You shouldn't have a crush on your friends
cw // smoking , suicide , sexual harassment
Kepulan asap tembakau kembali mengudara saat Vallen menghembuskan napasnya kasar. Dua jari lentiknya mengapit sebatang rokok, menghisap ujungnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskan asapnya.
Pikirannya kembali pada kejadian beberapa jam lalu. Saat Jagat dengan lantang berteriak di depan wajahnya, mengatakan bahwa dirinya telah dijadikan bahan taruhan oleh laki-laki yang bahkan tidak ia kenal dengan baik, Cakra. Sebelah sudut bibirnya terangkat berbarengan dengan suara decakan dari mulutnya. “Vallen, lo tolol banget sih!” Ia bermonolog dengan kepala tertunduk, membiarkan abu rokoknya berjatuhan ke lantai.
Perempuan pemilik bentuk rahang yang tegas itu mengacak rambut panjangnya kala memori beberapa tahun lalu kembali terputar jelas di kepalanya. Saat dirinya yang lugu itu dibodohi oleh Evan, mantan kekasihnya yang ternyata telah melakukan hal keji pada sahabatnya sendiri. Evan menghamili Raya sebelum Vallen mengenal laki-laki bejat itu. Tindakan tercela yang Evan lakukan bahkan telah membuat Raya depresi berat sampai gadis manis tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Vallen sempat dihantui rasa bersalah selama berbulan-bulan lamanya karena hal itu. Dirinya merasa telah merenggut nyawa temannya sendiri lantaran telah jatuh hati pada Evan. Ia menyalahkan dirinya atas kepergian Raya.
tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu kamar kosnya, membuat Vallen buru-buru mematikan rokoknya dan menghapus jejak air matanya. “Masuk aja, nggak gue kunci,” ucapnya pada orang di balik pintu.
Pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan Kesya yang sebelumnya telah diminta datang untuk menemaninya. Vallen yang duduk bersandar lantas menegakkan punggungnya lalu merentangkan tangannya yang kemudian disambut oleh pelukan dari sahabatnya itu.
“You okay?” tanya Kesya sembari menepuk-nepuk pelan punggung Vallen yang direspon gelengan olehnya. “Gapapa, udah ada gue disini.”
“Gue kenapa, sih, selalu ketemu sama cowok gak bener? Dulu Evan, sekarang Cakra. Emangnya muka gue keliatan gampang buat dimainin ya?”
Kesya melepas pelukannya, ia menaruh kedua tangannya di bahu Vallen. “Nggak sama sekali, lo cantik bukan berarti lo bisa jadi mainan buat cowok-cowok brengsek kayak mereka. Jangan mikir begitu,” katanya, meyakinkan Vallen untuk tidak berpikiran jelek tentang dirinya sendiri.
“Eh, ngomong-ngomong soal Cakra, emang dia abis ngapain? Lo belum ada cerita sama gue, anjir!”
Pukulan pelan dari Kesya menyadarkan Vallen yang memang belum mengatakan apapun tentang Cakra yang mengajaknya bertemu. Tadinya ia akan bercerita kalau semuanya sudah jelas, kalau dirinya sudah tau apa alasan Cakra mempermainkannya dulu. Namun, kejadian sore tadi justru membuat Vallen harus tau alasan tersebut dari Jagat.
Akhirnya dengan suara parau Vallen menceritakan semuanya, mulai dari pesan pertama Cakra yang memintanya untuk bertemu, sampai pertemuannya dengan Jagat bersama perempuan lain yang ia duga adalah pacar barunya—atau sekadar gebetan, entahlah.
“Sinting tuh orang!”
Vallen terkikik mendengar pekikan Kesya barusan. “I know rightttt! Cakra emang sinting banget, bisa-bisanya ngejadiin gue bahan taruhan.”
“Maksud gue si Jagat yang sinting. Kalian baru putus tapi dia udah ngedate sama cewek lain?? Nggak habis pikir gue.”
