My first and last kiss
Sudut bibirnya sedikit naik saat melihat Evan yang terus senyum-senyum sendiri sejak tadi. Naila sibuk memikirkan skenario apa yang sebenarnya sedang Justin mainkan.
“Gue tau gue ganteng, biasa aja kali, Nai, liatin gue nya.”
Kalau tidak sedang menjalankan rencananya, mungkin Naila sudah mencaci-maki Justin yang sialnya hari ini memang terlihat lebih tampan dari biasanya. “Lo beda deh hari ini, kaya lebih keren dari kemaren-kemaren.”
Sekali lagi, kalau tidak sedang menjalankan rencananya mungkin Naila akan menarik kata-katanya barusan karena setelah ia melontarkan kalimat pujian itu, Justin justru terlihat semakin sumringah seperti baru berhasil menembakkan panah pada kijang incarannya.
cw // kissing, cigarettes
Naila mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merasa bosan karena ia ditinggal sendirian oleh laki-laki yang mengajaknya ke pesta itu. Ia duduk di kursi di tepi kolam renang dengan tangan menggenggam gelas berisi minuman. Entah kemana perginya laki-laki itu, mungkin menemui teman-teman yang sama brengseknya dengan dia.
“Nai, Sorry, nunggu lama ya?” Justin kembali dengan napas yang tergesa-gesa karena berlari menghampiri Naila yang sedang ber-selfie ria.
Naila hanya mengangguk lalu minta untuk dikenalkan pada teman-teman Justin. Tentunya permintaan tersebut merupakan bagian dari rencananya—ingin tau seperti apa wajah para brengsek itu.
Akhirnya Justin membawa Naila ke taman kecil di belakang villa itu untuk berkenalan dengan teman-temannya.
“Balik ke depan, yuk, Nai? Disini pada ngerokok,” ajak Justin setelah Naila selesai menjabat kelima tangan mereka.
Naila pun pamit dan mengikuti langkah Justin yang terkesan buru-buru. Kakinya berhenti di sebuah pendopo yang penerangannya agak kurang karena terletak di ujung.
“Ngapain kesini deh? Gelap, Ju.”
“Disana rame, berisik.”
Naila sedikit terkejut karena setelah itu Justin mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya lalu mulai merokok di sebelahnya. Baru kali ini Justin berani merokok di dekatnya. Namun sebelumnya tentu saja Naila sudah tau kalau laki-laki itu adalah perokok aktif karena tak jarang bau tembakau masih menempel padanya saat mereka bertemu.
Kepulan asap rokok mengudara kala Justin mengembuskan napasnya. “Gapapa kan gue sebat dulu?”
“Pertanyaan bodoh. Harusnya lo tanya sebelum mulai, anjing.”
“Gapapa lah, santai.”
Untuk beberapa menit selanjutnya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai hening akhirnya menyelimuti keduanya.
“Nai,” panggil Justin tiba-tiba.
Naila menoleh tanpa bersuara, matanya bertemu dengan mata sayu milik laki-laki di sampingnya.
“I think I'm falling in you.” Naila sudah memperkirakan kalimat itu akan Justin lontarkan. “How about you?“
Belum sempat Naila menjawab, Justin kembali mengambil sesuatu dari sakunya. Kali ini dua permen keluar dari saku celananya. Permen cokelat dan vanilla.
“Ambil cokelat kalo lo juga suka sama gue, tapi ambil vanilla kalo sebaliknya.”
Naila meringis di dalam hatinya, merasa momen ini sangat cringe baginya. Namun agar rencananya berjalan lancar, Naila memasang senyumnya lebar-lebar dan memilih permen cokelat yang ada di tangan kanan Justin.
Laki-laki itu membulatkan matanya tidak percaya. “Serius lo, Nai?” Naila mengangguk, mengundang senyum malu-malu Justin yang wajahnya memerah.
“Nai,” panggil Justin lagi. “May i kiss you?“
Hampir saja Naila bangkit dari duduknya dan pergi dari sana kalau tidak ingat rencana apa yang membuat ia akhirnya mengizinkan Justin untuk menyapa bibirnya.
Perlahan keduanya mendekat demi berkenalan dengan bibir masing-masing. Namun belum sempat Justin meraih bibir tebal gadis itu, Naila lebih dulu melontarkan kalimat yang langsung membuat ia menjauhkan kepalanya.
“Lo dapet berapa juta kalo berhasil ciuman sama gue?” Naila tersenyum simpul manakala wajah panik Justin terlihat begitu jelas walaupun keduanya sedang di tempat yang minim pencahayaan. “Gak usah kaget gitu, lo tinggal jawab pertanyaan gue.”
Dengan terbata-bata Justin menjawab, “Se-sepuluh juta, Nai.”
Naila menenggak liurnya susah payah setelah mengetahui nominal yang Justin akan terima jika berhasil mencuri ciumannya.
“Miskin.” Dengan cepat Naila menarik kerah kemeja Justin, mempertemukan bibirnya dengan milik laki-laki itu yang masih ada sisa rasa rokok saat ia mengulumnya.
Justin terkejut karena ini benar-benar sudah diluar rencananya. Awalnya Justin hanya berniat untuk memberikan kecupan singkat, namun yang terjadi sekarang malah pergerakan bibir yang Naila lakukan semakin gencar dan panas.
Sama seperti Justin, sebenarnya bukan ini yang Naila rencanakan. Namun karena tersulut emosi, ia hilang kendali dan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Ingin segera menyelesaikan ciumannya, tapi Naila belum memikirkan plan b untuk itu.
“Gue harus ngapain abis ciuman ini?“ “Langsung kabur atau diem disini dulu?“ “Bangsat, gue nge-blank!“
Seolah bisa membaca pikiran gadis yang semakin brutal itu, Justin menyudahi tautan bibir mereka dan bertanya heran, “You okay?“
Naila berdecak lantaran tidak habis pikir dengan pertanyaan Justin, bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan itu?
Bingung harus menjawab apa, lagi-lagi Naila hilang kendali dan malah merebut rokok yang masih diapit oleh jari-jari Justin.
“Abis ini minta bayaran yang lebih gede, gue gak semurah itu!” katanya lalu menghisap gulungan tembakau itu dalam-dalam seperti orang tolol. Naila bukan perokok dan tidak pernah menyentuh rokok sebelumnya.
Karena itu Naila malah tersedak asapnya karena tidak bisa mengepulkannya.
“Lo kenapa, sih, Nai?” tanya Justin khawatir karena sekarang Naila batuk-batuk akibat ulahnya sendiri. Ia membuang rokok dari tangan Naila.
Tanpa sadar Naila berteriak dengan suaranya yang agak serak, “LO YANG KENAPA, BAJINGAN?!” Justin terkejut karena diteriaki seperti itu.
“Sorry, ayo pulang.”
Malam itu menjadi malam terakhir mereka bertemu sebelum Naila memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Justin bain itu melalui sosial media ataupun secara langsung.
Sebisa mungkin Naila menghindar apabila tidak sengaja bertemu dengan Justin di gedung fakultas maupun di sudut kampusnya. Bahkan, Naila tidak ragu untuk keluar dari lift setiap kali Justin masuk di waktu yang sama dengannya.