People change


“Padahal tinggal dateng, kenapa malu coba?”

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut Reihan langsung dihadiahi tatapan tajam dari keempat kawannya.

“Ya lo pikir aja sih, Rei!” celetuk Nahar.

“Apa? Emang dia aja yang lebay. Lagian ini udah berapa bulan? Kalo emang nganggep temen harusnya ya gak usah canggung-canggung tai kucing lah!”

Darrel yang sedang mengupas buah apel ikut bersuara, “Nye nye nye.. Ngomong noh sama tembok!” Ia memberikan apel yang telah dipotong-potong pada Vallen.

Thanks.” Vallen menerima sepiring buah manis itu dengan senang hati. “Kesya tuh bukannya lebay, Rei. Itu cara dia buat sembuhin hatinya,” ucapnya.

Sesuai perjanjian tadi malam, empat laki-laki yang kini tengah duduk melingkar itu telah sampai di kos-kosan yang baru beberapa hari Vallen tempati. Pertemuan mereka diawali dengan membicarakan Kesya yang menolak untuk bergabung bersama mereka.

“Kalo lo sendiri, gimana cara sembuhin hatinya?”

Pertanyaan itu datang dari Nahar, membuat semua orang di ruangan yang luasnya tidak seberapa itu sontak menatapnya secara bersamaan. Bukan tanpa alasan Nahar melemparkan pertanyaan itu, ia sungguh ingin tau apa yang akan Vallen lakukan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya.

Satu-satunya perempuan di sana terlihat bingung harus menjawab apa, dengan suara lirih ia menjawab, “Kalo gue-”

“Nggak usah dijawab.” Belum selesai Vallen bicara, Jagat sudah lebih dulu memotong ucapannya. “Pertanyaan lo yang bener-bener aja lah, Har,” cetusnya dengan nada ketus disertai tatapan tidak suka.

Vallen langsung menangkap sinyal yang kurang mengenakan. Pasalnya, kini Jagat dan Nahar tengah saling melempar pandang. Nahar menunjukkan tatapan meledek, sedangkan Jagat menatapnya tajam.

“Ribut gak bos? Kalo mau tonjok-tonjokan gue cariin ring tinju buat lo berdua,” seru Darrel yang berada di tengah-tengah keduanya.

Reihan yang peka dengan keadaan lantas menambahkan, “Cari aja, Rel. Gue yang beliin sarung tinju buat dua abang jago ini.”

“Bacot!”

Vallen menahan tawanya ketika melihat wajah merajuk Jagat yang menurutnya sangat lucu. Laki-laki itu kembali memfokuskan perhatiannya pada beda pipih yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya. Jemari panjangnya tidak henti mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah dengan siapa Jagat sedang bertukar pesan, hal itu membuat Vallen sedikit jealous karena Jagat lebih sibuk dengan ponselnya. Otaknya mengatakan bahwa Jagat mungkin saja sedang membalas puluhan pesan dari kontak asrama putri di ponselnya.

Hal itu menyadarkan Vallen akan hubungan yang telah kandas, hubungan yang tidak bisa ia rajut kembali.

“Ngomong-ngomong, bokap gimana kabarnya?”

Dengan tenang Vallen menjawab pertanyaan Reihan barusan, “Sehat kok, kayaknya makin sehat karena mau punya istri baru.”

Keempat laki-laki di sana sontak menoleh keheranan ke arah Vallen yang sedang duduk selonjoran di atas tempat tidurnya. Membuat Vallen membulatkan matanya karena ia baru sadar belum membeberkan tentang masalahnya dengan sang papa.

“Istri baru?”

Tak kalah penasaran dengan Darrel, laki-laki yang postur tubuhnya lebih kecil dari yang lain ikut bertanya, “Papa lo mau nikah lagi?” tanya Reihan dengan wajah penasaran setengah mati.

Nahar dengan tatapannya yang mengintimidasi memajukan tubuh tegapnya. “Vallen, lo gapapa?” Pertanyaannya mengundang Jagat untuk meliriknya sinis—tidak senang dengan Nahar yang terdengar sangat khawatir karena menanyakan keadaan mantan kekasihnya.

Sebenarnya Jagat juga khawatir, Vallen tidak memberitahunya tentang ini. Ingin ikut bertanya, namun masih teringat jelas bagaimana Vallen mengatakan kalau dirinya tidak suka membagi masalah yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, ia hanya duduk tenang dan menunggu perempuan itu bersuara.

Sorry gue lupa belum cerita.”

“Nggak perlu minta maaf. Cerita masalah pribadi itu bukan kewajiban kok, termasuk ke orang terdekat sekalipun.” Sindiran Nahar berhasil menyentil Jagat. Hampir saja ia akan memulai perdebatan lagi kalau tidak ingat sekarang adalah waktunya untuk Vallen yang bicara.

