tinkernid

Sembari menonton acara TV yang sama sekali tidak menghiburnya, Vallen menunggu Jagat di ruang tamu sesuai dengan yang laki-laki itu mau.

Sejujurnya, Vallen tidak ingin membicarakan hal ini karena ia sadar alasannya marah kemarin memang kekanakan. Namun, melihat usaha suaminya yang ingin memperbaiki komunikasi mereka, Vallen jadi penasaran bagaimana cara Jagat memecahkan masalah ini.

Vallen refleks menegakkan punggungnya saat mendengar suara langkah kaki dari pintu. Jagat datang dengan wajahnya yang melas—sama seperti tadi pagi—sambil menenteng tas laptop di tangan kiri.

“Minum dulu,” kata Vallen, basa-basi. Ia memberikan gelas berisi air putih untuk Jagat.

Alih-alih menerima gelas itu, Jagat malah menghambur ke pelukan Vallen tanpa aba-aba sampai air di gelas yang Vallen pegang tumpah sedikit. “Maafin aku.”

“Kamu, tuh, minta maaf terus. Emang tau salahnya dimana?”

Jagat menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Vallen dan menggeleng, membuat Vallen kegelian.

“Kangen,” lirih Jagat begitu Vallen mengelus belakang kepalanya. “Jangan cuek sama aku.”

“Kamu duluan.”

“Aku ngapain, Sayang?

Tidak tega melihat Jagat merajuk dengan suaranya yang sangat amat lembut, Vallen lantas bertanya, “Tadi malem, waktu aku mau nemenin kamu, kamu bilang apa?”

“Karena aku nggak tau bakal selesai kapan, aku minta kamu tidur duluan. Habis itu kamu beneran balik ke kamar. Terus paginya, kamu pergi gitu aja waktu aku mau cium. Padahal biasanya–”

“Aku nggak minta kamu ceritain bagian itu, Mas. Aku tanya, kamu bilang apa ke aku tadi malem?”

Jagat terlihat berpikir sesaat sebelum menjawab, “Aku bilang, tidur duluan aja kalo udah ngantuk, Sayang.”

“Bener kayak gitu?” Vallen kembali bertanya sambil menyisir rambut Jagat yang agak lepek dengan jari-jarinya.

Kali ini Jagat mengangguk, kemudian keheranan sendiri saat Vallen melepaskan pelukannya.

“Tidur aja, gih. Udah malem.”

“Hah?”

“Semalem, kamu kayak gitu ngomongnya.”

“Emang iya? Kok gitu banget ngomongnya?”

“Iya! Nggak kayak biasanya.” Vallen menjawab dengan cepat, tangannya terlipat di depan dada persis seperti seorang ibu yang sedang mengomel.

Gemas, Jagat tidak tahan untuk tidak mencuri satu ciuman singkat dari bibir Vallen yang mengerucut. “Emang gimana kalo biasanya?”

“Biasanya pake Sayang. Kayak gini,” ujar Vallen, bersiap menirukan nada bicara Jagat yang biasanya setiap menyuruh Vallen tidur duluan. “Kamu tidur duluan aja, Sayang. Gitu, bukan gah gih gah gih, itu mah kamu ngusir aku.”

Tadi malam, Jagat benar-benar dibuat pusing oleh urusan pekerjaan yang belum selesai. Ia bahkan tidak sadar telah mengucapkan kata yang tidak disukai istrinya.

“Hmm... Gitu, ya? Terus gimana lagi biasanya? Kayaknya masih ada yang kurang.”

“Biasanya kamu juga cium aku yang lama.”

“Gimana?”

Demi menjawab pertanyaan tersebut, Vallen mengecup pipi Jagat singkat. Entahlah, rasanya semua marah dan kesal yang ia tahan sudah menguap bersama udara dingin malam itu.

“Katanya lama?”

“Bayar,” canda Vallen, ia berniat beranjak dari duduknya karena merasa semuanya sudah diselesaikan. “Jagat!” Tiba-tiba Vallen memekik lantaran tangannya ditarik hingga ia kembali duduk.

Kali ini, Vallen tidak mendarat di sofa melainkan di paha laki-laki yang lengannya sudah menggamit pinggangnya lembut. Jagat mendekatkan tubuh Vallen agar menempel dengan tubuh kokohnya.

“Sayang, maaf ya kemarin aku udah salah ngomong. Aku nggak sadar kalo kalimatku jelek banget. Janji sama aku, lain kali, kalo mulut ini nakal lagi, kamu langsung bilang. Atau cium aja biar langsung tau salahnya dimana.”

Hampir Vallen terharu dengan permintaan maaf Jagat, ia langsung mendecak saat kalimat terakhir itu dilontarkan. “Nggak jelas, deh!” Vallen berusaha berdiri, namun tenaga Jagat terlalu kuat untuk ia lawan.

Jemari Jagat bergerak membelai pipi Vallen. “Janji dulu.”

Vallen tertawa kecil, kemudian mengangguk. “Iya, janji.”

Lantas Jagat mencium bibir Vallen dengan lembut dan hati-hati. Waktu seakan berjalan lebih lambat setiap kali Jagat memanjakan bibir perempuan yang tubuhnya dilapisi daster rumahan itu. Membuat Vallen nyaman dan otomatis mengalungkan lengannya pada leher Jagat.

I miss you so bad,” bisik Jagat di tengah kecupannya yang bertubi-tubi.

Kalimat itu berhasil membuat Vallen tersenyum di antara bubuhan kecup yang ia terima. Ia mengeratkan pelukannya di leher Jagat, menghilangkan jarak antara tubuh keduanya.

I love you, Mas.”

Ingat Jagat bilang apa setiap Vallen memanggilnya dengan sebutan Mas?

“Kamu udah nggak marah?” tanya Jagat yang dibalas anggukan.

Jagat terkekeh kemudian menepuk pelan punggung Vallen, mengisyaratkan padanya untuk turun dari pangkuan. “I love you more. Tapi Mas lagi capek banget, is it fine if we do that tomorrow?” tanyanya baik-baik setelah Vallen berpindah posisi.

Yang ditanya mengangguk-angguk sesaat, kemudian menepuk puncak kepala Jagat. “Nggak apa-apa.”

Senyum simpul menghiasi wajah Jagat yang nampak lesu. Ia segera melepas pakaian kerjanya, dibantu oleh Vallen. Hari ini cukup melelahkan bagi Jagat, selain keadaan di kantor yang membuat kepalanya pening, memburuknya komunikasi dengan Vallen juga menjadi alasan Jagat tidak bersemangat.

Seolah masih ada yang mengganjal hatinya, Vallen kembali bersuara, “Aku sebenernya tadi mau minta maaf duluan karena udah diemin kamu, tapi aku malu.”

“Kok malu? Kenapa?” Vallen tidak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya dan membungkam mulut. “Kenapa, Sayang?”

“Soalnya... Ternyata ini sepele banget. Aku marah nggak jelas dan mikir yang nggak-nggak cuma karena kamu keliatan agak beda dari biasanya.”

“Kamu mikir apa?”

Vallen menarik napas, mengangkat wajah agar sorot matanya bertemu dengan yang tengah menatapnya. “Aku kira, aku ganggu kamu banget karena kamu nggak mau aku temenin dan malah ngusir. Maaf ya kalo aku kekanakan.”

“Aku nggak ngusir, Sayang. Justru aku yang takut kamu keganggu karena nemenin aku kerja. Kamu juga nggak kekanakan kok.” Jagat berujar sambil mengusap bahu Vallen yang tegang.

“Ya udah, kamu mandi dulu, aku siapin makan malem. Oh iya, Mas bawa kerjaan ke rumah lagi?'

“Nggak, Sayang. Mau bobo aja sama kamu.” Jagat mengecup punggung tangan Vallen kemudian bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Begitupun dengan Vallen, ia buru-buru ke dapur untuk mengeluarkan semua makanan yang sudah ia masak sore tadi.

Perasaan keduanya telah membaik setelah sama-sama membicarakan masalah yang menghambat komunikasi mereka.

Sembari menonton acara TV yang sama sekali tidak menghiburnya, Vallen menunggu Jagat di ruang tamu sesuai dengan yang laki-laki itu mau.

Sejujurnya, Vallen tidak ingin membicarakan hal ini karena ia sadar alasannya marah kemarin memang kekanakan. Namun, melihat usaha suaminya yang ingin memperbaiki komunikasi mereka, Vallen jadi penasaran bagaimana cara Jagat memecahkan masalah ini.

Vallen refleks menegakkan punggungnya saat mendengar suara langkah kaki dari pintu. Jagat datang dengan wajahnya yang melas—sama seperti tadi pagi—sambil menenteng tas laptop di tangan kiri.

“Minum dulu,” kata Vallen, basa-basi. Ia memberikan gelas berisi air putih untuk Jagat.

Alih-alih menerima gelas itu, Jagat malah menghambur ke pelukan Vallen tanpa aba-aba sampai air di gelas yang Vallen pegang tumpah sedikit. “Maafin aku.”

“Kamu, tuh, minta maaf terus. Emang tau salahnya dimana?”

Jagat menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Vallen dan menggeleng, membuat Vallen kegelian.

“Kangen,” lirih Jagat begitu Vallen mengelus belakang kepalanya. “Jangan cuek sama aku.”

“Kamu duluan.”

“Aku ngapain, Sayang?

Tidak tega melihat Jagat merajuk dengan suaranya yang sangat amat lembut, Vallen lantas bertanya, “Tadi malem, waktu aku mau nemenin kamu, kamu bilang apa?”

“Karena aku nggak tau bakal selesai kapan, aku minta kamu tidur duluan. Habis itu kamu beneran balik ke kamar. Terus paginya, kamu pergi gitu aja waktu aku mau cium. Padahal biasanya–”

“Aku nggak minta kamu ceritain bagian itu, Mas. Aku tanya, kamu bilang apa ke aku tadi malem?”

