another side
Vallen berjalan di depan diikuti Reihan di belakang. Bukan apa-apa, cowok itu tau kalau teman perempuannya ini punya pacar dan ia tidak mau menunjukkan keakraban mereka di tempat umum.
“Itu Kesya!” kata Vallen pelan sembari jarinya menunjuk salah satu meja dengan gadis anggun duduk di sana.
Reihan membenarkan tas nya lalu mengikuti Vallen yang sudah lebih dulu berlari ke sana.
“Yang lain mana?” tanya Kesya ketika dua temannya sudah duduk berhadapan dengannya.
“Jagat masih ngerokok gak tau kapan selesainya, Nahar belum bales grup.”
Gadis dengan blazer biru langit itu mengangguk-angguk lalu mengecek ponselnya, “Eh sebentar ya, gue mau ambil gofood dulu.” katanya.
Memang tidak ada larangan untuk makan dan minum di perpustakaan ini, asalkan tidak menggangu maka diperbolehkan.
Beberapa saat kemudian Kesya kembali dengan satu cup kopi di tangannya, aroma minuman itu menguar tatkala ia membuka tutup gelasnya. Menghirupnya sebentar, meniupnya, lalu menyesapnya sedikit karena masih panas. Terlihat dari asapnya yang mengepul.
Dua orang lainnya refleks melotot melihat aksi Kesya tersebut, Vallen buru-buru mengeluarkan masker dan memakainya guna menutup hidung dan mulutnya.
“Lo apa-apaan sih??” pekik Reihan sedikit keras, membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya.
Yang diteriaki mengangkat satu alisnya, seolah berkata, “Apa? Gue kenapa??”
“Vallen phobia kopi.”
Perempuan bermasker biru itu mengernyit, menghentikan Reihan agar tidak asal bicara.
“Oh iya??” “Kok bisa Len?” “Gimana ceritanya?”
Helaan napas gusar Vallen hembuskan karena pertanyaan Kesya barusan, ia tidak ingin membagi kisahnya pada sembarang orang.
“Len?? Cerita dong gue penasaran banget nih!”
Reihan yang geram menyingkirkan tangan Kesya yang sempat menggenggam tangan Vallen, “Nggak usah maksa gitu bisa gak sih?” tukasnya lalu membiarkan Vallen meremas tangannya di bawah meja. Ia tau Vallen akan panik kalau orang lain mengetahui kelemahannya.
“Lo mau tau?”
“Len??”
“Gapapa, Rei.”
Vallen meminum air mineralnya sebelum mulai bercerita, “Dari kelas 8 gue udah dituntut sama papa buat jadi yang terbaik, dalam bidang apapun. Gue harus punya waktu belajar di atas rata-rata, biar bisa ngalahin temen-temen gue yang lain. Setiap belajar papa gue selalu buatin kopi biar gue gak ngantuk. Nggak cuma itu, pengharum ruangan sama parfum gue juga diganti jadi wangi kopi. Papa seaddict itu sama kopi,”
Vallen menghela napas untuk setidaknya menenangkan suaranya yang bergetar, “Terus ruangan belajar gue yang sempit bikin aroma kopinya makin kecium, jadi gue sampe muak banget sama kopi. 5 tahun gue tidur, belajar, makan, selalu nyium bau kopi. Makanya sekarang gue gak berani kalo hirup aromanya.”
“Sekarang udah nggak disuruh ngopi lagi?”
“Papa berhenti waktu gue bilang kalo gue gak suka sama perlakuan dia, itu juga kalo gue nggak sujud dan mohon-mohon mungkin papa gak bakal berhenti, hahaha!”
“Ohh..”
“Oh???”
“Kenapa?”
“Oh doang? Buang kopi lo, anjir!”
“Eh denger ya Rei, Vallen aja nggak keberatan. Kenapa lo heboh banget?”
Kalau tidak ditahan mungkin Reihan sudah melemparkan buku tebalnya ke wajah Kesya.
“Gue pake masker kok, nggak kecium baunya.”
Bohong, Vallen hanya mengenakan masker tipis yang tentu saja tidak bisa menghalau aroma yang ia hirup.
