukan kendaraannya setelah dua menit di dalam mobil.
“Ayo, ih! Kenapa gak jalan-jalan sih?”
“Habisnya kamu nggak nurut, udah disuruh jangan cantik-cantik sekarang malah cantik banget. Kalo kayak gini kan bikin aku mau lama-lama liatin kamu.”
Alih-alih salah tingkah, Vallen justru melepas topi yang ia kenakan dan memakaikannya di kepala Jagat. “Stop basa-basi,” keluhnya lalu sengaja menurunkan posisi topinya sampai menutupi mata Jagat.
Sekali lagi Jagat terkekeh, “Iya iya, yuk jalan yuk.” Jagat merapikan rambut Vallen—yang tatanannya sempat berantakan saat melepas topinya sebelum tancap gas menuju kafe yang menjadi tujuan mereka.
Malam ini adalah performance yang ke 17 bagi kelompok band yang ada Jagat di dalamnya.
Ia dan teman-temannya di UKM band mulai sering tampil di kafe-kafe sejak 5 bulan lalu. Biasanya mereka akan membawakan lagu dari musisi yang sudah terkenal dan sedikit diaransemen lagi agar terdengar berbeda dari musik aslinya.
Walaupun agak kecewa karena orangtuanya belum pernah menyaksikan penampilannya dengan alasan sibuk, malam ini Jagat dengan semangat akan menunjukan performa yang maksimal sebab gadis pujaannya telah meluangkan waktu untuk mendengar nyanyiannya di atas panggung.
Begitupun dengan Vallen, dirinya tidak kalah semangat dengan sang pacar. Seperti sekarang, Vallen ikut bernyanyi dari meja yang tidak terlalu berjarak dengan panggung tempat Jagat berdiri.
Mulai dari lagu yang ceria sampai mellow, Jagat, Fajar, Leo, Hardian dan Bima berhasil membuat pengunjung kafe terbawa suasana karena sesi nongkrong mereka diiringi oleh nyanyian lima orang itu.
Sesekali Jagat melirik Vallen yang tengah menikmati appetizersnya dan tersenyum kala melihat ekspresi puas di wajah gadisnya.
Vallen akan membulatkan matanya dan menggerakkan kepalanya girang setiap kali indera perasa-nya bertemu dengan makanan enak.
Di saat seperti ini, baginya Vallen seperti anak kecil yang terjebak di tubuh orang dewasa.
Vallen memang jarang menunjukkan sisi kekanakannya karena ia terlalu sering dilihat sebagai pribadi yang jutek dan galak oleh teman-temannya. Namun di mata Jagat, apapun yang dilakukannya akan terlihat menggemaskan.
Vallen yang sekarang tersenyum lebar sampai menampilkan deretan giginya membuat Jagat ikut tersenyum saat berjalan ke arahnya.
Penampilan band-nya telah selesai dan digantikan oleh pengisi acara yang lain, Jagat lantas menghampiri pacarnya. “Udah mau jam 9, kamu gapapa makan jam segini? Nggak lagi diet kan?” tanyanya sebelum memesan makanan.
“Nggak kok, aku laper malah.”
Setelah mendapat persetujuan, barulah Jagat memanggil salah satu waitress di sana.
“Saya chicken katsu original sama ice lychee tea, terus temen saya,” ujar Vallen sembari menyodorkan daftar menu pada Jagat yang langsung menatapnya tidak percaya.
“Samain aja, mas.”
Jagat tidak melepas tatapannya dari Vallen setelah waitress meninggalkan meja mereka untuk menyiapkan pesanan.
Merasa tidak nyaman ditatap heran seperti itu, Vallen bertanya, “Kenapa deh?”
“Temen saya banget nih?” tanya Jagat dengan penuh penekanan.
“Masa aku bilang pacar sih? Malu tau sama mas-masnya, kalo ternyata dia jomblo kan nanti iri.”
Jagat mengangguk-angguk sok paham. “Oke teman, nanti teman pulang sendiri ya? Saya mau nyari pacar dulu di sini,” sindirnya.
“Hahaha!” Vallen tertawa karena rencananya menjahili Jagat berhasil. “Aku bercanda, sumpah!” katanya dengan menunjukan dua jari membentuk huruf V.
“Nggak lucu, tau!”
“Eh jangan ngambek dong, nanti makananku setengahnya buat kamu deh.”
“Dasar! itu mah kamu aja yang gak mau makan banyak.”
Vallen mulai merasa tidak enak karena nada suara Jagat yang masih terdengar kesal. “Jagat, sorry gue cuma bercanda tadi.”
“Lain kali bercandanya jangan kayak gitu. Candaan tuh harusnya bikin ketawa, bukan bikin kesel,” ucap Jagat dengan nada serius.
Sambil mencubit pelan pipi Jagat, Vallen menimpali, “Iyaaa ganteng, nanti gue gak gitu lagi deh, janji! Udah ya, lo udahan dong keselnya.”
Setelahnya Jagat tersenyum miris karena Vallen masih belum konsisten dengan panggilannya. Kadang aku-kamu, kadang gue-lo.
Sebenarnya itu bukan hal besar yang harus dipermasalahkan. Hanya saja ia sedikit sedih karena Vallen masih juga belum terbiasa dengan pergantian status mereka.
Baru ingin bersuara lagi, pelayan lebih dulu datang dengan dua porsi pesanan mereka membuat Jagat mengurungkan niatnya.
Laki-laki yang malam ini mengenakan kemeja yang tidak dikancingkan itu memotong-motong makanannya menjadi beberapa bagian sebelum menyerahkannya pada sang kekasih.
Dari situ Vallen tau kalau Jagat sudah tidak kesal padanya. “Thank youuu!” serunya.
Vallen sedikit terkikik mengingat sebelumnya Jagat tidak pernah melakukan hal semanis ini. Ia baru mengerti bagaimana perbedaan berteman dengan Jagat dan berkencan dengan Jagat.
Baru beberapa potongan masuk ke mulutnya, Vallen sudah mengeluh kenyang. Membuat Jagat inisiatif megambil alih piring miliknya.
“Kalo kenyang gak usah dipaksa, nanti sakit perutnya.”
Sekali lagi Vallen menyadari perbedaan Jagat saat menjadi teman dan pacar. Alih-alih khawatir, biasanya Jagat akan berkata, “Makanya kagak usah sok-sokan makan banyak. Kasian tuh makanannya nangis gara-gara ngga dihabisin!“
Kencan mereka berakhir dengan Vallen yang menemani Jagat menghabiskan makanannya sambil memotret beberapa sudut kafe.
“Nanti kalo kamu ada manggung kayak gini lagi, aku mau ikut ya?”
Jagat mengangguk kemudian berkata, “Tapi nggak buat jadwal yang di atas jam 10 malem.”