Dengan jari-jari tangan yang saling tertaut, Vallen mulai membuka suara, “Gue dikabarin sama Velo kalo papa minta izin ke nyokap buat nikah lagi. Papa bahkan nggak minta persetujuan gue. Ya emang sih, pendapat gue nggak bakal merubah apapun, tapi kan setidaknya ada omongan ke gue dulu gitu, karena gimanapun yang tinggal bareng papa itu gue. Padahal dulu papa pernah bilang nggak bakal cari pengganti mama.”

“Tapi lo gapapa kalo bokap nikah lagi?”

“Sebenernya gue gak mau, Rei. Ini gue sampe keluar dari rumah ya karena nggak mau ketemu sama calonnya.”

Hati Jagat terenyuh mendengar suara Vallen yang bergetar. Dirinya teringat malam dimana Vallen menangis dengan bebas di apartemennya. Ternyata masalah ini yang Vallen tangisi. Rasanya ia ingin merengkuh tubuh kurus itu dan membisikkan kata-kata yang menenangkan, namun status keduanya sekarang membuat ia sadar posisi.

Lagipula, diantara keempat teman laki-lakinya itu Vallen hanya akan menerima pelukan Reihan. Alasannya karena hanya Reihan yang wangi parfumnya paling bersahabat dengan hidungnya. Alasan lainnya karena pelukan Nahar seringkali terlalu erat sampai membuatnya sesak, Darrel adalah pacar temannya, lalu tidak mungkin Vallen dan Jagat berpelukan, bukan?

“Tapi lo pasti bakal balik ke rumah kan? People change, Len. Yang dulunya merasa nggak butuh siapa-siapa suatu saat pasti bakal jilat ludah sendiri. Dan papa lo itu salah satu contohnya, lo harus bisa menghargai keputusan papa lo.” Jagat menasihati Vallen dengan hati-hati, takut ia salah bicara.

“Iya gue ngerti. Nanti gue juga pulang kok, tapi nggak tau kapan,” jawab Vallen dengan suara lemas.

Reihan tiba-tba beranjak dari duduknya hanya untuk menepuk bahu Vallen dua kali. “Lo keren.” Walaupun hanya dua kata yang keluar dari mulut Reihan, semua orang di sana tau betul bahwa ada kalimat panjang yang Reihan simpan di benaknya untuk diungkapkan nanti, secara tidak langsung. Reihan memang jarang sekali berbicara panjang lebar, namun sekalinya bersuara ia bisa membuat siapapun yang mendengar wejangannya itu terharu.

“Lo juga keren, Rei. Gimana kabar Bang Wildan? Masih sering ribut sama abang lo?'

“Ya gitu lah, ketemu ribut kalo gak ketemu kangen.”

Semuanya merespon dengan gelak tawa mendengar pernyataan Reihan. Kecuali Jagat, ia tidak ikut tertawa lantaran ada sebuah panggilan yang menginterupsinya dan membuat yang lain ikut menghentikan tawanya.

“Halo? Oh udah sampe?” “Tapi aku masih di tempat temen,” “Hah? Kamu nggak bisa lama?” “Ohh ya udah aku ke sana sekarang, tungguin ya,” tutur Jagat lalu memutus panggilannya.

Laki-laki yang sering membawa gitarnya kemana-mana itu tidak berpindah dari posisinya ketika bicara dengan seseorang di sebrang sana. Dengan demikian, Vallen, Nahar, Darrel, dan Reihan dapat mendengar percakapannya.

Sorry nih harus cabut duluan,” kata Jagat sembari mengajak teman-temannya untuk high five. Saat tangannya bertemu dengan milik Vallen, ia menangkap tatapan yang sulit diartikan dari mata perempuan itu, seperti kecewa. Namun, lengkungan bibirnya seolah menutupi kekecewaannya.

“Hati-hati, ya.”

Setelahnya Jagat berpamitan kemudian melenggang pergi dari kamar kosan Vallen.

Reihan bertanya dengan antusias, “Gebetan barunya gak sih?”

“Kayaknya udah official pacaran deh,” sahut Darrel. “Ngomongnya udah aku kamu.”

“Baru juga putus, udah dapet cewek lagi si Jagat. Anaknya nggak betah banget jomblo.

Vallen tersenyum getir mendengar celetukan teman-temannya. Ia setuju dengan ucapan Nahar, Jagat memang tipe yang selalu ingin diberi perhatian karena tidak mendapatkan hal itu dari keluarganya. Mungkin karena itu juga posisinya sudah digantikan oleh wanita lain. “*Gapapa, lo harus bisa move on juga, Len,” batinnya.

People change, katanya. Mungkin nasihat Jagat juga menggambarkan dirinya sendiri. Jagat yang sebelumnya begitu mencintai Vallen sekarang sudah menemukan perempuan baru untuk ia cintai.

“Biarin lah, he deserves better than me.

Tanpa mereka sadari, orang yang mereka bicarakan masih berdiri di ambang pintu dan mendengarkan semua spekulasi tersebut.