18.45

Sembari menonton acara TV yang sama sekali tidak menghiburnya, Vallen menunggu Jagat di ruang tamu sesuai dengan yang laki-laki itu mau.

Sejujurnya, Vallen tidak ingin membicarakan hal ini karena ia sadar alasannya marah kemarin memang kekanakan. Namun, melihat usaha suaminya yang ingin memperbaiki komunikasi mereka, Vallen jadi penasaran bagaimana cara Jagat memecahkan masalah ini.

Vallen refleks menegakkan punggungnya saat mendengar suara langkah kaki dari pintu. Jagat datang dengan wajahnya yang melas—sama seperti tadi pagi—sambil menenteng tas laptop di tangan kiri.

“Minum dulu,” kata Vallen, basa-basi. Ia memberikan gelas berisi air putih untuk Jagat.

Alih-alih menerima gelas itu, Jagat malah menghambur ke pelukan Vallen tanpa aba-aba sampai air di gelas yang Vallen pegang tumpah sedikit. “Maafin aku.”

“Kamu, tuh, minta maaf terus. Emang tau salahnya dimana?”

Jagat menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Vallen dan menggeleng, membuat Vallen kegelian.

“Kangen,” lirih Jagat begitu Vallen mengelus belakang kepalanya. “Jangan cuek sama aku.”

“Kamu duluan.”

“Aku ngapain, Sayang?

Tidak tega melihat Jagat merajuk dengan suaranya yang sangat amat lembut, Vallen lantas bertanya, “Tadi malem, waktu aku mau nemenin kamu, kamu bilang apa?”

“Karena aku nggak tau bakal selesai kapan, aku minta kamu tidur duluan. Habis itu kamu beneran balik ke kamar. Terus paginya, kamu pergi gitu aja waktu aku mau cium. Padahal biasanya–”

“Aku nggak minta kamu ceritain bagian itu, Mas. Aku tanya, kamu bilang apa ke aku tadi malem?”

Jagat terlihat berpikir sesaat sebelum menjawab, “Aku bilang, tidur duluan aja kalo udah ngantuk, Sayang.”

“Bener kayak gitu?” Vallen kembali bertanya sambil menyisir rambut Jagat yang agak lepek dengan jari-jarinya.

Kali ini Jagat mengangguk, kemudian keheranan sendiri saat Vallen melepaskan pelukannya.

“Tidur aja, gih. Udah malem.”

“Hah?”

“Semalem, kamu kayak gitu ngomongnya.”

“Emang iya? Kok gitu banget ngomongnya?”

“Iya! Nggak kayak biasanya.” Vallen menjawab dengan cepat, tangannya terlipat di depan dada persis seperti seorang ibu yang sedang mengomel.

Gemas, Jagat tidak tahan untuk tidak mencuri satu ciuman singkat dari bibir Vallen yang mengerucut. “Emang gimana kalo biasanya?”

“Biasanya pake Sayang. Kayak gini,” ujar Vallen, bersiap menirukan nada bicara Jagat yang biasanya setiap menyuruh Vallen tidur duluan. “Kamu tidur duluan aja, Sayang. Gitu, bukan gah gih gah gih, itu mah kamu ngusir aku.”

Tadi malam, Jagat benar-benar dibuat pusing oleh urusan pekerjaan yang belum selesai. Ia bahkan tidak sadar telah mengucapkan kata yang tidak disukai istrinya.

“Hmm... Gitu, ya? Terus gimana lagi biasanya? Kayaknya masih ada yang kurang.”

“Biasanya kamu juga cium aku yang lama.”

“Gimana?”

Demi menjawab pertanyaan tersebut, Vallen mengecup pipi Jagat singkat. Entahlah, rasanya semua marah dan kesal yang ia tahan sudah menguap bersama udara dingin malam itu.

“Katanya lama?”

“Bayar,” canda Vallen, ia berniat beranjak dari duduknya karena merasa semuanya sudah diselesaikan. “Jagat!” Tiba-tiba Vallen memekik lantaran tangannya ditarik hingga ia kembali duduk.