Ketiganya melanjutkan belajar masing-masing dengan Vallen yang masih menggenggam erat tangan Reihan. Tangannya bahkan berkeringat, membuat Reihan melempar tatapan khawatir. Namun Vallen hanya menggeleng, mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.
“Shit!“
Vallen mengumpat setelah lebih dari 3 menit tidak bernapas normal, ia meninggalkan meja tanpa sepatah kata pun.
Melihat itu Reihan langsung mengikuti Vallen yang tengah berjalan dengan gerakan cepat ke kamar mandi. Ia berhenti saat temannya masuk ke salah satu bilik kamar mandi perpustakaan tersebut.
Cukup lama Vallen di dalam sana, beberapa orang bahkan menatap Reihan aneh karena berdiri di depan kamar mandi wanita.
“Len?? Lo gak kenapa-napa?”
“Sebentar.”
Lalu Vallen keluar dengan wajah dan poninya yang sudah basah, tetesan air itu sampai membasahi kausnya.
Reihan mengeluarkan parfum yang selalu ia kantongi di saku jaketnya, menyemprotkannya banyak-banyak. Ia melepaskan jaket hitam itu dan memakaikannya pada Vallen.
Detik selanjutnya tubuh perempuan itu ditarik ke pelukan Reihan, membiarkan sahabatnya menghirup aroma segar yang dihasilkan dari parfumnya. Laki-laki ini memiliki selera yang tinggi dalam hal wewangian.
Tidak lama, Vallen menjauhkan dirinya setelah agak tenang, “Gue lebay gak sih?”
Gelengan kuat Reihan lakukan seolah tidak setuju dengan pertanyaan barusan, “Semua orang punya ketakutannya sendiri, dan lo sama sekali nggak lebay. Wajar,” ia menaikkan resleting jaketnya agar menutupi kaus basah Vallen.
Untungnya Reihan memiliki postur tubuh yang kurus kecil sehingga jaket tersebut terlihat sangat pas di tubuh Vallen.
“Tunggu disini, gue ambil tas lo dulu. Kita pergi aja.”
Tanpa mereka sadari seseorang telah memotret keduanya saat berpelukan tadi.
Reihan berlari ke mejanya, membereskan buku miliknya dan milik Vallen. Ia tidak menghiraukan ocehan Kesya yang sangat menganggu dan langsung kembali menghampiri Vallen.
Kantin adalah tujuan mereka dan memilih kursi paling ujung adalah pilihan tepat karena ingin melanjutkan sesi belajarnya.
Reihan tidak membiarkan Vallen mengantri, ia memesan jus dan beberapa cemilan. Belajar di kantin sepertinya akan lebih menyenangkan, bukan?
Lamunan Vallen buyar tatkala suara notifikasi dari ponselnya yang terus berbunyi.
Dari Evan.
“Dimana?“ “send photo“ “Maksudnya apa ya??“ “Aku tau temen kamu cowok semua, tapi apa perlu pelukan sama cowok lain??“ “Ke parkiran.“ “Cepet.“
Sontak ia terkejut membaca spam chat dari pacarnya, apalagi ia dikirimi foto saat Reihan memeluknya tadi.
Vallen segera berlari ke tempat yang disuruh Evan, menghiraukan panggilan Reihan yang meneriaki namanya.
Sesampainya di parkiran Vallen ditarik paksa agar masuk ke dalam mobil. Evan langsung menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan mengintimidasi.
“Kamu lupa ya kalo punya pacar?” “Gak malu diliatin orang-orang?” “Temen kamu cuma dia doang?” “Nggak ada temen yang pelukan di tempat umum, Vallen Triana.”
“Kamu salah paham, sayang.”
“Salah paham gimana? Jelas banget kamu pelukan sama dia.”
Vallen merasa akan terlalu bertele-tele kalau ia menjelaskan semuanya. Akhirnya ia hanya meminta maaf agar emosi Evan mereda.
Karena jujur saja, ia sangat tidak suka saat bicara dengan orang yang sedang emosi.
“Kita putus aja lah,”
Kalimat barusan sontak membuat Vallen terkejut, bibirnya kelu, kakinya lemas, bahkan dadanya bergemuruh tak karuan.