Jagat terlihat berpikir sesaat sebelum menjawab, “Aku bilang, tidur duluan aja kalo udah ngantuk, Sayang.”

“Bener kayak gitu?” Vallen kembali bertanya sambil menyisir rambut Jagat yang agak lepek dengan jari-jarinya.

Kali ini Jagat mengangguk, kemudian keheranan sendiri saat Vallen melepaskan pelukannya.

“Tidur aja, gih. Udah malem.”

“Hah?”

“Semalem, kamu kayak gitu ngomongnya.”

“Emang iya? Kok gitu banget ngomongnya?”

“Iya! Nggak kayak biasanya.” Vallen menjawab dengan cepat, tangannya terlipat di depan dada persis seperti seorang ibu yang sedang mengomel.

Gemas, Jagat tidak tahan untuk tidak mencuri satu ciuman singkat dari bibir Vallen yang mengerucut. “Emang gimana kalo biasanya?”

“Biasanya pake Sayang. Kayak gini,” ujar Vallen, bersiap menirukan nada bicara Jagat yang biasanya setiap menyuruh Vallen tidur duluan. “Kamu tidur duluan aja, Sayang. Gitu, bukan gah gih gah gih, itu mah kamu ngusir aku.”

Tadi malam, Jagat benar-benar dibuat pusing oleh urusan pekerjaan yang belum selesai. Ia bahkan tidak sadar telah mengucapkan kata yang tidak disukai istrinya.

“Hmm... Gitu, ya? Terus gimana lagi biasanya? Kayaknya masih ada yang kurang.”

“Biasanya kamu juga cium aku yang lama.”

“Gimana?”

Demi menjawab pertanyaan tersebut, Vallen mengecup pipi Jagat singkat. Entahlah, rasanya semua marah dan kesal yang ia tahan sudah menguap bersama udara dingin malam itu.

“Katanya lama?”

“Bayar,” canda Vallen, ia berniat beranjak dari duduknya karena merasa semuanya sudah diselesaikan. “Jagat!” Tiba-tiba Vallen memekik lantaran tangannya ditarik hingga ia kembali duduk.

Kali ini, Vallen tidak mendarat di sofa melainkan di paha laki-laki yang lengannya sudah menggamit pinggangnya lembut. Jagat mendekatkan tubuh Vallen agar menempel dengan tubuh kokohnya.

“Sayang, maaf ya kemarin aku udah salah ngomong. Aku nggak sadar kalo kalimatku jelek banget. Janji sama aku, lain kali, kalo mulut ini nakal lagi, kamu langsung bilang. Atau cium aja biar langsung tau salahnya dimana.”

Hampir Vallen terharu dengan permintaan maaf Jagat, ia langsung mendecak saat kalimat terakhir itu dilontarkan. “Nggak jelas, deh!” Vallen berusaha berdiri, namun tenaga Jagat terlalu kuat untuk ia lawan.

Jemari Jagat bergerak membelai pipi Vallen. “Janji dulu.”

Vallen tertawa kecil, kemudian mengangguk. “Iya, janji.”

Lantas Jagat mencium bibir Vallen dengan lembut dan hati-hati. Waktu seakan berjalan lebih lambat setiap kali Jagat memanjakan bibir perempuan yang tubuhnya dilapisi daster rumahan itu. Membuat Vallen nyaman dan otomatis mengalungkan lengannya pada leher Jagat.

I miss you so bad,” bisik Jagat di tengah kecupannya yang bertubi-tubi.

Kalimat itu berhasil membuat Vallen tersenyum di antara bubuhan kecup yang ia terima. Ia mengeratkan pelukannya di leher Jagat, menghilangkan jarak antara tubuh keduanya.

I love you, Mas.”

Ingat Jagat bilang apa setiap Vallen memanggilnya dengan sebutan Mas?

“Kamu udah nggak marah?” tanya Jagat yang dibalas anggukan.

Jagat terkekeh kemudian menepuk pelan punggung Vallen, mengisyaratkan padanya untuk turun dari pangkuan. “I love you more. Tapi Mas lagi capek banget, is it fine if we do that tomorrow?” tanyanya baik-baik setelah Vallen berpindah posisi.

Yang ditanya mengangguk-angguk sesaat, kemudian menepuk puncak kepala Jagat. “Nggak apa-apa.”

Senyum simpul menghiasi wajah Jagat yang nampak lesu. Ia segera melepas pakaian kerjanya, dibantu oleh Vallen. Hari ini cukup melelahkan bagi Jagat, selain keadaan di kantor yang membuat kepalanya pening, memburuknya komunikasi dengan Vallen juga menjadi alasan Jagat tidak bersemangat.

Seolah masih ada yang mengganjal hatinya, Vallen kembali bersuara, “Aku sebenernya tadi mau minta maaf duluan karena udah diemin kamu, tapi aku malu.”

“Kok malu? Kenapa?” Vallen tidak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya dan membungkam mulut. “Kenapa, Sayang?”

“Soalnya... Ternyata ini sepele banget. Aku marah nggak jelas dan mikir yang nggak-nggak cuma karena kamu keliatan agak beda dari biasanya.”

“Kamu mikir apa?”

Vallen menarik napas, mengangkat wajah agar sorot matanya bertemu dengan yang tengah menatapnya. “Aku kira, aku ganggu kamu banget karena kamu nggak mau aku temenin dan malah ngusir. Maaf ya kalo aku kekanakan.”

“Aku nggak ngusir, Sayang. Justru aku yang takut kamu keganggu karena nemenin aku kerja. Kamu juga nggak kekanakan kok.” Jagat berujar sambil mengusap bahu Vallen yang tegang.

“Ya udah, kamu mandi dulu, aku siapin makan malem. Oh iya, Mas bawa kerjaan ke rumah lagi?'

“Nggak, Sayang. Mau bobo aja sama kamu.” Jagat mengecup punggung tangan Vallen kemudian bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Begitupun dengan Vallen, ia buru-buru ke dapur untuk mengeluarkan semua makanan yang sudah ia masak sore tadi.

Perasaan keduanya telah membaik setelah sama-sama membicarakan masalah yang menghambat komunikasi mereka.

Our first and last kiss


Sudut bibirnya sedikit naik saat melihat Evan yang terus senyum-senyum sendiri sejak tadi. Naila sibuk memikirkan skenario apa yang sebenarnya sedang Justin mainkan.

“Gue tau gue ganteng, biasa aja kali, Nai, liatin gue nya.”

Kalau tidak sedang menjalankan rencananya, mungkin Naila sudah mencaci-maki Justin yang sialnya hari ini memang terlihat lebih tampan dari biasanya. “Lo beda deh hari ini, kaya lebih keren dari kemaren-kemaren.”

Sekali lagi, kalau tidak sedang menjalankan rencananya mungkin Naila akan menarik kata-katanya barusan karena setelah ia melontarkan kalimat pujian itu, Justin justru terlihat semakin sumringah seperti baru berhasil menembakkan panah pada kijang incarannya.


cw // kissing, cigarettes

Naila mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merasa bosan karena ia ditinggal sendirian oleh laki-laki yang mengajaknya ke pesta itu. Ia duduk di kursi di tepi kolam renang dengan tangan menggenggam gelas berisi minuman. Entah kemana perginya laki-laki itu, mungkin menemui teman-teman yang sama brengseknya dengan dia.

“Nai, Sorry, nunggu lama ya?” Justin kembali dengan napas yang tergesa-gesa karena berlari menghampiri Naila yang sedang ber-selfie ria.

Naila hanya mengangguk lalu minta untuk dikenalkan pada teman-teman Justin. Tentunya permintaan tersebut merupakan bagian dari rencananya—ingin tau seperti apa wajah para brengsek itu.

Akhirnya Justin membawa Naila ke taman kecil di belakang villa itu untuk berkenalan dengan teman-temannya.

“Balik ke depan, yuk, Nai? Disini pada ngerokok,” ajak Justin setelah Naila selesai menjabat kelima tangan mereka.

Naila pun pamit dan mengikuti langkah Justin yang terkesan buru-buru. Kakinya berhenti di sebuah pendopo yang penerangannya agak kurang karena terletak di ujung.

“Ngapain kesini deh? Gelap, Ju.”

“Disana rame, berisik.”

Naila sedikit terkejut karena setelah itu Justin mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya lalu mulai merokok di sebelahnya. Baru kali ini Justin berani merokok di dekatnya. Namun sebelumnya tentu saja Naila sudah tau kalau laki-laki itu adalah perokok aktif karena tak jarang bau tembakau masih menempel padanya saat mereka bertemu.

Kepulan asap rokok mengudara kala Justin mengembuskan napasnya. “Gapapa kan gue sebat dulu?”

“Pertanyaan bodoh. Harusnya lo tanya sebelum mulai, anjing.”

“Gapapa lah, santai.”

Untuk beberapa menit selanjutnya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai hening akhirnya menyelimuti keduanya.

“Nai,” panggil Justin tiba-tiba.

Naila menoleh tanpa bersuara, matanya bertemu dengan mata sayu milik laki-laki di sampingnya.

I think I'm falling in you.” Naila sudah memperkirakan kalimat itu akan Justin lontarkan. “How about you?

Belum sempat Naila menjawab, Justin kembali mengambil sesuatu dari sakunya. Kali ini dua permen keluar dari saku celananya. Permen cokelat dan vanilla.

“Ambil cokelat kalo lo juga suka sama gue, tapi ambil vanilla kalo sebaliknya.”

Naila meringis di dalam hatinya, merasa momen ini sangat cringe baginya. Namun agar rencananya berjalan lancar, Naila memasang senyumnya lebar-lebar dan memilih permen cokelat yang ada di tangan kanan Justin.

Laki-laki itu membulatkan matanya tidak percaya. “Serius lo, Nai?” Naila mengangguk, mengundang senyum malu-malu Justin yang wajahnya memerah.

“Nai,” panggil Justin lagi. “May i kiss you?

