geng-gam


“LAMBAT BANGET SIH BAWA MOBILNYA!” “NAHAR AJA LAH YANG NYETIR!” “WOY! BURUAN!!”

“AAAAAA!”

“LO TENANG DONG ANJIR!”

Vallen tersentak sesaat karena Jagat barusan meneriakinya setelah dengan tiba-tiba menginjak rem membuat semua orang di mobil itu terkejut.

“Gue gak bisa fokus kalo di belakang ribut mulu.” ucap Jagat dengan wajah emosi.

“Udah.” Nahar yang duduk di sebelah Jahat menepuk bahu sahabatnya.

“Gue gak mau telat.”

“Gak akan.”

“Gue gak mau telat lagi, kayak dulu.”

“Gak akan, Vallen.”

Kesya memberikan botol minumnya pada Vallen, “Minum dulu ya?”

Kelimanya sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandung. Setelah mendapat pesan dari April tadi, Vallen langsung menghubungi yang lain dan mereka berangkat saat itu juga.

Jagat melanjutkan perjalanan setelah Vallen meminum habis air dari Kesya.

“Kita semua gak mau telat, tapi kita juga tetep harus mengutamakan keselamatan. Oke?” ucap Reihan, menenangkan.

“Rei, Darrel....”

“Iya, Len. He needs us, dan kita harus selamat sampe tujuan.”

“Reihan bener. Lo tenang aja ya.” Kesya ikut menenangkan Vallen.

Sorry bikin panik.”

Merasa tidak enak, Jagat melirik lewat spion depan, “Sorry juga, tadi teriak.” sesalnya.

Belum ada yang tau temannya di Bandung sana sakit apa, sejak kapan, dan kenapa bisa.

Selama perjalanan pun tidak ada yang berani menerka-nerka. Semuanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di tempat tujuan, April sudah menunggu kedatangan 5 sahabat pacarnya itu di lobby rumah sakit. Ia langsung menangkap pelukan Vallen saat perempuan tersebut berlari ke arahnya.

“Sakit apa Pril??” tanya Vallen yang masih terisak.

“Ketemu Darrel dulu yuk!”

Mereka mengikuti April ke ruang rawat inap tempat dimana Darrel beristirahat.

“Kemarin Darrel baru selesai kemoterapi. Kanker paru-paru, stadium 3.”

Dapat dilihat dari kaca, tidak ada Darrel yang banyak tingkah dan paling ceria, yang mereka lihat adalah Darrel dengan tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat tengah terbaring lemah di ranjang.

“Kita boleh masuk?” tanya Nahar.

“Boleh, tapi gantian ya.”

Yang pertama menemui Darrel adalah Vallen, Kesya dan Reihan. Ketiganya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bising, namun isakan Vallen membuat Darrel terbangun.

Darrel terkejut dengan kedatangan sahabatnya, karena ia sudah memperingati April agar menjaga rahasia tentang penyakit yang dideritanya.

“Lo ngapain disini bego?!” celetuk Reihan yang sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Dengan suara bergetar Vallen ikut bicara, “Kenapa gak bilang sih?”

“Darrel, maaf ya kita telat tau kalau lo sakit.” Melihat isakan Vallen yang makin menjadi, Kesya juga ikut menangis.

Darrel terkekeh memamerkan cengiran khasnya, “Lo pada jauh-jauh kesini cuma buat nangis? Nanti aja nangisnya kalo gue mati.”

“Tolol!” satu bogeman dari Reihan mendarat di lengan Darrel.

“Omongan itu doa lho! Jangan sembarangan.”

“Iya Kesya sorry ya bercanda doang gue tuh.”

“Sejak kapan?” tanya Vallen serius, posisinya sekarang sudah duduk di satu kursi samping ranjang.

Yang ditanya tidak langsung menjawab, Darrel meraih tangan Vallen dan menggenggamnya, “Berhenti dulu nangisnya, nanti gue cerita.”

“Cewek lo mantau!” sindir Reihan kemudian menarik tangan Vallen.

“Eh Vallen lo inget gak sih dulu waktu gue lagi pdkt sama April, dia sering cemburu gara-gara gue lebih prioritasin lo daripada April?”

Please lah.. jangan oot!”

Darrel menghela napas panjang, “Gue gak mau ngomongin itu ah. Udah, jangan pada khawatir. Gue udah diobatin kok.”

“Kenapa gak dirawat di Jakarta aja? Biar kita bisa sering jenguk.”

“Kalo disana mamah sama April yang gak bisa jenguk. Terus adek-adek gue juga masih pada kecil Kes, kasian kalo harus ke Jakarta.”

“Lo harus sembuh ya, Dar!”

Bukan Darrel kalau tidak ada gurauan di setiap obrolan, “Pasti sembuh lah. Gue masih pengen makan pecel lele deket kampus.” candanya.

“Serius bangke!”

“Lah seriburius ini bos.”

Nahar dan Jagat sudah mengetuk-ngetuk pintu, mengkode agar yang di dalam ruangan segera keluar.

“Janji sama gue, kita harus makan pecel lele deket kampus lagi.”

Darrel menautkan kelingkingnya di kelingking mungil Vallen, “Janji, bestie!

Setelahnya mereka bergantian dengan Nahar dan Jagat.

“Rokok mulu sih lo!”

Ekhem! Gak usah bawa-bawa rokok dong *bro!”

Darrel tersenyum miring, “Nahar bener. Kata dokter penyebab kanker gue emang dari rokok.”

“Ya gimana nggak kena tuh paru-paru? Lo aja ngerokok dari SMP.”

“Kayaknya abis ini gue juga berhenti ngerokok dah.”

“Jangan kayaknya dong, harus. Tinggal nunggu yang di sebelah gue kena kanker juga nih biar ikutan stop ngerokok.”

“Anying banget tuh mulut!”

Tidak ada sesi tangis-menangis, Nahar dan Jagat malah terlihat seru mengobrol dengan Darrel.

“Pril, gue boleh masuk lagi gak sih?”

April melempar pandangan ke Vallen dan Kesya, mereka mengangguk, “Boleh, Rei.” jawabnya dan Reihan langsung ngibrit ke ruangan serba putih itu.

Akhirnya empat laki-laki dalam satu ruangan tersebut menangis juga, menangis dalam diam.

Darrel, seorang putra sulung yang harus berperan sebagai ayah bagi dua adik perempuannya sejak masih duduk di kursi sekolah menengah pertama, seorang teman yang akan memprioritaskan kepentingan bersama dibanding diri sendiri, seorang laki-laki tegar dan ceria. Lekas lah sembuh...