Heartbreak girl


Nahar sedikit terkejut melihat perempuan di depannya melempar ponselnya ke sofa. Ia kemudian memindahkan berbagai jajanan sekolah yang telah ia beli sebelumnya ke piring. “Lo kenapa, Len?”

“Ada orang ngeselin,” celetuk Vallen yang kemudian langsung membantu Nahar yang sedang direpotkan dengan telur gulung dan jajarannya.

Vallen menuangkan saus dengan raut wajah yang tidak bersahabat, suasana hatinya langsung tidak baik kala mendapati pesan dari seseorang yang beberapa waktu lalu pernah berurusan dengannya, Cakra.

Laki-laki yang telah menjadi temannya sejak SMP itu menghentikan pergerakannya secara tiba-tiba. “Kenapa? cerita aja,” ucapnya.

Sebab Vallen tau Nahar pasti akan menunggu ceritanya, mau tidak mau ia harus membeberkan sesuatu yang telah menggangu pikirannya.

“Gue kesel gara-gara diajak ketemu sama cowok yang udah gue blacklist, Har. Gue kira dia udah nggak inget sama gue, taunya malah ngechat terus minta ketemuan.”

“Cowok mana? Emangnya lo pernah deket sama cowok lain selain Jagat?”

Vallen menepuk jidatnya sendiri karena baru sadar kalau Nahar tidak tahu-menahu soal Cakra. Ia memang sengaja tidak menggembar-gemborkan masalah pribadinya. “Gue lupa belum pernah ngasih tau lo.”

“Tuh, kan. Emang ya gue tuh udah nggak dianggep temen sama lo.” Satu tusuk telur gulung Nahar ambil tanpa melepas pandangannya dari Vallen.

“Bukan gitu, anjir! Cerita gue emang nggak penting, makannya gue nggak bilang. Ya intinya gue sempet kenal sama satu cowok, tapi first impression gue ke dia emang udah jelek sih. Dia kayak tiba-tiba banget ngajak gue kenalan lewat DM Instagram terus ngundang gue ke partynya. Gue nya iya-iya aja karena kan emang dia niatnya mau temenan sama gue. Tapi waktu gue datang ke tempatnya, itu cowok nggak muncul-muncul sampe gue harus nunggu berjam-jam sendirian kayak anak ilang di depan kafe.”

Nahar bisa menangkap emosi yang sedang dialami Vallen, terlihat jelas dari ekspresi dan gerak tangannya ketika berbicara. “Kurang ajar juga ya. Tapi yang bikin gue heran tuh, kok ada yang bisa deketin lo selain Jagat?” tanyanya, kemudian meringis lantaran menerima cubitan di lengannya.

“Ngeledek banget pertanyaan lo!”

“Maksud gue tuh, Jagat kan udah nyuruh cowok cowok buat jangan deketin lo nih. Tapi kok masih ada yang berani deketin lo itu gimana asal-usulnya?”

“Lho, kok lo tau kalo Jagat nyuruh orang buat jangan ada yang deketin gue?”

“Ya tau lah, kan gue salah satu yang dikasih peringatan sama dia.”

Vallen mendecak mendengar penjelasan Nahar, “Gak waras banget deh si Jagat.”

“Namanya juga udah cinta mati,” kata Nahar diikuti gelak tawanya. “Eh, tapi kalo cinta mati harusnya nggak putus ya, Len?!”

Lagi-lagi Vallen mencubit lengan Nahar karena laki-laki berkaus hitam itu kembali meledeknya.

Setelahnya keheningan lantas menyelimuti keduanya, baik Nahar maupun Vallen sama-sama asyik dengan berbagai jajanan yang tersaji di meja ruang tamu.

Mulai dari milor, cilung, gorengan, telur gulung, cireng dan makanan berminyak lainnya satu-persatu mereka cicipi. Rasanya masih sama seperti beberapa tahun kebelakang, saat keduanya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama.

Nahar dan Vallen telah akrab sejak lama, bahkan beberapa teman yang kenal dengan mereka sering mempertanyakan kenapa keduanya tidak menjalin hubungan lebih dari teman.

Jawabannya sederhana, baik Nahar maupun Vallen sama-sama tidak ingin ada perubahan status antara mereka. Keduanya sudah sangat nyaman dengan pertemanan ini. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau diantara mereka ada yang menyimpan rasa sayang lebih dari teman.

Dua tahun lalu, Nahar mengungkapkan perasaannya. Ia mengaku telah jatuh hati pada sahabatnya itu sejak lama. Namun, dirinya tidak berharap balasan apapun dari perasaannya. Dengan kata lain, Nahar tidak suka kalau harus menjadi canggung ketika hubungan keduanya nanti ternyata tidak berlangsung lama.