Hampir saja Naila bangkit dari duduknya dan pergi dari sana kalau tidak ingat rencana apa yang membuat ia akhirnya mengizinkan Justin untuk menyapa bibirnya.

Perlahan keduanya mendekat demi berkenalan dengan bibir masing-masing. Namun belum sempat Justin meraih bibir tebal gadis itu, Naila lebih dulu melontarkan kalimat yang langsung membuat ia menjauhkan kepalanya.

“Lo dapet berapa juta kalo berhasil ciuman sama gue?” Naila tersenyum simpul manakala wajah panik Justin terlihat begitu jelas walaupun keduanya sedang di tempat yang minim pencahayaan. “Gak usah kaget gitu, lo tinggal jawab pertanyaan gue.”

Dengan terbata-bata Justin menjawab, “Se-sepuluh juta, Nai.”

Naila menenggak liurnya susah payah setelah mengetahui nominal yang Justin akan terima jika berhasil mencuri ciumannya.

“Miskin.” Dengan cepat Naila menarik kerah kemeja Justin, mempertemukan bibirnya dengan milik laki-laki itu yang masih ada sisa rasa rokok saat ia mengulumnya.

Justin terkejut karena ini benar-benar sudah diluar rencananya. Awalnya Justin hanya berniat untuk memberikan kecupan singkat, namun yang terjadi sekarang malah pergerakan bibir yang Naila lakukan semakin gencar dan panas.

Sama seperti Justin, sebenarnya bukan ini yang Naila rencanakan. Namun karena tersulut emosi, ia hilang kendali dan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Ingin segera menyelesaikan ciumannya, tapi Naila belum memikirkan plan b untuk itu.

Gue harus ngapain abis ciuman ini?“ “Langsung kabur atau diem disini dulu?“ “Bangsat, gue nge-blank!

Seolah bisa membaca pikiran gadis yang semakin brutal itu, Justin menyudahi tautan bibir mereka dan bertanya heran, “You okay?

Naila berdecak lantaran tidak habis pikir dengan pertanyaan Justin, bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan itu?

Bingung harus menjawab apa, lagi-lagi Naila hilang kendali dan malah merebut rokok yang masih diapit oleh jari-jari Justin.

“Abis ini minta bayaran yang lebih gede, gue gak semurah itu!” katanya lalu menghisap gulungan tembakau itu dalam-dalam seperti orang tolol. Naila bukan perokok dan tidak pernah menyentuh rokok sebelumnya.

Karena itu Naila malah tersedak asapnya karena tidak bisa mengepulkannya.

“Lo kenapa, sih, Nai?” tanya Justin khawatir karena sekarang Naila batuk-batuk akibat ulahnya sendiri. Ia membuang rokok dari tangan Naila.

Tanpa sadar Naila berteriak dengan suaranya yang agak serak, “LO YANG KENAPA, BAJINGAN?!” Justin terkejut karena diteriaki seperti itu.

Sorry, ayo pulang.”


Malam itu menjadi malam terakhir mereka bertemu sebelum Naila memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Justin bain itu melalui sosial media ataupun secara langsung.

Sebisa mungkin Naila menghindar apabila tidak sengaja bertemu dengan Justin di gedung fakultas maupun di sudut kampusnya. Bahkan, Naila tidak ragu untuk keluar dari lift setiap kali Justin masuk di waktu yang sama dengannya.

My first and last kiss


Sudut bibirnya sedikit naik saat melihat Evan yang terus senyum-senyum sendiri sejak tadi. Naila sibuk memikirkan skenario apa yang sebenarnya sedang Justin mainkan.

“Gue tau gue ganteng, biasa aja kali, Nai, liatin gue nya.”

Kalau tidak sedang menjalankan rencananya, mungkin Naila sudah mencaci-maki Justin yang sialnya hari ini memang terlihat lebih tampan dari biasanya. “Lo beda deh hari ini, kaya lebih keren dari kemaren-kemaren.”

Sekali lagi, kalau tidak sedang menjalankan rencananya mungkin Naila akan menarik kata-katanya barusan karena setelah ia melontarkan kalimat pujian itu, Justin justru terlihat semakin sumringah seperti baru berhasil menembakkan panah pada kijang incarannya.


cw // kissing, cigarettes

Naila mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merasa bosan karena ia ditinggal sendirian oleh laki-laki yang mengajaknya ke pesta itu. Ia duduk di kursi di tepi kolam renang dengan tangan menggenggam gelas berisi minuman. Entah kemana perginya laki-laki itu, mungkin menemui teman-teman yang sama brengseknya dengan dia.

“Nai, Sorry, nunggu lama ya?” Justin kembali dengan napas yang tergesa-gesa karena berlari menghampiri Naila yang sedang ber-selfie ria.

Naila hanya mengangguk lalu minta untuk dikenalkan pada teman-teman Justin. Tentunya permintaan tersebut merupakan bagian dari rencananya—ingin tau seperti apa wajah para brengsek itu.

Akhirnya Justin membawa Naila ke taman kecil di belakang villa itu untuk berkenalan dengan teman-temannya.

“Balik ke depan, yuk, Nai? Disini pada ngerokok,” ajak Justin setelah Naila selesai menjabat kelima tangan mereka.

Naila pun pamit dan mengikuti langkah Justin yang terkesan buru-buru. Kakinya berhenti di sebuah pendopo yang penerangannya agak kurang karena terletak di ujung.

“Ngapain kesini deh? Gelap, Ju.”

“Disana rame, berisik.”

Naila sedikit terkejut karena setelah itu Justin mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya lalu mulai merokok di sebelahnya. Baru kali ini Justin berani merokok di dekatnya. Namun sebelumnya tentu saja Naila sudah tau kalau laki-laki itu adalah perokok aktif karena tak jarang bau tembakau masih menempel padanya saat mereka bertemu.

Kepulan asap rokok mengudara kala Justin mengembuskan napasnya. “Gapapa kan gue sebat dulu?”

“Pertanyaan bodoh. Harusnya lo tanya sebelum mulai, anjing.”

“Gapapa lah, santai.”

Untuk beberapa menit selanjutnya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai hening akhirnya menyelimuti keduanya.

“Nai,” panggil Justin tiba-tiba.

Naila menoleh tanpa bersuara, matanya bertemu dengan mata sayu milik laki-laki di sampingnya.

I think I'm falling in you.” Naila sudah memperkirakan kalimat itu akan Justin lontarkan. “How about you?

Belum sempat Naila menjawab, Justin kembali mengambil sesuatu dari sakunya. Kali ini dua permen keluar dari saku celananya. Permen cokelat dan vanilla.

“Ambil cokelat kalo lo juga suka sama gue, tapi ambil vanilla kalo sebaliknya.”

Naila meringis di dalam hatinya, merasa momen ini sangat cringe baginya. Namun agar rencananya berjalan lancar, Naila memasang senyumnya lebar-lebar dan memilih permen cokelat yang ada di tangan kanan Justin.

Laki-laki itu membulatkan matanya tidak percaya. “Serius lo, Nai?” Naila mengangguk, mengundang senyum malu-malu Justin yang wajahnya memerah.

“Nai,” panggil Justin lagi. “May i kiss you?

Hampir saja Naila bangkit dari duduknya dan pergi dari sana kalau tidak ingat rencana apa yang membuat ia akhirnya mengizinkan Justin untuk menyapa bibirnya.

Perlahan keduanya mendekat demi berkenalan dengan bibir masing-masing. Namun belum sempat Justin meraih bibir tebal gadis itu, Naila lebih dulu melontarkan kalimat yang langsung membuat ia menjauhkan kepalanya.

“Lo dapet berapa juta kalo berhasil ciuman sama gue?” Naila tersenyum simpul manakala wajah panik Justin terlihat begitu jelas walaupun keduanya sedang di tempat yang minim pencahayaan. “Gak usah kaget gitu, lo tinggal jawab pertanyaan gue.”

Dengan terbata-bata Justin menjawab, “Se-sepuluh juta, Nai.”

Naila menenggak liurnya susah payah setelah mengetahui nominal yang Justin akan terima jika berhasil mencuri ciumannya.

“Miskin.” Dengan cepat Naila menarik kerah kemeja Justin, mempertemukan bibirnya dengan milik laki-laki itu yang masih ada sisa rasa rokok saat ia mengulumnya.

Justin terkejut karena ini benar-benar sudah diluar rencananya. Awalnya Justin hanya berniat untuk memberikan kecupan singkat, namun yang terjadi sekarang malah pergerakan bibir yang Naila lakukan semakin gencar dan panas.

Sama seperti Justin, sebenarnya bukan ini yang Naila rencanakan. Namun karena tersulut emosi, ia hilang kendali dan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Ingin segera menyelesaikan ciumannya, tapi Naila belum memikirkan plan b untuk itu.

Gue harus ngapain abis ciuman ini?“ “Langsung kabur atau diem disini dulu?“ “Bangsat, gue nge-blank!

Seolah bisa membaca pikiran gadis yang semakin brutal itu, Justin menyudahi tautan bibir mereka dan bertanya heran, “You okay?

Naila berdecak lantaran tidak habis pikir dengan pertanyaan Justin, bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan itu?

Bingung harus menjawab apa, lagi-lagi Naila hilang kendali dan malah merebut rokok yang masih diapit oleh jari-jari Justin.

“Abis ini minta bayaran yang lebih gede, gue gak semurah itu!” katanya lalu menghisap gulungan tembakau itu dalam-dalam seperti orang tolol. Naila bukan perokok dan tidak pernah menyentuh rokok sebelumnya.

Karena itu Naila malah tersedak asapnya karena tidak bisa mengepulkannya.

“Lo kenapa, sih, Nai?” tanya Justin khawatir karena sekarang Naila batuk-batuk akibat ulahnya sendiri. Ia membuang rokok dari tangan Naila.

Tanpa sadar Naila berteriak dengan suaranya yang agak serak, “LO YANG KENAPA, BAJINGAN?!” Justin terkejut karena diteriaki seperti itu.

