It's not living if it's not with you


Sejak kecil Vallen sudah diperingatkan untuk tidak tidur di sore hari. Namun, kesibukannya hari ini mengundang lelah dan membuatnya terlelap setelah melakukan finishing pada gaun buatannya yang akan ia kenakan esok hari—di pernikahan kedua sang ayah.

Saking lelahnya, Vallen tidur sampai berjam-jam dan terbangun pada pukul 17.50 dengan kondisi tubuhnya yang pegal-pegal.

Tadinya Vallen ingin melanjutkan tidurnya, namun ia teringat Jagat yang hari ini pulang ke Jakarta. Akhirnya, Vallen memutuskan untuk bangun dan bersiap-siap bertemu mantan kekasihnya itu.

Ia berjalan gontai ke luar kamar, ada Velo dan mamanya yang sedang menonton televisi di ruang tamu. Melihat apa yang sedang keduanya tonton, seketika nafasnya tercekat.

Sebuah berita yang mengabarkan kecelakaan pesawat terpampang jelas di layar televisi.

“Pesawat dengan rute Surabaya – Jakarta mengalami kecelakaan, seluruh penumpang dikabarkan tidak selamat”

Judul berita itu seketika membuat lututnya lemas dan berbagai pikiran negatif langsung menggerayangi pikirannya.

Tidak ingin membuang-buang waktu dengan hanya terpaku di depan televisi, Vallen lantas mengambil kunci mobil Velo yang tergelak di atas meja.

Dua orang lainnya di sana terkejut dengan pergerakan Vallen yang tiba-tiba itu, keduanya bahkan tidak sempat bertanya lantaran Vallen langsung tancap gas menuju bandara.

“Jagat..” “Jagat..” “Jagat..”

Nama itu tidak bisa keluar dari pikirannya, ia sedih, putus asa, dan hilang fokus. Saking kacaunya, Vallen bahkan tidak ingat kalau dirinya belum mahir mengendarai mobil namun ia sudah langsung turun ke jalan, dengan kecepatan tinggi pula.

Yang ada di otaknya kini hanya bayangan wajah laki-laki baik yang telah 5 tahun menjadi temannya. Teman curhat, teman jalan-jalan, juga teman bertengkar.

Eksistensi Jagat begitu berarti di hidupnya. Walaupun terkadang ada moment dimana ia ingin sekali menonjok wajah tampannya itu, Jagat selalu ada kapanpun ia dibutuhkan.

Jagat selalu siap menemaninya kala sepi melanda, selalu sedia setiap kali Vallen harus pergi ke suatu tempat, selalu mendukung apapun keputusannya, selalu memberikan solusi untuk masalah-masalah yang Vallen ceritakan, dan yang terpenting adalah Jagat selalu menjaganya.

Sayangnya, semua itu berubah ketika kegagalan kisah cinta mereka. Kegagalan yang menghadirkan canggung di antara keduanya.

Sejak saat itu tidak ada lagi Jagat yang selalu ada untuknya. Vallen yang terbiasa bergantung pada laki-laki itu bahkan sudah membiasakan diri untuk tidak lagi mengharapkan bantuan Jagat.

Mulai berani memesan ojek online sampai belajar mengendarai mobil, itu semua Vallen lakukan agar dirinya bisa beraktivitas tanpa melibatkan Jagat lagi.

Namun nyatanya Vallen tidak seberani itu, Vallen tidak bisa dan tidak ingin ditinggalkan olehnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana menjalani hari tanpa seseorang yang telah banyak berkontribusi di hidupnya.

Vallen semakin kacau manakala judul berita itu kembali melintas di pikirannya. Air matanya bahkan sudah mengucur deras sejak tadi, membuat penglihatannya agak kabur dan tidak jelas melihat jalanan.

Saking sibuknya menyetir sambil menangis, ia bahkan mengabaikan ponselnya yang berdering sejak tadi. Yang ada di otaknya hanyalah ia harus sampai di bandara secepat mungkin.

Lalu terdengar nada dering yang berbeda dari sebelumnya, nada dering yang telah ia atur khusus untuk panggilan dari seseorang yang spesial, Jagat.

Fokusnya langsung teralihkan, Vallen menatap layar ponselnya yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Nama jagat terpampang jelas di sana.