“Putus aja ya? Aku gak tahan liat kamu temenan sama mereka-mereka itu,”
Vallen menggigit bibir atasnya menahan tangis, ia menggeleng dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
“Gak mau putus? Ya udah, berhenti temenan sama mereka demi aku.”
“Sayang.. kok gini sih?? Jangan minta putus, aku gak mau.”
“Gak usah sayang-sayang.”
Katakanlah bucin, karena Vallen memang secinta itu dengan laki-laki yang sedang penuh amarah ini.
“Terserah pokoknya gak mau putus. Aku juga gak bisa jauhin Nahar sama yang lain. They're my best friend.”
Evan memukul stir mobilnya kencang, membuat Vallen sedikit meloncat kaget, “But i'm your boyfriend!” bentaknya.
Baru kali ini Vallen melihat Evan yang sangat emosi sampai membuatnya tidak bisa berkutik lagi.
“Helloooo? Kok malah bengong?? Ayo putus.”
Saat ingin bersuara, seseorang mengetuk kaca mobil Evan.
Melihat Jagat yang mendatanginya dengan wajah marah membuat Evan mendengus, ia membuka pintu mobilnya dan menghampiri Jagat yang sedang berkacak pinggang.
Sedangkan di sisi lainnya Nahar menggiring Vallen keluar.
“Lo yang tadi–”
Belum selesai bicara, Jagat sudah lebih dulu mendaratkan bogemnya ks wajah tampan Evan. Membuat laki-laki itu tersungkur ke tanah.
Vallen teriak, ia menahan Jagat yang hampir ingin melayangkan tinju keduanya, “Jagat lo ngapain?!”
Tanpa merespon apa-apa Jagat menarik Vallen, menjauhkannya dari parkiran. Nahar mengikutinya dari belakang.
“Vallen! Kalo 5 detik lo belum balik kesini, kita putus!!” ancam Evan dengan lantang.
Tentu saja Vallen tidak mau itu terjadi, ia memaksa Jagat agar melepaskan tangannya. Namun tenaganya kalah kuat, ia tidak berhasil melepaskan diri.
cw//harsword
“Untung gue lewatin parkiran.”
Vallen menatap sinis Jagat yang kembali dari dapurnya membawa lima teh kotak.
“Gara-gara lo Evan luka!”
“Iya, sama-sama.”
“Sinting??!”
“Putus aja, Len.Hubungan lo tuh toxic tau.” kali ini Darrel yang bersuara.
Vallen masih terisak, ia menyenderkan kepalanya di bahu Nahar.
“Kalo gue suruh lo putus sama cewek lo, mau gak??”
“YA NGGAK LAH! Pake ditanya.”
“Ya gue juga nggak mau. Gue sayang sama Evan.”
“Gue mah gak mau karena hubungan kita baik-baik aja. Beda sama pacar lo, udah posesif, cemburuan pula. Toxic.”
“Omongan lo dijaga dong anjing banget mulutnya!”
Apartemen Jagat kini dipenuhi saut-sautan Vallen dan Darrel yang tengah adu nasib mengenai hubungan percintaan mereka.
“Naharrr temen lo nyebelin!”
“Yee udah keabisan kata-kata ngadunya ke Nahar!”
Nahar menendang pelan kaki Darrel, “Ngalah sama cewek.”
“Minum, Len.” Reihan memberikan teh kotak yang lubang sedotannya sudah ia tusuk agar Vallen tinggal langsung minum.
“Ratu banget dah.” sindir Jagat.
“Naharrr, Jagat juga nyebelin!”
Laki-laki yang tangannya sudah agak kebas itu hanya mendecak, ia masih merangkul Vallen saat memarahi Jagat dan Darrel yang terus-terusan meledek temannya dari SMP itu.
Reihan menyalakan televisi milik Jagat, “Mending kita nonton drakor yuk??”
“AYOKKK!”
Beberapa saat kemudian Vallen sudah dibuat lupa dengan masalah hari ini. Ia tertawa terbahak-bahak saat menonton adegan lucu drama korea yang ia gemari.
Tentunya keempat teman laki-lakinya juga ikut tertawa, mereka lega melihat Vallen yang sudah tidak menangis lagi.
Terimakasih pada Reihan.