Sorry, ayo pulang.”


Malam itu menjadi malam terakhir mereka bertemu sebelum Naila memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Justin bain itu melalui sosial media ataupun secara langsung.

Sebisa mungkin Naila menghindar apabila tidak sengaja bertemu dengan Justin di gedung fakultas maupun di sudut kampusnya. Bahkan, Naila tidak ragu untuk keluar dari lift setiap kali Justin masuk di waktu yang sama dengannya.


Nahar hanya bisa menggelengkan kepalanya saat perempuan di sebelahnya kembali mengucapkan kalimat yang sama untuk kesekian kalinya.

Langit malam yang dihiasi bintang-bintang seolah bertolak belakang dengan isi pikiran Vallen. Dengan ragu ia bertanya, “Gue gak usah dateng kali, ya?” Terhitung sudah tiga kali pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Bukan karena tidak ingin, tapi ia enggan kalau nantinya harus bertemu dengan kekasih dari mantan pacarnya itu.

Entah apa yang salah dengan hatinya, di sisi lain ia senang karena Jagat akhirnya bisa menemukan cintanya yang baru, namun ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan dan Vallen tidak yakin dengan perasaan itu.

“Sekarang gini, alasan lo enggak mau dateng tuh, apa, sih? Sahabat lo lagi seneng harusnya lo ikut seneng dong!”

Nahar benar, disaat seperti ini seharusnya ia mengesampingkan ego dan gengsinya. Vallen seharusnya bisa memposisikan diri sebagai sahabat, bukan mantan pacar. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya dengan mantap Vallen meminta Nahar untuk segera meluncur ke tempat dimana Jagat akan manggung untuk pertama kali.

He's so lucky,” celetuk Nahar tanpa disengaja.

“Hah?”

“Hah?”

“Lo ngomong apa tadi?”

Sebagai orang yang cintanya tak terbalas, tentunya ada rasa kecewa yang sempat hinggap di hatinya. Namun, dengan melihat orang yang dicintai bisa jatuh ke tangan yang tepat adalah penangkal kekecewaannya.

Bohong kalau selama ini Nahar baik-baik saja dengan hubungan kedua sahabatnya itu. Ia juga merasakan sakit yang tidak pernah ia ceritakan pada siapapun. Namun sekali lagi, melihat Jagat yang begitu tulus menyayangi Vallen membuat hatinya lebih tenang lantaran perasaan keduanya saling melengkapi.

Walaupun yang terlihat selama ini keduanya seolah seperti kucing dan anjing yang sulit akur, Nahar tau baik Jagat maupun Vallen sebenarnya saling menaruh hati satu sama lain. Hanya saja perasaan itu tertutup oleh gengsi keduanya yang begitu tinggi. Terkadang Nahar ingin mempertemukan mereka lalu mengurungnya supaya setidaknya ada waktu untuk membicarakan hal-hal yang seringkali menjadi penghambat komunikasi dua orang itu.

Yang membuatnya kesal adalah sifat buruk mereka yang selalu menghindar dari masalah dan memilih untuk mengakhiri semuanya sebelum mencoba untuk memperbaiki.

Namun meskipun demikian, nasib Jagat lebih beruntung lantaran cintanya tidak lagi bertepuk sebelah tangan. Dari kesalahpahaman yang terjadi Nahar bisa menarik kesimpulan bahwa Jagat telah berhasil membuka hati Vallen.

“Woy?! Ditanya kok malah bengong?”

“Lagi bawa mobil harus fokus, Len.”

Vallen mendecak kemudian kembali memerhatikan jalanan lengang malam ini. Otaknya sibuk memikirkan reaksi apa yang harus ia perlihatkan saat mendengar lagu yang Jagat nyanyikan nanti.

Tidak menutup kemungkinan untuknya akan bertemu dengan kekasih Jagat yang baru, ia juga harus membuat planning untuk itu.

“Har, menurut lo gue harus ramah atau jutek aja ke cewek barunya Jagat?”

Nahar cukup terkejut mendengar pertanyaan Vallen yang tiba-tiba itu, ia bahkan sampai menoleh untuk memastikan kalau Vallen tidak salah bicara. “Cewek baru?”

“Iya, cewek baru. Kalo gak salah namanya Salsa.”

Alih-alih menjawab rasa penasarannya, Vallen dibuat heran karena Nahar justru tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. “Kok malah ketawa, sih??”

“Lo berdua tuh ya, kalo gak ada misunderstanding kayaknya gak lengkap banget kisahnya!”

“Apaan, deh? Lo tinggal jawab aja pertanyaannya gue, kenapa muter-muter gini?”

“Mending lo sekarang duduk manis aja, jangan mikirin apapun dan dapetin jawabannya nanti disana,” ujar Nahar yang kembali fokus menyetir.

Akhirnya Vallen menuruti perkataan Nahar dan mencoba untuk membuang segala prasangka buruk dari pikirannya.

I'll be there as his best friend, not his ex.


Selain gengsi yang besarnya sebesar harapan orang tua, rupanya sikap denial juga menjadi faktor utama kegagalan kisah cinta yang selama ini Vallen jalani. Walaupun baru dua kali memiliki hubungan lebih dari teman dengan laki-laki, namun pengalaman yang sangat sedikit itu telah memberikan pelajaran besar bagi dirinya.

Setelah mengalami pahit manis kisah cintanya, Vallen menjadi lebih mengenal dirinya sendiri dan memiliki keinginan besar untuk memperbaiki sifat buruknya itu demi menghindari kegagalan yang lain.

Saat ini, di depan panggung besar yang telah dihadiri oleh banyak orang Vallen menonton aksi panggung Jagat dengan perasaan campur aduk.

Bangga sekaligus senang melihat laki-laki itu tampil maksimal dan penuh pesona dengan kaus putih yang fit badan dipadukan outer cokelat, celana yang tak kalah nyentrik juga menarik perhatiannya. Ditambah lagi dengan rambut yang hari ini ditata sedemikian rupa, sampai-sampai membuat Vallen salah fokus dengan visualisasi Jagat malam ini.

Lampu panggung mengarah ke posisi center yang tak lain dan tak bukan adalah tempat Jagat berdiri. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling panggung, mencari satu penonton spesial yang menjadi alasannya berdiri disana.

Di tengah-tengah penonton yang lain, Vallen, Kesya, Reihan, Nahar, dan Darrel tengah antusias menantikan penampilan salah satu sahabat mereka. Saking antusiasnya bahkan masing-masing dari mereka membawa banner dengan wajah Jagat yang terpampang jelas. Sebenarnya itu merupakan ide Darrel tanpa sepengetahuan teman-temannya.

Vallen berdiri dengan canggung sambil membentangkan banner bertuliskan, “I LOVE YOU, JAGAT!” Jangan tanya siapa yang memberikan banner itu karena sudah jelas siapa pelakunya. Darrel.

Keduanya saling melempar pandang bersamaan dengan alunan musik yang mulai memenuhi area panggung.

There is so much in your eyes that says to me.“ “You feel the same way like I do.“ “But why did you hide it?

Seperti seseorang yang sedang bertanya-tanya, raut wajahnya menunjukan kebingungan yang seolah tidak ada jalan keluarnya.

You are the girl I've been looking for.“ “You, only you can understand me.

Lirik itu menyampaikan pesan tersirat untuk seseorang yang kini tengah berpikir keras, kenapa Jagat harus membuat lagu yang seperti ini? Seakan-akan Vallen adalah pusat dunia baginya.

I know you know.“ “I love you, baby!“ “I know you know“ “I love you, baby!

Mendengarnya membuat Vallen langsung teringat momen dimana Jagat menyanyikan lagu itu untuk pertama kali di depan dirinya.

I just wanna you to know,“ “You're my sunshine in the sky

Tiba-tiba musik berhenti, lampu panggung pun tak lagi menyoroti bintang utama malam ini melainkan bergerak perlahan ke arah Vallen yang semakin bingung dengan apa yang terjadi.

Lalu tanpa alunan musik Jagat mulai mendeklarasikan perasaannya di hadapan banyak orang.

Hey, since we know each other, I become more alive because of you.“ “My life is no longer lonely and it's because of you.“ “You, I want to tell you something, that I never say to other girls.

Saat ini, semua mata tertuju pada Vallen yang masih disoroti lampu panggung. Menjadikannya terlihat seperti tokoh utama dalam serial komik percintaan.

Penonton mulai bersorak manakala si bintang utama turun dari panggungnya dan berjalan gagah menghampiri sang pujaan hati.

I love you, I really do.

Tepuk tangan dan sorakan mulai memenuhi ruang terbuka itu, membuat senyum Jagat mengembang karena rencananya berjalan dengan lancar.

Jagat kembali menyanyikan lirik ikoniknya diiringi musik yang sepertinya diperbesar volumenya.

I know you know.“ “I love you, baby!“ “I know you know.“ “I love you, baby!

Diraihnya tangan Vallen yang telah berkeringat dingin, Jagat sedikit terkekeh menyadari Vallen yang segugup ini.

“Vallen, I never stopped loving you, can we get back together like before?”

Seperti sudah dibriefing sebelumnya, semua orang disana lantas bersorak, “Balikan, balikan,” berkali-kali.

Setelah banyaknya sangkalan perasaan yang Vallen rasakan, ia mulai menyadari bahwa dirinya pun ternyata tidak pernah benar-benar menghilangkan perasaannya untuk Jagat. Sangat ingin lisannya mengiyakan pertanyaan terakhir yang laki-laki itu lontarkan, taoi fakta yang Vallen ketahui bahwa ada perempuan lain yang telah menggeser posisinya membuat ia urung mengatakan satu kata itu.

Namun Vallen juga tidak ingin mempermalukan Jagat dengan menolaknya secara gamblang di depan semua orang. Alhasil ia hanya memberikan senyuman terbaiknya–senyum yang sudah lama tidak Jagat lihat lalu dengan halus memintanya untuk kembali ke panggung dan menyelesaikan penampilannya.