Kali ini, Vallen tidak mendarat di sofa melainkan di paha laki-laki yang lengannya sudah menggamit pinggangnya lembut. Jagat mendekatkan tubuh Vallen agar menempel dengan tubuh kokohnya.

“Sayang, maaf ya kemarin aku udah salah ngomong. Aku nggak sadar kalo kalimatku jelek banget. Janji sama aku, lain kali, kalo mulut ini nakal lagi, kamu langsung bilang. Atau cium aja biar langsung tau salahnya dimana.”

Hampir Vallen terharu dengan permintaan maaf Jagat, ia langsung mendecak saat kalimat terakhir itu dilontarkan. “Nggak jelas, deh!” Vallen berusaha berdiri, namun tenaga Jagat terlalu kuat untuk ia lawan.

Jemari Jagat bergerak membelai pipi Vallen. “Janji dulu.”

Vallen tertawa kecil, kemudian mengangguk. “Iya, janji.”

Lantas Jagat mencium bibir Vallen dengan lembut dan hati-hati. Waktu seakan berjalan lebih lambat setiap kali Jagat memanjakan bibir perempuan yang tubuhnya dilapisi daster rumahan itu. Membuat Vallen nyaman dan otomatis mengalungkan lengannya pada leher Jagat.

I miss you so bad,” bisik Jagat di tengah kecupannya yang bertubi-tubi.

Kalimat itu berhasil membuat Vallen tersenyum di antara bubuhan kecup yang ia terima. Ia mengeratkan pelukannya di leher Jagat, menghilangkan jarak antara tubuh keduanya.

I love you, Mas.”

Ingat Jagat bilang apa setiap Vallen memanggilnya dengan sebutan Mas?

“Kamu udah nggak marah?” tanya Jagat yang dibalas anggukan.

Jagat terkekeh kemudian menepuk pelan punggung Vallen, mengisyaratkan padanya untuk turun dari pangkuan. “I love you more. Tapi Mas lagi capek banget, is it fine if we do that tomorrow?” tanyanya baik-baik setelah Vallen berpindah posisi.

Yang ditanya mengangguk-angguk sesaat, kemudian menepuk puncak kepala Jagat. “Nggak apa-apa.”

Senyum simpul menghiasi wajah Jagat yang nampak lesu. Ia segera melepas pakaian kerjanya, dibantu oleh Vallen. Hari ini cukup melelahkan bagi Jagat, selain keadaan di kantor yang membuat kepalanya pening, memburuknya komunikasi dengan Vallen juga menjadi alasan Jagat tidak bersemangat.

Seolah masih ada yang mengganjal hatinya, Vallen kembali bersuara, “Aku sebenernya tadi mau minta maaf duluan karena udah diemin kamu, tapi aku malu.”

“Kok malu? Kenapa?” Vallen tidak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya dan membungkam mulut. “Kenapa, Sayang?”

“Soalnya... Ternyata ini sepele banget. Aku marah nggak jelas dan mikir yang nggak-nggak cuma karena kamu keliatan agak beda dari biasanya.”

“Kamu mikir apa?”

Vallen menarik napas, mengangkat wajah agar sorot matanya bertemu dengan yang tengah menatapnya. “Aku kira, aku ganggu kamu banget karena kamu nggak mau aku temenin dan malah ngusir. Maaf ya kalo aku kekanakan.”

“Aku nggak ngusir, Sayang. Justru aku yang takut kamu keganggu karena nemenin aku kerja. Kamu juga nggak kekanakan kok.” Jagat berujar sambil mengusap bahu Vallen yang tegang.

“Ya udah, kamu mandi dulu, aku siapin makan malem. Oh iya, Mas bawa kerjaan ke rumah lagi?'

“Nggak, Sayang. Mau bobo aja sama kamu.” Jagat mengecup punggung tangan Vallen kemudian bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Begitupun dengan Vallen, ia buru-buru ke dapur untuk mengeluarkan semua makanan yang sudah ia masak sore tadi.

Perasaan keduanya telah membaik setelah sama-sama membicarakan masalah yang menghambat komunikasi mereka.