Miris, namun memang itu faktanya. Vallen hanya mengangkat bahunya malas kemudian menyandarkan punggungnya ke tepi tempat tidur. “Cepet banget, ya, move on nya.”
Kesya ikut bersandar di sebelah Vallen. “Gue kira dia bakal beda dari cowok lain. Taunya sama aja, emang semua cowok tuh sama semua. Kapan ya kita ketemu cowok yang bener-bener tulus sama kita?” ujarnya dengan nada yang dibuat sedih.
“Intinya sih, you shouldn't have a crush on your friends.“
“And also you shouldn't be friends with your ex.“
Keduanya lantas tergelak sehabis mengatakan kalimat itu. “Bener banget, gue makan hati temenan sama Jagat versi udah jadi mantan,” kata Vallen.
“That's why gue cut off Reihan dari hidup gue!”
Gelakan tawa kembali memenuhi ruangan berukuran 3 x 4 meter itu, Vallen dan Kesya saling menertawakan kebodohan masing-masing lantaran telah jatuh cinta pada teman sendiri.
Mungkin di luar sana ada yang mengalami kasus serupa dan berhasil kisah cintanya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi dua sahabat yang kini tengah meratapi ketidakberuntungannya.
Kesya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar kos yang berantakan itu. Karena tadi saat datang langsung memeluk Vallen, dirinya belum sempat melihat-lihat tempat yang baru ia datangi ini.
Perempuan itu mengernyit kala melihat sebungkus rokok dan asbak yang telah terisi beberapa bekas puntung rokok. “Lo stress banget, ya? Sampe ngerokok gini.”
Yang ditanya kemudian beranjak untuk membuang isi asbaknya ke tempat sampah kecil di dekat pintu. “Sebenernya gue udah nyentuh rokok sejak putus sama Evan, Kes. Tapi gue diem-diem aja, itu juga jarang ngerokok nya. Mulai sering beli rokok lagi waktu Velo ngabarin papa mau nikah lagi,” jelas Vallen tanpa menatap lawan bicaranya. “Terus Jagat tau gue ngerokok, dia nggak suka. Mikirnya gue nggak nganggep keberadaan dia dan malah lari ke rokok kalau ada masalah. Dia minta putus gara-gara itu,” lanjutnya.
Kesya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti dengan penjelasan panjang lebar itu.
“Lo daripada manggut-manggut doang kayak boneka mampang mending bantuin gue beresin kapal pecah ini, deh, Kes.”
“Duh, lo pake sok-sokan ngekos, sih! Udah tau nggak bisa beres-beres.”
Vallen menjawab dengan candaan, “Namanya juga usaha, min.”
Lantas keduanya bersama-sama merapikan kamar kos Vallen. Lalu dikarenakan jam di dinding telah menunjukkan pukul 9 malam, Kesya memutuskan untuk menginap di sana.
Mereka menghabiskan malam dengan bercerita banyak hal. Membicarakan apapun yang belum pernah diceritakan sebelumnya.
“Len, lo berhak buat keep your story dari orang-orang. Lo boleh banget mendem masalah lo sendiri, tapi jangan denial kalo lo juga butuh pendengar. Jangan selalu beranggapan lo bakal membebani orang lain dengan cerita lo. Terkadang manusia merasa berguna untuk orang lain ketika dia bisa diandalkan, termasuk gue. Gue seneng kalo lo mau sharing keluh kesah lo ke gue. As a friend gue akan merasa ada gunanya.”
“Iyaa, Kes.”
“Jangan iya-iya doang, anjir! Gue harap lo mau terbuka sama gue mulai sekarang. Tapi gue nggak maksa juga, sih. Pokoknya i will always be there if you need me, ya.”
Lagi-lagi perempuan yang sebenarnya sedang menahan tangisnya itu hanya menjawab dengan anggukan dan sepatah kata, “Iya.”