Yang Vallen lakukan itu ternyata dianggap sebagai respon positif olehnya, Jagat pun kembali naik ke atas panggung untuk melanjutkan nyanyiannya yang belum selesai.

You, I want to tell you something, that I never say to other girls,“ “I always love you, you are all I want, you.

Disaat semua orang memberikan tepuk tangannya untuk mengapresiasi berakhirnya panggung pertama Jagat, Vallen justru mundur dari kerumunan orang tanpa disadari oleh yang lain dan hanya Jagat yang melihat itu. Ingin mengejarnya, namun Jagat tidak bisa langsung meninggalkan panggung karena setelah ini ia harus melangsungkan wawancara eksklusif dengan beberapa awak media.

Meskipun dirinya tengah dilanda kebingungan, Jagat tetap profesional melakukan sesi wawancara malam itu.


Nahar hanya bisa menggelengkan kepalanya saat perempuan di sebelahnya kembali mengucapkan kalimat yang sama untuk kesekian kalinya.

Langit malam yang dihiasi bintang-bintang seolah bertolak belakang dengan isi pikiran Vallen. Dengan ragu ia bertanya, “Gue gak usah dateng kali, ya?” Terhitung sudah tiga kali pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Bukan karena tidak ingin, tapi ia enggan kalau nantinya harus bertemu dengan kekasih dari mantan pacarnya itu.

Entah apa yang salah dengan hatinya, di sisi lain ia senang karena Jagat akhirnya bisa menemukan cintanya yang baru, namun ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan dan Vallen tidak yakin dengan perasaan itu.

“Sekarang gini, alasan lo enggak mau dateng tuh, apa, sih? Sahabat lo lagi seneng harusnya lo ikut seneng dong!”

Nahar benar, disaat seperti ini seharusnya ia mengesampingkan ego dan gengsinya. Vallen seharusnya bisa memposisikan diri sebagai sahabat, bukan mantan pacar. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya dengan mantap Vallen meminta Nahar untuk segera meluncur ke tempat dimana Jagat akan manggung untuk pertama kali.

He's so lucky,” celetuk Nahar tanpa disengaja.

“Hah?”

“Hah?”

“Lo ngomong apa tadi?”

Sebagai orang yang cintanya tak terbalas, tentunya ada rasa kecewa yang sempat hinggap di hatinya. Namun, dengan melihat orang yang dicintai bisa jatuh ke tangan yang tepat adalah penangkal kekecewaannya.

Bohong kalau selama ini Nahar baik-baik saja dengan hubungan kedua sahabatnya itu. Ia juga merasakan sakit yang tidak pernah ia ceritakan pada siapapun. Namun sekali lagi, melihat Jagat yang begitu tulus menyayangi Vallen membuat hatinya lebih tenang lantaran perasaan keduanya saling melengkapi.

Walaupun yang terlihat selama ini keduanya seolah seperti kucing dan anjing yang sulit akur, Nahar tau baik Jagat maupun Vallen sebenarnya saling menaruh hati satu sama lain. Hanya saja perasaan itu tertutup oleh gengsi keduanya yang begitu tinggi. Terkadang Nahar ingin mempertemukan mereka lalu mengurungnya supaya setidaknya ada waktu untuk membicarakan hal-hal yang seringkali menjadi penghambat komunikasi dua orang itu.

Yang membuatnya kesal adalah sifat buruk mereka yang selalu menghindar dari masalah dan memilih untuk mengakhiri semuanya sebelum mencoba untuk memperbaiki.

Namun meskipun demikian, nasib Jagat lebih beruntung lantaran cintanya tidak lagi bertepuk sebelah tangan. Dari kesalahpahaman yang terjadi Nahar bisa menarik kesimpulan bahwa Jagat telah berhasil membuka hati Vallen.

“Woy?! Ditanya kok malah bengong?”

“Lagi bawa mobil harus fokus, Len.”

Vallen mendecak kemudian kembali memerhatikan jalanan lengang malam ini. Otaknya sibuk memikirkan reaksi apa yang harus ia perlihatkan saat mendengar lagu yang Jagat nyanyikan nanti.

Tidak menutup kemungkinan untuknya akan bertemu dengan kekasih Jagat yang baru, ia juga harus membuat planning untuk itu.

“Har, menurut lo gue harus ramah atau jutek aja ke cewek barunya Jagat?”

Nahar cukup terkejut mendengar pertanyaan Vallen yang tiba-tiba itu, ia bahkan sampai menoleh untuk memastikan kalau Vallen tidak salah bicara. “Cewek baru?”

“Iya, cewek baru. Kalo gak salah namanya Salsa.”

Alih-alih menjawab rasa penasarannya, Vallen dibuat heran karena Nahar justru tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. “Kok malah ketawa, sih??”

“Lo berdua tuh ya, kalo gak ada misunderstanding kayaknya gak lengkap banget kisahnya!”

“Apaan, deh? Lo tinggal jawab aja pertanyaannya gue, kenapa muter-muter gini?”

“Mending lo sekarang duduk manis aja, jangan mikirin apapun dan dapetin jawabannya nanti disana,” ujar Nahar yang kembali fokus menyetir.

Akhirnya Vallen menuruti perkataan Nahar dan mencoba untuk membuang segala prasangka buruk dari pikirannya.

I'll be there as his best friend, not his ex.


Selain gengsi yang besarnya sebesar harapan orang tua, rupanya sikap denial juga menjadi faktor utama kegagalan kisah cinta yang selama ini Vallen jalani. Walaupun baru dua kali memiliki hubungan lebih dari teman dengan laki-laki, namun pengalaman yang sangat sedikit itu telah memberikan pelajaran besar bagi dirinya.

Setelah mengalami pahit manis kisah cintanya, Vallen menjadi lebih mengenal dirinya sendiri dan memiliki keinginan besar untuk memperbaiki sifat buruknya itu demi menghindari kegagalan yang lain.

Saat ini, di depan panggung besar yang telah dihadiri oleh banyak orang Vallen menonton aksi panggung Jagat dengan perasaan campur aduk.

Bangga sekaligus senang melihat laki-laki itu tampil maksimal dan penuh pesona dengan kaus putih yang fit badan dipadukan outer cokelat, celana yang tak kalah nyentrik juga menarik perhatiannya. Ditambah lagi dengan rambut yang hari ini ditata sedemikian rupa, sampai-sampai membuat Vallen salah fokus dengan visualisasi Jagat malam ini.

Lampu panggung mengarah ke posisi center yang tak lain dan tak bukan adalah tempat Jagat berdiri. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling panggung, mencari satu penonton spesial yang menjadi alasannya berdiri disana.

Di tengah-tengah penonton yang lain, Vallen, Kesya, Reihan, Nahar, dan Darrel tengah antusias menantikan penampilan salah satu sahabat mereka. Saking antusiasnya bahkan masing-masing dari mereka membawa banner dengan wajah Jagat yang terpampang jelas. Sebenarnya itu merupakan ide Darrel tanpa sepengetahuan teman-temannya.

Vallen berdiri dengan canggung sambil membentangkan banner bertuliskan, “I LOVE YOU, JAGAT!” Jangan tanya siapa yang memberikan banner itu karena sudah jelas siapa pelakunya. Darrel.

Keduanya saling melempar pandang bersamaan dengan alunan musik yang mulai memenuhi area panggung.

There is so much in your eyes that says to me.“ “You feel the same way like I do.“ “But why did you hide it?

Seperti seseorang yang sedang bertanya-tanya, raut wajahnya menunjukan kebingungan yang seolah tidak ada jalan keluarnya.

You are the girl I've been looking for.“ “You, only you can understand me.

Lirik itu menyampaikan pesan tersirat untuk seseorang yang kini tengah berpikir keras, kenapa Jagat harus membuat lagu yang seperti ini? Seakan-akan Vallen adalah pusat dunia baginya.

I know you know.“ “I love you, baby!“ “*I know you know “ “I love you, baby!*”

Mendengarnya membuat Vallen langsung teringat momen dimana Jagat menyanyikan lagu itu untuk pertama kali di depan dirinya.

I just wanna you to know,“ “You're my sunshine in the sky

Tiba-tiba musik berhenti, lampu panggung pun tak lagi menyoroti bintang utama malam ini melainkan bergerak perlahan ke arah Vallen yang semakin bingung dengan apa yang terjadi.

Lalu tanpa alunan musik Jagat mulai mendeklarasikan perasaannya di hadapan banyak orang.

Hey, since we know each other, I become more alive because of you.“ “My life is no longer lonely and it's because of you.“ “You, I want to tell you something, that I never say to other girls.

Saat ini, semua mata tertuju pada Vallen yang masih disoroti lampu panggung. Menjadikannya terlihat seperti tokoh utama dalam serial komik percintaan.

Penonton mulai bersorak manakala si bintang utama turun dari panggungnya dan berjalan gagah menghampiri sang pujaan hati.

I love you, I really do.

Tepuk tangan dan sorakan mulai memenuhi ruang terbuka itu, membuat senyum Jagat mengembang karena rencananya berjalan dengan lancar.

Jagat kembali menyanyikan lirik ikoniknya diiringi musik yang sepertinya diperbesar volumenya.

I know you know.“ “I love you, baby!“ “I know you know.“ “I love you, baby!

Diraihnya tangan Vallen yang telah berkeringat dingin, Jagat sedikit terkekeh menyadari Vallen yang segugup ini.

“Vallen, I never stopped loving you, can we get back together like before?”

Seperti sudah dibriefing sebelumnya, semua orang disana lantas bersorak, “Balikan, balikan,” berkali-kali.

Setelah banyaknya sangkalan perasaan yang Vallen rasakan, ia mulai menyadari bahwa dirinya pun ternyata tidak pernah benar-benar menghilangkan perasaannya untuk Jagat. Sangat ingin lisannya mengiyakan pertanyaan terakhir yang laki-laki itu lontarkan, taoi fakta yang Vallen ketahui bahwa ada perempuan lain yang telah menggeser posisinya membuat ia urung mengatakan satu kata itu.