Vallen meraih dan menatap benda pipih itu untuk beberapa saat karena bingung kenapa harus Jagat yang meneleponnya. Ia terlalu fokus dengan ponselnya sampai tidak sadar kalau mobilnya telah keluar jalur.

Vallen panik, tidak tau harus bertindak apa untuk situasi seperti ini. Dirinya bahkan masih memproses tentang panggilan dari Jagat, ia tidak bisa berpikir jernih. Vallen membanting setir dan itu membuatnya menabrak pembatas jalan.

Ponselnya masih berdering, sangat ingin ia mengangkat panggilan itu. Namun dentuman keras yang terjadi pada kepalanya membuat ia memilih untuk memejamkan mata dan berharap seseorang akan datang menolongnya.


“Lo bisa diem gak sih? Muter-muter mulu kayak gangsing lo!”

“Gue khawatir, anjing! Gimana bisa lo nyuruh gue diem??”

Velo mendecak, “Vallen cuma lecet dikit, kata dokter dia pingsan karena shock. Udah, lo duduk tenang aja, Gat.”

Mau diberi kata-kata penenang sebanyak apapun Jagat tidak bisa tidak khawatir dengan keadaan Vallen yang kini terbaring di ranjang rumah sakit. Walaupun Vallen seringkali menunjukkan image dominannya, di mata Jagat ia tetaplah perempuan yang tidak bisa dibiarkan sendirian.

Entah karena terlalu sering diandalkan olehnya atau memang selalu ingin di dekatnya.

Di dalam sana, ada Farah, sang ibu yang tidak kalah khawatir. Menggenggam erat dan menciumi tangan putrinya. “Kak, mama ke Jakarta bukan buat liat kamu tidur di rumah sakit.”

Bukan tanpa alasan ibu dua anak itu tetap mengajak putrinya berbicara walaupun tidak ada jawaban darinya. Terpisah lama dengan anak sendiri bukanlah hal mudah yang bisa dijalani oleh seorang ibu. Kerinduan yang menumpuk selama itu inginnya Farah tumpahkan kala pertemuannya dengan Vallen setelah bertahun-tahun tidak bertemu, namun kecelakaan sore ini membuatnya kalang kabut.

Berharap ada respon dari sang putri, Farah terus bicara sendiri di ruangan serba putih yang dingin itu.


Langit biru terlihat lebih bersih dengan gumpalan awan seputih kapas, ditambah gerombolan burung yang berlalu lalang di sana.

Di bawah pohon rindang, Vallen dengan setelan hitam-hitamnya tengah menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya di antara kakinya yang tertekuk.

Pundaknya bergetar seiring tangisan yang tak kunjung usai. Dadanya bergemuruh manakala sesak kembali menyerang. Bayang-bayang tentang dia belum juga lebur dari kepalanya seolah ingin terus menemaninya.

Kata orang, penyesalan selalu datang belakangan. Selama lebih dari 20 tahun hidupnya, tidak pernah ada satupun keputusan yang Vallen sesali. Pertemuannya dengan Evan yang berakhir buruk, bahkan memilih untuk berpisah dengan sang ibu dan tinggal dengan ayahnya pun tidak pernah ia anggap sebagai keputusan yang salah.

Namun satu hal yang membuatnya merutuki diri sendiri adalah terlambat menyadari bahwa ia telah sejatuh itu pada laki-laki pemilik nama belakang Adigdaya yang kini menjadi alasannya untuk menangis.

Vallen memukul kepalanya sendiri berulangkali. “Gue bodoh banget... Gue bodoh karena biarin lo jatuh cinta sendirian. Lo pasti benci sama gue, kan? Lo enggak mau liat gue lagi sampe harus pergi jauh ninggalin gue,” ujarnya dengan air mata yang tidak mau berhenti.

“Seandainya gue dikasih kesempatan buat hidup sekali lagi, gue janji gue gak akan jahat sama lo lagi, Jagat.” Dengan mata terpejam dan tangan yang seperti sedang merapal doa Vallen membuat janji dengan sungguh-sungguh.

Tangisnya semakin menjadi-jadi sampai sepasang sepatu berhenti di depannya, sepatu putih yang sudah tidak asing lagi bagi Vallen. Ia mendongak untuk memastikan siapa tuan yang kini sedang menatapnya. Matanya melotot kala bertemu dengan mata sipit dengan tahi lalat indah di bagian kirinya.