Prinsip itu juga ada di diri Vallen, sebisa mungkin ia menghindari menjalin hubungan asmara dengan teman sendiri.

Namun ada yang berbeda dengan Jagat, hatinya dibuat dilema ketika dihadapkan dengan perasaan laki-laki tampan itu. Bohong kalau Vallen tidak mencintainya, justru Jagat lah yang berhasil membuka hatinya kembali setelah dicampakkan oleh Evan—mantan kekasihnya yang telah putus dua tahun lalu. Vallen begitu sayang padanya sampai rasanya tidak rela kalau harus kehilangan. Oleh karena itu, tidak ada sedikitpun keinginan dirinya untuk mempertahankan hubungan mereka.

Setelah beberapa bulan berpacaran dengan Jagat, ia merasa bahwa terdapat banyak ketidakcocokan diantara mereka. Jagat terlalu childish bagi Vallen. Bahkan, alasan putus keduanya pun dirasa cukup untuk membuktikan ketidakcocokan keduanya.

Menurut Jagat, Vallen harus terbuka dan mau membagi keluh kesahnya tanpa diminta, menurutnya hal ini wajar dilakukan antar pasangan. Namun, Vallen memiliki pandangan lain tentang itu. Dirinya akan dengan sukarela bercerita jika memang merasa perlu, dan Jagat tidak berhak tau semua masalahnya karena ia tidak mau menambah beban pikiran laki-laki itu. Terdengar sepele memang, namun jika terus dibiarkan dan dimaklumi, Vallen takut akan ada masalah lain yang harus mereka hadapi di kemudian hari.

Bukannya tidak mau berjuang bersama, perempuan itu hanya masih belum sembuh dari luka lamanya.

Vallen pernah ada di posisi dimana ia harus mempertahankan sebuah hubungan yang sebenarnya sudah toxic. Bersama Evan, dua tahun lalu ia telah terjebak toxic relationship. Laki-laki manipulatif itu telah berhasil membuat Vallen jatuh sejatuh-jatuhnya padanya.

Vallen juga pernah ada di posisi dimana ia harus pura-pura terlihat baik-baik saja di depan Evan walaupun sudah tau kelakuan buruknya, memaklumi kedekatan Evan dengan perempuan lain adalah tindakan bodohnya yang selalu ia sesali.

Bahkan, Vallen pernah ada di posisi dimana semua orang terdekatnya menyebutnya gadis tolol karena terlalu bucin lantaran selalu memaafkan dan tidak segan untuk memohon demi kelangsungan hubungannya dengan Evan.

Dari situlah Vallen ingin memperbaiki dirinya, ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Oleh karena itu, dirinya kini hanya akan mencintai seseorang sewajarnya saja. Kalau pasangannya ingin pergi, silahkan. Vallen tidak akan menahannya sekalipun orang itu adalah Jagat Adigdaya, laki-laki baik yang telah lama bersahabat dengannya.

“Terus nantinya lo sama Jagat bakal gimana, Len?”

“Apanya yang gimana?”

“Ya.. Lo berdua masih temenan, kan?”

Vallen menarik napasnya kemudian mengangguk lemah. “He said we shouldn't be awkward, kayak Kesya sama Reihan.”

“Bener sih, gue juga kalo jadi Jagat bakal ngomong gitu.”

“Tapi gue nggak yakin, Har. Gue takut makin susah move on.

“Lo masih ada rasa?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Nahar, perempuan dengan tatapan mata yang tajam itu mengangkat bahunya, terlalu malas menjelaskan karena ia sendiri tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan isi hatinya.

“Dasar gak jelas!” tukas Nahar seraya melempar sebiji cabai rawit yang ia dapat dari kantong gorengan.

Stop deh bahas hubungan gue. Sekarang gantian, lo sendiri gimana, Har? Udah punya cewek belum sih temen gue yang paling sabar ini?”

Yang ditanya tergelak mendengar pertanyaan yang Vallen lontarkan. “Menurut lo, cowok yang mukanya mirip Iqbal Ramadhan ini nggak bisa dapet cewek?”

Vallen mendelik mendengar ucapan penuh percaya diri itu, lantas ia menimpali, “Cewek mana nih yang bisa luluhin hati lo yang udah beku itu?”

“Lo kenal Arumi Ghefani?” tanya Nahar yang direspon gelengan. “Itu lho, anak pendidikan seni tari yang pernah pake jasa gue buat fotoin kegiatannya pas lagi lomba.”

“Yang mana sih? Lo belum pernah bilang-bilang sama gue.”

Keduanya larut dalam topik obrolan baru, tentang Nahar yang hatinya tengah kasmaran sebab baru dipertemukan dengan Arumi, mahasiswi yang berhasil mencuri perhatiannya.