Namun Vallen juga tidak ingin mempermalukan Jagat dengan menolaknya secara gamblang di depan semua orang. Alhasil ia hanya memberikan senyuman terbaiknya–senyum yang sudah lama tidak Jagat lihat lalu dengan halus memintanya untuk kembali ke panggung dan menyelesaikan penampilannya.

Yang Vallen lakukan itu ternyata dianggap sebagai respon positif olehnya, Jagat pun kembali naik ke atas panggung untuk melanjutkan nyanyiannya yang belum selesai.

You, I want to tell you something, that I never say to other girls,“ “I always love you, you are all I want, you.

Disaat semua orang memberikan tepuk tangannya untuk mengapresiasi berakhirnya panggung pertama Jagat, Vallen justru mundur dari kerumunan orang tanpa disadari oleh yang lain dan hanya Jagat yang melihat itu. Ingin mengejarnya, namun Jagat tidak bisa langsung meninggalkan panggung karena setelah ini ia harus melangsungkan wawancara eksklusif dengan beberapa awak media.

Meskipun dirinya tengah dilanda kebingungan, Jagat tetap profesional melakukan sesi wawancara malam itu.


Sejak kecil Vallen sudah diperingatkan untuk tidak tidur di sore hari. Namun, kesibukannya hari ini mengundang lelah dan membuatnya terlelap setelah melakukan finishing pada gaun buatannya yang akan ia kenakan esok hari—di pernikahan kedua sang ayah.

Saking lelahnya, Vallen tidur sampai berjam-jam dan terbangun pada pukul 17.50 dengan kondisi tubuhnya yang pegal-pegal.

Tadinya Vallen ingin melanjutkan tidurnya, namun ia teringat Jagat yang hari ini pulang ke Jakarta. Akhirnya, Vallen memutuskan untuk bangun dan bersiap-siap bertemu mantan kekasihnya itu.

Ia berjalan gontai ke luar kamar, ada Velo dan mamanya yang sedang menonton televisi di ruang tamu. Melihat apa yang sedang keduanya tonton, seketika nafasnya tercekat.

Sebuah berita yang mengabarkan kecelakaan pesawat terpampang jelas di layar televisi.

“Pesawat dengan rute Surabaya – Jakarta mengalami kecelakaan, seluruh penumpang dikabarkan tidak selamat”

Judul berita itu seketika membuat lututnya lemas dan berbagai pikiran negatif langsung menggerayangi pikirannya.

Tidak ingin membuang-buang waktu dengan hanya terpaku di depan televisi, Vallen lantas mengambil kunci mobil Velo yang tergelak di atas meja.

Dua orang lainnya di sana terkejut dengan pergerakan Vallen yang tiba-tiba itu, keduanya bahkan tidak sempat bertanya lantaran Vallen langsung tancap gas menuju bandara.

“Jagat..” “Jagat..” “Jagat..”

Nama itu tidak bisa keluar dari pikirannya, ia sedih, putus asa, dan hilang fokus. Saking kacaunya, Vallen bahkan tidak ingat kalau dirinya belum mahir mengendarai mobil namun ia sudah langsung turun ke jalan, dengan kecepatan tinggi pula.

Yang ada di otaknya kini hanya bayangan wajah laki-laki baik yang telah 5 tahun menjadi temannya. Teman curhat, teman jalan-jalan, juga teman bertengkar.

Eksistensi Jagat begitu berarti di hidupnya. Walaupun terkadang ada moment dimana ia ingin sekali menonjok wajah tampannya itu, Jagat selalu ada kapanpun ia dibutuhkan.

Jagat selalu siap menemaninya kala sepi melanda, selalu sedia setiap kali Vallen harus pergi ke suatu tempat, selalu mendukung apapun keputusannya, selalu memberikan solusi untuk masalah-masalah yang Vallen ceritakan, dan yang terpenting adalah Jagat selalu menjaganya.

Sayangnya, semua itu berubah ketika kegagalan kisah cinta mereka. Kegagalan yang menghadirkan canggung di antara keduanya.

Sejak saat itu tidak ada lagi Jagat yang selalu ada untuknya. Vallen yang terbiasa bergantung pada laki-laki itu bahkan sudah membiasakan diri untuk tidak lagi mengharapkan bantuan Jagat.

Mulai berani memesan ojek online sampai belajar mengendarai mobil, itu semua Vallen lakukan agar dirinya bisa beraktivitas tanpa melibatkan Jagat lagi.

Namun nyatanya Vallen tidak seberani itu, Vallen tidak bisa dan tidak ingin ditinggalkan olehnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana menjalani hari tanpa seseorang yang telah banyak berkontribusi di hidupnya.

Vallen semakin kacau manakala judul berita itu kembali melintas di pikirannya. Air matanya bahkan sudah mengucur deras sejak tadi, membuat penglihatannya agak kabur dan tidak jelas melihat jalanan.

Saking sibuknya menyetir sambil menangis, ia bahkan mengabaikan ponselnya yang berdering sejak tadi. Yang ada di otaknya hanyalah ia harus sampai di bandara secepat mungkin.

Lalu terdengar nada dering yang berbeda dari sebelumnya, nada dering yang telah ia atur khusus untuk panggilan dari seseorang yang spesial, Jagat.

Fokusnya langsung teralihkan, Vallen menatap layar ponselnya yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Nama jagat terpampang jelas di sana.

Vallen meraih dan menatap benda pipih itu untuk beberapa saat karena bingung kenapa harus Jagat yang meneleponnya. Ia terlalu fokus dengan ponselnya sampai tidak sadar kalau mobilnya telah keluar jalur.

Vallen panik, tidak tau harus bertindak apa untuk situasi seperti ini. Dirinya bahkan masih memproses tentang panggilan dari Jagat, ia tidak bisa berpikir jernih. Vallen membanting setir dan itu membuatnya menabrak pembatas jalan.

Ponselnya masih berdering, sangat ingin ia mengangkat panggilan itu. Namun dentuman keras yang terjadi pada kepalanya membuat ia memilih untuk memejamkan mata dan berharap seseorang akan datang menolongnya.


“Lo bisa diem gak sih? Muter-muter mulu kayak gangsing lo!”

“Gue khawatir, anjing! Gimana bisa lo nyuruh gue diem??”

Velo mendecak, “Vallen cuma lecet dikit, kata dokter dia pingsan karena shock. Udah, lo duduk tenang aja, Gat.”

Mau diberi kata-kata penenang sebanyak apapun Jagat tidak bisa tidak khawatir dengan keadaan Vallen yang kini terbaring di ranjang rumah sakit. Walaupun Vallen seringkali menunjukkan image dominannya, di mata Jagat ia tetaplah perempuan yang tidak bisa dibiarkan sendirian.

Entah karena terlalu sering diandalkan olehnya atau memang selalu ingin di dekatnya.

Di dalam sana, ada Farah, sang ibu yang tidak kalah khawatir. Menggenggam erat dan menciumi tangan putrinya. “Kak, mama ke Jakarta bukan buat liat kamu tidur di rumah sakit.”

Bukan tanpa alasan ibu dua anak itu tetap mengajak putrinya berbicara walaupun tidak ada jawaban darinya. Terpisah lama dengan anak sendiri bukanlah hal mudah yang bisa dijalani oleh seorang ibu. Kerinduan yang menumpuk selama itu inginnya Farah tumpahkan kala pertemuannya dengan Vallen setelah bertahun-tahun tidak bertemu, namun kecelakaan sore ini membuatnya kalang kabut.

Berharap ada respon dari sang putri, Farah terus bicara sendiri di ruangan serba putih yang dingin itu.


Langit biru terlihat lebih bersih dengan gumpalan awan seputih kapas, ditambah gerombolan burung yang berlalu lalang di sana.

Di bawah pohon rindang, Vallen dengan setelan hitam-hitamnya tengah menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya di antara kakinya yang tertekuk.

Pundaknya bergetar seiring tangisan yang tak kunjung usai. Dadanya bergemuruh manakala sesak kembali menyerang. Bayang-bayang tentang dia belum juga lebur dari kepalanya seolah ingin terus menemaninya.

Kata orang, penyesalan selalu datang belakangan. Selama lebih dari 20 tahun hidupnya, tidak pernah ada satupun keputusan yang Vallen sesali. Pertemuannya dengan Evan yang berakhir buruk, bahkan memilih untuk berpisah dengan sang ibu dan tinggal dengan ayahnya pun tidak pernah ia anggap sebagai keputusan yang salah.

Namun satu hal yang membuatnya merutuki diri sendiri adalah terlambat menyadari bahwa ia telah sejatuh itu pada laki-laki pemilik nama belakang Adigdaya yang kini menjadi alasannya untuk menangis.

Vallen memukul kepalanya sendiri berulangkali. “Gue bodoh banget... Gue bodoh karena biarin lo jatuh cinta sendirian. Lo pasti benci sama gue, kan? Lo enggak mau liat gue lagi sampe harus pergi jauh ninggalin gue,” ujarnya dengan air mata yang tidak mau berhenti.

“Seandainya gue dikasih kesempatan buat hidup sekali lagi, gue janji gue gak akan jahat sama lo lagi, Jagat.” Dengan mata terpejam dan tangan yang seperti sedang merapal doa Vallen membuat janji dengan sungguh-sungguh.

Tangisnya semakin menjadi-jadi sampai sepasang sepatu berhenti di depannya, sepatu putih yang sudah tidak asing lagi bagi Vallen. Ia mendongak untuk memastikan siapa tuan yang kini sedang menatapnya. Matanya melotot kala bertemu dengan mata sipit dengan tahi lalat indah di bagian kirinya.

Terlihat laki-laki itu tertawa kecil, membuat matanya ikut tersenyum. Vallen mengerjap beberapa kali lantaran mendengar suara tawa yang dulu selalu ada untuknya.