Terlihat laki-laki itu tertawa kecil, membuat matanya ikut tersenyum. Vallen mengerjap beberapa kali lantaran mendengar suara tawa yang dulu selalu ada untuknya.

Vallen baru tau kalau dirinya merupakan satu dari banyaknya indigo di muka bumi. Antara takut dan senang, Vallen menangkup wajah Jagat yang kini sejajar dengannya. “Sejak kapan gue bisa liat hantu?”

Bukannya menjawab, Jagat justru mengikis jarak keduanya, menyatukan kening mereka dan menatap lurus mata Vallen yang masih berkaca-kaca. “Lo ngomong apa, sih?” lirihnya

Jagat mempertemukan bibirnya dengan milik Vallen, membiarkan labium tebal itu bertaut untuk beberapa detik tanpa pergerakan yang pasti. Tiba-tiba saja air mata Vallen kembali menetes kala ia memejamkan matanya.

Seandainya ini mimpi, Vallen bersumpah akan memarahi siapapun yang membangunkannya.

“Aw!

Vallen meringis saat merasakan bibirnya digigit, ia sontak membuka mata dan bersiap ingin memprotes Jagat. Namun, yang ia lihat pertama kali bukanlah paras teduh laki-laki itu melainkan ekspresi khawatir dan bingung yang terpancar dari wajahnya.

“Hey, you okay?”

Vallen menghela napasnya lega karena suara itu kembali ia dengar. “Gue seneng jadi indigo, soalnya bisa terus ngeliat lo yang udah meninggal.”

“Hah? Gue belum mati, anjing! Sembarangan banget nih mulut kalo ngomong!”

“Hah?!”

Terkejut, Vallen refleks menegakkan tubuhnya dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Di rumah sakit.

“Bukannya pesawat lo kecelakaan ya?? Kok lo bisa ada di sini?”

Jagat menatapnya tidak percaya mendengar pertanyaan Vallen yang menurutnya sangat tidak masuk akal. “Lo kalo benci sama gue jangan sampe nyumpahin mati dong, Len. Gini-gini gue masih mau idup.”

Mendengar ribut-ribut dari luar, Farah dan Velo langsung masuk dan menghampiri keduanya yang masih berseteru.

“MAMA! ADA HANTU JAGAT!!” seru Vallen dan langsung memeluk ibunya.

Ketiga orang di ruangan itu lantas saling bertatapan karena tidak mengerti apa yang dimaksud Vallen.

Velo mengusap wajahnya kasar. “Wah, masih linglung nih, bocah. Bangun, woy! Cowok lo masih gagah begini malah dikatain hantu.”

“Enggak ada yang jadi hantu, kak. Jagat belum meninggal,” ucap Farah menenangkan Vallen.

“Tapi pesawatnya kecelakaan, mama sama Velo kan liat beritanya!”

Velo yang sudah tidak tahan langsung memberikan ponselnya yang sudah pada tampilan google. “Coba lo liat internet sekarang, ada artikel tentang kecelakaan pesawat hari ini atau enggak??”

Kerutan di keningnya terlihat jelas begitu menggulir layar ponsel milik saudara kembarnya itu. Di sana tidak ada berita mengenai kecelakaan pesawat sama sekali.

“Aman, kan? Gue baik-baik aja,” kata Jagat.

Vallen menatap Farah seolah mencari pembelaan, dengan suara lembut Farah menjelaskan, “Tadi waktu bangun tidur kamu langsung ambil kunci mobil terus pergi gitu aja. Mama sama Velo kaget dan gak sempat kejar kamu karena kamu ngebut banget bawa mobilnya. Udah ditelepon berkali-kali juga enggak diangkat. Kamu kenapa sih, kak? Capek banget ya sampe mikir yang engga enggak gini?”

Setelah mendengar penuturan mamanya, perlahan Vallen menarik selimut dan langsung membungkus badannya sampai kepala karena terlalu malu untuk berinteraksi dengan Jagat.

Ternyata berita kecelakaan yang ia lihat sebelumnya hanya halusinasi karena terlalu lelah dan saking seringnya Jagat mampir di pikirannya.

Setelah ini Vallen berjanji untuk tidak tidur sampai sore lagi.