Vallen baru tau kalau dirinya merupakan satu dari banyaknya indigo di muka bumi. Antara takut dan senang, Vallen menangkup wajah Jagat yang kini sejajar dengannya. “Sejak kapan gue bisa liat hantu?”

Bukannya menjawab, Jagat justru mengikis jarak keduanya, menyatukan kening mereka dan menatap lurus mata Vallen yang masih berkaca-kaca. “Lo ngomong apa, sih?” lirihnya

Jagat mempertemukan bibirnya dengan milik Vallen, membiarkan labium tebal itu bertaut untuk beberapa detik tanpa pergerakan yang pasti. Tiba-tiba saja air mata Vallen kembali menetes kala ia memejamkan matanya.

Seandainya ini mimpi, Vallen bersumpah akan memarahi siapapun yang membangunkannya.

“Aw!

Vallen meringis saat merasakan bibirnya digigit, ia sontak membuka mata dan bersiap ingin memprotes Jagat. Namun, yang ia lihat pertama kali bukanlah paras teduh laki-laki itu melainkan ekspresi khawatir dan bingung yang terpancar dari wajahnya.

“Hey, you okay?”

Vallen menghela napasnya lega karena suara itu kembali ia dengar. “Gue seneng jadi indigo, soalnya bisa terus ngeliat lo yang udah meninggal.”

“Hah? Gue belum mati, anjing! Sembarangan banget nih mulut kalo ngomong!”

“Hah?!”

Terkejut, Vallen refleks menegakkan tubuhnya dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Di rumah sakit.

“Bukannya pesawat lo kecelakaan ya?? Kok lo bisa ada di sini?”

Jagat menatapnya tidak percaya mendengar pertanyaan Vallen yang menurutnya sangat tidak masuk akal. “Lo kalo benci sama gue jangan sampe nyumpahin mati dong, Len. Gini-gini gue masih mau idup.”

Mendengar ribut-ribut dari luar, Farah dan Velo langsung masuk dan menghampiri keduanya yang masih berseteru.

“MAMA! ADA HANTU JAGAT!!” seru Vallen dan langsung memeluk ibunya.

Ketiga orang di ruangan itu lantas saling bertatapan karena tidak mengerti apa yang dimaksud Vallen.

Velo mengusap wajahnya kasar. “Wah, masih linglung nih, bocah. Bangun, woy! Cowok lo masih gagah begini malah dikatain hantu.”

“Enggak ada yang jadi hantu, kak. Jagat belum meninggal,” ucap Farah menenangkan Vallen.

“Tapi pesawatnya kecelakaan, mama sama Velo kan liat beritanya!”

Velo yang sudah tidak tahan langsung memberikan ponselnya yang sudah pada tampilan google. “Coba lo liat internet sekarang, ada artikel tentang kecelakaan pesawat hari ini atau enggak??”

Kerutan di keningnya terlihat jelas begitu menggulir layar ponsel milik saudara kembarnya itu. Di sana tidak ada berita mengenai kecelakaan pesawat sama sekali.

“Aman, kan? Gue baik-baik aja,” kata Jagat.

Vallen menatap Farah seolah mencari pembelaan, dengan suara lembut Farah menjelaskan, “Tadi waktu bangun tidur kamu langsung ambil kunci mobil terus pergi gitu aja. Mama sama Velo kaget dan gak sempat kejar kamu karena kamu ngebut banget bawa mobilnya. Udah ditelepon berkali-kali juga enggak diangkat. Kamu kenapa sih, kak? Capek banget ya sampe mikir yang engga enggak gini?”

Setelah mendengar penuturan mamanya, perlahan Vallen menarik selimut dan langsung membungkus badannya sampai kepala karena terlalu malu untuk berinteraksi dengan Jagat.

Ternyata berita kecelakaan yang ia lihat sebelumnya hanya halusinasi karena terlalu lelah dan saking seringnya Jagat mampir di pikirannya.

Setelah ini Vallen berjanji untuk tidak tidur sampai sore lagi.


“Grup band kamu, gimana?”

Pergerakan Jagat yang sedang berkirim pesan dengan teman-temannya di Jakarta terhenti saat ayahnya melontarkan pertanyaan tersebut. “Tumben Papa nanyain itu,” tanyanya sembari berjalan mendekati sang ayah.

Pria yang terbaring lemas di ranjang pasien itu memang sangat jarang menanyakan hal pribadi tentangnya. Bahkan, tentang perkuliahan pun tidak pernah ditanyakan. Oleh sebab itu Jagat sedikit keheranan mana kala pertanyaan itu terlontar dari bibir ayahnya.

“Orang nanya tuh jangan dijawab pake pertanyaan lagi, jelek,” ujar Jajang sambil terkekeh.

“Habisnya aneh aja, tiba-tiba Papa pengen tau tentang band aku.”

Kalimat sindiran yang Jagat ucapkan membuat Jajang mendelik lantaran putra sulungnya itu telah berhasil menyentil hatinya. Dirinya tentu sadar bahwa selama ini perhatian yang ia curahkan sangat jauh dari kata cukup.

Sejak Jagat kecil, ia telah tinggal di Jakarta dengan kakeknya. Namun, setelah sang kakek meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dirinya justru tinggal sendirian di apartemen tanpa ditemani siapapun baik mama ataupun papa.

Jagat membantu ayahnya yang terlihat kesulitan kala ingin menegakan duduknya. “Masa seorang ayah mau tau kabar anaknya sendiri dibilang aneh, sih?” tanya Jajang dengan nada bercanda.

Walaupun tau ayahnya kini sedang dilanda rasa ingin tau yang tinggi, Jagat tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia justru memutarkan sebuah video. Video dari beberapa bulan yang lalu, video yang direkam oleh Vallen.

Ditunjukannya video tersebut pada sang ayah. Ia membiarkan ayahnya menonton sampai habis.

“Bagus juga, suaramu.” Tersipu dengan pujian dari ayahnya, Jagat tidak bisa menyembunyikan senyum dan wajahnya yang bersemu merah.

“Aku mau debut single, Pa. Pake lagu ini.” Akhirnya Jagat memberanikan dirinya untuk mengatakan rencananya pada sang ayah. “Gimana menurut Papa?” tanyanya sedikit ragu.

Bukannya langsung menjawab, Jajang malah menarik tubuh berotot putranya untuk ia peluk. “Sejak kapan anak kecil yang dulu suka ngompol jadi sebesar ini?”

“Pa..” Jagat berusaha melepaskan dirinya, namun setelah dipikir-pikir, sudah lama ia tidak merasakan hangatnya pelukan papa. Ia pun membiarkan sang ayah memeluknya lebih erat lagi.

Pasangan ayah dan anak itu saling berbagi kehangatan melalui sebuah pelukan yang telah lama tidak dilakukan. Kerinduan yang membuncah membuat keduanya tidak berniat untuk melepaskan pelukannya.

“Eh, ada yang lagi peluk-pelukan, nih!”

Suara perempuan yang baru memasuki ruangan tempat Jajang dirawat menginterupsi keduanya.

Membuat Jagat melepaskan pelukan ayahnya. “Papa kangen sama mas, tuh,” katanya sambil mengambil alih nampan berisi bubur yang dibawa mamanya. Dua orang dewasa itu hanya geleng-geleng melihat tingkah putra sulungnya.

Jam di dinding telah menunjukan pukul 7 malam, sudah 3 jam sejak Jagat menginjakkan kakinya di salah satu rumah sakit yang berada di Surabaya.

Sang ayah yang divonis penyakit diabetes mengharuskannya untuk terbang ke tanah kelahirannya dan menetap di sana untuk beberapa waktu.

Sembari menyantap makan malamnya, Jajang mulai membuka percakapan, “Anak kita emang dulunya suka nyanyi, ya, Ma?”

“Nggak tau, seingat mama cuma bisa nangis sama minta jajan.”

Jagat mendelik mendengar ledekan dari orangtuanya, ia lantas membuka aplikasi YouTube dan mengetikkan sesuatu di kolom pencarian.

Selanjutnya kita kedatangan adik ganteng dari Surabaya, Jagat Adigdaya!

Mendengar suara dari ponsel Jagat, Jajang dan istrinya lantas berhenti melanjutkan aktivitas mereka.

Suara petikan gitar dan nyanyian seorang anak lelaki pun memenuhi ruangan, dengan bangga Jagat memutar video audisinya di salah satu acara televisi 10 tahun lalu.

“Itu kamu?”

Jagat menjawab pertanyaan mamanya dengan lantang, “Iya, lah, siapa lagi?”

“Kok mama papa nggak pernah tau kamu ikutan audisi?”

“Yang nemenin Mas audisi, kan, kakek. Bukan mama sama papa. Terus karena kakek sakit, mas jadi mundur dari audisi. Padahal, kalau dilanjut mas bisa aja jadi juaranya, lho!”

Penuturan Jagat membuat sang mama terharu sampai hampir menangis, menyadari bahwa ada moment penting anaknya yang ia lewatkan.

Melihat hal itu Jagat lantas melangkah mendekat ke ranjang pasien, ia merangkul mamanya kemudian berkata, “Tapi tenang aja karena Mas nanti mau keluarin single. Do'ain biar lancar ya, Ma, Pa.”

Mama langsung memeluk Jagat lantaran tidak tau lagi kalimat apa yang harus ia ucapkan saking bangganya.

Dalam hatinya Jagat berteriak kegirangan karena telah berhasil memberitahu orangtuanya perihal persiapannya untuk debut sebagai penyanyi. Respon mereka ternyata tidak seburuk yang ia kira, justru diluar ekspektasi.

Pikirannya kembali pada moment beberapa bulan lalu, saat pertama kali lagunya diperdengarkan kepada seseorang yang spesial, Vallen. Entah akan seperti apa reaksi perempuan itu saat lagunya nanti bisa ia dengar kapanpun dan di manapun.


Jelita's POV

Netraku menangkap tatapan yang berbeda dari matanya. Berbeda dari hari-hari biasanya, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lewat tatapannya yang teduh itu. Namun, setelah bermenit-menit lamanya kami saling melempar pandang, tak ada sepatah katapun yang Panji ucapkan.

“Sayang, kenapa?” tanyaku lalu menggenggam tangannya yang mengepal.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Panji justru memajukan tubuhnya lalu menangkup wajahku dengan tangan dinginnya.

Kemudian dengan suara lirih Panji berbisik, “I love you.” Napasku tercekat saat bibirnya yang tebal menyentuh milikku.

This is not our first time.

Oleh karena itu, aku tau hal apa yang harus aku lakukan selanjutnya. I wrapped my arms around his neck and then kissed him softly.

Berbanding terbalik dengan yang kulakukan, pergerakan bibir Panji terkesan tergesa-gesa seolah ini adalah ciuman terakhir kami. Aku sampai tidak bisa mengimbangi permainannya lantaran tidak terbiasa dengan ritme ciumannya kali ini.

Mungkin dirinya telah merindu dikarenakan lama tidak bertemu, mungkin juga ia hanya begitu menyukai rasa manis bibirku.

“Ji..”

Aku melepaskan tautan bibir kami kala merasa pasokan oksigen di sekitarku semakin menipis.

“Kamu kenapa, sih?” Pertanyaan yang sama aku lontarkan untuk kedua kalinya karena aku merasa Panji hari ini benar-benar berbeda dari biasanya.

Sejak menginjakkan kaki di apartemen miliknya sampai duduk berhadap-hadapan di ruang tengah sekarang. Perlakuan Panji hari ini begitu kontras dengan yang biasa laki-laki itu lakukan.

Aku lantas kembali meraih tangannya untuk kemudian aku genggam. “Mau cerita nggak?” tanyaku yang lagi-lagi tidak dijawab olehnya.

Can you stay here?

“Sampe besok?” Panji mengangguk, dirinya meminta aku untuk bermalam disini.

Aku pun mengiyakan kemauannya yang sangat jarang ia pinta itu. Selama dua tahun menjalin hubungan dengannya, berapa kali kami tidur bersama bisa dihitung jari. Itupun hanya di saat-saat tertentu saja.

“Ya udah, kamu ke kamar duluan, gih. Nanti aku nyusul,” ucapnya lirih.

Aku tidak tau apa yang mengganggu pikiran laki-laki jangkung itu sampai membuat sikapnya hari ini terasa berbeda. Aku harap bukan hal besar, semoga saja.


cw // smoking tw // suicide , sexual harassment

Kepulan asap tembakau kembali mengudara saat Vallen menghembuskan napasnya kasar. Dua jari lentiknya mengapit sebatang rokok, menghisap ujungnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskan asapnya.

Pikirannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Saat Jagat dengan lantang berteriak di depan wajahnya, mengatakan bahwa dirinya telah dijadikan bahan taruhan oleh laki-laki yang bahkan tidak ia kenal dengan baik, Cakra. Sebelah sudut bibirnya terangkat berbarengan dengan suara decakan dari mulutnya. “Vallen, lo tolol banget sih!” Ia bermonolog dengan kepala tertunduk, membiarkan abu rokoknya berjatuhan ke lantai.

Perempuan pemilik bentuk rahang yang tegas itu mengacak rambut panjangnya kala memori beberapa tahun lalu kembali terputar jelas di kepalanya. Saat dirinya yang lugu itu dibodohi oleh Evan, mantan kekasihnya yang ternyata telah melakukan hal keji pada sahabatnya sendiri. Evan menghamili Raya sebelum Vallen mengenal laki-laki bejat itu. Tindakan tercela yang Evan lakukan bahkan telah membuat Raya depresi berat sampai gadis manis tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Vallen sempat dihantui rasa bersalah selama berbulan-bulan lamanya karena hal itu. Dirinya merasa telah merenggut nyawa temannya sendiri lantaran telah jatuh hati pada Evan. Ia menyalahkan dirinya atas kepergian Raya.


tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu kamar kosnya, membuat Vallen buru-buru mematikan rokoknya dan menghapus jejak air matanya. “Masuk aja, nggak gue kunci,” ucapnya pada seseorang di balik pintu.

Pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan Kesya yang sebelumnya telah diminta datang untuk menemaninya. Vallen yang duduk bersandar lantas menegakkan punggungnya lalu merentangkan tangannya yang kemudian disambut oleh pelukan dari sahabatnya itu.

You okay?” tanya Kesya sembari menepuk-nepuk pelan punggung Vallen yang direspon gelengan olehnya. “Gapapa, gue disini.”

“Gue kenapa, sih, selalu ketemu sama cowok gak bener? Dulu Evan, sekarang Cakra. Emangnya muka gue keliatan gampang buat dimainin ya?”

Kesya melepas pelukannya, ia menaruh kedua tangannya di bahu Vallen. “Nggak sama sekali, lo cantik bukan berarti lo bisa jadi mainan buat cowok-cowok brengsek kayak mereka. Jangan mikir begitu,” katanya, meyakinkan Vallen untuk tidak berpikiran jelek tentang dirinya sendiri.

“Eh, ngomong-ngomong soal Cakra, emang dia abis ngapain? Lo belum ada cerita sama gue, anjir!”

Pukulan pelan dari Kesya menyadarkan Vallen yang memang belum mengatakan apapun tentang Cakra yang mengajaknya bertemu. Tadinya ia akan bercerita kalau semuanya sudah jelas, kalau dirinya sudah tau apa alasan Cakra mencampakannya dulu. Namun, kejadian sore tadi justru membuat Vallen harus tau alasan tersebut dari Jagat.

Akhirnya dengan suara parau Vallen menceritakan semuanya, mulai dari pesan pertama Cakra yang memintanya untuk bertemu, sampai pertemuannya dengan Jagat bersama perempuan lain yang ia duga adalah pacar barunya—atau sekadar gebetan, entahlah.

“Sinting tuh orang!”

Vallen terkikik mendengar pekikan Kesya barusan. “I know rightttt! Cakra emang sinting banget, bisa-bisanya ngejadiin gue bahan taruhan.”

“Maksud gue si Jagat yang sinting. Kalian baru putus tapi dia udah ngedate sama cewek lain?? Nggak habis pikir gue.”

Miris, namun memang itu faktanya. Vallen hanya mengangkat bahunya malas kemudian menyandarkan punggungnya ke tepi tempat tidur. “Cepet banget, ya, move on nya.”

Kesya ikut bersandar di sebelah Vallen. “Gue kira dia bakal beda dari cowok lain. Taunya sama aja, emang semua cowok tuh sama semua. Kapan ya kita ketemu cowok yang bener-bener tulus sama kita?” ujarnya dengan nada yang dibuat sedih.

“Intinya sih, you shouldn't have a crush on your friends.

And also you shouldn't be friends with your ex.

Keduanya lantas tergelak sehabis mengatakan kalimat itu. “Bener banget, gue makan hati temenan sama Jagat versi udah jadi mantan,” kata Vallen.

“*That's why gue cut off Reihan dari hidup gue!”

Gelakan tawa kembali memenuhi ruangan berukuran 3 x 4 meter itu, Vallen dan Kesya saling menertawakan kebodohan masing-masing lantaran telah jatuh cinta pada teman sendiri.

Mungkin di luar sana ada yang mengalami kasus serupa dan berhasil kisah cintanya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi dua sahabat yang kini tengah meratapi ketidakberuntungannya.

Kesya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar kos yang berantakan itu. Karena tadi saat datang langsung memeluk Vallen, dirinya belum sempat melihat-lihat tempat yang baru ia datangi ini.

Perempuan itu mengernyit kala melihat sebungkus rokok dan asbak yang telah terisi beberapa bekas puntung rokok. “Lo stress banget, ya? Sampe ngerokok gini.”

Yang ditanya kemudian beranjak untuk membuang isi asbaknya ke tempat sampah kecil di dekat pintu. “Sebenernya gue udah nyentuh rokok sejak putus sama Evan, Kes. Tapi gue diem-diem aja, itu juga jarang ngerokok nya. Mulai sering beli rokok lagi waktu Velo ngabarin papa mau nikah lagi,” jelas Vallen tanpa menatap lawan bicaranya. “Terus Jagat tau gue ngerokok, dia nggak suka. Mikirnya gue nggak nganggep keberadaan dia dan malah lari ke rokok kalau ada masalah. Dia minta putus gara-gara itu,” lanjutnya.

Kesya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti dengan penjelasan panjang lebar itu.

“Lo daripada manggut-manggut doang kayak boneka mampang mending bantuin gue beresin kapal pecah ini, deh, Kes.”

Duh, lo pake sok-sokan ngekos, sih! Udah tau nggak bisa beres-beres.”

Vallen menjawab dengan candaan, “Namanya juga usaha, min.”

Lantas keduanya bersama-sama merapikan kamar kos Vallen. Lalu dikarenakan jam di dinding telah menunjukkan pukul 9 malam, Kesya memutuskan untuk menginap di sana.

Mereka menghabiskan malam dengan bercerita banyak hal. Membicarakan apapun yang belum pernah diceritakan sebelumnya.

“Len, lo berhak buat keep your story dari orang-orang. Lo boleh banget mendem masalah lo sendiri, tapi jangan denial kalo lo juga butuh pendengar. Jangan selalu beranggapan lo bakal membebani orang lain dengan cerita lo. Terkadang manusia merasa berguna untuk orang lain ketika dia bisa diandalkan, termasuk gue. Gue seneng kalo lo mau sharing keluh kesah lo ke gue. As a friend gue akan merasa ada gunanya.”

“Iyaa, Kes.”

“Jangan iya-iya doang, anjir! Gue harap lo mau terbuka sama gue mulai sekarang. Tapi gue nggak maksa juga, sih. Pokoknya i will always be there if you need me, ya.”

Lagi-lagi perempuan yang sebenarnya sedang menahan tangisnya itu hanya menjawab dengan anggukan dan sepatah kata, “Iya.”